DUA PULUH

Terima kasih ya, kamu sudah mengikuti cerita ini sampai di sini. Juga meninggalkan komentar-komentar yang menyenangkan. Aku bahagia setiap membacanya dan senang mengetahui kamu menikmati cerita ini. Mendapat manfaat bahkan :-)

Baca cerita sebelumnya ya, kisah Alesha dalam A Wedding Come True dan kisah Edna dalam The Game of Love. Supaya kamu kenal dengan keluarganya Edvind hihihi, kalau belum baca.

Jangan lupa, tinggalkan komentar untukku ya. Love, Vihara--FB/IG/Twitter ikavihara, WhatsApp 0895603879876

***

Edvind menjambak rambut frustrasi. Katanya kalau kita punya cita-cita, bergeraklah untuk mewujudkan. Semesta akan mendukung. Tetapi saat Edvind jatuh cinta dan punya cita-cita menjadikan Nalia kekasihnya, kenapa seisi dunia seakan menghalanginya?

"Kamu nggak perlu mikirin itu. Karena aku nggak akan pernah berkencan denganmu."

"Never say never, My Sweet Nalia. Aku akan berhasil mengajakmu berkencan. Nggak cuma satu kali. Lihat saja nanti." Kencannya satu malam, putar otaknya sebulan. Tetapi Edvin tidak keberatan. Edvind akan melakukan apa saja demi bisa berkencan dengan Nalia. "Jadi apa kamu mau menerima tawaranku? Kamu tinggal di rumahku? Atau mau kubelikan rumah baru?"

"No, thanks. Aku pindah ke rumah Alesha. Kalau kamu nggak mau bantu nggak papa. Sepupu Alesha yang lain, yang laki-laki dan single," Nalia menekankan pada kata laki-laki dan single, "masih banyak dan dia nggak akan keberatan ngenalin aku sama mereka."

***

Benar kata orang. Tidak ada batas antara kebodohan dan cinta. Buktinya, sekarang, karena cinta, Edvind sedang menggali kuburnya sendiri. Membantu Nalia pindah dari rumah neneknya ke rumah baru Alesha, yang ternyata satu lokasi dengan rumah Edvind. Berbeda blok saja. Edvind melirik Nalia yang sedang memilih saluran radio. Akan susah mendatangi Nalia di rumah Alesha, saat menjemput kencan. Atau mengobrol dengan Nalia setelah mereka berkegiatan di kampung, seperti yang biasa mereka lakukan di teras rumah nenek Nalia. Lebih dulu Edvind harus mengusir Alesha jauh-jauh. Karena sepupunya itu tidak mengenal konsep privasi.

"Rumahku lebih dekat ke jalan raya daripada rumah Alesha."

Nalia menoleh ke arah Edvind sambil tertawa. "Kamu bilang kamu sudah cukup tidur. Tapi kenapa kamu masih ngigau? Mana ada orang waras yang dengan ringan ngasih rumahnya ke orang lain begitu, Edvind?"

"Kalau kita menikah nanti rumah itu jadi milikku lagi," gumam Edvind pelan sekali. "Kamu nggak berani tinggal sendirian di rumah nenekmu? Menikahlah denganku, Nalia, jadi kamu nggak perlu tinggal sendiri. Kamu akan punya teman serumah. Teman tidur bahkan."

"Bisa nggak kamu nggak membawa-bawa pernikahan dalam setiap pembicaraan? Kamu bilang kamu ingin kita tetap berteman. Tapi kalau kamu terus bikin aku nggak nyaman begitu, lebih baik kita nggak usah ketemu. Selain di kampung." Nalia mengembuskan napas kesal.

"Aku nggak ingat aku pernah bilang aku mau jadi temanmu." Bahkan ketika Nalia masih punya tunangan dulu, Edvind tidak pernah bisa menganggap Nalia teman.

"Tapi itu yang bisa kuberikan kepadamu sekarang." Nalia melipat tangan di dada.

"Sekarang, ya? Berarti nanti kamu bisa berubah pikiran?" Mobil Edvind berhenti di depan rumah baru Alesha.

Nalia memutar bola mata dan menjawab sekenanya. "Ya, lihat nanti."

Tidak masalah. 'Ya, lihat nanti' kedengarannya optimis. Nanti kalau Nalia tahu Edvind serius, Nalia akan menerima cintanya. Edvind memosisikan pantat mobil sedekat mungkin dengan rumah Alesha. Supaya mereka tidak terlalu jauh berjalan mengangkut barang. Semua kursi di dalam SUV milik Edvind—kecuali dua kursi terdepan—dilipat demi bisa menampung barang-barang Nalia yang harus dibawa hari ini. Sisanya, secara bertahap akan dipindahkan ke sini atau disimpan di gudang di rumah kakak Nalia.

Kepindahan Oma ke rumah kakak Nalia, menurut Nalia, diputuskan setelah kakak iparnya harus banyak tinggal di tempat tidur selama kehamilan. Kakak Nalia merekrut pengasuh untuk Jenna, tapi Jenna sulit beradaptasi dengan orang baru. Kehadiran Oma diperlukan sebab Jenna—yang bisa menoleransi sedikit orang saja—menyukai Oma.

Sebenarnya Oma mengizinkan Nalia tinggal sendirian di rumah mereka. Tetapi Nalia tidak ingin, sebab tidak terbiasa tinggal sendiri. Karena Nalia menerima tawaran Alesha untuk tinggal bersama, Oma akan menyewakan rumahnya. Oma. Edvind menyeringai puas. Ada satu orang yang mendukung niat Edvind untuk mendapatkan hati Nalia. Restu dari Oma sudah cukup menjadi modal bagi Edvind untuk terus maju dan menerjang rintangan apa pun di depan sana.

Kecuali rintangan yang satu ini. Rintangan bernama Alesha.

"Aku nggak nyangka aku masih hidup dan sempat menyaksikan kamu jatuh cinta." Alesha, yang ikut membantu membawa koper ke dalam rumah, berkomentar sinis.

Edvind mengagumi Alesha, wanita supercerdas dan pekerja keras. Kalau manusia normal perlu waktu, minimal, dua tahun untuk menyelesaikan pendidikan master, berapa banyak waktu yang dibutuhkan Alesha? Semua orang bertaruh setahun. Tetapi Alesha selalu melampaui harapan semua orang. Alesha menyelesaikan pendidikan delapan bulan saja.

Sebetulnya Alesha adalah sepupu favorit Edvind. Kalau Alesha tidak sedang menyebalkan dan selalu menganggap urusan orang lain adalah urusannya juga.

"Bilang padaku, Lesh, kamu sedang dapat tawaran pekerjaan lain yang bayarannya lebih tinggi dan kamu nggak jadi kerja di rumah sakitku."

"Rumah sakitmu?" Alesha mengangkut kardus ke dalam rumah. "Sejak kapan kamu punya rumah sakit? Aku nggak menerima tawaran lain. Kita akan jadi teman sekantor. Kamu nggak bisa macam-macam lagi sama mahasiswa, residen, perawat atau siapa pun di sana."

"I don't get my honey where I get my money." Edvind tidak pernah mengencani teman seprofesi. Apalagi yang bekerja di tempat yang sama dengannya. Pacaran dengan teman sekantor hanya akan membawa dampak negatif pada kinerjanya. Belum lagi kalau mereka bertengkar. Lebih-lebih putus. Bisa-bisa Edvind harus mencari pekerjaan di tempat lain hanya karena malas bertemu mantan pacar setiap hari.

"Oh, Lesh." Membicarakan mantan pacar, Edvind teringat sesuatu. "Kemarin Elmar* ke rumah sakit. Dia nanyain kabarmu."

Alesha berhenti. Kalau tatapan mata bisa membakar, Edvind sudah menjadi abu sekarang. Setelah mengibaskan rambut keras-keras, Alesha menghilang ke sebuah ruangan. Dalam hati Edvind bersorak penuh kemenangan. Semua orang memiliki kelemahan. Atau mimpi yang tidak bisa diwujudkan. Untuk Alesha, keduanya adalah Elmar Kalrsson. Mantan kekasihnya. Satu-satunya laki-laki yang dicintai—tapi tidak bisa dimiliki—Alesha. Mulai hari ini, setiap kali Alesha bertingkah menyebalkan, Edvind akan mengatakan kemarin dia bertemu Elmar. Walau sebenarnya tidak. Bohong sedikit tidak apa-apa, demi memuluskan jalan menuju cinta.

"Gajimu nggak cukup untuk bayar cicilan rumah? Sampai harus cari housemate segala?" Edvind bergabung dengan Nalia dan Alesha yang sedang duduk minum es teh lemon di dapur. Es teh lemon tawar. Tidak enak sama sekali. Saking tidak enaknya, Edvind hampir menyemburkan isi mulutnya. "Kamu nggak mampu beli gula, ya?"

"Cicilan atau apa pun itu urusan kakakku." Alesha menandaskan isi gelasnya. "Dia kasih aku hadiah rumah ini."

"Di keluargamu sedang musim ya, Lesh, kasih hadiah rumah?" Nalia melempar tatapan mencela kepada Edvind. "Tadi ada yang mau ngasih aku rumah, dan rela tinggal lagi di rumah orangtuanya. Demi nggak ketemu kamu waktu dia ngapel malam minggu."

"Ya ampun, Ed." Alesha memasang ekspresi terluka di wajahnya. "Memangnya aku pernah ngapain kamu, sih, sampai kamu takut ketemu sama aku?"

"Membayangkan apa yang belum pernah kamu lakukan padaku itu yang bikin ngeri." Edvind mengambil air putih. Ini jauh lebih baik daripada teh yang tidak jelas rasanya itu.

Ponsel Alesha berbunyi dan selama Alesha bicara dengan penelepon, baik Nalia maupun Edvind tidak bersuara. Tiga menit kemudian, dengan bersungut-sungut, Alesha mengakhiri panggilan dari ibunya. "Duty call. Aku harus pergi. Nanti setelah aku pulang, Nalia, aku jelaskan apa isi rumah ini. Di mana kamu bisa menemukan sesuatu yang kamu perlukan, kalau aku punya."

"Aku lapar. Ayo kita makan. Mobilku menghalangi mobil Alesha. Daripada mindah-mindah, sekalian saja kita keluar." Setelah Alesha meninggalkan dapur, Edvind mendorong mundur kursinya dan menatap Nalia yang tidak bergerak. "Kamu bilang kamu mau mentraktirku makan kalau aku membantumu pindahan hari ini."

"Tapi ini bukan kencan, ya." Nalia memperingatkan. "Kita makan malam karena aku punya janji dan harus berterima kasih padamu."

--

*Baca A Wedding Come True

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top