DUA BELAS

Pada bagian ini kita masih belum ketemu sama Edvind ya. Karena Nalia masih mengajak kita untuk mengunjungi masa lalunya. Sabar ya, penggemar Dokter yang manis seperti martabak double chocolate XD

Sepertinya aku akan mengunggah cerita ini pada Selasa malam. Sebab aku ada komitmen setiap Rabu malam. Dan biasanya aku capai setelahnya. Terima kasih ya, kamu sudah meninggalkan komentar untukku. Aku senang bisa berbagi cerita denganmu dan lebih mengenalmu di sana. Karena di mana lagi kita akan berkomunikasi, selain di sini?

Jangan lupa berikan dukungan kepadaku, dengan menekan bintang dan meninggalkan komentar. Semoga kamu sehat dan bahagia selalu di mana pun kamu berada.

Love, Vihara(IG/Twitter/FB ikavihara)

***

Saat itu Nalia bertanya-tanya dalam hati. Biasanya setiap Nalia harus ke dokter, Papa selalu mengantar. Saat sedang di kantor pun, begitu mendengar Nalia sakit, Papa akang langsung pulang dan menemani Nalia. Kalau Nalia sedih—karena dimarahi Mama, dapat nilai jelek, bertengkar dengan teman, dan lain-lain—Papa selalu mengajak Nalia beli es krim. Papa menjelaskan sehingga Nalia paham kenapa Mama marah, paham kalau tidak mau dapat nilai jelek Nalia harus sungguh-sungguh belajar, dan sebagainya. Papa tidak pernah mau melihat anak kesayangannya menangis.

Apa Papa menangis juga karena Mama meninggal? Seperti Nalia dan Jari? Nalia tidak tahu. Menurut Jari, Papa sibuk mengurus pemakaman Mama. Sejak pulang dari rumah sakit, hanya sekali Nalia melihat Papa. Ketika badan Mama ditimbun dengan tanah, Papa ada di sana. Tetapi Nalia tidak tahu Papa menangis atau tidak, karena Papa tidak melepas kacamata hitamnya. Siapa yang memeluk Papa saat Papa sedih karena Mama pergi?

Jari selalu bersama Nalia dan memeluk Nalia erat-erat. Mereka menangis bersama. Kenapa Papa tidak mendatangi anak-anaknya? Tidak memeluk anak-anaknya? Sepulang dari pemakaman, Oma menyuruh Nalia mandi bersih-bersih dan mengganti baju. Sehabis mandi, Nalia berdiri di depan cermin. Sudah tidak ada lagi Mama yang menyisirkan rambut panjang Nalia. Ingat besok pagi saat pergi sekolah Mama tidak akan menguncir rambut Nalia lalu memilih tali rambut atau pita bersamanya, air mata Nalia jatuh lagi.

"Nalia mau sama Mama ... Nalia mau ikut Mama." Banyak hal yang belum bisa Nalia lakukan sendiri. Selama sepuluh tahun, setiap menemui kesulitan, Nalia selalu berlari kepada Mama dan dengan sabar Mama akan mengajari Nalia.

Setelah mengikat rambut sebisanya, Nalia berjalan ke tangga dan melihat masih ada banyak orang di rumahnya. Semua menatap kasihan kepada Nalia. Karena tidak bisa menemukan Jari atau Oma, Nalia kembali ke kamar dan berbaring di sana.

"Ollie, kenapa Mama pergi? Kenapa Mama nggak ajak Nali pergi?" Nalia berbisik kepada bonekanya lagi. Hari itu juga, untuk pertama kali Nalia mengeluarkan Ollie dari lemari. Nalia sudah besar, sudah sepuluh tahun dan tidak takut lagi tidur sendirian. Jadi tidak perlu ditemani Ollie seperti saat Nalia masih TK dulu. "Aku mau ikut Mama ... mau sama Mama ... Mama...."

Telinga Ollie pernah putus dua kali dan Mama menjahitnya kembali. Nalia ingat waktu itu Nalia menunggui Mama dan bertanya kenapa Mama bisa melakukan apa saja.

Mama tersenyum dan menjawab,"Nanti kalau Nalia sudah jadi ibu juga, Nalia juga akan bisa melakukan apa saja."

Kalau sudah dewasa nanti Nalia ingin seperti Mama. Cantik dan terampil mengerjakan apa saja. Nalia kembali menangis. Biasanya sebelum Nalia tidur, Mama dan Papa akan datang ke kamar Nalia. Untuk memeluk dan mencium Nalia. Setelah itu Papa meninggalkan kamar, tapi Mama tidak. Mama membacakan cerita sampai Nalia tertidur. Walaupun Nalia bisa membaca sendiri, Nalia tetap suka mendengar suara Mama dan merasakan tangan Mama mengelus rambut Nalia hingga Nalia terlelap.

Malam itu Nalia tidak bisa tidur karena tidak lagi mendapatkan kecupan selamat tidur dari Mama. Karena tidak mendengar suara Mama membacakan cerita Narnia. Mama sudah meninggal sebelum mereka menyelesaikan Prince Caspian. Dua minggu sebelumnya, Mama menuruti sambil tertawa ketika Nalia meminta Mama mengganti nama tokoh Edmund dan Lucy menjadi Jari dan Nalia. Kepada Mama, Nalia pernah menyampaikan nanti kalau sudah besar Nalia mau menulis cerita juga.

"Kenapa menunggu besar? Nalia bisa mulai menulisnya sekarang. Mama tidak sabar mau membaca cerita bikinan Nalia," kata Mama waktu itu.

Dan Nalia melakukannya. Sehabis tidur siang, setiap hari, Nalia menulis cerita. Kalau saja Nalia lebih rajin menulis, malam sebelum Mama meninggal Nalia sudah bisa menunjukkan cerita karangannya. Nalia menangis keras mengingat kenyataan itu. Menyesal kenapa hari Sabtu Nalia tidak menulis, malah ikut Oma dan Opa pergi jalan-jalan.

Nalia baru berhenti menangis saat mendengar suara pintu kamarnya didorong ke dalam. Sambil menyeka air mata, Nalia menegakkan badan. Bersiap seandainya Papa yang masuk. Hari itu Nalia berharap Papa menemui Nalia dan Papa memeluk Nalia. Berbisik di telinga Nalia supaya Nalia tidak takut. Karena Papa akan selalu menjaganya.

"Nalia, ayo makan dulu. Kamu belum makan malam kan?"

Bukan Papa. Tetapi Jari yang muncul. Memakai baju koko biru muda yang dibelikan Mama saat lebaran dulu. Nalia menunduk kecewa. Karena Mama sudah tidak lagi di sini, Nalia ingin dipeluk Papa. Ingin dicium Papa. Tetapi Papa ke mana? Kenapa Papa tidak menemui Nalia? Ke mana Nalia harus mencari Papa? Terlalu banyak orang di lantai satu dan Nalia tidak bisa melihat Papa ada di mana.

"Nalia?" Jari duduk di tempat tidur lalu menyentuh dagu Nalia. Setelah mendongakkan wajah Nalia, Jari menghapus air mata di pipi Nalia. Air mata sudah mengering di wajah Jari. Walau raut kesedihan masih tergurat di sana. Sekali lagi Jari menarik Nalia ke pelukan. Jari mendekap adiknya erat-erat. "Semua akan baik-baik saja, Nalia. Aku di sini bersamamu...."

Jari berubah pada hari itu, Nalia menyaksikan. Menjadi lebih dewasa. Menjadi lebih bisa diandalkan. Namun hari itu, satu kekhawatiran baru muncul di hati Nalia. Nalia takut Jari akan meninggalkannya juga. Sama seperti Mama.

"Kamu nggak akan pernah sendirian, Nalia. Mama selalu bilang padaku, aku harus menjagamu. Aku akan melakukannya. Selalu. Sekarang kita makan dulu."

Jari membantu Nalia turun dari tempat tidur dan tidak mengatakan apa-apa saat Nalia membawa boneka usangnya. Tidak mengolok Nalia atau menyebut Nalia kekanakan karena masih bermain boneka seperti anak kecil.

"Papa!" Waktu itu, begitu keluar dari kamar, Nalia melihat Papa berjalan menuju tangga sambil menyeret sebuah koper besar. "Papa mau ke mana?"

Papa hanya menatap Nalia sekilas, kemudian pandangannya berpindah kepada Jari. "Kalau kamu mau ikut Papa, Jari, Papa tunggu di mobil. Lima menit. Kalau kamu tidak datang, Papa tinggal kamu di sini bersama Nalia!"

Setelah punggung Papa tidak terlihat lagi, Nalia balik badan dan memeluk kakaknya. "I love you, Jari. Bye bye."

Menggenggam Ollie erat-erat, Nalia berlari kembali ke kamarnya dan menutup pintu.

"Ollie, Jari juga pergi...." Nalia tidak tahu bagaimana caranya hidup sendiri. Tetapi Nalia harus melakukannya. Karena itu adalah hukuman setelah Nalia membunuh Mama. "Ollie, apa aku membunuh Mama? Kenapa aku membunuh Mama, Ollie? Kenapa aku nggak ingat?"

Mendengar suara mobil di luar, Nalia berlari menuju jendela kamarnya. Dari sana Nalia bisa memandang halaman depan. Hanya lampu mobil Papa yang terlihat sebentar, kemudian menghilang. Setelah itu Nalia melihat Mbak Tini, asisten rumah tangga mereka, menutup pintu pagar dan berjalan kembali ke rumah.

"Papa dan Jari pergi, Ollie.... Apa Papa dan Jari akan kembali... Apa mereka akan menjemputku nanti ... Kalau Papa sudah tidak marah lagi...."

Membunuh Mama. Membunuh Mama. Membunuh Mama. Malam itu Nalia menangis dan menggigil ketakutan. Kenapa Papa bilang Nalia membunuh Mama? Membunuh ulat di teras belakang saja Nalia tidak berani. Kata Mama itu bukan karena Nalia takut, tapi karena Nalia adalah anak yang penyayang. Mama ... Nalia sangat sayang Mama. Tidak mungkin Nalia membunuh Mama karena Mama, Papa, dan Jari adalah orang yang paling disayangi Nalia.

Sampai hari ini Nalia tidak bisa menemukan kepingan puzzle yang semestinya membuat cerita pada hari itu utuh dan bisa dipahami. Otak Nalia seperti sengaja menolak mengingat hari nahas itu. Ada bagian yang hilang. Kejadian di antara Nalia dan Mama pergi bersama dan Nalia terbangun di rumah sakit. Dulu pernah Nalia bertanya kepada Oma dan Jari, tapi jawaban mereka sama. Mama kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian. Apa peran Nalia dalam kecelakaan tersebut, apakah Nalia benar bertanggung-jawab atas terjadinya kecelakaan tersebut, hanya ada satu orang yang bisa menjawab. Tetapi orang tersebut tidak mau lagi berurusan dengan Nalia.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top