DUA

Dua sepupu Edvind, The Hakkinens, sudah punya cerita sendiri ya. Alwin Hakkinen ada di The Game of Love dan Alesha Hakkinen di A Wedding Come True. Cek di daftar karyaku untuk membacanya. Supaya kamu bisa kenal juga sama mereka. Ceritanya bagus lho XD

***

Di saat semua wanita mengumpat dan menangis karena perbuatan laki-laki brengsek itu, si wanita pilihan tersenyum dan hidup bahagia bersama laki-laki tersebut. Dia merasa hebat karena berhasil menaklukkan laki-laki brengsek dan meruntuhkan tembok tak kasat mata di sekeliling hati laki-laki berengsek yang tidak bisa ditembus wanita-wanita lain. It makes women feel like they were the ones capable of changing him. Banyak film dan buku menceritakan tentang laki-laki seperti itu dan telah menjadi cerita yang paling banyak ditonton dan dibaca.

Lantas siapa yang melabeli seorang laki-laki berengsek? Atau lady killer atau womanizer? Tentu saja wanita-wanita yang gagal menalukkan laki-laki tersebut.

Edvind pernah berharap di antara semua wanita yang pernah berkencan dengannya, akan ada seorang wanita yang bisa membuat Edvind berhenti berpetualang. Yang bisa membuat Edvind ingin menikah dan berkeluarga. Tetapi sampai hari ini tidak pernah terjadi.

"Bagaimana kalau di antara mereka ada yang tulus mencintaimu, Vind? Lalu saat kamu campakkan, dia trauma dan tidak bisa memercayai laki-laki lagi?"

Edvind mengumpat dalam hati. Tadi malam Laura. Sekarang Adam. Mungkin datang ke rumah orangtuanya pagi ini adalah pilihan yang buruk. Ibunya memang tidak ada di sini untuk memberi ceramah, tapi Adam tidak kalah hebat dalam menumbuhkan rasa bersalah di hati Edvind.

"Aku tidak mencampakkan siapa-siapa. Aku tidak menyakiti siapa-siapa. Aku dan mereka berteman. Wajar kan, aku dan teman-temanku tidak setiap hari bertemu? Mungkin kami akan setahun sekali. Mungkin tidak pernah ketemu lagi. Lebih banyak mana, teman yang sering Papa temui atau yang tidak?"

"Tapi kepada teman-teman Papa, Papa tidak dengan sengaja mengatakan bahwa Papa tidak akan pernah menemui mereka lagi. Kami tidak bertemu karena ada jarak dan kesibukan yang menghalangi." Adam mematahkan argumen Edvind. "Vind, memang kamu dan Garvin bukan darah daging Papa. Tapi Papa mencintai kalian seperti Papa mencintai Sachia dan Jameka. Papa sangat ingin melihatmu dan Garvin menjadi laki-laki yang baik. Yang memperlakukan wanita sebagaimana ia seharusnya diperlakukan. Papa ingin orangtua mereka senang memiliki kalian sebagai menantunya. Para ayah tidak khawatir memercayakan anak perempuannya kepadamu. Kamu tidak pernah minta izin kepada orangtua teman kencanmu—

"Ini bukan tahun lima puluhan lagi, Pa. Anak perempuan tidak lagi tinggal sekota dengan orangtuanya. Mereka punya hidup sendiri, punya karier, bebas menentukan dengan siapa akan berteman," potong Edvind. "Sachia dan Jameka, di Inggris sana, juga pasti berkencan tanpa sepengetahuan Papa. Tanpa lapor pada Papa."

Sachia dan Jameka, adik kembar Edvind, lahir dari pernikahan Adam dan Linda. Sedangkan Edvind dan Garvin datang dari pernikahan pertama Linda.

"Umurmu sudah berapa, Vind? Tiga puluh dua tahun? You are not getting any younger. Nanti tanpa terasa tiba-tiba kamu sudah sangat tua. Kalau kamu terus mempertahankan gaya hidup seperti ini, tidak akan ada lagi wanita baik yang mau memercayaimu. Dengan siapa kamu akan menikah kalau seperti itu?" Adam berhenti sejenak. "Sekarang belum terlambat untuk memperbaiki diri. Kamu dokter dan kalau nanti kuliahmu lancar, kamu akan menjadi ilmuwan juga ... apa namanya? Geneticist? Kamu juga tidak jelek-jelek amat—

"Hei!" Protes Edvind, tidak rela disebut jelek.

"Memang akan selalu ada wanita yang mau menikah denganmu," lanjut Adam. "Tapi mungkin saja dia mau menikah denganmu bukan karena cinta. Dia hanya ingin punya suami yang mapan. Ingin kesejahteraaan hidupnya terjamin tanpa harus bekerja keras. Melihatmu putus asa karena sudah kehilangan kesempatan mendapatkan wanita terbaik, dia akan memanfaatkan celah itu demi keuntungannya sendiri. Mau begitu? Menikah dengan seseorang yang tidak mencintaimu tapi mencintai uangmu? Lihat Papa dan ibumu, Vind. Tidakkah kamu ingin memiliki pernikahan seperti milik kami?"

"Sekarang aku masih menikmati hidup sendiri seperti ini, Pa."

"A life is long and not meant to be lived alone, Vind. Too long."

***

"Mahu?" Sambil menyedot satu lolipop, Edvind menyodorkan segenggam lainnya kepada Ema, salah seorang perawat di departemen gawat darurat. "Rasa stroberi enak."

"Kenapa Dokter bawa beginian?" Ema mengambil satu. "Bagi-bagi balon nggak cukup?"

"Mau kuberikan pada anak-anak. Seperti yang tadi. Balonnya habis. Belum beli." Edvind mengecek ponselnya. Ada pesan dari Alesha, sepupu Edvind, yang memberi tahu bahwa keluarga mereka banyak berdatangan ke ruang rawat Edna, kakak ipar Alesha. Tidak terkendali jumlahnya, menurut WhatsApp yang dikirim Alesha. Oven di bakery milik Edna meledak. Hingga siang ini, Edvind sudah menangani enam orang korban.

"Anak itu hebat. Aku berharap dia akan menjadi yang terakhir ... tapi itu nggak mungkin, kan, Dok?" Ema tersenyum sedih sebelum mereka berpisah jalan, karena Edvind akan menemui Alesha sebentar.

Anak kecil yang dimaksud Ema dibawa ke ruang gawat darurat bersama ibunya. Korban kekerasan dalam rumah tangga. Menurut penjelasan ketua RT yang mengantar, anak kecil berusia enam tahun tersebut mencari pertolongan ke rumah tetangga, meski badannya sendiri terluka. Demi menyelamatkan ibunya—sedang hamil tujuh bulan—yang tergolek berlumuran darah dan patah tulang setelah dipukuli suaminya.

Waktu melihat mereka untuk pertama kali tadi, Edvind seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Memang ayah kandung Edvind tidak sampai membuat ibu Edvind berdarah-darah dan patah tulang rusuk. Juga tidak pernah melukai Edvind. Tetapi perilaku abusif ayahnya benar-benar membuat Edvind dan ibunya terluka, jauh di dalam jiwa mereka. Edvind memohon-mohon kepada ibunya supaya meninggalkan suaminya.

Ketika menangani bocah laki-laki tadi, Edvind menempatkan diri di posisi anak itu, guna mendapatkan gambaran apa yang diperlukan—selain perawatan fisik. Sehingga dia tidak terlalu ketakutan setelah melihat ibunya terbaring di antara hidup dan mati. Karena persediaan balon miliknya habis, Edvind membuat balon darurat dari sebuah sarung tangan bedah dan menggambar wajah tersenyum di sana. Setelah berdiskusi dengan akan kecil itu, mereka sepakat menamai balon tersebut Tuan Jari. Dengan mengubah suara dan berpura-pura menjadi Tuan Jari, Edvind bercakap dengan anak tersebut.

***

Jika kamu menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, kamu bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku. Harga mulai Rp 35.000.

Tersedia di: Toko buku kesayanganmu di seluruh Indonesia, Shopee/Tokopedia Ika Vihara, WhatsApp 0895603879876, Instagram ikavihara

E-book tersedia di Gramedia Digital dan Google Playstore. Gunakan kode VIHARA10 untuk membaca ceritaku melalui Gramedia Digital dan dapatkan diskon 10% :-)

Atau WhatsApp aku di 0895603879876 juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.

Terima kasih kamu telah menjadi pembaca bermartabat dengan tidak membeli atau mengunduh buku/e-book bajakan. Sebab untuk riset dan banyak keperluan penulisan cerita, aku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya dari hasil penjualan buku atau e-book original aku bisa menyediakan cerita lain yang bisa dibaca gratis.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top