DELAPAN BELAS
Ini menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadaku sejak aku mengunggah bab sebelumnya :-)
1. Edna menjadi tokoh utama dalam cerita The Game of Love, sedangkan Alesha adalah tokoh utama wanita dalam A Wedding Come True. Silakan cek di daftar bacaan atau daftar karyaku di Wattpad untuk membacanya.
2. Gimana dengan Renae? Sambil cerita berjalan nanti, kamu akan tahu hubungan kekerabatan di antara Edna, Alesha, dan Renae. Suatu hari nanti dia juga akan menjadi tokoh utama novelku, kalau aku bisa menulisnya :-D
3. Apakah novel-novelku bisa dibaca secara acak? Jawabannya bisa. Tidak ada urutan, karena aku memang tidak pernah menulis sequel. Silakan baca yang mana saja dulu.
4. Beberapa novelku yang diterbitkan oleh Elex Media bisa kamu baca melalui aplikasi iPusnas. Daripada mendownload atau membeli PDF, ipusnas adalah pilihan yang jauh lebih baik. Kamu bukan membaca gratis, melainkan membaca dibayari oleh negara. Aku tetap memperoleh pendapatan yang menjadi hakku sebagai penulis. Pendapatan ini amat berarti untuk membiayai penulisan cerita selanjutnya.
***
Setelah memberi waktu kepada teman-temannya untuk berpikir, Nalia menagih jawaban. "Alesha?"
"Bergantung. Kalau aku nggak jijik ciuman dengannya, aku akan menikah dengannya."
Nalia mendengus mendengar jawaban Alesha. "Mana ada orang waras yang memilih suami berdasarkan jijik atau nggak jijik ciuman?"
"Hei, itu benar tahu!" Alesha mempertahankan jawabannya. "Carilah suami yang kamu nggak merasa jijik saat ciuman sama dia. Bayangkan, kalau ciuman saja kamu jijik, gimana mau mengizinkan dia menyentuh-nyentuh bagian tubuhmu yang paling pribadi? Mengizinkannya menciummu di sana? Tanya Enya dan Renae. Kalian nggak merasa jijik kan waktu ciuman sama calon suami kalian dulu?" Bukan Alesha namanya kalau tidak berusaha membuktikan hipotesis yang dibuatnya.
"Kakakmu menciumku pertama kali waktu kami sudah beres akad nikah. Dan ciumannya nggak selesai gara-gara kamu mengganggu. Apa kalian tahu?" Pertanyaan ini ditujukan kepada Nalia dan Renae. Alesha tidak termasuk. "Alesha ini nggak tahu diri. Waktu aku bulan madu, dia nelepon, nggak penting banget. Padahal waktu itu aku dan Alwin mau bercinta di sini. Aku sudah pakai bikini yang seksi banget, tapi Alesha—"
Alesha meloncat dari kursi yang dia duduki. Seolah benda tersebut tiba-tiba berubah menjadi tumpukan bara. "Ya ampun, Nya, aku nggak akan bisa duduk di sini lagi, karena membayangkan kamu dan kakakku ... uh...."
"Terus kamu mau duduk di mana?" sahut Edna santai. "Aku dan Alwin melakukannya di seluruh permukaan di rumah ini."
Nalia dan Renae tertawa melihat Alesha menutup telinga dengan kedua tangan. Hubungan Edna dan Alesha memang tidak biasa. Edna menikah dengan Alwin, kakak kandung Alesha. Hampir setiap bersama Alesha, Edna sengaja menggoda Alesha. Dengan membocorkan kehidupan seksualnya yang sangat aktif kepada iparnya. Karena Edna tahu Alesha masih tidak mau percaya kakak dan sahabatnya tidak lama lagi akan punya anak bersama. Salah. Alesha senang menyambut keponakan barunya, tapi Alesha berusaha mengingkari proses alami terjadinya bayi. Membayangkan kakak dan sahabatnya melakukan sesuatu lebih dari sekadar berciuman membuat Alesha bergidik ngeri.
"Jadi kamu sudah ciuman sama pacar barumu?" tanya Renae.
"Pacar baru apa? Dia cuma Edvind!" cetus Nalia tanpa sadar.
"Edvind?!" Jus jeruk menyembur keluar dari mulut Edna. Hampir saja gelas di tangan Edna terjatuh, kalau Nalia tidak sigap meraihnya. "Edvind menciummu?! Alesha! Ini salahmu! Sudah kubilang jangan ngenalin mereka berdua!"
"Kalau mereka berjodoh, nggak kukenalkan pun mereka bakal ketemu. Aku ini cuma perantara." Alesha tidak mau disalahkan. "Lagian nggak sopan kalau ada Nalia dan Edvind di depanku, tapi aku nggak mengenalkan mereka berdua."
"Sudah, sudah." Renae selalu bisa diandalkan untuk mengendalikan suasana. "Kenapa kalian susah percaya Edvind adalah manusia biasa, sama dengan kita semua? Dia bisa jatuh cinta ketika bertemu wanita yang tepat. Nalia, kalau kamu mencintainya juga, terima saja cinta Edvind. Dia laki-laki yang baik."
"Lalu putusin dua minggu kemudian!" sahut Alesha berapi-api. "Biar dia tahu rasa! Begitu, kan, caranya Edvind memperlakukan para wanita?"
"Aku nggak mencintainya!" Berapa kali Nalia harus mengatakan ini? Untuk meyakinkan diri sendiri, lebih dari seratus kali dalam sehari. "Yang aku minta dari kalian adalah saran, supaya aku tetap bisa ketemu Edvind seminggu sekali ... karena aku sudah berkomitmen mau membantu anak-anak ... tapi Edvind nggak menciumku lagi, nggak menyatakan cinta lagi."
"Cinta, huh?" Edna tidak bisa percaya Edvind bisa jatuh cinta. "Edvind laki-laki yang baik. Kalau kita mengabaikan rekam jejaknya dalam mematahkan hati wanita. Tapi kurasa dia bukan laki-laki yang tepat untukmu. Lebih baik kamu menikah sama laki-laki yang nggak kamu cintai, seperti Astra. Daripada sama laki-laki yang kamu cintai, tapi punya sejarah kurang baik, seperti Edvind. Pernikahan tanpa cinta itu bisa berjalan tahu. Lihat aku sama Alwin."
Mendengar kalimat terakhir Edna, Renae mendengus keras sekali. "Tanpa cinta? Panasnya cinta di antara kamu dan Alwin bisa membakar tiga kecamatan, Nya. Semua orang yang duduk di dekat kalian kegerahan. Cuma ya begitu, cinta itu. Semua orang bisa melihat cinta itu ada, tapi dua orang yang jatuh cinta mengingkari keberadaannya."
"Dia nggak pernah bilang dia mencintaiku. Satu kali pun nggak pernah, padahal aku sudah pernah bilang cinta sama dia," gerutu Edna.
"Hanya karena nggak pernah disampaikan, bukan berarti cinta itu nggak ada," kata Renae. "Perhatikan saja sikap suamimu, Nya, semua pasti menunjukkan kalau dia mencintaimu. Dengar, kalian bertiga, Edvind memang punya masa lalu seperti yang kita ketahui bersama. Tapi itu kata kuncinya. Masa lalu. Hari ini dan seterusnya, Edvind bisa berubah. Menjadi orang yang lebih baik. Kalian adalah orang-orang terdekatnya. Semestinya mendukung Edvind memperbaiki hidupnya, bukan terus meragukan."
"Kalau kamu perlu teman bicara, bicara padaku saja, Nalia. Karena aku netral." Alesha memasukkan macaroon ke mulutnya, kemudian melanjutkan bicara setelah mengunyah. "Enya dan Re sudah menikah, pasti mereka menyarankanmu buat menikah juga. Cinta atau nggak cinta."
"Aku menerima lamaran Astra karena waktu itu Oma sakit. Kalian tahu sendiri...." Hampir kehilangan Oma ... well, Nalia tidak mau lagi itu terjadi. "Oma selalu bilang, sebelum Oma meninggal, Oma mau cucu-cucunya sudah menikah. Jadi Oma nggak khawatir meninggalkan kami sendirian. Lalu Astra melamar dan aku menerima. Dia pilihan yang aman, karena kami nggak saling mencintai." Dengan begitu Nalia tidak akan mengulang kesalahan yang dilakukan kedua orangtuanya.
Karena ketiga temannya tidak mengatakan apa-apa, Nalia melanjutkan. "Belakangan Oma melihatku nggak bahagia, stres karena ribut terus sama Astra, dan Oma bilang ... ya memang Oma ingin aku menikah, tapi menurut Oma sebaiknya aku menikah dengan orang yang kucintai. Yang mencintaiku. But I don't do love." Keinginan Oma yang telah direvisi jauh lebih sulit untuk diwujudkan. Nalia bisa menikah dengan siapa pun yang melamarnya, demi memenuhi keinginan Oma. Tetapi jatuh cinta? Orang yang tidak percaya lagi pada cinta, tidak akan bisa.
"Kita menetapkan harapan berdasarkan pengalaman di masa lalu dan sejarah hidup kita." Tidak sia-sia Alesha memiliki dua gelar doktor di bidang kesehatan mental. Karena dalam waktu singkat bisa menarik kesimpulan dari keseluruhan kisah hidup Nalia. "Sejarah masa lalu Nalia mengatakan jangan berharap banyak pada laki-laki, jangan memberikan hati dan cinta kepada laki-laki. Pengalaman Nalia mengenai cinta nggak pernah menyenangkan."
Setelah Nalia mengangguk, Alesha meneruskan. "Menurut Nalia, yang menganggap Astra adalah pilihan yang aman karena Nalia nggak mencintainya, kalau pernikahan mereka harus berakhir demi sebab apa pun, nggak akan ada rasa sakit. Nggak akan ada penyesalan. Nggak ada yang dirugikan. Kecuali ada anak-anak, mereka bisa menjadi korban.
"Wanita punya hak untuk menentukan mau menikah atau tidak. Mau punya anak atau tidak. Apa pun keputusan mereka, orang lain nggak perlu meributkan. Tapi, Nalia, kukira masalah yang kamu hadapi nggak sesederhana itu. Nggak sekadar ingin atau nggak ingin. Kamu menyukai anak-anak, kamu ingin .... akan menjadi ibu yang hebat. Kalau nggak, kamu pasti nggak memilih menjadi guru untuk anak-anak kecil. Apa kamu pernah dengar abandonment issue?"
Nalia menggali ingatannya sebentar. "Belum."
"Hari ini aku bukan bicara sebagai ahli kesehatan mental, karena aku belum melakukan assessment secara menyeluruh, secara resmi. Tapi sebagai teman yang tahu cukup banyak tentang dirimu, aku tahu ada abandonment issue dalam dirimu. Yang berkecambah ketika ayahmu pergi. Lalu terus berkembang, membesar hingga hari ini.
"Kalau kamu mau, aku bisa membantumu keluar dari abandonment issue itu. Datanglah ke rumah sakitku. Nanti kalau aku sudah mulai kerja di sana. Kita mulai proses dari sana. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Jadi suatu hari nanti kamu akan bisa mencintai dan memercayai laki-laki. Kamu akan bisa menjalin hubungan jangka panjang yang sehat, yang menyenangkan, dan yang membuatmu bahagia. Bahkan kamu akan siap menikah, kalau kamu ingin. Soal Edvind, kalau memang dia laki-laki baik seperti yang dikatakan Renae, dan dia benar mencintaimu, dia akan menunggumu sampai kamu siap."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top