DELAPAN

Nalia tertawa. Tanpa bisa dicegah, Edvind kembali mengarahkan perhatian ke bawah pohon dan ikut tersenyum melihat Nalia kini berdiri bersama anak-anak membentuk lingkaran. Belum pernah sekali pun Edvind membawa teman wanita ke sini. Jangankan mengajak, baru menyampaikan setiap akhir pekan Edvind mengunjungi pemukiman kumuh di dekat tempat pembuangan sampah akhir, Laura—dan wanita-wanita sebelumnya—mengernyit jijik. Lalu bertanya kenapa Edvind mau repot-repot mengurusi orang miskin. Begitu tahu Edvind tidak mendapatkan bayaran—bahkan harus mengeluarkan biaya dari kantong pribadi—para wanita tersebut menyuruh Edvind berhenti melakukan kegiatan yang tidak menguntungkan seperti itu.

Ini kali keempat Edvind dan Nalia berkegiatan bersama di akhir pekan. Edvind memeriksa kesehatan anak-anak, yang khusus pada hari kunjungan Edvind, diizinkan tidak ikut mengorek sampah. Sementara itu Nalia mengajar. Nalia mengelompokkan anak-anak berdasarkan kemajuan belajar mereka. Yang belum bica baca tulis duduk dalam satu grup. Yang sudah bisa membaca tapi tidak lancar dipisahkan. Yang sudah lancar membaca diminta untuk memilih sebuah buku, membacanya, lalu mereka akan duduk bersama dan saling menceritakan isi bacaan. Ada dua remaja yang tinggal di sini. Keduanya kelas sebelas dan masih sekolah hingga sekarang. Masing-masing membantu Nalia dan Edvind. Beni, yang membantu Edvind mengukur tinggi dan menimbang badan hari ini, jelas jatuh cinta kepada Nalia dan tidak pernah bisa menjawab pertanyaan sederhana dari Nalia tanpa muka memerah dan suara tergagap.

"Apa Kak Nali istrinya Dokter?" Rita, yang duduk di depan Edvind, bertanya.

"Bukan." Edvind menggunting beberapa helai rambut Rita, tepat di bagian koreng berada.

"Kenapa Dokter nggak menikah sama Kak Nali? Kak Nali baik dan cantik. Seperti bintang film." Kepada semua anak-anak Nalia meminta untuk dipanggil Kak Nali, bukan Ibu Guru Nali.

Kenapa? Karena takdir tega sekali, mempertemukan Edvind dengan Nalia saat Nalia sudah menerima lamaran orang lain. "Karena Dokter belum lama kenal sama Kak Nali. Sebelum menikah dengan seseorang, kita harus berteman dulu dengannya. Supaya lebih kenal. Misalnya, Kak Nali marah-marah tidak kalau Dokter datang ke sini menemui kalian."

Edvind menertawakan dirinya sendiri di dalam hati. Betapa mudah hidup di dalam angan. Berpura-pura Nalia dan siapa pun itu hanya pacaran dan ada kemungkinan putus hubungan, lalu Edvind punya kesempatan mendapatkan Nalia. Tetapi Nalia sudah bertunangan. Tidak akan ada wanita yang rela membatalkan persiapan pernikahan dengan seseorang yang sudah dipacari bertahun-tahun, hanya demi laki-laki yang menghabiskan waktu bersamanya seminggu sekali. Walaupun, kalau diingat-ingat, ketika Edvind bertanya kapan tepatnya Nalia akan menikah, Nalia tidak pernah menjawab dengan jelas.

Yang membuat Edvind semakin kesal adalah, ada perasaan tidak rela yang muncul setiap Edvind membayangkan apa saja yang dilakukan Nalia bersama calon suaminya. Apakah mereka berciuman, apakah mereka bercinta ... Hell, Edvind menggelengkan kepala mengusir bayangan tidak menyenangkan itu. Edvind tidak tahu kapan dan bagaimana awal mula dia terganggu dengan semua itu. Kalau saja ada orang yang tahu betapa menyedihkannya isi kepala Edvind setiap kali memikirkan Nalia, mereka pasti tertawa. Lebih-lebih para wanita yang menjadi bagian dari sejarah masa lalu Edvind.

Apa yang dilakukan Nalia bersama tunangannya bukan urusan Edvind. Kenapa Edvind menyiksa diri dengan melamunkan seperti apa erangan puas Nalia setelah berciuman dengan tunangannya. Semua itu hanya akan membuat Edvind semakin gila.

"Lebih enak belajar sama Kak Nali daripada sama Dokter."

"Karena memang dia guru. Yang hebat." Setiap kali menjelaskan sesuatu kepada anak-anak, Nalia mengubah kecepatan bicaranya. Semakin lambat. Juga Nalia memberi jeda setelah selesai mengucapkan satu kalimat. Seperti sengaja memberi kesempatan pada anak-anak untuk mencerna. Nalia tidak pernah buru-buru. Selalu sabar. Kalau ada anak yang tidak mengerti, Nalia mengulangi penjelasan dengan kalimat yang lebih sederhana.

Edvind ingin mengadopsi cara Nalia memberi instruksi. Satu per satu. Bertahap. Ambil kertas satu. Setelah anak-anak menyelesaikan, Nalia memberi perintah selanjutnya. Tulis namamu di bagian atas. Nalia menunggu anak-anak siap menerima perintah selanjutnya, baru berbicara. Gambarlah sebuah benda yang paling kamu sukai. Begitu seterusnya. Tidak ada anak yang bingung. Semua berjalan dengan tertib.

Pada minggu pertama Nalia bergabung dengan Edvind, Edvind terkejut melihat Nalia menurunkan tiga kardus besar dari taksi. Bukan Edvind tidak menawarkan diri untuk menjemput Nalia. Walaupun tahu Nalia punya calon suami dan keluarga Nalia pasti tidak setuju anaknya pergi dijemput laki-laki lain, Edvind tetap mengusulkan mereka berangkat bersama. Plus, Edvind ingin tahu di mana seorang bidadari tinggal. Iya, Nalia menolak dan memilih berangkat sendiri.

Kardus yang dibawa Nalia berisi berbagai macam buku cerita, alat tulis, lembar latihan, dan berbagai macam permainan papan. Saat Edvind akan mengganti uang yang dikeluarkan Nalia untuk menyiapkan itu semua, Nalia melambaikan tangan dan mengatakan ada donatur. Semoga saja donatur yang dimaksud bukan calon suami Nalia.

Memang ini terdengar menggelikan, tapi bagi Edvind, setengah hari pada akhir pekan—pagi atau sore, Sabtu atau Minggu, tergantung jadwal kerja Edvind—yang dilalui bersama Nalia sangatlah berharga. Kerinduan Edvind, yang terakumulasi selama seminggu, terobati pada hari seperti ini. Hari di mana dia bisa mendengar suara tawa Nalia, bicara dengan Nalia, memandang senyum hangat di wajah cantiknya. Kebersama mereka yang sangat berharga itu, kalau bisa, tidak boleh dinodai oleh keberadaan laki-laki lain. Baik secara langsung maupun tidak langsung.

"Nanti aku mau jadi guru juga seperti Kak Nali."

"Belajar sungguh-sungguh, Rita. Kamu masih menari di sekolah?" Edvind tahu Rita sangat menyukai tari tradisional dan beruntung sekolahnya punya program ekstrakurikuler yang bagus.

Rita mengangguk semangat. "Hari Sabtu nanti aku menari di gedung negara. Lomba. Ada hadiahnya. Uang dan sertifikat. Disiarkan juga di TVRI."

"Kalau begitu setiap pagi dan sore kamu harus mengoles salep ke luka di kepalamu, Rita. Yang rajin, jadi nanti sebelum hari Sabtu nanti sudah kering. Pasti tidak enak kan menari dengan kepala gatal?" Selain kepada Rita, Edvind juga memberikan salep kepada anak-anak lain yang panuan. "Kamu tahu, Rita, sama seperti Kak Beni yang bisa terus sekolah karena dia jago berlari, kamu nanti juga bisa terus sekolah, sampai kuliah karena kamu suka menari."

Edvind mengirim Rita bergabung dengan anak-anak lain. Ada lima belas anak yang tinggal di sini, di tempat yang tidak layak ditinggali. Bagusnya, tidak semua menyerah pada kemiskinan. Orangtua Beni misalnya. Setelah Edvind belasan kali bicara dengan mereka, menjelaskan bahwa masa depan Beni cerah asal terus sekolah, dan nanti akan membawa mereka keluar dari sini, ayah Beni bersedia berhenti merokok. Bagaimana mereka akan punya cukup uang untuk biaya hidup, kalau hampir semua pendapatan habis untuk membeli rokok. Dulu Beni dan keluarganya hanya makan sekali atau dua kali sehari. Namun setelah tidak ada pengeluaran untuk rokok, mereka bisa makan tiga kali dan punya uang untuk membelikan Beni buku-buku.

"Apa ini?" Edvind selesai mengemasi peralatannya, ikut duduk bersama semua anak yang asyik melukis dan menerima selembar kertas dari Nalia.

"Itu kertas gambar, Dok. Belum pernah lihat? Kalau yang itu krayon." Di pangkuan Nalia duduk seorang anak perempuan berusia dua tahun.

"Aku tahu ini apa, Nalia. Ini untuk apa?"

"Menggambar?"

"Aku tidak bisa."

"Kalau anak umur tiga tahun saja bisa, masa yang tiga puluh lima nggak bisa?"

"Umurku tiga puluh dua!" tukas Edvind.

"Sama saja. Tua." Nalia menjulurkan lidah. Tidak jauh beda tingkahnya dengan Rita.

"Mana punyamu?" Edvind mengambil krayon dari kaleng di depannya.

"Guru nggak menggambar, tapi mengawasi."

"Dokter juga tidak menggambar," gumam Edvind, kemudian menggoreskan warna merah.

"Apa kamu ngomong sesuatu?" Nalia menyipitkan mata curiga.

"Aku bicara pada diriku sendiri."

"Kamu sering melakukan itu? Nggak ada orang yang mau bicara denganmu ya, jadi—

"Kalau kamu terus mengganggu konsentrasiku, aku tidak akan bisa membuat lukisan yang laku kujual. Aku perlu uang untuk membayar cicilan rumah." Padahal Nalia diam juga Edvind tidak bisa konsentrasi. Wangi kelapa bercampur bunga tidak-tahu-namanya-apa yang menguar dari tubuh Nalia—yang kini mengintip-ngintip kertas gambar Edvind, ingin tahu Edvind menggambar apa—memabukkan.

***

Jika kamu menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, kamu bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku. Harga mulai Rp 35.000. Atau membacanya di aplikasi perpustakaan nasional iPusnas--gratis.

Tersedia di: Toko buku kesayanganmu di seluruh Indonesia, Shopee/Tokopedia Ika Vihara, WhatsApp 0895603879876, Instagram ikavihara

E-book tersedia di Gramedia Digital--Rp 89.000 dan kamu bisa membaca buku sebanyak yang kamu mau--dan Google Playstore.

Atau WhatsApp aku di 0895603879876. Juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.

Terima kasih kamu telah menjadi pembaca bermartabat dengan tidak membeli atau mengunduh buku/e-book bajakan. Sebab untuk riset dan banyak keperluan penulisan cerita, aku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya dari hasil penjualan buku atau e-book original aku bisa menyediakan cerita lain yang bisa dibaca gratis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top