The Other Mother
[Terinspirasi dari peristiwa nyata]
Orang-orang bilang, belakangan wajahku tampak lebih berseri-seri. Menurut mereka, penyebabnya adalah apa yang saat ini sedang tumbuh di dalam perutku.
Bu Sekar adalah orang terbaru yang bilang begitu. Dia melihatku terakhir kali tiga bulan lalu. Dia hanya datang ke rumah anaknya Bimo sesekali, yang tinggal tepat di seberang rumahku.
"Elsa, sepertinya kamu udah ngisi, ya?"
Wanita itu menyapaku di suatu pagi, saat sedang menyapu halaman rumahnya. Rupanya dia sedang mampir lagi ke rumah Bimo.
Sebagai wanita yang sudah tujuh kali melahirkan, aku tidak heran kalau Bu Sekar pasti segera menyadarinya. Aku mengangguk padanya. "Iya, Bu. Udah empat bulan."
"Wah, selamat ya!" Senyumnya merekah. "Perempuan, ya?"
Sebelum sempat kutanya dari mana Bu Sekar berhasil menebak, wanita itu langsung nyerocos. "Soalnya kelihatan dari aura kamu." Dia keluar dari halaman rumah Bimo lalu mengelus perutku dengan lembut. "Kamu lebih bercahaya. Berarti lahirannya sekitar... Desember, ya?"
Balas kuusap punggung tangannya sebagai ucapan terima kasih. "Iya. Desember awal, Bu."
Anehnya, senyum Bu Sekar menyurut. "Kamu mau melahirkan di mana?"
"Di dekat rumah yang baru nanti, biar nggak repot."
Tatapan Bu Sekar beralih pada sesuatu di belakangku. Aku ikut menoleh. Tidak ada apa-apa di sana selain rumahku. Sadar karena aku mengikutinya, Bu Sekar meremas lenganku lagi.
"Elsa, bukannya Ibu mau menakut-nakuti kamu atau apa..."
Nada suaranya serius, begitu juga ekspresi wajahnya. Aku jadi heran melihat perubahan sikap Bu Sekar yang drastis ini. "Memangnya ada apa, Bu?"
"Ibu mohon, sebaiknya kamu jangan pindah dulu."
"Bu Sekar sudah tahu saya mau pindah?"
"Ya. Bimo sudah cerita ke Ibu. Katanya kamu sama Johan mau pindah dua bulan lagi, kan?" Bu Sekar menarikku dengan lembut ke teras rumah anaknya. "Rumah baru yang kamu tempati itu... aduh, gimana Ibu bilangnya, ya... Ada sesuatu..."
Aku sudah mendengar desas-desus yang santer beredar soal Bu Sekar. Banyak yang menyebutnya "orang pintar", karena dianggap mempunyai kemampuan paranormal. Setiap kali dia mampir ke sini, selalu ada yang bertamu ke rumah Bimo untuk meminta "nasihat" dari Bu Sekar. Dan dari cerita-cerita yang kudengar, tampaknya petuah dari Bu Sekar cukup tokcer.
Tapi sekarang abad dua puluh satu. Aku tidak percaya pada hal-hal mistis seperti itu.
Aku berusaha menatap langsung mata Bu Sekar, sekedar ingin tahu saja. Namun wanita itu berkelit. "Memangnya apa di rumah baru saya, Bu?"
"Ibu melihat sesuatu... mungkin ini keliru. Rumah baru kamu itu... sebaiknya jangan ada anak perempuan yang tinggal di situ."
Aku ingin bertanya bagaimana Bu Sekar tahu soal itu, tetapi khawatir dia akan tersinggung.
"Bu Sekar, kalau ada sesuatu yang kurang bagus tentang rumah itu... nggak apa-apa, bilang aja. Saya justru kepengin tahu."
"Pokoknya jangan sampai ada anak perempuan yang tinggal di rumah itu. Baik yang masih kecil maupun yang masih perawan," kata Bu Sekar dengan nada final. Dia menatapku lekat-lekat, sorot matanya tampak bersungguh-sungguh. "Saya tahu ini kedengaran mengada-ada—kamu sama Johan mungkin nggak akan percaya... tapi saya mohon, kalau kamu mau bayi kamu tetap hidup, kalian jangan pindah ke rumah itu! Ada malapetaka yang menunggu bayi kalian di sana."
...
"Darni, tolong ambilin handuk lagi, ya."
"Iya, Nyah..." sahut Darni dari lantai bawah.
Dengan hati-hati, kuangkat sosok mungil itu dari bak mandi. Grace tertawa, matanya yang besar seperti mata Johan tampak berbinar-binar. Kupikir Grace akan kaget karena teriakanku, tetapi sepertinya dia sudah terbiasa. Rumah ini dua kali lebih besar dari rumah kami yang lama, sehingga mustahil bisa memanggil orang di ruangan lain tanpa mengeraskan suara.
Kubungkus Grace dengan handuk lalu kubawa ke tempat tidur. Putriku itu bergumam-gumam kegirangan, dan aku jadi ikut gembira melihat tingkahnya yang menggemaskan.
Darni masuk ke kamar sambil membawakan setumpuk handuk baru. Darni adalah asisten rumah tangga pertamaku. Usianya baru delapan belas tahun, asal dari Indramayu.
Kuucapkan terima kasih pada asisten rumah tangga itu. Bersama-sama, kami merapikan Grace; melumuri tubuhnya yang gempal dengan minyak telon, memakaikannya baju, lalu menyisiri rambutnya yang lebat untuk ukuran bayi berusia delapan bulan. Setelah selesai, Darni pergi membereskan kamar mandi yang agak berantakan. Aku duduk di dekat jendela teras, bersiap-siap untuk menyusui.
"Pisang sepatu yang dikasih Bu Sulis tadi pagi lagi saya siapin buat digoreng," kata Darni setelah selesai dari kamar mandi, "buat teman minum sore. Saya lanjutin dulu ya, Nyah."
Aku beruntung sekali mendapatkan gadis muda yang baik, cekatan dan penuh semangat seperti Darni.
"Oh iya. Jangan lupa pisahin buat Johan, ya."
"Baik, Nyah."
Darni kembali ke dapur. Aku melanjutkan menyusui. Grace menempel di dadaku seperti buntalan kecil yang hangat, mulutnya yang mungil sibuk mengisap ASI. Pasti tidak lama lagi dia akan terlelap karena sudah kenyang.
Sambil menunggu, aku mengalihkan tatapan ke luar. Mobil Johan belum tampak di jalan, sepertinya dia agak terlambat pulang hari ini. Rumah baru ini terletak di sebuah bukit kecil yang menghadap desa, sehingga aku bisa melihat apa saja yang lewat di jalan utamanya. Lagipula desa ini kecil, sehingga tidak banyak mobil yang lalu-lalang.
Meski tempat ini berbeda drastis dengan ibukota tempat kami tinggal sebelumnya, aku menikmati hidup di tempat ini.
Aku tidak menuruti nasihat Bu Sekar, karena sudah kepalang tanggung. Johan sudah menerima tawaran posisi manajer di perusahaan agribisnis tempatnya bekerja. Salah satu syarat pekerjaan itu adalah kami harus pindah ke desa ini. Gajinya memang jauh lebih tinggi, sehingga aku tidak perlu bekerja lagi. Selain itu kami juga akan dipinjami rumah tinggal dan mobil, dan diberikan asisten rumah tangga. Lagipula tawaran itu datang di saat yang tepat; aku sedang mempertimbangkan untuk berhenti mengajar sebagai guru demi merawat anakku nanti. Kami menunggu empat tahun untuk kedatangan Grace—dia betul-betul anugrah untuk kami, makanya kami menamainya Grace—sehingga aku ingin mengurusnya sebaik-baiknya.
Sebulan sebelum Grace lahir, kami sudah pindah ke rumah baru ini. Proses kelahiran Grace dibantu oleh bidan desa, dan berjalan mulus. Delapan bulan berlalu sejak Grace lahir, dan tidak terjadi apa-apa. Hidup kami di rumah baru ini aman-aman saja.
Aku sendiri tak pernah menyebut-nyebut tentang peringatan Bu Sekar pada Johan. Namun hal itu sudah tidak penting lagi sekarang, toh kami sudah bisa menikmati hidup di desa ini.
Sepertinya aku duduk terpekur cukup lama, karena begitu tersadar, kulihat Grace sudah pulas. Aku bangkit berdiri dari kursi malas untuk meletakkan Grace di ayunan. Kulihat koridor di luar kamar tampak gelap. Sekarang sudah Maghrib. Kenapa Darni belum menyalakan lampu?
"Darni?"
Aku menunggu. Tidak ada jawaban apa-apa.
"Darni, tolong nyalain lampunya, ya."
Masih tidak digubris. Ke mana asisten rumah tangga itu?
Terpaksa kugendong kembali Grace, lalu turun ke lantai dasar. Aku tidak mau meninggalkannya, meski di dalam ayunan.
Di bawah, seluruh rumah gelap gulita, belum ada satu pun lampu yang dinyalakan. Sambil berjalan menuju dapur, aku memencet setiap saklar yang kulewati.
Begitu tiba di dapur, aroma minyak yang hangus memenuhi udara. Asap pekat mengepul dari penggorengan di atas kompor, pisang di dalamnya sudah hitam gosong. Langsung kumatikan kompor itu. Grace terbangun dan terbatuk karena asap yang pengap. Dia menangis. Kutenangkan dia sambil kutepuk-tepuk pahanya.
"Darni? DARNI?"
Kubuka pintu yang tembus ke teras belakang supaya udara segar bisa mengalir masuk. Di luar gelap gulita. Kunyalakan lampunya. Grace masih menangis dengan keras.
"Darni?"
Aku nyaris melompat kaget. Gadis itu sedang berdiri di dekat sumur, membelakangiku. Kudekati dia dan kusentuh pundaknya. Dia tidak bergeming. Tubuhnya kaku, seperti kayu.
"Darni?" Kenapa dia tidak merespon? "Gorengannya hangus—"
Aku maju untuk menatapnya. Mata Darni membeliak lebar-lebar, tetapi pupil matanya yang hitam telah terbalik ke belakang, menyisakan warna putih yang kosong.
...
Grace mengangkat kedua kakinya yang gemuk, seperti mau menendang. Bu Kuncoromenggelitiki telapak kakinya lagi. Grace terbahak-bahak
Johan yang sedang bicara dengan beberapa laki-laki, berhenti dan menatap Grace. Dia tersenyum. Para tamu lainnya juga tergoda dengan gelak tawa Grace. Para wanita berkumpul di sekitarku, ikut menggoda Grace dengan membuat suara-suara lucu atau bertepuk tangan.
Kulihat Darni sedang berkeliling sambil mengumpulkan gelas dan piring kotor. Sesekali dia menoleh pada kami ketika Grace tertawa, dan ikut tertawa. Panen baru saja selesai dan berjalan dengan sukses. Johan mengadakan syukuran dan mengundang para warga untuk ikut makan malam bersama.
Sejak kejadian di sumur itu, aku memintanya untuk tidak jauh-jauh dariku. Kami masih belum tahu apa yang terjadi padanya hari itu—Johan bilang mungkin Darni kelelahan, tapi aku kurang yakin. Tapi aku tidak berani mengungkapkan pendapatku, takut dikira mengada-ada.
Malam itu Johan terpaksa menggotong Darni ke kamarnya bersama Pak Kuncoro, sopirnya. Darni tetap mematung selama hampir setengah jam, sampai-sampai Pak Kuncoro harus menusuk jempol Darni dengan garpu. Setelah ditusuk begitu, barulah Darni tersentak. Kesadarannya kembali, tapi sekonyong-konyong dia langsung lemas. Dan dalam sekejap, dia jatuh tertidur.
Keesokan harinya ketika kutanya, Darni mengaku dia tidak ingat apa-apa soal kejadian itu. Aneh sekali. Dia hanya ingat pergi ke sumur untuk mengambil air. Mendengar itu aku jadi agak ketakutan, tapi lagi-lagi terpaksa kupendam sendiri karena aku tidak mau Darni takut juga. Jadi aku hanya mengulangi kata-kata Johan; kubilang pada Darni bahwa sore itu dia pingsan di dekat sumur—pasti karena kecapekan. Darni hanya termangu mendengar penjelasanku, tetapi dia sendiri juga tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi padanya.
Grace menggeliat dalam pelukanku. Dia mulai risau. Popoknya basah.
"Darni, tolong ambilin popok baru dan baju ganti di kamar, ya."
Gadis itu mengangguk dan pergi ke lantai dua. Aku dan para wanita berusaha membujuk Grace dengan mainan-mainan. Grace tidak mau diam. Dia meronta-ronta, seperti ingin keluar dari pelukanku. Aku belum pernah melihat putriku bertingkah seheboh ini. Bu Kuncoro mengambil boneka pemberian Johan dan menggoyang-goyangkannya di depan Grace. Itu boneka jenis baru yang bisa mengeluarkan suara tangisan kalau botol susu mainannya dicabut. Grace tidak mengacuhkan boneka itu. Dia memang anak yang cepat merasa tidak nyaman.
Tiba-tiba, aku dicekam perasaan tidak enak.
"Kenapa, Elsa?" tanya Bu Kuncoro yang agaknya menangkap firasatku itu. Dia melirik lenganku yang merinding. "Kamu baik-baik saja?"
Aku tidak bisa menjelaskan penyebab perasaan aneh ini. Entah bagaimana caranya, aku yakin akan terjadi sesuatu pada Darni. "Anu... Bu Kuncoro..."
"Kamu sakit, Elsa?"
Bukan, aku baik-baik saja. Tapi firasatku memaksa untuk naik ke kamar sekarang juga. "Pa..." kupanggil Johan. "Pa, tolong cek Darni di kamar, ya."
Tatapanku dan Johan bertemu. Suamiku itu mengangguk dan pergi ke lantai dua.
BRAAAK.
Sesuatu jatuh menghantam teras dengan bunyi gedebuk keras. Beberapa wanita memekik kaget. Ada sesuatu yang meluncur turun dari rantai dua. Grace menjerit sekeras-kerasnya.
Johan berbalik arah dan berlari ke teras depan. Aku berdiri untuk melihat apa yang jatuh.
Darni tergeletak di lantai batu teras, darahnya membanjir. Tangan dan kakinya terpuntir dalam posisi aneh. Matanya mendelik ke atas, hanya menyisakan warna putih.
Asisten rumah tangga itu tidak bergerak lagi.
...
Secara resmi polisi mencatat bahwa Darni meninggal karena bunuh diri. Para tamu yang hadir di acara makan malam tempo hari menyaksikan tubuhnya melayang jatuh lewat jendela. Namun aku tahu persis gadis itu tidak akan pernah melakukannya. Darni tidak akan melemparkan dirinya sendiri dari balkon kamarku, aku berani bertaruh soal itu.
Peristiwa kematiannya jadi bahan bisik-bisik di desa. Banyak warga yang yakin Darni kerasukan—tubuhnya yang kaku seperti kayu dan matanya yang berubah putih menjadi indikasi kuat—tetapi aku enggan memercayainya. Rumah ini tidak seperti rumah kami sebelumnya yang sering kosong; rumah ini rutin ditempati pegawai perusahaan tempat Johan bekerja bersama keluarganya. Aku juga tidak merasakan ada aura yang aneh dari rumah ini. Dokter di puskesmas desa yang memeriksa jenazah Darni sempat menyebut kemungkinan asisten rumah tanggaku itu mengidap epilepsi. Kurasa itu penjelasan yang lebih masuk akal. Tapi warga desa lebih memercayai penjelasan yang berbau mistis.
Johan terpaksa mencari pengganti Darni dari luar kota, karena warga desa tidak berani mengambil alih pekerjaannya. Sampai asisten yang baru tiba, aku terpaksa mengurus Grace dan rumah ini seorang diri.
Suatu sore, aku sedang menyetrika pakaian di ruang tengah. Grace tidur nyenyak di kereta dorong yang kusandarkan di dekat meja setrika. Selama beberapa waktu, aku tenggelam dalam pikiranku sendiri selagi tanganku sibuk menggerak-gerakkan setrika dan melipat pakaian. Aku tersentak kaget saat menyadari telepon rumah kami berdering. Kujawab panggilan itu.
"Halo?"
"Selamat sore, Elsa..." Itu suara Bu Kuncoro. "Saya mau mengecek saja gimana kabar kamu. Saya agak khawatir karena kamu sendirian di rumah besar itu."
Bu Kuncoro baik sekali, beliau mampir setiap pagi sebelum pergi bekerja di pabrik untuk bantu-bantu sedikit. Sebetulnya hanya suaminya yang bekerja pada kami, tetapi Bu Kuncoro tetap merasa bertanggung jawab untuk mengurusku dan Grace.
Kami mengobrol cukup lama sampai telingaku panas. Bu Kuncoro memberikan beberapa nama kenalannya yang mungkin bisa menggantikan Darni. Aku berterima kasih pada tawarannya; kami mengatur kapan para calon asisten rumah tangga itu bisa datang ke sini untuk kuwawancara.
Akhirnya panggilan itu berakhir. Aku teringat sudah saatnya Grace minum susu.
"Grace, maaf ya, Mami tadi lagi teleponan..."
Kereta dorong Grace kosong. Aku mengerjap-ngerjap untuk memastikan tidak salah lihat.
"Grace?" Putriku lenyap! "GRACE?"
Aku berbalik. Di koridor menuju dapur yang gelap, aku menangkap sosok tinggi besar yang sedang mengamatiku. Aku memekik dan hampir terjungkal karena menabrak meja setrika. Rasa sakit yang menyerangku menyadarkanku bahwa aku tidak sedang bermimpi.
Dia seorang wanita, aku tahu itu. Tingginya sekitar dua meter, dan dia memakai jubah putih panjang. Rambutnya yang ikal menjuntai sampai ke pinggang, warnanya hitam dan lebat seperti ijuk. Wajahnya agak tertunduk sehingga tidak terlihat. Kuku-kukunya mencuat seperti cakar.
Grace ada di pelukannya. Bayiku itu mulai menangis.
Sekujur tubuhku merinding. Kututup mataku sejenak, untuk mengecek aku tidak sedang berhalusinasi. Saat kubuka mataku kemabli, wanita itu maju semakin dekat ke arahku.
Dia betul-betul nyata. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
"Kembalikan anakku!"
Wanita itu menunjukku dan mengibaskan tangan ke pintu. Dia melakukannya berulang-ulang, dan di setiap kibasan tangannya,aku bisa merasakan kebenciannya menguar. Dia mengusirku.
Suaraku tercekat karena ketakutan. Kukumpulkan segenap keberanianku untuk menegarkan diri. Aku tidak akan pernah menyerahkan Grace. "Ti-tidak..." gagapku. "Kamu yang harus pergi..."
Wanita itu tertawa. Suara tawanya lirih dan menusuk, penuh kekejian. Dia mengangkat wajahnya, dan aku melihat sepasang bola mata putih tanpa pupil yang mendelik padaku.
"Tolong jangan ganggu saya. Kembalikan Grace sekarang juga!"
Wanita itu melayang ke arahku. Aku berkelit hingga terpojok ke dinding. Kepanikan dan ketakutan membungkusku sampai ke ubun-ubun, tanganku meraba-raba dinding untuk mencari sesuatu yang bisa kupakai untuk melawannya. Tiba-tiba aku menyentuh saklar lampu. Segera kutekan benda itu.
Seluruh ruang keluarga jadi terang benderang.
Wanita asing itu menghilang. Dia membawa bayiku bersamanya.
Aku tidak bisa bergerak. Pikiranku membeku. Grace... aku harus mengambil anakku!
Tiba-tiba aku mendengar isak tangis Grace. Lewat kaca jendela, kulihat wanita itu berdiri di luar. Dia menyeringai padaku, memamerkan gigi-giginya yang runcing seperti binatang buas.
"Grace!"
Setengah mati kupaksa diriku untuk bergerak. Aku berlari ke luar. Di teras depan, sosok itu sudah menghilang. Hujan mulai turun, bersamaan dengan udara dingin yang menusuk kulit.
"Grace!" Kutajamkan telingaku untuk menangkap tangisan putriku. "GRACE!"
Sayup-sayup di antara suara hujan, isak tangis Grace yang ketakutan terdengar dari belakang rumah. Aku segera berputar menuju arah suara itu. Hujan membasahiku tetapi aku tidak peduli—anakku membutuhkanku saat ini.
Di belakang, aku mendengar Grace menangis dari suatu tempat. Aku berteriak memanggil-manggil. Suaranya agak teredam, seperti berasal dari bawah tanah. Napasku mulai membentuk kabut keperakan karena udara dingin. Di mana putriku? Ke mana makhluk itu membawanya?
Perlahan-lahan, kuhirup udara lewat mulut. Aku harus tenang. Kucoba mengandalkan instingku sebagai ibu untuk melacak anakku. Grace ada di sini, disembunyikan di suatu tempat. Aku hanya perlu menemukannya.
Mataku tiba-tiba terjatuh pada sumur.
Bergegas kudekati sumur itu. Kukumpulkan segenap keberanian, dan melongok ke dalam melewati beton pembatasnya.
Sumur itu gelap, seperti terowongan menuju dasar Bumi. Tetapi suara Grace bergema dari sana, seperti digemakan lewat megafon. Samar-samar aku melihat sosok penculik itu; jubahnya yang putih berdesir saat dia bergerak.
"KEMBALIKAN ANAKKU!"
Wanita itu mendongak. Matanya yang putih memelototiku. Dia menjerit marah.
Seperti dihantam puting beliung, aku terhempas ke belakang dan jatuh terjengkang. Selama beberapa saat, aku hanya bisa terlentang menahan sakit. Wanita itu tidak mau mengembalikan Grace—sudah jelas, dia menginginkannya. Pasti ini yang dimaksud Bu Ningsih sewaktu memperingatiku setahun yang lalu. Aku tidak tahu dia makhluk apa, tetapi sudah jelas dia tidak berasal dari dunia ini. Bagaimana dia bisa mengikuti kami sampai ke rumah ini, aku juga tidak paham. Dan pasti wanita itu jugalah yang dilihat Darni sampai dua kali. Kalau wanita itu sanggup mengangkat anakku, aku juga yakin dia sanggup mendorong Darni dari balkon lantai dua.
Aku bangkit berdiri dan tergopoh-gopoh pergi ke bagian depan rumah. Satu-satunya yang kupikir bisa membantuku adalah Bu Kuncoro—rumahnya terletak di bawah bukit. Kutambah kecepatan lariku, pikiranku mengkhawatirkan Grace yang kedinginan di dalam sumur itu.
Kakiku terpeleset lumpur yang licin, aku jatuh terguling-guling di lereng bukit. Sekujur tubuhku berlumuran tanah, dan sikuku berdarah. Aku bertumpu untuk bangkit, suasana di sekelilingku sudah gelap gulita. Tiba-tiba aku melihat kilasan-kilasan cahaya, dan suara panggilan Bu Kuncoro.
"Elsa!" Wanita itu menghampiriku sambil membawa obor dan payung. Ada enam orang warga desa yang menemaninya. "Saya datang ke sini karena melihat teras rumah kamu gelap. Johan sepertinya terlambat pulang," dia membantuku berdiri, "kenapa kamu berantakan begini?"
Kuceritakan apa yang terjadi pada Bu Kuncoro selagi dia mengantarku kembali ke rumah.
"Itu kuntilanak, Elsa," kata Bu Kuncoro. Kami sudah tiba di teras rumah. Salah satu warga desa menyalakan lampu-lampu yang lain. Beberapa pria langsung terus ke sumur untuk mengecek Grace. "Dia mati waktu lagi hamil, dan anak di kandungannya adalah anak perempuan. Arwahnya tidak tenang," lanjut Bu Kuncoro. "Dia suka sama Grace, makanya mau memilikinya!"
"Itu makhluk yang jahat," timpal Bu Mayar. "Jahat sekali! Dia nggak bisa diusir!"
Aku bergidik ngeri. "Ibu-ibu tahu tentang makhluk itu?"
Bu Kuncoro dan Bu Mayar saling tatap, sorot mata mereka memancarkan rasa bersalah. "Sebelum kamu sama Johan pindah ke sini, keluarga-keluarga lain yang tinggal di rumah itu nggak punya anak perempuan," kata Bu Kuncoro. "Tapi selama delapan bulan kalian tinggal di sini, Grace baik-baik saja, jadi kami pikir kalian tidak diganggu. Pak Kuncoro selalu menyiram air garam di sekeliling rumah setiap Maghrib... mungkin Johan sudah menyadarinya."
Aku tidak tahu soal ritual siram air garam itu. Saat tiba di sini, kami hanya diberitahu bahwa Pak Kuncoro adalah sopir yang dipilihkan perusahaan untuk Johan. Rupanya Pak Kuncoro sengaja menjadi sopir bagi keluarga yang tinggal di rumah ini untuk melindunginya.
"Ada satu keluarga... tapi ini sudah lama sekali," sambung Bu Mayar. "Anak gadis mereka tiba-tiba jatuh dari tangga. Saat ditemukan, matanya membeliak ke atas, pupilnya menghilang."
"Seperti Darni..." tukasku serta merta.
Kedua wanita itu mengangguk berbarengan. "Kami salah mengerti. Rupanya selama ini Grace aman karena makhluk itu memilih mengganggu Darni," kata Bu Kuncoro. "Tapi sekarang, Darni sudah tidak ada..."
Kami menghambur ke ruang tengah. "Bagaimana caranya saya mengambil Grace, Bu?"
"Kamu harus barter..." Bu Kuncoro memeriksa seisi ruang tengah. Dia mengambil boneka Grace yang bisa menangis itu, dan menjulurkannya padaku. "Kamu harus membujuk dia supaya mau menukar Grace dengan boneka ini..." Dililitnya boneka itu dengan kain selendang sehingga tampak seperti bayi. "Lalu kalau berhasil, kamu harus segera pergi dari sini! Sebentar lagi Johan pulang, kalian bisa segera berangkat!"
Aku teringat satu hal. "Tapi bagaimana kalau kuntilanak itu mengikuti kami lagi?"
"Rambut Grace harus digunting," kata Bu Mayar. "Ganti semua pakaian, sepatu, mainan, dan botol susunya—semua benda-benda itu jangan kamu bawa pergi. Malah lebih baik kalau kamu juga mengganti namanya. Intinya, Grace tidak boleh dikenali."
Akal sehatku berontak mendengar semua ini. Ini gila. Namun kuingatkan diriku sendiri bahwa sosok yang kulihat tadi betul-betul nyata, dan nyawa anakku sedang dipertaruhkan.
"Grace sudah berhenti menangis, sepertinya kecapekan!" seorang pria berteriak dari dapur. "Bu Elsa, kita harus bergegas!"
Aku bangkit berdiri sambil memeluk boneka itu. Tekadku membara, air mata yang menggenang di pelupuk mataku terasa panas karena amarah. Ditemani Bu Kuncoro dan yang lain, kami berbondong-bondong pergi ke sumur. Bapak-bapak yang berjaga di sumur bergeser untuk menyilakanku, obor-obor yang mereka bawa menyinari jalanku. Kulihat mereka sudah mengambil terpal dari gudang, sepertinya untuk menutup mulut sumur nanti.
Kudekati beton pembatas sumur itu.
"Panggil boneka itu dengan nama Grace," bisik Bu Kuncoro dari belakangku.
"Grace..." Kutimang-timang boneka itu dan kutempelkan dia ke dadaku seperti sedang menyusui. "Minum susu dulu ya. Mami sayang sama Grace..."
Kulantunkan lagu yang biasa kupakai untuk meninabobokan Grace. Boneka itu menangis, suaranya kedengaran seperti suara bayi betulan. Dalam hati aku berdoa kepada Tuhan agar anakku bisa diselamatkan.
Semenit berlalu tanpa terjadi apa-apa. Aku mulai putus asa. Aku berbalik dan melihat Bu Kuncoro dan Bu Mayar. Mereka mengisyaratkanku untuk bernyanyi semakin keras.
Kukeraskan suara dan doaku.
Tiba-tiba terdengar bunyi berkeretekan dari dalam sumur, seperti ranting-ranting patah. Kakiku gemetar, tetapi kubulatkan tekad untuk tidak bergeming. Lalu sekonyong-konyong, kepala berambut kusut masai itu menyembul dari dalam sumur. Sepasang mata putih tanpa pupil mengintip dari tepi beton pembatas.
"Mami sayang sama Grace..." Kutepuk-tepuk boneka itu sambil sesekali melirik sosok yang sedang mengintaiku itu. Sekujur tubuhku merinding semua. "Mami nggak akan pernah menyerahkan Grace ke ibu yang lain..."
Sosok itu memanjat keluar sumur seperti laba-laba raksasa. Di belakangku, orang-orang yang sedang menonton memekik tertahan, ada juga yang lari ketakutan.
Kuntilanak itu berdiri di beton. Putriku berada di gendongannya, tetapi aku tahu kalau perhatian iblis itu sudah tidak lagi terpusat padanya. Dia sedang mengamati boneka yang sedang menangis di pelukanku.
"Cantik sekali anak Mami yang satu ini..."
Suara jeritan yang tipis bergema di udara. Aku mendongak. Wanita itu melesat ke arahku, kedua tangannya terangkat ingin mencekikku. Grace terlepas dari gendongannya. Kulemparkan boneka itu ke arahnya, lalu aku jatuh tersungkur untuk menangkap Grace.
Dapat.
Kuntilanak itu terkekeh-kekeh senang—boneka yang menangis itu kini ditimangnya. Lalu dia melesat kembali ke dalam sumur. Para pria segera menyampirkan terpal itu ke atas sumur, dan menahan pinggir-pinggirnya dengan batuan.
Bu Kuncoro membimbingku ke dalam rumah. "Kamu harus pergi sekarang."
"Iya, Bu. Terima kasih banyak..."
Kudekap Grace erat-erat untuk menghangatkannya. Bu Mayar memberikan dua selimut padaku. Kulepas pakaian Grace yang basah karena hujan, lalu kubungkus bayiku dengan selimut-selimut itu. Tubuhnya terasa dingin. Lalu aku bergegas ke luar.
Di luar, Johan baru tiba. Dia tampak linglung, Bu Susi sedang menjelaskan padanya apa yang terjadi. Johan melihatku dan menghambur memelukku.
"Grace nggak apa-apa?" Dikecupnya keningku dan kening putri kami. "Dia selamat, kan?"
"Ya, dia selamat..." Sekujur tubuhku menggigil karena campuran rasa lega dan haru. "Kita harus segera pergi. Tinggalkan barang-barang yang lainnya..."
"Tapi ini begitu mendadak..."
Kutatap Johan lurus-lurus. "Tidak ada cara lain."
Mata Johan yang balas menatapku melebar. Dia tahu aku sedang serius. Semuanya bisa dijelaskan nanti. Yang penting sekarang kami harus segera angkat kaki.
Johan mengangguk dan membimbingku masuk ke dalam mobil. Lalu dia menyalakan mesin, dan membawa kami pergi.
Aku dan Grace tidak pernah kembali lagi ke rumah itu.
---
Catatan Penulis:
Bagaimana menurut kalian tentang cerita ini? Apakah cukup bagus? Aku berencana membuat cerita ini menjadi novel horor. Kalau teman-teman tertarik, boleh kasih komentar ya. Terima ak
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top