3. Proposal
Sabrina mengerjap beberapa kali. Melihat ketimpangan yang sangat jauh berbeda dari dua pria di depannya. Matt sangat tampan dengan aura dewasa yang terkesan melindungi. Sementara pemuda dengan rambut merah menyala memiliki mata dengan binar jahil dan terlihat selalu mengikuti Matt ke manapun ia melangkah, terlihat liar dan... menggoda.
"Berhenti kubilang!" Geramnya sekali lagi yang sepertinya tidak pernah didengarkan olehnya.
"Apakah itu sebuah perintah? Apakah itu berarti kau sudah menerimaku?"
Matt menggeram. Mengeratkan rahangnya dan berbalik. Menemukan Sabrina yang duduk di depan konter dapur dan menatap bolak balik kepada dirinya dan Coleen. Sial. Gara-gara bocah itu ia tidak bisa menikmati kesendirian bersama Sabrina.
"Baiklah." Sentak Matt kesal yang membuat Coleen memekik senang. "Sekarang pergi dan temui aku nanti!"
"Aye aye, Sir!" Balasnya dengan membuat pose hormat sebelum pergi ke arah Sabrina.
"Terima kasih, Manis. Sampai jumpa lagi," katanya sembali mengerling kepada Sabrina. Ia langsung mendengar geraman dari arah belakangnya dan keyakinan bahwa Sabrina adalah Mate dari gurunya ternyata tidak salah.
Well, gurunya beruntung karena bisa bertemu dengan pasangannya. Hal yang sudah sangat jarang terjadi mengingat populasi bangsa mereka yang kian menyusut dan pertumbuhan manusia yang kian membengkak. Bertemu Mate seperti halnya menemukan jarum kecil di antara tumpukkan jerami baginya. Karena itulah, Coleen tidak terlalu banyak berharap.
Matt akhirnya selesai menyiapkan makanannya. Menaruh burrito dan pot roast dengan garlic bread serta mojito orange yang tampak menggiurkan.
"Kupikir kita hanya akan minum teh?" tanya Sabrina dengan wajah takjub.
"Aku berubah pikiran. Lagi pula tubuhmu terlalu kecil untuk anak seusiamu. Kau bahkan tidak memiliki kelebihan untuk dibanggakan."
Sabrina mengerucutkan bibirnya. Memutar bola matanya dengan sebal. "Apakah temanmu tidak ikut bergabung?" tanya Sabrina mengalihkan pikiran kesalnya. Ia beruntung karena pemilik rumah ini memperbolehkan dirinya berkunjung. Ia bahkan hampir menangis bahagia ketika melihat bahwa tidak ada satu pun perabotan yang bergeser dari asalnya sejak kepergiannya tiga tahun yang lalu dari sini.
Keberadaannya bersama Matt, walaupun mereka baru saja saling mengenal pun tidak membuat Sabrina was-was. Dirinya malah merasa kenyamanan yang selama ini tidak lagi ia dapat seperti ketika dirinya masih bersama orang tuanya.
"Dia bukan temanku," gumam Matt masam.
Mata Sabrina menyipit tidak percaya. "Tetapi kalian terlihat akrab."
"Aku tidak akrab dengannya. Dan lagi," Matt memberikan tatapan menghunus yang tajam kepada Sabi. "Mengapa kau menanyakan dia? Apa kau menyukainya?"
Sabrina menggedikkan bahunya. "Dia memang tampan. Dan sepertinya orang yang baik walaupun dandanannya seperti anak punk. Tetapi matanya terlihat berbinar ceria dan juga, ia terlihat menarik." Jelas Sabrina panjang lebar dengan menatap makanan yang mengepul hangat di meja depannya.
Ketika ia mendongak untuk mengucapkan terim kasih atas makanannya, lagi-lagi Sabrina melihat mata Matt berkilat dengan warna hazel. Bibirnya membentuk garis tipis dan rahangnya mengeras menahan geraman yang mungkin saja bisa keluar.
"Hei, kau tidak apa-apa?" Sabrina bangkit berdiri. Memegang lengan Matt yang terasa liat dan kokoh di tangannya. Dan ia merasakannya. Aliran listrik yang terasa mengaliri sekujur tubuhnya.
Sabrina lalu tersentak. Melepaskan pegangannya dan melihat reaksi Matt yang kini sepenuhnya memiliki netra berwarna hazel.
"Matt?" ulang Sabrina khawatir. "Kau tidak apa-apa?"
Matt menggeleng perlahan. Mengusap wajahnya dan tersenyum dengan netra yang masih berganti-ganti antara biru lautan dalam dan hazel. "Aku permisi sebentar. Kau makanlah terlebih dahulu."
Tanpa menunggu jawaban Sabrina, Matt bergegas pergi. Meninggalkan Sabrina dengan segunung tanya yang semakin memenuhi otaknya.
Matt kembali setengah jam berikutnya. Kembali merasa kesal karena makanan Sabrina terlihat masih utuh di piringnya.
"Mengapa kau belum makan?"
"Eh?" Sabrina mendongak menatap Matt. Menutup buku tugasnya dan segera menyimpannya.
"Aku menunggumu karena ingin makan bersamamu," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Apakah kau sudah tidak apa-apa?"
Matt mengangguk. Duduk di depan Sabrina dan mulai memindahkan satu Burrito ke dalam piring miliknya.
"Maafkan aku telah membuatmu khawatir."
Sabrina tidak menjawab. Memilih ikut mengambil burrito dan mulai memakannya dengan lahap. Ia memang merasa kelaparan sedari tadi. Namun dirinya tidak pernah suka makan sendiri jika memang tidak terpaksa. Well, selama hidupnya selalu ada ayah atau ibunya, atau keduanya yang duduk bersama sambil menikmati makanan. Dan sejak tiga tahun yang lalu, baru kali ini Sabrina merasakan keinginan yang sama kuatnya. Satu tahun hidup di tempat Jack tidak dihitung karena Jack terkadang sibuk dengan tokonya sementara makan berdua dengan Meredith adalah sebuah bencana.
Melihat selahap apa Sabrina membuat Matt lagi-lagi merasa sesak di dadanya. Seolah selama ini dia memang tidak benar-benar makan dengan layak.
"Ibuku selalu mengatakan bahwa makanan akan selalu terasa lebih lezat jika dinikmati dengan orang lain."
"Apa selama ini kau kesepian?"
Wajah Sabrina langsung terlihat mendung. Ia menyingkirkan sendok dan garpunya dan menghela napas panjang.
"Kau mungkin sudah tahu bahwa aku dulunya adalah penghuni rumah ini," mulai Sabrina. Dia hidup di kota kecil, mustahil untuk tidak ada kabar yang tidak tersiar dan menjadi konsumsi publik.
"Kedua orang tuaku meninggal tiga tahun yang lalu. Dan jika kau bertanya apakah aku kesepian, jawabannya adalah... Ya. Aku kesepian." Sabrina lalu tersenyum sedih.
"Tetapi itulah hidup. Tidak selalu kita bahagia dan mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?" Serunya menyingkirkan aura sedih yang membayangi mereka.
"Bagaimana jika kau menceritakan mengenai dirimu. Dari mana kau berasal?"
Matt tersenyum lembut kepada Sabrina. Merasa bangga karena gadisnya begitu kuat dan tegar.
"Aku seorang penjelajah. Bahkan aku lupa di mana kampung halamanku berada."
Sabrina mengangguk. "Kau pasti sudah mengunjungi banyak sekali negara."
Matt tertawa. Dia bahkan hampir menjelajahi seluruh dunia ini. Hal yang pada akhirnya membuatnya bertemu dengan Sabrina saat usianya masih bayi, delapan belas tahun yang lalu.
Namun saat itu ia tidak bisa untuk selalu bersama dengannya karena akan banyak bahaya yang akan mendatangi Sabrina jika ia memaksa. Dengan kesepakatan yang dibuat oleh Mattheo dan orang tua Sabrina, akhirnya ia setidaknya bisa bernapas sedikit lebih lega selama delapan belas tahun berikutnya.
"Apa kau menikmati hidupmu, Matt?" Tanya Sabrina dengan mata yang memandangnya takjub.
"Ya." Dan tidak. Karena selama delapan belas tahun dirinya begitu merindukannya. Bahkan merasa khawatir dan cemas di setiap detiknya terhadap Sabrina. Namun tentu saja Matt tidak bisa mengatakannya sekarang. Belum, lebih tepatnya.
"Aku iri denganmu," ucap Sabrina kemudian. "Tetapi itu tidak mengapa, karena setelah aku lulus, aku juga akan pergi dari kota ini."
"Kalau begitu, bagaimana jika kau pergi bersamaku?" tembak Matt langsung.
Sabrina terdiam untuk sejenak. Mencermati tawaran Matt dengan benar.
"Apa kau yakin, Matt?"
Matt mengangguk mengiyakan. "Aku membutuhkan asisten. Apakah kau bisa menulis atau fotografi?"
Sabrina mengangguk dan menggeleng. "Aku sedikit bisa fotografi, tapi tidak dengan menulis. Aku bahkan lebih pandai dalam mengurus angka-angka."
Matt menyeringai. "Baiklah. Kau diterima."
"Semudah itu?" Tanyanya dengan mata membelalak lebar. "Kau pasti bercanda!"
Matt terkekeh. Merasa terhibur dan gemas dengan raut wajah Sabrina yang tampak terkejut. "Memang kenapa? Kau menginginkan aku untuk mengujimu?"
Sabrina menggeleng. "Bukan begitu. Tetapi kau bahkan baru mengenalku."
"Kau juga baru mengenalku, dan lihatlah. Kita bahkan sudah makan bersama dan tertawa seperti ini. Kita adalah dua orang yang cocok satu sama lain."
Sabrina terkekeh. "Ya. Aku pasti terlihat murah di matamu."
"Tidak." Jawab Matt tegas. "Kau sama sekali tidak terlihat murah. Kau hanya terlihat baik," dan cantik, memesona, cerdas, kuat, gigih. Dan aku mencintaimu.
"Itu jawaban yang diplomatis, Sir. Kau benar-benar bijak," ujarnya dengan tawa berderai. "Tidak heran karena kau memang terlihat sangat matang dan dewasa."
"Benarkah?"
Sabrina mengangguk-angguk. "Memangnya berapa usiamu?"
Lebih dari setengah millenium. "Dua puluh delapan," jawab Matt sembari mengira-ngira berapa usianya jika dilihat oleh manusia.
"Kupikir kau tiga puluh!"
"Apa aku setua itu?"
Sabrina kembali tergelak. "Well, tidak. Aku hanya tidak pandai mengira umur seseorang. Tetapi itu berarti perbedaan usia kita adalah sepuluh tahun."
Matt menyeringai lebar.
"Jadi, bagaimana?"
"Huh?"
"Kau mau menjadi asistenku?"
"Kau mau menerimaku jika aku menanyakan sesuatu?" Tanya Sabrina ragu.
"Tanyakan."
Sabrina membasahi bibirnya. Mendongak dan menatap netra lautan dalam milik Matt.
"Apa yang terjadi dengan matamu? Apakah itu.... Wajar?" Tanyanya hati-hati.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top