2. Rogue
Sabrina tidak bisa memejamkan matanya hingga matahari bersinar menembus jendela kecil di gudang kamarnya. Bayangan pria yang semalam datang menemuinya ternging-ngiang dan membuat Sabrina penasaran setengah mati.
Memutuskan untuk berhenti mencoba terlelap, akhirnya ia segera membersihkan dirinya. Bersiap untuk ke sekolah dan menunggu kedatangan pegawai lain untuk membuka toko di pagi ini.
Senyum Sabrina merekah lebar begitu melihat Mr. Glover dengan perut buncitnya yang terayun-ayun mendatangi Sabrina.
"Jack!" Pekik Sabrina dan memeluk Mr. Glover erat.
Jack Glover terkekeh. Menepuk-nepuk rambut kecoklatan Sabrina dengan lembut.
"Kukira kau masih sakit. Mrs. Glover yang terus menerus berada di sini," cibir Sabrina kepada sahabat ayahnya yang masih tersenyum lebar.
Jack memang berbeda dengan istrinya. Sangat berbeda jauh sampai Sabrina mengandaikannya seperti bumi dan langit. "Punggungku hanya sedikit sakit dan Meredith memaksaku tinggal di rumah. Apa dia merepotkanmu?"
"Kau tahu seperti apa tingkah Mrs. Glover kepadaku, Jack." Ujar Sabrina tanpa berniat untuk menyembunyikan apapun. Lagi pula Jack memang sudah tahu segalanya.
"Kau akan berangkat?"
Sabrina mengangguk.
"Untukmu," ujar Mr. Glover seraya memberikan amplop cokelat yang Sabrina tahu berisi uang tunai. Jack memang berperan sebagai walinya, dan itu termasuk dalam kewajibannya untuk memastikan bahwa Sabrina tidak kekurangan uang.
"Akan kusimpan. Terima kasih Jack!" Ucapnya lalu mengecup pipi Jack dan segera ke sekolah. Sabrina tidak akan menolak kebaikan Jack atas alasan tidak enak hati. Karena dirinya memang membutuhkan banyak uang jika dirinya memang berniat pergi dari kota kecil ini.
Sabrina menarik napas panjang. Membiarkan udara penghujung musim panas memasuki paru-parunya. Tidak lama lagi dia akan ujian. Dan di pertengahan musim gugur dia akan resmi diwisuda dan bisa segera pergi dari sini. Sabrina benar-benar antusias dan tidak sabar!
Ia lalu meneruskan perjalanannya. Menahan diri untuk tidak melirik ke sebuah rumah di ujung jalan. Rumah peninggalan kedua orang tuanya yang terpaksa harus disita karena hutang yang ternyata ditanggung oleh kedua orang tuanya. Sabrina yang memang masih di bawah umur saat itu, tidak bisa melakukan apa-apa. Pun tidak bisa melakukan apapun karena dirinya memang tidak tahu apa-apa.
Tanpa bisa mengendalikan diri, ia akhirnya menyerah. Menatap rumah berwarna putih yang banyak menyimpan kenangan manis bersama orang tuanya. Seandainya saja kecelakaan itu tidak terjadi....
"Apa yang kau lakukan di depan rumahku," suara berat yang Sabrina kenali menyentaknya dari lamunan. Menolehkan wajahnya, dirinya melihat pria menarik itu dengan sweater hitam yang memeluk tubuhnya dan celana khaki yang sangat pas ia gunakan. Netra biru lautan dalamnya kembali membiusnya. Seolah dirinya sangat ingin berada dan berenang di sana.
"Apakah hobimu memang melamun, Kid?"
Sabrina kembali tersentak. Mendapati bibir pria itu yang tertarik ke belakang. Bahkan senyum mengejeknya terlihat mempesona dan menyebalkan di waktu yang bersamaan.
"Aku punya nama, Sir!"
Pria itu mengangkat sebelah alisnya. Kedua tangannya bersidekap di depan dadanya. "Mattheo Blackwood."
"Huh?"
Pria itu tersenyum lebar. "Orang yang kau sebut sir juga punya nama, Kid."
Wajah Sabrina memerah malu. "Sabrina Wilson."
Matt mengangguk. Berdiri di samping Sabrina dan ikut menatap rumah, mantan rumahnya.
"Jangan bilang bahwa kau ingin mencuri rumahku."
"Itu rumahmu?"
Matt mengangguk. "Ya. Aku baru pindah kemari sebulan belakangan."
Sabrina mengangguk. "Kau harus merawat rumahmu dengan baik, Sir."
Samar, Sabrina mendengar suara geraman dari pria beraroma hutan pinus dan mint di sebelahnya. Ketika ia menatapnya, mata pria itu kembali berkilat hazel untuk beberapa detik.
"Sir?"
"Matt. Namaku Matt," geram Mattheo.
Sabrina mengangguk. "Terima kasih waktunya. Aku harus segera berangkat." Ia lalu segera melangkah mundur. Menatap rumahnya dengan sedih. Tahu bahwa dirinya tidak bisa lagi tinggal di sana.
"Sabi," panggil Matt yang membuat Sabrina menghentikan langkahnya. Hanya kedua orang tuanya yang memanggilnya dengan sebutan Sabi. Namun ketika Matt menyebut dirinya demikian, entah mengapa terasa.... tepat.
"Jika kau mau, kau bisa menemaniku minum teh di dalam."
Sabrina mengernyit. Baru akan menyuarakan pikirannya sebelum disela oleh Matt.
"Setelah kau pulang nanti."
Senyum lebar kembali merekah di wajahnya. Membuat wajahnya berseri-seri. Netra Matt kembali berkilat hazel. Hal yang membuat Sabrina bertanya-tanya. Namun ia memang harus memendam rasa penasarannya karena menanyakan hal serupa kepada pria yang baru pertama kali ia temui sangat tidak sopan.
Setidaknya, sore nanti Sabrina memiliki waktu luang dan bisa menanyakan pula mengenai keberadaan pria itu di depan tokonya semalam.
***
Pengecut.
Diamlah Maxi! Kita bahkan baru menampakkan diri kita kemarin. Aku hanya tidak ingin membuatnya takut.
Dan membiarkannya tertidur di dalam gudang tidak layak itu lebih lama?
Kau tahu seberapa inginnya aku untuk membawanya masuk ke dalam rumah dan menyuruhnya tinggal di sini, Maxi.
Ya, dan selamat karena kau berhasil! Kau harus menyiapkan banyak makanan! Apa kau tidak lihat sekurus apa dirinya?
Matt mencebik muram. Tidak menyukai kenyataan yang Maxi, jiwa serigalanya katakan karena hal itu memang benar. Matt datang terlambat. Membiarkan gadisnya hidup dengan tidak terurus selama beberapa tahun belakangan ini. Namun Matt berjanji hal itu tidak akan lama lagi. Kesepakatan itu berlaku sampai Sabrina lulus dari sekolahnya. Dan itu tinggal beberapa bulan lagi. Namun perlahan dan pasti, Matt akan meyakinkan Sabrina dan membawanya pergi dari sini.
Kau harus berhasil Matt. Jangan sampai dia menolakmu.
Karena itulah berhentilah mencoba untuk mengambil alih tubuhku, Maxi. Geram Matt sebelum mematikan paksa mindlinknya dengan Maximilius.
Matt lalu menatap ke sekeliling. Melihat rumah yang tidak ia gubah sedikit pun. Matt menyukai rumah ini apa adanya. Tempat di mana ia tumbuh besar dengan kedua orang tuanya, yang ia tahu sangat menyayangi Sabrina. Namun Matt tidak tahu bahwa mereka akan pergi secepat ini. Dan parahnya tidak ada yang memberitahunya.
Yah, memang lewat apa kau bisa dihubungi, Matt. Pikirnya masam.
Setidaknya, seharusnya Jack berusaha untuk mencarinya. Menyerahkan Sabrina di dalam perlindungannya meskipun usianya saat itu belum masuk ke dalam kategori dewasa. Namun ya Tuhan! Matt tidak akan menyentuhnya jika Sabrina memang tidak ingin. Yang Matt inginkah adalah Sabrina yang hidup bahagia tanpa harus merasa kesulitan di dalam hidupnya.
Matt akhirnya beranjak ke dapurnya. Membuka lemari pendingin dan menemukannya dengan keadaan terisi penuh. Sebab pengalaman hidupnya selama ini, tidaklah sulit bagi Matt menghidangkan makanan paling lezat di dunia untuk gadisnya.
Matt! Bahaya! Teriak Max dalam kepalanya.
Insting Max langsung mengambil alih. Indra-indranya yang tajam langsung menemukan ada bau werewolf lain di sekitar sini. Max yang masih dalam tubuh Matt menggeram. Berlari menuju hutan di belakang rumahnya dan berlari. Bersamaan dengan Max yang mulai mengubah bentuk tubuhnya menjadi serigala dengan bulu berwarna putih kecoklatan.
Ia akhirnya menemukannya. Rogue yang melewati wilayah yang telah ia tandai.
"Siapa kau?" Geram Max kepada serigala berwarna hitam yang tidak tampak terkejut dan sedang menikmati buruannya. Seekor rusa besar yang sudah setengah habis.
"Bisakah kita bertegur sapa setelah aku menghabiskan ini, Man?" Gumam serigala hitam itu tidak peduli. Masih menggigiti bangkai rusa yang kini hampir terlihat tulang-tulangnya.
Max mendengus. Tetap siaga dengan mata yang tidak lepas dari serigala hitam itu. Semalam ia juga bertemu dengan salah satu rogue yang memiliki niatan jahat. Sempat berterung dengannya sehingga suaranya sepertinya terdengar oleh Sabrina secara tidak sengaja. Max berhasil mengusir rogue itu pergi dengan luka di sekujur tubuhnya. Namun kali ini...
Max memicing manatap serigala di depannya. Tubuhnya lebih kecil darinya. Bahkan usianya terlihat seperti separuh usia Max. Ia masih belum tahu tujuan dari serigala di depannya, karena itulah Max masih belum bisa menentukkan sikap terhadapnya.
"Aku sudah selesai. Tetapi.... Uugh! Tunggu sebentar." Sosok serigala itu lalu perlahan-lahan berubah menjadi bentuk manusianya. Seorang pemuda dengan rambut merah menyala berusia seperti di awal dua puluhan. Ia menampakkan senyum lebar yang tidak simetris. Ada sebuah gurat yang membelah bibirnya.
Sebelum Max sempat berkomentar, ia lalu bersendawa dengan keras. "Maafkan aku," katanya sambil memamerkan cengiran lebar. "Namaku Coleen David, dan yaa... Benar bahwa aku seorang rogue tanpa pack." Kekehnya terhadap leluconnya sendiri. Tentu saja rogue adalah serigala tanpa pack. Bahkan orang awam pun tahu.
"Aku tidak berniat untuk memulai pertikaian, ngomong-ngomong," katanya dengan membuka ikatan baju yang sebelumnya berada di kaki kiri belakang bentuk serigalanya. Coleen lalu memakai pakaiannya dengan santai. Celana jeans robek di bagian lutut dan kaos hitam bergambar punk yang terlihat nyentrik.
"Aku pecinta damai dan tujuanku ke sini adalah untuk menemuimu."
Kening Max berkerut. Tetap menolak untuk berubah ke bentuk manusianya.
"Ayolah! Bahkan dalam bentuk serigala pun aku tahu tidak akan menang melawanmu. Mattheo Blackwood. Pahlawan rogue yang terkenal!" Katanya semangat.
Max masih mengamati sosok pemuda itu. Menghela napas lelah ketika tidak menemukan ancaman darinya. Apa yang pemuda itu katakan memang benar. Bahwa dalam bentuk serigala pun ia akan dipastikan kalah. Dan dalam sosok manusia pun, Mattheo juga yakin bahwa dirinya tidak akan kalah.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Matt dengan bentuk manusianya. Ia lalu melompat ke salah satu ranting pohon. Mengambil satu potong celana pendek untuk menutupi ketelanjangannya.
Coleen bersiul. Mengagumi persiapan yang dilakukan oleh Mattheo Blackwood.
"Aku berniat untuk mengajukan diri menjadi muridmu, Sir!" Ujar Coleen bersemangat.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top