12. Rencana
Dua bulan berjalan dengan sangat cepat. Ujian sekolah yang pada mulanya berada di depan mata telah terlewati. Sabrina telah melewati masa-masa sekolahnya dengan baik dan lancar. Dan lusa, adalah hari kelulusannya.
Pepatah yang mengatakan bahwa ketika kita merasa bahagia, waktu seolah berjalan seperti kecepatan cahaya, bagi Sabrina benar adanya. Dengan keberadaan Matthew di sisinya yang menyayangi, mencintai, dan melindungi Sabrina membuatnya teramat bahagia. Meski insiden kebakaran di toko Jack sempat membuat Sabrina cemas dan khawatir, namun kesembuhan dari pria tua yang ia sayangi juga membuat dirinya senang.
Tentunya selalu ada gosip mengenai Sabrina yang menjadi sumber kesialan keluarga Glover. Banyak teman sekolahnya bahkan secara terang-terangan menunjukannya. Namun Sabrina hanya diam, membiarkan segala hal berjalan sebagai mestinya karena jika ia menanggapi pun, tidak akan ada bedanya. Ia tidak memiliki satu teman pun di sekolah. Menjadi yatim piatu yang hidup dari belas kasihan sahabat orang tuanya menjadikan diri Sabrina sebuah momok yang tidak layak untuk didekati. Dan sekali lagi, Sabrina tidak akan memikirkan hal itu dengan terlalu keras.
Tujuan utamanya untuk lulus dari sekolah ini akhirnya tercapai. Setelah itu, Sabrina akan menagih janjinya kepada Mattheo untuk segera bersiap meninggalkan kota kecil ini dan memulai petualangannya.
"Apa yang sedang kau kerjakan, Baby?" sebuah suara berat yang dalam mengintrupsi apa yang sedang Sabrina lakukan.
Sabrina mendongak. Tersenyum lebar kepada Mattheo yang membawa segelas cokelat hangat untuknya.
"Thanks," ujar Sabrina. Ia lalu menggeser duduknya sehingga Matt bisa duduk di sebelahnya. Melihat hasil kerjanya berupa rute tempat-tempat menarik yang Sabrina pikir akan menyenangkan untuk dikunjungi.
"Kau menyusun ini?"
Sabrina mengangguk. Menaruh gelas berisi cairan pekatnya dan menunjuk sebuah gambar dengan simbol piramida dan patung spinx. "Kau pernah ke tempat itu? Kurasa mengunjungi mesir untuk perjalanan pertama kita bukan ide yang buruk," jelasnya. Ia lalu menujuk gambar lainnya, sebuah jalur sungai dengan piranha yang tampak lucu. "Kemudian aku berpikir bahwa Mesir sebagai destinasi pertama terlalu jauh. Mengapa kita tidak memulainya dari sungai amazon?"
Mattheo tergelak. "Apa yang ingin kau lakukan di sungai amazon, Sabi?"
Sabrina mengedikkan bahunya. "Berenang dengan ikan piranha? Berlari dari aligator? Memburu serangga? Entahlah. Aku belum pernah ke sana sehingga tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Matt mengusap kepala Sabrina. Lengannya lalu mengelilingi bahu mungil Sabrina dan membawanya mendekat. "Itu ide yang bagus. Kau harus melihat sisi lain hutan amazon, Sabi. Kau pasti menyukainya," janji Mattheo.
Sabrina mengangguk. Menyandarkan kepalanya di dada bidang Matt sembari meminum kembali cokelat hangat buatan Matt.
"Kapan kirany kita akan pergi, Matt? Lusa aku sudah benar-benar lulus dan bisa kapan saja pergi dari kota ini."
"Kau tidak menyukai tempat ini?"
Sabrina menggeleng. Memilih menunduk dan menatap cairan pekat di gelasnya alih-alih menatap netra biru lautan dalam milik Matt yang penasaran dengan apa yang ada di dalam kepala Sabrina.
"Aku pernah benar-benar menyukai kota ini. Mengingat kenanganku bersama orang tuaku selalu membuatku mampu bertahan. Tetapi begitu aku memiliki alasan yang lebih kuat untuk pergi, kutahu bahwa aku memang harus pergi. Lagi pula..."
"Lagi pula?" tanya Matt sembari mengusap lengan Sabrina lembut.
"Meski aku pergi, kenangan orang tuaku selalu ada di dalam hatiku. Dan rumah ini, meski akan terasa sulit, tetapi aku bisa meninggalkannya. Aku pernah pergi dari sini dan bisa bertahan. Tidak ada alasan mengapa kali ini aku tidak bisa melakukan hal yang sama. Ditambah dengan keberadaanmu di sisiku, pergi dari sini adalah pilihan paling menyenangkan."
Mattheo semakin mengeratkan lengannya. Merengkuh Sabrina ke dalam pelukannya dan menghidu aroma yang menguar dari helaian cokelat itu.
"Baby, ada sebuah tempat yang ingin kudatangi bersamamu pertama kali. Tetapi itu akan melenceng dari daftar yang sudah kau buat."
Sabrina akhirnya mendongak. Netra cokelat hangatnya tampak berbinar-binar. "Di mana tempat itu?"
Matthew tersenyum. Mengecup pucuk hidung Sabrina dan membelai pipinya. "Tempat itu mungkin sedikit jauh dari sini. Bukan tempat yang terlalu menyenangkan."
"Tetapi menakjubkan?"
Mattheo mengangguk. "Dulunya, tempat itu sangat menakjubkan. Meski sekarang hanya berupa puing-puing, tetapi tempat itu masih menakjubkan."
"Aku mau!" pekik Sabrina semangat.
Mattheo tergelak. Menyukai antusiasme dari gadis yang berada di pelukannya. "Aku senang bahwa kau tertarik ke sana."
"Aku tidak meragukan penilaian traveler sepertimu."
Mattheo mengangguk. "Aku akan menjadikan perjalanan kita menyenangkan."
"Aku akan memegang janjimu. Kalau begitu, kapan kita pergi?"
Mattheo tersenyum tipis. "Aku membutuhkan Coleen untuk ikut bersama kita, Sabi. Dan kuduga dia baru akan sampai dua hingga tiga minggu ke depan. Maukah kau bersabar?"
"Tentu saja. Dua sampai tiga minggu bukan waktu yang lama," ujarnya berusaha menekan rasa kecewanya. Mattheo bisa merasakan itu dan sudah menduganya. Kedekatan mereka beberapa waktu belakangan membuat Mattheo tahu keinginan terdalam Sabrina untuk segera pergi dari sini.
Tetapi ia memang membutuhkan Coleen. Membutuhkan laporannya mengenai penyihir hitam karena tempat yang akan mereka kunjungi dulunya adalah sebuah kota penyihir. Matt harus bertemu seseorang yang bisa membantunya untuk melindungi Sabrina. Ia tidak ingin menundanya lagi apalagi mengambil resiko membawa Sabrina pergi tanpa benda itu. Kota ini saat ini adalah tempat teraman untuk mereka.
Sabrina harus bersabar atau mungkin hal buruk bisa terjadi kepadanya. Dan itu adalah hal terkhir yang Matt inginkan untuk separuh jiwanya.
"Bukankah seharusnya kau mulai bersiap untuk pesta prom, huh?"
Sabrina berdecak. "Aku tidak akan pergi."
Kening Mattheo mengernyit. "Mengapa?"
"Karena aku tidak mau. Lagi pula aku belum pernah pergi ke pesta prom seumur hidupku. Akan terasa aneh jika kali ini aku mengikuti pesta itu seorang diri."
"Aku akan ikut bersamamu."
"Dan kau akan menjadi pria tua di sekumpulan anak remaja?" ejeknya.
"Secara tidak langsung kau mengatakan bahwa aku tua." Mattheo bersungut-sungut sementara Sabrina tergelak.
"Kau memang sudah tua. Bahkan usiamu lebih tua daripada kota ini, Matt!" serunya sembari tergelak geli.
"Jadi aku tidak bisa pergi?"
"Tidak. Karena kau akan menemaniku di rumah ini. Bagaimana dengan menghabiskan malam dengan menonton film?"
"Kita melakukannya tiga kali dalam seminggu."
"Atau berenang di pantai?"
"Kau menolak berenang dan hanya melihatku."
"Atau kita bisa mengunjungi Jack!"
"Kau baru saja ke rumahnya tadi pagi, jika aku tidak salah."
"Kau menolak semua opsi yang kuberikan."
"Karena yang kuinginkan adalah menemanimu ke pesta prom. Itu adalah acara kelulusanmu. Kau harus datang, Sabi."
Sabrina menggeleng. "Tidak akan ada yang menyadari bahwa aku tidak akan datang, Matt. Percayalah."
"Apa maksudmu?"
Sabrina mengendikkan lagi bahunya. Melepaskan rangkulan tangan Matt dan menyusun pekerjaannya sebelumnya ke dalam sebuah map. "Aku tidak memiliki teman. Lagi pula, aku juga tidak membutuhkannya," gumamnya.
Dan gumaman itu cukup membuat Mattheo merasa dicubit di jantungnya. Seorang remaja
yang tidak memiliki teman adalah hal yang salah. Sabrina tidak seharusnya sendirian. Ia tidak seharusnya kesepian.
"Aku baik-baik saja Matt. Bukankah saat ini ada kau di sisiku, hmm?" ujarnya setelah membereskan mejanya. Ia lalu berdiri. Mengecup pipi Matt dan menggumamkan selamat malam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top