1. Pria Tengah Malam

Mrs. Glover berteriak dengan suara lantangnya sekali lagi. Menghentak-hentakkan kakinya dengan tidak sabar sembari menatap sebal kepada Sabrina yang berjalan dengan was-was. Kotak-kotak yang berada di tangannya menghalangi pandangannya. Dan hanya berbekal ingatan bahwa dirinya sudah menghapal jalanan di dalam gudang kecil inilah, yang membuat langkah kakinya bisa berpijak tanpa menendang satu benda pun.

"Kau benar-benar lelet, pencuri." Dengkus Mrs. Glover.

Sabrina hanya menggertakan giginya dengan kesal. Meletakan kardus berisi gulungan tisu dengan sedikit membantingnya. Lagi pula di dalamnya hanya gulungan tisu toilet.

"Aku bukan pencuri!" Desis Sabrina.

"Maka seharusnya kau bisa menjelaskan barang-barang yang hilang dari toko!" Mrs. Glover mengangkat dagunya tinggi. Memicing menatap gadis kurus dengan surai cokelat yang terlihat lepek dan tidak terurus.

"Tanpa kucuri pun, benda-benda itu tidak akan bisa dijual! Makanan instan itu sudah kadaluarsa!" Pekik Sabrina kesal.

"Jadi di mana mereka?"

Sabrina mendengkus. "Mana kutahu! Asal kau ingat nyonya, bahwa bukan hanya aku yang berkerja di sini!"

"Tetapi kau satu-satunya yang tinggal di gudang tokoku!"

"Jika kau memang tidak rela, aku akan pergi!"

Mrs. Glover terkekeh. "Dan menyebabkan suamiku marah terhadapku? Itukah yang kau inginkan?" Ia lalu mendelik ke arah Sabrina. "Dasar gadis tidak tahu diuntung!" Desisnya lagi sebelum bokong besarnya meninggalkan Sabrina dengan kemarahan yang terbendung.

Pintu gudang sekaligus merangkap sebagai kamar Sabrina lalu tertutup dengan keras. Sabrina menarik embuskan napasnya dengan teratur. Menahan rasa sesak akibat wanita tua konyol yang selalu saja membuat dirinya menjadi sasaran amukannya. Sabrina tidak tahu di mana letak kesalahannya kepada wanita itu sehingga dirinya harus menerima perlakuan jahat darinya. Padahal apa yang diinginkan Sabrina adalah hidup dengan nyaman. Sekolahnya bisa berjalan lancar dan dirinya bisa sesegera mungkin lulus dan bekerja lebih layak. Pergi dari kota ini di mana tidak ada seorang pun yang menginginkannya atau baik terhadap dirinya.

Oh barangkali memang ada. Yaitu Mr. Glover yang merupakan sahabat baik kedua orang tuanya yang telah meninggal. Sabrina bahkan pernah tinggal bersama mereka di kediamannya selama satu tahun sebelum tingkah Mrs. Glover membuatnya muak dan memutuskan untuk pergi.

Pada akhirnya, dengan perdebatan yang alot, Mr. Glover berhasil membuat Sabrina bekerja part time di toko kelontong miliknya dan tinggal di gudang mereka. Untung saja Mr. Glover berbaik hati membuatkan tirai untuk menutupi wilayah pribadi Sabrina sehingga dirinya memiliki sedikit privasi di dalam gudang yang sering dimasuki oleh pegawai lainnya.

Lima menit setelahnya, ketika Sabrina berhasil menenangkan dirinya dan menekan rasa frustrasi yang selalu muncul begitu Mrs. Glover mengunjunginya, ia keluar dan bergabung dengan pegawai lainnya di toko.

"Wilson! Letakkan ini di konter kasir!" Adalah Payne, salah satu rekan kerja Sabrina yang tidak kalah menyebalkannya memberikan satu kardus bir di atas lengan Sabrina.

"Gantikan aku, oke?" Payne mengerling genit. Menunjuk toilet dengan suara berdering dari ponselnya yang terdengar. Sabrina mengerang sebal. Tahu bahwa Payne akan menghilang di balik sana kurang lebih selama tiga puluh menit. Telepon seks dengan pacarnya, tentu saja. Dan itu sangat-sangat menjijikkan.

Ia akhirnya memilih untuk mengabaikan Payne. Berjalan dan merasakan bahwa tali sepatunya terlepas. Namun kardus di tangannya terlalu berat untuk ia taruh dan ambil kembali. Karena itulah ia memilih mengabaikannya dan berjalan dengan menunduk untuk mengamati agar langkahnya tidak tercegal karena sang tali sepatu.

Begitu ia hampir mencapai konter kasir, ia melihat sebuah tubuh yang menghalangi jalannya.

"Permisi Sir, kau bisa minggir karena aku ingin lewat," katanya mencoba untuk tetap sopan meskipun hatinya sangat ingin menjerit frustrasi. Dirinya tidak membutuhkan satu orang menyebalkan lainnya di hari ini. Namun melihat bahwa tubuh di depannya tidak juga beranjak sementara tangannya sudah terasa pegal karena kardus berisi bir itu, membuat dirinya mulai tidak sabar.

"Sir! Kuharap kau bisa bergeser sedikit!" Desisnya kali ini sembari mengangkat kepalanya. Mulai penasaran dengan sosok yang berada di depannya dan seperti tidak mau bergerak satu inci pun.

Sabrina lalu terpaku. Melihat manik biru lautan dalam yang berkilat dan terlihat berwarna hazel untuk beberapa detik lamanya. Sementara pemilik netra itu adalah makhluk paling menarik yang pernah Sabrina jumpai. Sabrina menelan ludah susah payah. Menyadari bahwa pria di depannya menatapnya dengan intens. Seolah mereka sudah saling mengenal. Seolah pria itu ingin meleburkan tubuhnya dengan Sabrina menjadi satu. Seolah Sabrina adalah mahakarya terindah yang pernah pria itu lihat karena nyatanya, jelas-jelas Sabrina sangat jauh dari sebutan menawan.

"Sabrina! Ya ampun! Aku tidak menggajimu untuk melamun di sana!" Teriak Mrs. Glover yang ternyata belum berniat untuk mengakhiri menganiaya Sabrina hari ini.

Namun berkat pekikannya pula, Sabrina berhasil tersadar dari mantra yang seolah mengikatnya dengan pria asing di depannya yang untungnya sudah memberikan jalan baginya. Sehingga Sabrina dengan cepat melewatinya. Menaruh kardus itu dan langsung sigap berdiri di depan konter kasir.

"Ada yang perlu ku bantu, Sir?" tanya Sabrina penasaran karena pria yang ternyata memiliki rambut hitam seperti malam tidak membawa apapun di tangannya.

"Aku menginginkan itu," katanya dengan suara berat yang mampu membuat tubuh Sabrina bergetar. Mencoba mengabaikan reaksi aneh dari tubuhnya, Sabrina melihat arah telunjuk tangannya yang terarah kepadanya. Sabrina mengernyit bingung sebelum memiringkan tubuhnya dan melihat bahwa dia bisa saja sedang menunjuk deretan rokok yang berada di rak, di belakang Sabrina saat ini berdiri.

"Berapa yang kau inginkan, Sir?" tanya Sabrina lagi dengan mengambil rokok Dunhill berisi duapuluh batang itu. Sabrina mengernyitkan hidungnya. Tidak terlalu menyukai rokok karena hal itulah yang membuat kedua orang tuanya meninggal.

"Sir?" tanyanya lagi yang pada akhirnya hanya mengambil satu bungkus dan langsung menghitungnya. Menyebutkan nominal kepada pria yang tampaknya tidak berminat untuk kembali berbicara.

"Kau bisa membayarnya sekarang, Sir." Gertak Sabrina kesal karena pria tampan di depannya sedari tadi sangat tidak kooperatif dengannya. Padahal toko mereka mulai ramai dan dengan tidak adanya Payne saat ini dan keberadaan Mrs. Glover yang mengamatinya dengan buku catatan keuangan di tangannya sama sekali tidak bagus. Dan, mengapa Mrs. Glover tidak menanyakan kepada perginya si Payne yang jelas-jelas memiliki jadwal bersama dengan Sabrina.

Tentu saja karena si tua Mrs. Glover sangat senang membuatmu menderita, Sabrina. Gerutu Sabrina di dalam hati.

Ia tersentak kaget ketika pria yang kini sudah membayar rokok miliknya kemudian mengambil dengan cengkraman berlebihan bungkus rokok itu. Menyebabkan isi rokok di dalamnya bisa saja rusak dan tidak bisa digunakan.

Mengamati sebentar, Sabrina bisa melihat rahang pria itu yang mengeras dan ada lagi kilatan hazel yang terlihat aneh karena warna netra pemuda itu adalah biru lautan dalam. Benar-benar warna yang menarik bagi Sabrina.

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak melamun, Sabrina!" Hardik Mrs. Glover lagi di tempatnya ketika dirinya masih saja memandangi bayangan pria aneh itu yang sudah mulai menjauh.

Sabrina menghela napas panjang. Menata bir di dalam lemari pendingin yang berada di samping konter dan menjalani satu hari sibuk lainnya dengan cercaan yang diberikan oleh Mrs. Glover selama dua jam selanjutnya.

***

Hari sudah malam ketika Sabrina kembali dari perpustakaan. Waktunya ketika tidak bekerja memang dia gunakan di perpustakaan kecil di kotanya untuk menyelesaikan tugas sekolahnya atau bahkan sekadar menghabiskan waktu.

Payne yang akhirnya bekerja dengan baik selepas perginya Sabrina menyeringai kepadanya sembari menyerahkan kunci toko itu untuk Sabrina kunci dari dalam. Well, dia memang tinggal di sana sendirian selama ini.

"See you sweetheart," ujar Payne kemayu dengan mengedipkan sebelah matanya. Sabrina menghela napas panjang. Memutar bola matanya kesal dan mengabaikan godaan Payne. Asalkan dia tidak menyentuhnya, maka Sabrina tidak akan pernah protes.

Karena merasakan lelah di sekujur tubuhnya, Sabrina segera masuk dan mengunci pintu. Mandi dan membuka buku catatannya setelahnya ketika dirinya mendengar suara bedebam dari luar tokonya.

Sabrina menjadi siaga. Mengambil pemukul bisbol dan keluar melalui pintu tersembunyi yang tersambung langsung dari gudang.

Malam telah sangat larut. Bahkan jalan utama kota kecil ini sudah sangat sepi dengan toko-toko yang sudah sepenuhnya tutup. Yah, memangnya apa yang bisa Sabrina harapkan dari kota kecil seperti Kalama. Kota yang bahkan tidak seterkenal kota lainnya di Washington.

Melihat bahwa tidak ada apapun di luar sana, Sabrina menarik napas panjang. Menurunkan tongkat bisbolnya dan berbalik untuk masuk ke dalam gudang ketika menemukan tubuh besar yang menghalangi jalannya.

"Apa yang kau lakukan di luar sini?" Desis suara yang sepertinya Sabrina pernah dengar.

Mendongakkan kepalanya, ia kembali melihat lagi sosok pria aneh menarik dan tampan yang sempat mampir di toko tadi siang. Matanya kembali berkilat-kilat dan lebih didominasi netra hazel dibandingkan dengan biru lautan dalam.

"Masuk!" Teriak pria itu yang mengejutkan Sabrina. Tubuhnya kembali bergetar karenanya namun sebab yang berbeda. Sabrina menggeleng keras. Tidak pernah gentar menghadapi lawan di depannya jika dirinya memang tidak bersalah.

Namun tatapan netra hazel di depannya yang terlihat tegas, memaksa, dan takut akhirnya membuat Sabrina menelan ludahnya susah payah. Melangkah tergesa ke dalam gudang tanpa sekali pun menoleh ke belakang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top