Keping Keempat

"Dimana kau menemukan pria itu?" Tanya Nobuyuki tiba-tiba. Kazuma menatap ke arah Anikinya. Mereka berbagi ranjang yang sama. "Maksudmu Hokuto?"

"Memangnya siapa lagi?" Anikinya terkekeh.

"Aku menemukannya di jalan. Saat itu dia hampir tertabrak mobil." Kazuma berhenti di sana. Tidak ingin menceritakan lebih detail saat pertamanya bertemu Hokuto. Tapi dia tidak bisa menahan senyum tipis di sudut bibirnya.

"Apa kau sedang menceritakan seekor anak anjing?" Nobuyuki tertawa. "Ah, kudengar kau tidak bekerja seperti dulu lagi? Mengapa? Apa ada masalah?"

"Tidak ada. Hanya ingin mencari pengalaman baru. Kau tahu aku harus keluar dari zona nyaman sepertimu, Aniki." Itu bukanlah alasan sebenarnya. Kemampuan Kazuma sudah benar-benar hilang bersamaan saat ia menyadari perasaannya pada Hokuto. Tapi mencari pengalaman baru itu juga tidak bohong.

"Kau juga bukankah belajar di Paris adalah impianmu? Mengapa kau kembali?" Matanya memandang ke arah pria yang lebih tua 3 tahun darinya.

"Jika aku mengatakan alasannya, apa kau yakin tidak akan tertawa?" Wajahnya mulai serius.

"Memangnya kenapa? Jangan bilang karena kau takut tinggal sendiri. Kau ini kan sudah besar, Aniki." Kazuma tertawa kecil.

"Karena aku merindukanmu."

Kazuma tidak tertawa. Ia menanggapi pernyataan Anikinya dengan serius. "Aniki, apa kau sakit?" Kazuma meletakkan telapak tangannya di dahi sang pemuda. "Kau tidak demam. Apa kau setres? Siapa wanita yang telah mencampakkanmu?"

***

Dari balik pintu, Hokuto dan Makoto menempelkan daun telinga mereka. Berharap bisa mendengar pembicaraan sang pemilik kamar dan sepupunya. "Mako-chan, sebaiknya kau membeli alat penyadap besok. Aku akan memasangnya di bawah ranjang Kazuma. Mungkin kita perlu cctv juga."

"Baka! Apa kita ini sedang main detektif-detektifan sekarang?" Makoto mencibir.

"Ah, sudahlah. Aku mau tidur." Hokuto beranjak menuruni tangga dan merebahkan dirinya di sofa. Sepasang mata mengawasinya dari atas. Derap langkah kaki terdengar menuruni tangga. "Tidurlah denganku." Tegas Makoto.

"Eh? Tidur denganmu?" Hokuto membulatkan kedua matanya memandang Makoto dan memiringkan sedikit kepalanya.

"Ranjangku sangat luas. Aku pikir bisa berbagi denganmu. Tapi kalau kau tidak mau ya sudah." Makoto berbalik namun jemari lembut Hokuto menarik piyamanya. "Mako-chan, arigatou."

Makoto akhirnya berbagi kamar dengan rivalnya. Meskipun dia kesal pada Hokuto. Tapi hatinya tidak bisa tinggal diam melihat Hokuto harus berpura-pura sebagai asisten rumah tangga. Jika Kazuma berani mengambil keputusan ini. Seharusnya dia juga berani bertanggungjawab.

"Nee, Mako-chan."

"Kenapa?"

"Kamarmu terasa dingin. Berbeda dengan kamar Kazuma."

"Jangan cerewet. Pakai ini." Makoto merapikan selimut Hokuto. "Kau boleh memeluk guling ini. Anggap saja Kazuma. Jangan peluk aku." Makoto tidur membelakangi Hokuto. "Dasar uke. Sama aku aja manjanya kayak gini. Apalagi sama Kazuma."

***

Satu minggu kemudian.

Tidak mudah menyembunyikan hubungan seperti ini. Tinggal bersama pacar dan kakak pacarmu tapi kau harus berpura-pura menjadi asisten rumah tangga. Setiap hari melihat pacarmu dan kakaknya melakukan hal-hal romantis.

"Kazuma kau masih keras kepala seperti dulu ya?" Nobuyuki menggendong adik kesayangannya itu. "Aniki, turunkan aku." Teriak Kazuma. "Tidak akan sampai kau mengaku kalah." Hokuto bisa melihat Kazuma tersenyum bahagia saat sedang bersama Nobuyuki.

***

Pagi yang cerah di apartment Kazuma. Makoto sudah rapi dan duduk di meja makan. Hokuto memakai celemek. Dirinya terlihat sibuk memasak beberapa omelet untuk sarapan. Nobuyuki dan Kazuma menuruni tangga bersama. Terlihat jelas tangan Nobu melingkar di pundak Kazuma.

Hokuto berdeham. "Ehem." Makoto menoleh ke tangga. "Begitu tuh rasanya jadi aku." Batin Makoto tertawa kecil melihat wajah cemburu Hokuto.

"Ohayou Kazuma. Coffee or tea?" Sapa Hokuto tersenyum sambil menawarkan minuman.

"Ohayou Hoku-chan. Coffee please."
"Yo Makoto." Makoto hanya mengangguk sambil melempar senyum.

"Hey, kau tidak menawariku?" Nobuyuki menuju dapur. "Kau mau minum apa?" Hokuto bertanya tanpa menoleh. "Kau..." Jemari Nobuyuki merampas paksa dagu Hokuto. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaan kesalnya sejak kedatangan Nobuyuki 2 minggu yang lalu. Seandainya saja kemampuannya belum hilang, ia pasti sudah tahu apa yang ada di pikiran pria ini.

"Aniki..." Kazuma melihat apa yang terjadi di antara mereka. "Kalian baik-baik saja?" Nobuyuki masih menatap tajam ke arah pria yang berstatus sebagai asisten rumah tangga adiknya. "Aniki, sebaiknya kau mandi dulu." Kazuma mengelus punggung besar Anikinya dan memberi kode pada Hokuto untuk melanjutkan aktivitasnya.

Namun tiba-tiba Nobuyuki berbalik dan melakukan kabedon pada Kazuma. Seketika Hokuto berubah menjadi patung. Makoto langsung menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya. Seharusnya dia segera memeriksa apakah Hokuto masih bernafas atau tidak.

"Aniki, apa yang sedang kau lakukan?" Kazuma berusaha mengeluarkan diri namun tangan Nobuyuki begitu kuat mengunci tubuhnya di dinding dapur. "Aniki, jangan bercanda. Cepat mandi sana." Kazuma mengibas-ibaskan tangannya.

Pria bertubuh tinggi besar itu akhirnya luluh dan beranjak meninggalkan dapur. "Hoku-chan, apa kau baik-baik saja?" Tanya Kazuma khawatir pada kekasihnya. "Aku baik-baik saja namun hatiku tidak."

"Maafkan aku. Seharusnya kita memang tidak bisa seperti ini. Menyulitkan bukan? Harus menutupi hubungan ini dari semua orang?" Kazuma menunduk. "Jadi kau ingin menyerah?" Hokuto menggenggam kedua tangan kekasihnya. "Aku kira kita bisa menghadapinya bersama."

Makoto juga sebenarnya tidak baik-baik saja. Dia memilih pergi mencari udara segara agar rasa sesak yang berada di hatinya bisa melega.

Di dunia ini, mengapa Tuhan menciptakan perasaan kagum, suka, sayang, dan cinta? Mengapa Hokuto harus memiliki perasaan seperti itu pada seorang pria? Mengapa hatinya harus merasa sakit ketika melihat pria itu bersama dengan pria lain. Apakah ini normal? Dalam cinta, semua adalah hal yang normal.

*To Be Continue*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top