Bab 4. Dia

Apa kabar?

Akhirnya bisa upate.

maafkan aku yang menghilang ratusan purnama.

enjoy with new story

______________________________________

 3 abad kemudian....

Derap kaki yang berlari tergesa meninggalkan jejak pada tanah yang memutih oleh butiran salju. Musim di penghujung tahun kali ini terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya.

"Theresa! Theresa!" teriak lelaki muda dengan tunik putih yang sudah menguning dilapisi rompi kulit pudar dan celana serupa mendobrak pintu rumah dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdebum.

"Berhentilah berteriak, Theo! Ibu baru saja tidur." Dengan mata birunya, Gadis bergaun lusuh itu menatap sang Adik dengan sorot penuh peringatan. Ia masih sibuk mengaduk soup di atas tungku ketika Theo Theo berjongkok di dekatnya. Menoleh sebentar ke kanan dan kiri.

"Aku punya berita besar."

Theresa menyendok sedikit soup untuk dicicipi. "Apa itu?"

"Tadi pagi aku melihat Lord Pashley kembali sehat," bisik Theo.

Gerakan Theresa yang tengah meniup soup pun terhenti, ia menoleh pada adiknya seolah meminta untuk mengulangi berita tersebut karena tidak ingin salah dengar. Sementara pria muda berambut ikal cokelat itu mengangkat tangan kanannya.

"Aku bersumpah, aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku." Meski nada terbata, Thoe tetap berbicara dengan meyakinkan. "Dia ... di-dia bahkan tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut gendutnya seolah dia tidak pernah sakit."

"Tidak mungkin."

Theresa dan bahkan seluruh penduduk Desa Beverdeow tahu betul jika Lord Pashley yakni Baron berusia akhir lima puluhan tersebut sudah menderita penyakit kolera selama beberapa hari.

Kolera adalah wabah yang tengah melanda banyak desa—termasuk desa Beverdrow yang kini mereka tinggali—serta beberapa wilayah besar lainnya, sejak musim gugur kemarin. Sudah sekitar lima belas orang yang meninggal di desa mereka. Orang-orang yang terjangkit penyakit ini paling lama bertahan sepuluh hari, sebelum kemudian diare hebat menyerang lalu meninggal. Bahkan ada yang hanya mampu hidup empat hari.

Sejauh ini sangat kecil kemungkinan orang yang terkena penyakit ini akan sehat kembali. Namun, untuk pertama kalinya Baron Pashley berhasil sembuh. Tentu saja ini merupakan berita besar yang mampu menumbuhkan harapan banyak orang.

Lengan kurus Theresa menggeret Theo ke luar rumah.

"Apakah dia mengatakan bagaimana cara dia sembuh? Atau setidaknya memberitahukan dimana kita bisa mendapatkan obatnya?" cecar Theresa mencengkram kedua bahu Theo. Seandainya obat tersebut memang ada, maka Theresa harus mendapatkannya bagaimana pun caranya.

"Aku tidak terlalu yakin, ada yang bilang Tuan Baron melakukan perjanjian dengan penyihir, ada juga yang mengatakan ia memberikan persembahan kepada vampir. Tapi yang menarik adalah pengakuan orang yang katanya yang sempat melihat beberapa kali mengunjungi sebuah toko obat di desa sebrang," bisik Theo.

Dan di antara ketiga informasi tersebut, Theresa lebih percaya pada kesaksian terakhir. Barang kali di antara seluruh warga desa Beverdrow hanya dirinya lah yang masih menyangkal keberadaan penyihir dan vampire. Mereka bilang wabah ini hasil kutukan seorang penyihir, tetapi sebagian juga meyakini jika penyakit ini berasal dari para vampire. Terlebih beberapa hari lalu desa sempat gaduh karena warga menemukan sebuah kuburan yang tiba-tiba berlubang sangat besar, mayatnya pun diduga menghilang. Belum lagi desas-desus ternak penduduk yang sering raib dengan darah berceceran di sekitar kandang, dan juga mengenai penyakit kolera yang kian meluas.

"Theo, kau lanjutkan memasak soup untuk ibu." Theresa membuka celemeknya.

"Kau akan kemana?" Theo balik bertanya ketika kakaknya memberikan celemek itu padanya.

"Aku harus mencari uang untuk membeli obat itu. Kau jaga ibu baik-baik."

"Hei, Theresa! Apa yang akan kau lakukan?"

Namun Theresa membiarkan teriakan adiknya tanpa jawaban. Theo merasakan firasat yang tidak baik.

*****

"Kau yakin ini tempatnya?" Pada akhirnya Theo memilih mengikuti Theresa, kakaknya ini cukup sering membuat keputusan tanpa pikir panjang.

"Aku yakin." Theresa lantas menutupi rambut pirangnya dengan mantel. Keduanya tengah berdiri di balik pohon besar mengawasi sebuah rumah yang diduga milik bangsawan setempat.

"Tapi rumah itu sepertinya kosong."

"Bukankah itu lebih baik? Kita bisa mengambil benda beharga di sana tanpa perlu khawatir."

Theresa memang sudah beberapa kali melewati tempat ini dan selalu melihat rumah tersebut sepi tak berpenghuni.

"Jadi, selain mencuri kau sedang beusaha naik peringkat menjadi perampok? Wah, sungguh kemajuan yang luar biasa." Theo mendengus.

Theresa tahu apa yang diucapkan adiknya merupakan sebuah sindiran. Namun, gadis itu tidak peduli. Seumur hidupnya selama delapan belas tahun, Theresa sudah mencoba segala cara untuk bisa menghasilkan uang, akan tetapi tiap keping yang didapat tidak pernah cukup menjadikan hidup lebih baik, terutama ketika ayah mereka meninggal di medan perang. Maka dari itu, ia tidak ingin kehilangan ibunya juga. Theresa sudah pernah mencuri sekali, tidak akan ada bedanya jika ia merampok.

"Memang kau ada cara lain untuk mendapatkan uang demi obat ibu?" tanyanya balik dengan nada tidak kalah sinis.

"Sebaiknya kita kembali menjadi pendongeng di pasar saja," Theo meremas kedua tangannya yang mendadak berkeringat, cemas akan tindakan kakaknya. "Atau kita bisa menjual kayu bakar. Sepanjang jalan melewati hutan tadi aku lihat cukup banyak kayu kering berserakan. Kudengar bulan depan akan ada pernikahan para bangsawan, mereka pasti memerlukannya untuk memasak hidangan pesta."

"Sssttt ... diamlah! Jika kau di sini untuk mencegahku sebaiknya kau pulang saja."

Menjadi pendongeng hanya mendapat sedikit uang, mereka harus menjual berbagai cerita berbeda setiap harinya atau pergi menjual dongeng yang sama di tempat lain, ia tidak bisa meninggalkan ibunya terlalu lama sendiri. Sementara mengumpulkan kayu bakar membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menjualnya dengan harga yang bagus. Terlebih pernikahan yang Theo bilang baru akan diadakan bulan depan, kondisi ibunya belum tentu masih bertahan sampai saat itu. Gadis tersebut membulatkan tekad.

"Theresa!" Theo mencekal lengannya dan memberi gelengan kepala ketika ia melangkah maju. Namun, Theresa menepisnya pelan.

"Kau tidak perlu ikut, cukup berjaga di sini saja. Bila melihat ada bahaya, kau beri aku tanda. Mengerti?"

Beberapa langkah kemudian ia berbalik, seolah tengah memberi wasiat. "Dan jika aku tidak keluar dalam waktu lama hingga matahari terbenam atau kau mendengar teriakanku di dalam, jangan coba-coba masuk! Kau harus lari. Harus ada yang selamat agar bisa mengurus ibu."

Upaya terakhir Theo untuk mencegah gadis itu nyatanya tidak berguna. Theresa memang terlalu keras kepala dalam beberapa hal. Terutama ketika menyangkut penyakit ibu mereka. Seandainya Arzel ada di sini, mungkin Theresa akan menuruti laki-laki itu. Mata biru Theo hanya bisa menatap punggung kakaknya yang semakin mendekati rumah tersebut sebelum kemudian menghilang di balik pintu.

Hal pertama yang dirasakan Theresa ketika menginjakan kaki ke dalam rumah ini adalah pengap, debu tebal yang melapisi setiap benda dan sudut ruangan semakin memperkuat tanda jika memang tempat tidak berpenghuni. Gadis itu harus menahan tenggorokan yang mulai gatal akibat udara di sana. Kakinya mencoba sepelan mungkin untuk melangkah tanpa bersuara, matanya memindai penuh kehati-hatian.

Theresa nyaris memekik ketika memasuki sebuah ruangan penuh benda berkilau. Ia bahkan harus menutup mulut dengan kedua tangan. Meski tertutup debu tebal sekalipun benda-benda berlapis emas tersebut tidak dapat menyembunyikan betapa berharganya mereka.

"Orang bodoh mana yang meninggalkan barang berharga sebanyak ini di rumah kosong?" gumamnya.

Theresa langsung mengira-ngira dalam hati, berapa keping yang mampu diperolehnya setelah menjual semua ini sebelum sedetik kemudian menggeleng. Dia memang datang ke sini untuk mencuri barang berharga, tapi ia tidak akan serakah. Ia hanya perlu mengambil beberapa saja agar dapat membeli obat untuk ibunya. Gadis itu pun segera membuka tas kain yang telah dipersiapkan. Berjalan menuju lemari bertingkat setinggi dadanya yang berada di bawah cemis besar dengan bingkai emas.

Sesaat ia tergiur untuk membawa cermin tersebut karena pasti harganya akan sangat mahal. Hanya saja ia kembali berpikir bahwa akan sulit menyembunyikan barang sebesar itu, maka Theresa memilih benda lain. Ia Memasukan sebuah patung serupa ular dengan kepala bertanduk, lalu bergeser mengambil tempat lilin bercabang yang juga dilapisi emas. Akan tetapi tempat lilin itu tersangkut seakan menolak untuk dicuri. Ketika ia sibuk memasukan barang jarahan itulah pungungnya terasa dingin, seolah ada yang tengah berdiri di belakangnya. Perlahan, gadis itu melirik pada cermin besar akan tetapi tidak menemukan bayangan apapun di sana..

Theresa mencoba tenang dan kembali bergerak cepat menggeser tubuh untuk kemudian terpaku, sebuah tangan persis memegang pundak kirinya. 

*****

To be continue...

Maaf baru bisa update. Aku belum bisa menjanjikan update rutin karena ada naskah lain yang kutulis. mohon pengertiannya.

Jangan lupa tinggalkan vote & komen ya! Biar aku lebih semangat nulisnya. 😉😉

Thank you for reading 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top