Bab 2. Menuju Kematian

Pagi ini pun tiba, jerit suara kesakitan berasal dari pria yang semalam berbincang di dalam sel tahanan. Menggema pilu setiap kali pasak berujung runcing itu merangsek ke dalam tubuhnya. Benda sialan yang melukainya didorong masuk oleh eksekutor berjubah hitam serta penutup kepala.

Disula ialah memasukan pasak berunjung runcing sebesar tangan orang dewasa dari lubang anus, lalu sedikit demi sedikit mengoyak organ bagian dalam korban hingga kayu tersebut tembus keluar mulut. Kedua tangan terdakwa akan terlebih dulu diikat, kemudian direbahkan. Beberapa algojo lain akan membantu memeganginya agar tidak berontak.

Hukuman ini biasanya diberikan untuk penjahat dengan tuduhan pemberontakan, pengkhianatan dan sejenisnya. Disula menjadi hukuman yang sudah Gaves legalkan sejak dia menjadi Raja.

Namun, ketika Lucius beranjak dewasa dan sudah siap menjadi pewaris tahta, Gaves mulai menyerahkan penanganan negara bagian dalam pada putra semata wayangnya tersebut. Sedangkan ia memilih maju berperang untuk menguasai daerah sekitar. Beliau terjun sendiri agar bisa menikmati percikan dan aroma darah segar yang menjadi kesukaannya.

"Aaaarrgghhh....!!!!" erangan pria yang tengah disula kembali memekakan telinga ketika benda laknat itu mulai mengoyak ususnya sedikit demi sedikit. Rontaan demi rontaan dia lakukan meski ia tahu semua akan percuma.

Gaves, Sang Raja Besar Targoviste Kingdom sendiri tengah duduk di atas balkon. Menikmati awal harinya dengan secangkir teh di tangan, mata birunya menatap puas kondisi di bawah sana.

Lagi, eksekutor tampak menikmati pekerjaannya. Ia bahkan tidak tampak iba dengan keadaan korban. Penyula kembali mendorong kayu runcing ke dalam tubuh korban dan jeritan lagi-lagi mengelegar di lapangan eksekusi.

Gaves memejamkan mata khidmat seolah teriakan demi teriakan mengerikan tersebut adalah alunan musik indah yang memanjakan telinganya.

Disaksikan oleh sebagian warga sipil, pria yang menjadi korban hukuman itu juga sudah memuntahkan darah dari mulutnya. Teriakannya mulai lemah tatkala kayu tersebut menusuk mengenai organ hatinya. Rasanya semua tenaganya sudah habis. Semua kepedihan dari dalam organ tubuh yang terkoyak membuatnya merasa sudah berada di ambang kematian.

Seringai mengerikan semakin tampak lebar di wajah Gaves. Ia menyeruput teh sambil membayangkan cairan yang diminumnya adalah darah tersebut.

Dan pada akhirnya sang narapidana berhenti bernafas beberapa detik kemudian setelah kayu runcing itu menusuknya lagi. Tusukan itu telak mengoyak bukan hanya hati, tetapi juga jantungnya sekaligus.

Sang Eksekutor mendorong pasak itu lagi, tapi sepertinya mengenai tulang dada korban. Para algojo melepaskan cengkaman mereka dan membantu eksekutor menegakkan pasak tersebut, hingga posisi terdakwa berada dipuncak dengan kondisi yang paling mengerikan bisa disaksikan oleh semua penduduk di sana.

"Di mana Luc?" tanya Gaves ketika pria setengah baya berwajah pucat tersebut beranjak dari duduknya. Sejak pagi tadi Gaves belum bertemu dengan putra semata wayangnya tersebut.

"Beliau sudah berangkat ke kediaman Lady Vanessa, Yang Mulia." jawab seorang lelaki tinggi tegap berpakaian tentara.

Pria bernama Benedict itu terlihat lebih tua dari Lucius, tapi masih lebih muda dari Gaves. Selaku tangan kanan Sang Raja, Benedict diberi titah untuk mengawasi Lucius.

Karena sebagai anak dari Raja, sudah pasti banyak yang mengincar keselamatan Lucius dengan banyak motif. Tak jarang orang yang mencelakai kita justru adalah orang terdekat, maka dari itulah mengapa Gaves ingin Lucius punya nyali sebesar dirinya yang bahkan menikmati detik-detik kematian seseorang.

"Apa ada pertunjukan penutupnya?"

"Di lapangan eksekusi bagian utara Yang Mulia." sahut Benedict

"Hukuman apa yang akan kusaksikan berikutnya?"

"Saw."

"Saw? Wah... sepertinya Lucius benar-benar tahu cara memberikan penyambutan atas kedatanganku sekaligus cara agar aku tidak mengganggu waktunya bersama Vanessa." Gaves menyeringai.

"Bicara tentang Vanessa, bagaimana penyelidikanmu tentangnya?" tambahnya lagi.

"Kami belum menemukan kelemahan dan hal yang janggal, Yang Mulia."

"Hm... gadis itu, aku curiga dia mempunyai rahasia besar." gumamnya.

"Benedict, apa kau sudah pernah mengutus Ratcher untuk menyelidiki gadis itu?"

"Ratcher Yang Mulia?"

"Ya, suruh dia menyelidiki Vanessa. Dan segera laporkan hasilnya padaku. Untuk saat ini aku masih ingin menikmati hiburan berikutnya."

***

Lucius tengah menunggangi kudanya dengan empat pengawal di belakang. Tujuannya menuju ke kediaman Vanessa, dan untuk mencapai ke sana Lucius harus melewati area hutan.

Mata biru jernihnya menangkap pergerakan seekor binatang. Lucius dan rombongannya berhenti, tangannya memberi isyarat kemudian seorang prajurit memberikan panah beserta busurnya.

Tangan kokohnya membentang anak panah, mata Lucius menatap tajam dan...

Srak!

Satu anak panah melesat, dan langsung mengenai sasaran.

Lucius turun dari kudanya untuk memeriksa langsung. Ia mendapai seekor kelinci putih tergeletak. Lucius mematahkan tangkai anak panah tersebut hingga menyisakan bagian tombaknya.

Mengais kelinci malang itu lalu memberikannya pada pengawal, sebelum kembali menaiki kuda hitamnya.

"Jaga makhluk itu tetap hidup sampai di rumah Lady Vanessa."

Perintah sang Pangeran tentu saja membuat prajurit yang memegang kelinci tersebut meneguh ludah ngeri.

Bagaimana caranya agak kelinci ini tetap hidup sedangkan kondisinya saja sudah berdarah-darah?

Namun, Lucius sudah pasti tidak peduli dan tak menerima alasan apapun. Titahnya adalah mutlak, dan barang siapa yang mengecewakannya, sudah pasti akan berakhir tidak baik.

Tak berapa lama, rombongan Pangeran sampai ke tujuan, kediaman Count Seymour.

Tampaknya orang tua Vanessa tidak ada di rumah, mengingat kemarin Raja telah memberi perintah untuk menyebar berita dan undangan pernikahannya ke beberapa wilayah.

Lucius disambut seorang maid tua, yang mana langsung menuntunnya ke paviluin belakang. Di sana lah sang gadis, sedang duduk membelakanginya memandang danau tak jauh dari tempat mereka berada.

Maid tua tadi sudah mengundurkan diri, kaki panjang Lucius mendekati Vanessa.

"Aku dengar hari ini seseorang telah disula lagi?" suara lembut Vanessa mengalun di telinga Lucius. Gadis itu masih memegang cangkir tehnya tanpa repot-repot mengalihkan pandangannya.

Pangeran menarik sedikit satu sudut bibirnya. Entah bagaimana, Vanessa selalu bisa mengetahui kedatangannya. Padahal, Lucius sudah mencoba meringkankan langkah kakinya agar tidak menimbulkan suara sama sekali.

"Dia sudah melakukan pengkhianatan." jawab Lucius datar.

Raut wajah Vanessa menunjukan ketidaksukaan ketika menoleh ke arahnya.

"Atas laporan siapa? Benedict lagi? Ayolah, Luc... dia hanya Jendral dan kau calon raja. Harusnya kau bisa menghentikannya!"

Lucius hanya mengedikan bahu. Dia seakan tidak peduli, selama nyawa orang itu bisa membuat ayahnya tidak beranjak dari istana untuk mengacaukan waktunya bersama Vanessa, ia rela mengorbankan seribu nyawa sekalipun untuk disula.

"Kau tahu, jika ada yang berani melontarkan kalimat seperti tadi, sudah bisa kupastinya kepalanya akan menggelinding di lapangan eksekusi." Lucius mengambil satu tempat duduk di dekat Vanessa.

"Sayangnya, orang itu adalah kau. Membunuhmu sama saja menghentikan napasku."

"Maaf atas kelancangan hamba, Yang Mulia." Vanessa bangkit dari tempat duduknya untuk berlutut di depan Lucius.

Sang Pangeran menundukan wajahnya dan meraih dagu Vanessa untuk mendongak.

"Jangan lakukan ini, aku tidak suka menikahi wanita lemah. Kau boleh bersikap biasa saat kita berdua. Tapi dirimu yang seperti ini sama sekali bukanlah yang membuatku jatuh cinta."

Vanessa terdiam, ia menatap mata biru Lucius yang selalu membuatnya hanyut lalu menerima kecupan lembut dari pria terkasihnya sebelum bergerak bangun. Lucius memanggil prajurit untuk membawa kelinci sekarat tadi.

Keringat dingin tampak di pelipis si prajurit. Ia menghela napas lega saat menyerahkan kelinci tersebut, Tuhan masih memperpanjang nyawanya dan hewan ini. Kelinci malang itu masih hidup meski dengan napas yang tinggal seujung.

Vanessa panik dan langsung mencari botol obatnya ketika melihat kelinci tersebut. Gadis itu melayangkan tatapan marah pada pangeran tanpa mengeluarkan kalimat apapun.

Lucius sendiri tampak menikmati kerepotan Vanessa yang sedang mengobati kelinci jelek itu.

"Aku selalu suka melihatmu melakukan ini."

"Maka dari itu kau sengaja melukainya?"

Satu sudut bibir Lucius lagi-lagi terangkat sedikit. Vanessa menetesan ramuan berwarna hitam pekat ke luka kelinci tadi setelah sebelumnya menarik ujung panah yang tertancap. Gadis itu kemudian membungkus luka hewan tadi dengan seutas kain lalu membawanya ke kadang kosong, Lucius mengikutinya di belakang.

"Aku bertanya-tanya, sebenarnya darimana ramuan itu berasal?"

Pertanyaan itu dilontarkan Lucius. Dan sang Pangeran tidak menyadari pergerakan Vanessa yang langsung membeku. Belum sempat Vanessa mencari kebohongan untuk menjawabnya, gadis itu merasakan tangan Lucius melingkar di pinggangnya.

"Ada kabar baik yang ingin kusampaikan. Ayah sudah merestui pernikahan kita."

Vanessa terkejut, dia berbalik, tapi mata hazelnya bergulir gelisah.

"Kenapa? Kau tidak suka?"

"Ah, tidak... bukan begitu. Aku... aku hanya baru tahu."

"Apa ayahmu tidak mengatakannya saat pergi? Setahuku dia diutus ke beberapa tempat untuk menyebar undangan."

Vanessa mengangguk mengerti, tapi ia memang tidak diberitahu tujuan ayahnya berpergian. Mereka mempunyai hubungan yang rumit.

Lucius mendekap Vanessa. Pria itu bisa merasakan tubuh kekasihnya yang dingin, mungkin karena suhu udara di sana. Rumah Vanessa terletak lumayan jauh dari ibukota dan berada di dekat gunung. Itu membuat Lucius ingin segera membawa Vanessa ke istananya, ia yakin tubuh Vanessa akan lebih hangat di sana.

***

Hari sudah hampir senja ketika pangeran beserta rombongannya sudah menuju kembali ke istana. Waktu selalu terasa cepat bila kita lalu bersama orang tercinta.

Entah apa yang ada di benak Lucius, pangeran itu mendadak ingin kembali ke rumah Vanessa barang sejenak. Ia merasa tidak tenang saat berpamitan tadi, wajah Vanessa yang putih terlihat lebih pucat.

Memacu kudanya cepat, Lucius memerintahkan para pengawalnya itu kembali lebih dulu. Ia ingin memastikan keadaan Vanessa, atau mungkin menginap di sana bila perlu.

Lucius bahkan menerobos pintu serta mengacuhkan maid yang menyapanya.

"Dimana Vanessa?" tanya Lucius dengan nada panik dan setengah menyentak maid saat ia tidak mendapati Vanessa di kamarnya.

"La-lady sedang di paviliun belakang, Yang Mulia." jawab Maid tergagap.

Lucius berlari ke sana, Paviliun belakang berada dekat danau. Lucius nyaris emosi dan menghukum maid tadi karena tidak memberikan jawaban yang lebih jelas.

Rasanya Lucius juga ingin memberi hukuman untuk Vanessa, karena dalam keadaan seperti itu bisa-bisanya dia malah tidak beristirahat. Apa hewan itu lebih penting dari kesehatannya?

Namun, bukan kelegaan yang di dapat Lucius tatkala berhasil menemukan Vanessa. Gadis itu memang ada di kandang kelinci, lengkap dengan mata merah dan darah segar yang mengalari dari sudut bibirnya. Lucius juga melihat dua gigi taring Vanessa menancap lalu menghisap darah kelinci malang tersebut.

"Vanessa...."

****

To be continue...

Maaf kalo gak sesuai ekpektasi 🙏🙏

Semoga feelnya dapet. Aku masih belajar bikin cerita fantasi dan gore.

Thank you for reading

Don't forget to vote & coment ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top