TheOne - 9

Pungguk yang Merindukan Bulan


Seorang cewek yang dianugerahi tubuh mungil mengayunkan langkahnya dengan terburu-buru memasuki sebuah gedung yang menjulang tinggi. Ia sibuk dengan hpnya yang terus saja berdering sejak tadi, hingga suatu insiden kecil terjadi.

Brukk..

Ponsel yang ada di tangannya pun terjatuh.

“Eh, maaf. Maaf.”

“Sorry ya, gue nggak sengaja.”
ucap dua orang yang tidak sengaja bertabrakan itu bersamaan.

Usai mengambil hpnya, ia mengamati seseorang yang ditabraknya barusan, sedang membereskan setumpuk berkas yang tercecer, tanpa berniat membantunya.

“Sorry ya, gue nggak sengaja. Soalnya buru-bu---“ ucapnya lagi saat seseorang itu berdiri. Namun terhenti ketika mata mereka saling beradu pandang. Mulutnya ternganga, lidahnya pun terasa kelu untuk meneruskannya.

Terkejut…

Itulah yang mereka berdua rasakan.

Sadar terlebih dahulu, seseorang itu pun mengalihkan pandangannya, lalu mengulangi permintaan maafnya sekali lagi sebelum berlalu.

“Maaf.”

Cewek itu mengerjapkan matanya beberapa kali seperti sedang tersadar dari hipnotis. Ia menoleh mencari sosok yang ia tabrak, namun sudah menghilang dari jangkauan pandangannya.

Ia memgang dadanya yang tiba-tiba berdegup kencang. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi beberapa menit lalu. Hingga deringan ponsel yang ada di tangannya menyadarkan dirinya dari keterkejutannya.

“Iya, pa? Ini sudah sampai.” jawabnya, tanpa menunggu orang yang menelepon berucap. Ia langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

Ia pun menoleh sekali lagi ke belakang sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya menemui sang papa yang sudah menanti kehadirannya.

Di lain tempat, seorang cowok terlihat sedang merenung. Kejadian beberapa menit yang lalu membuatnya mengenang masa lalu saat ia masih duduk di bangku SMA tiga tahun silam.

Ahmad Ali Afrizal, seorang siswa yang terlahir dari kalangan orang tak mampu, mengagumi salah satu siswi teman sekelas pada tahun terakhir masa belajarnya di sekolah itu. Setiap harinya, Ali selalu berusaha datang paling awal ke sekolah. Ia termasuk siswa yang berdisiplin tinggi. Didikan kedua orang tuanya yang mengajarkan padanya untuk menghargai waktu.

Pada umumnya, anak seusianya selalu menghabiskan masa remaja dengan berkumpul dan nongkrong tak jelas bersama teman-temannya, menghambur-hamburkan uang saku yang ia dapatkan tanpa mau tahu bagaimana usaha dan jerih payah orang tua mereka. Namun, Ali termasuk anak remaja yang langka. Ia memilih untuk bekerja paruh waktu demi membantu kondisi keuangan keluarganya. Setidaknya, ia bisa membantu meringankan beban orang tuanya yang tak perlu lagi memberinya uang saku.

Siapa sih yang tidak senang mendapatkan honor kerja untuk pertama kalinya? Itulah yang Ali rasakan waktu itu. Ia pun berniat membeli sesuatu untuk cewek yang ia kagumi dengan uang hasil keringatnya. Karena tak punya nyali untuk memberikannya secara langsung, ia pun berinisiatif meletakkan barang yang sudah ia beli di loker milik cewek itu, yang memang peraturan sekolah melarang para siswa membawa pulang kunci loker ke rumah. Kunci loker harus selalu menggantung di loker setiap siswa yang terletak di depan kelas masing-masing.

Ali mengamati dari kejauhan. Ia menatap sendu setangkai bunga mawar yang selalu berakhir di dalam tempat sampah dan sebatang coklat yang dilahap habis orang lain, bukan orang yang ia tuju. Namun, ia tak pernah menyerah. Ia selalu meletakkan setangkai bunga mawar dan sebatang coklat setiap bulan sekali setelah ia menerima honor di loker cewek tersebut.

Namun nahas, satu bulan menjelang Ujian Nasional berlangsung, semuanya harus terbongkar. Cewek itu memergokinya sendiri. Ini salahnya, karena ia datang kesiangan ke sekolah. Setelah memastikan suasana di koridor terlihat sepi, maka dia tetap memberanikan diri untuk menjalankan aksinya.

“Oh, jadi lo yang selama ini ngirimin gue bunga dan coklat?”

Ali mati kutu. Ia hanya bisa menunduk di saat semua siswa mengelilinginya dan memandangnya remeh. Seperti layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah.

“Punya modal apa lo dekatin gue? Jangan belagu lo! Sekolah pakai sepeda saja sok kaya lo beliin gue bunga dan coklat.”

Puukk…

Tepukan di pundaknya, memutuskan lamunan Ali pada kenangan tentang Prilly Erliani Syarla, teman satu kelas yang ia kagumi dalam diam. Yang tak lain adalah seorang cewek mungil yang bertabrakan dengannya beberapa saat lalu.
Ia menarik napas dan menghembuskannya perlahan.

“Ngelamun saja! Nih, sudah jadi.” Ali menggaruk bagian belakang kepalanya, malu ketahuan sedang melamun di tempat umum seperti ini.

“Berapa mas?”

“213 ribu rupiah. Lo bayar 210 saja.” Ia pun segera membayar dengan uang pas.

“Terima kasih, mas.” Kemudian ia bergegas menyebrang jalan meninggalkan tempat foto kopi.

“Ini Pak.” Ali menyerahkan berkas yang sudah ia foto kopi pada atasannya.

“Oh iya Li, kamu disuruh menemui boss besar di ruangannya.”

“Saya Pak?” tanyanya untuk meyakinkan bahwa ia tak salah dengar.

“Bilang sama Ahmad Ali Afrizal untuk menemui saya secepatnya. Gitu tadi bilangnya.” Ali menelan ludahnya dengan susah payah. Seketika ia menjadi gugup dan gelisah.

“Kira-kira ada apa ya Pak kok saya dipanggil?”

Sang atasan menghendikkan kedua bahunya. “Sudah sana. Jangan biarkan beliau menunggu lagi. Tadi beliau sudah menghubungi ke ponselmu tapi tidak kamu angkat.”

Ali meraba saku kemeja dan celananya untuk mencari sesuatu. Ia menepuk dahinya. Teringat bahwa ia lupa membawa hpnya. Pasti boss besar sudah meneleponnya berkali-kali. Siap-siap saja kau Li! Rutuknya dalam hati.

Saking paniknya, Ali meninggalkan ruangan atasannya tanpa permisi. Ia mempercepat langkahnya, bahkan sedikit berlari menaiki ratusan anak tangga menuju ruangan yang berada di lantai paling atas. Dan nampaknya ia lupa jika di kantor tempatnya bekerja disediakan lift.

Ali mengatur napasnya yang memburu sebelum mengetuk pintu di depannya dan dipersilakan masuk.

Ali membelalakkan mata yang dihiasi bulu mata lentiknya. Ia terkejut untuk yang kedua kali melihat dia berada di ruangan boss besar. Dia sedang mengusap pipinya, sepertinya menyeka sisa air matanya. Tebak Ali dalam hati. Mata dia terlihat basah saat tak sengaja retina mereka saling menatap.

“Duduk!” Perintah boss besar menyadarkan Ali dari rasa terkejutnya. Dengan ragu, ia duduk di sofa yang sama dengan dia.

“Apa kamu mengenalnya?” tanya boss besar  menunjuk seseorang yang duduk di sebelah Ali.
Ali mengangguk ragu.

“Memangnya siapa dia?”
Ali menggigit bibir bawahnya.

“P… Pri…lly.” mendadak ia menjadi gagap.

“Ceritakan apa yang kamu ketahui tentangnya.”

“Ap… Apa?”

“Apa saja yang kamu ketahui tentang dia?”

Ali menundukkan kepalanya semakin dalam. Ia tidak tahu jika Prilly yang berada di sampingnya menatapnya instens. Menunggu dengan cemas jawaban apa yang akan meluncur dari cowok yang pernah ia sakiti dulu.

Ali menarik napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Ia pun memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya tanpa menoleh pada sosok di sebelahnya.

“Prilly Erliani Syarla.” ucap Ali lirih.  “Cewek mungil dengan mata merah kecoklatan yang berbinar indah, rambut hitam yang panjang tergerai rapi, dan pipi chubby yang menggemaskan.” Lanjutnya semakin lirih. Namun cukup bisa di dengar dengan baik oleh Prilly dan papanya.

“Apa kamu tahu dia anak konglomerat?”

Ali mengangguk lemah lalu menundukkan kepalanya lagi. Pertanyaan itu seolah menghantam sisi hatinya paling dalam. Iya, ia harus sadar diri siapa dirinya dan siapa Prilly. Meskipun tak dapat ditampik bahwa Ali merindukannya setiap waktu dan masih menyimpan rasa yang sama untuk Prilly. Namun, tak kan mungkin ia akan dapat menggapainya.

“Kamu tahu siapa nama orang tuanya?” Ali menggeleng lemah.

“Berdiri kau!” Hardik Pak Rizal, sang boss besar membuat Ali terperanjat. Ia segera berdiri.

“Perkenalkan…” Ali menautkan kedua alisnya bingung karena Pak Rizal tiba-tiba mengulurkan tangannya kepadanya. Dengan gemetar, ia pun mengulurkan tangannya yang terasa dingin menjabat tangan boss besarnya.

“Saya Rizal. Papa Prilly.” Mulut Ali menganga lebar, matanya melotot tak percaya. Prilly tertawa geli melihat ekspresi konyol Ali. Apalagi Ali hanya berdiam diri seperti robot tatkala Pak Rizal memeluknya.

“Nikahi putri saya segera.”
Bagai dihantam bebatuan yang besar, Ali merasakan kepalanya pening seketika hingga ia tak dapat berpikir jernih. Ia tetap diam mematung tanpa bersuara sedikitpun.

Sebuah tangan yang melingkar di lengannya cukup mampu mengembalikan kesadarannya. Ia menoleh. Senyuman manis dari cewek mungilnya menyapa. Mata Ali nampak berkaca-kaca.

“Kenapa?” tanya Prilly khawatir.

“Apa kamu tersenyum padaku?” tanyanya parau. Prilly mengangguk dan tersenyum lagi padanya. Setetes air mata mengalir di kedua pipinya.

“Terima kasih. Terima kasih, kamu mau tersenyum padaku.” ucap Ali tergugu. Ia tak menyangka bisa melihat dari dekat senyuman manis nan menawan yang ia damba sejak beberapa tahun silam.

Prilly pun ikut meneteskan air mata. Tak menyangka jika cowok yang ia peluk lengannya begitu menginginkan untuk melihat senyumnya.

Prilly sadar betapa jahatnya ia dulu pada Ali. Bersikap ketus dan tak pernah menghargai usahanya. Hingga akhirnya penyesalan itu datang menghampirinya semenjak kejadian itu. Di mana ia memergoki Ali, lalu memarahi dan mengejeknya hanya karena ia dan Ali berbeda status sosial dan ekonominya. Semenjak itu pula Ali tak pernah lagi mengiriminya bunga dan coklat yang ternyata membuat Prilly medesah kecewa saat memeriksa lokernya.

“Maafin aku dan sikapku yang dulu ya?” ucap Prilly dengan tulus.

Ali pun menyeka air matanya dengan kasar. Ia pun mengangguk dengan senyum lebar yang tercetak di wajah tampannya. Tak pernah terpikir dalam benaknya bahwa Prilly meminta maaf padanya. Dadanya berdetak sangat kencang. Tak dapat dipungkiri bahwa kini hatinya sedang berbunga-bunga.

“Nanti malam bawa orang tuamu ke rumah saya.” ucapan Pak Rizal membuat Ali dan Prilly harus mengalihkan pandangannya sejenak.

“Untuk?”

“Lamar anak saya.”

“Hah?”

“Kamu tidak mau dengan anak saya?”

Ali menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba tangan yang melingkar di lengannya pun terlepas membuat Ali segera menoleh ke samping.

“Bukan begitu..” ucapnya sendu. Ia mencoba untuk memberi penjelasan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.

“Aku, aku orang rendahan. Tak pantas untukmu. Tak ada yang bisa kamu harapkan dariku. Bagaimana---“ ucapan Ali terhenti ketika sebuah jari telunjuk menempel di bibirnya.

“Masih cinta nggak?” spontan Ali mengangguk.

“Mau nggak nikah sama aku?” sekali lagi Ali mengangguk.

“Ya sudah, terus apa lagi yang jadi masalah?” tanya Prilly sewot.

Ali menggaruk tengkuknya. Ia menyengir. “Aku belum ada dana.”

“Kita nikah di KUA saja. Potong gajimu bulan depan.”

“Hah? Aku nggak lagi mimpi kan?”

“Ya Allah, mimpi apa Ali semalam? Siang bolong gini ditodong nikahin anak orang?”

Prilly dan Pak Rizal terbahak melihat Ali mencubiti kedua pipinya beralih pada lengannya hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi.

-tamat-

Jateng, 081118

Cerpen ini aku tulis pada bulan Oktober lalu untuk diikut sertakan dalam event Diary Cerpen yang diselenggarakan oleh salah satu penerbit. Alhamdulillah, karyaku dengan tokoh Ali Prilly pun lolos dan diterbitkan dalam buku Antologi Cerpen dengan judul Mimpi untuk Esok oleh Penerbit Ahsyara.

#AliPrillybawahoki

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top