TheOne-7
SATU CINTA
Ahmad Aliandra Syarief
Prilly Agatha Latuconsina
-TO7-
Bruk...
Beberapa buku tercecer dilantai saat kedua orang yang tengah terburu-buru itu tak sengaja saling bertabrakan.
"Maaf..." Kompak keduanya saling mengungkapkan permintaan maafnya sambil berjongkok memungut buku-buku tersebut.
"Terima ka..." Ucapan seorang gadis yang sedang mendongakkan kepalanya untuk menatap orang yang berada dihadapannya itupun terhenti. Senyuman manis yang ia sunggingkan sebelumnya pun pudar. Tak berbeda dengan gadis tersebut, wajah orang yang bertabrakan dengannya pun menjadi pucat pasi sangking kagetnya melihat sosok yang ada dihadapannya.
"Ali..." Ucap gadis itu lirih dengan mata berkaca-kaca.
Sedangkan orang yang namanya ia sebut tadi hanya menghela nafasnya kasar dan sedetik kemudian berlalu tanpa sepatah katapun.
"Prilly...." Gadis itupun mengalihkan pandangannya yang sejak tadi memandang tubuh tegap seseorang yang melenggang pergi dari hadapannya.
"Ayo... Kita sudah ditunggu..." Prilly segera mengangguk dan mengikuti langkah teman yang memanggilnya tadi untuk memberikan berkas-berkas yang dipinta oleh atasannya.
Sedangkan di salah satu ruangan, seseorang sedang duduk sambil bertopang dagu, sepertinya sedang merenungkan sesuatu.
'Dia... Dia ada di sini... Ternyata orang yang aku hindari selama ini ada di dekatku. Sejak kapan dia bekerja di kantor ini? Mengapa aku tak mengetahuinya?'
Drrt... Drrt...
Bunyi getaran dari hp yang tergeletak di meja kerjanya pun mengalihkan lamunan seseorang tersebut. Ali, menghela nafasnya dengan kasar untuk menyingkirkan sejenak rasa penasarannya tentang gadis yang tak sengaja bertabrakan dengannya tadi. Kemudian ia meraih hpnya lalu meletakkannya kembali ke atas meja setelah mengetik sesuatu. Setelah itu, ia menyandarkan tubuhnya pada kursi kerjanya dengan berbantalkan kedua telapak tangannya yang berada di belakang kepalanya. Saat ia hendak memejamkan mata, tiba-tiba seseorang menyembulkan wajahnya di balik pintu.
"Li..." Tanpa menunggu sahutan pun orang itu langsung masuk ke dalam ruangan dan duduk dengan gaya cengengesannya tanpa menunggu dipersilakan sebelumnya.
"Sejak kapan Prilly kerja di sini?" Tanya Ali to the point pada seseorang yang menjadi tangan kanannya itu. Tatapan matanya tajam mengitimidasi, namun tak membuat orang tersebut ciut nyali.
"Tiga bulan lalu."
"Kenapa lo nggak bilang ke gue kalau dia melamar kerja di kantor ini?" Tanya Ali dengan sedikit nada meninggi.
"Karena gue tahu lo pasti akan langsung mencoret namanya dari daftar pelamar tanpa memberinya kesempatan untuk mengikuti tes." Jawabnya tenang.
"Honey..." Seseorang tiba-tiba muncul dengan wajah cerianya membuat percakapan Ali dan Baja pun terhenti.
Ali menghela nafasnya untuk mengontrol emosinya.
"Hai honey...." Ali pun tersenyum dan menyapa kekasihnya yang mendekat lalu mencium salah satu pipi gadis itu.
Baja memutar bola matanya jengah. Kemudian berpesan sebelum meinggalkan ruangan yang memuakkan baginya itu. "Ya sudah kalau sudah selesai periksa berkasnya, suruh Silvi ngantarin ke ruangan gue."
-TO7-
"Silvi, apa masih ada berkas yang harus saya periksa dan tanda tangani sebelum saya cuti?" Tanya Ali pada sang sekretaris saat Silvi menyodorkan beberapa berkas kepadanya.
"Tidak ada pak. Tapi..." Ucapan Silvi yang menggantung membuat Ali mengalihkan pandangannya dari berkas yang ia baca, kemudian mengernyitkan dahinya seolah meminta penjelasan dari sekretarisnya itu.
"Bertepatan dengan hari pernikahan anda nanti ternyata anda juga harus menghadiri pertemuan penting dengan pemilik perusahaan Twins Group."
Ucapan Silvi membuat Ali teringat perjanjian dengan perusahaan tersebut yang telah disepakati beberapa bulan lalu saat rencana pernikahannya masih abu-abu. Bahkan belum ada dalam benak Ali untuk meresmikan hubungannya dengan Indah, kekasihnya dalam waktu dekat. Dan entah mengapa, dua bulan lalu Indah tiba-tiba menodong Ali untuk segera menikahinya dengan alasan bahwa kedua orang tuanya selalu saja mendesak untuk segera menikah. Dengan campur tangan Alya, sang kakak, akhirnya Ali pun menyetujuinya tanpa berfikir ulang, walaupun hatinya masih meragu.
"Kalau begitu coba hubungi mereka untuk mengatur ulang jadwalnya."
"Baik pak..." Silvi keluar dari ruangan Ali bertepatan dengan munculnya seseorang yang langsung memeluk mesra Ali dan mendaratkan ciumannya pada salah satu pipi sang kekasih.
Tak lama kemudian Silvi kembali, membuat Ali mengurungkan niatnya yang hendak membalas pelukan Indah, kekasihnya.
"Maaf pak, saya sudah menghubungi pihak Twins Group. Namun mereka menolak untuk menunda pertemuan itu. Mereka tetap meminta sesuai dengan apa yang sudah disepakati sebelumnya."
Ali menghela nafasnya perlahan lalu memijit pelipisnya. Situasi yang cukup rumit. Tak mungkin ia menunda salah satunya. Persiapan pernikahannya sudah 95% dan tak mungkin dia akan membatalkannya demi perjanjian bisnis dengan perusahaan lain. Tak mungkin juga ia mempermalukan keluarganya hanya demi kelangsungan hidup perusahaannya.
"Baiklah, tolong panggilkan Baja. Suruh dia kemari." Silvi mengangguk kemudian berlalu.
"Ada apa sih honey?" Tanya Indah yang berdiri disampingnya. Ali pun berdiri dari kursi kebesarannya lalu mengajak kekasihnya untuk bersantai di sofa yang berada di ruangannya.
"Ada apa Li?" Belum sempat ia menjelaskan duduk persoalan yang membuatnya cukup pusing, Baja sudah muncul dihadapannya.
"Ja, lo gue tugasin untuk gantiin gue lusa." Ucap Ali tegas.
Baja menautkan kedua alisnya mendengar penuturan sepupunya yang sekaligus menjadi atasannya itu. "Lusa? Gantiin lo?" Ali mengangguk.
"Lo jangan bercanda deh Li!"
"Gue serius Baja."
"Iya Ja, tolonglah..." Indah pun ikut bersuara. Walaupun sebenarnya dia belum paham betul apa maksud Ali. Namun, melihat Ali sepertinya dalam situasi yang cukup rumit, akhirnya ia pun ikut memohon pada calon sepupunya itu. Dan Baja hanya meliriknya malas.
"Lo nyuruh gue gantiin lo? Beneran?" Tanya Baja dengan hati-hati. Dan Ali mengangguk dengan mantap.
"Li... lo nggak lagi sakit kan?" Ali hanya mengernyitkan dahinya merasa bingung dengan pertanyaan Baja.
Baja mondar-mandir tak jelas. "Terus Si Dahlia gue kemanain Li?" Tanya Baja dengan frustasi membuat Ali bertambah bingung.
"Maksud lo?"
"Lho... lo gimana sih? Bukannya tadi lo nyuruh gue gantiin lo lusa?" Ali mengangguk.
"Lo nyuruh gue gantiin lo nikah sama dia?" Tanya Baja sambal menunjuk malas ke arah Indah yang sedang bergelayut manja pada lengan Ali. Dan ucapan Baja itu mampu membuat Ali juga Indah tercengang..
Pletak...
Sebuah kotak tisu mendarat di pelipis Baja yang kebetulan sedang berbalik badan hendak duduk.
"Awwwss... Yang sopan ya lo sama kakak sepupu!" Gerutu Baja sambil mengelus pelipisnya lalu duduk di sofa sambil meringis kecil.
"Lagian siapa yang nyuruh lo gantiin gue nikah?" Tanya Ali geram. Ali menggelengkan kepalanya. Ternyata apa yang mereka berdua pikirkan adalah dua hal yang berbeda. Tak salah jika Baja mengira Ali menyuruhnya untuk menikahi gadis pilihan Ali karena sebelumnya Ali tak menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya terlebih dahulu.
"Lha terus?" Baja mendekatkan wajah shocknya pada Ali.
"Maksud gue... Lo gantiin gue mewakili gue ke Singapore, ada pertemuan penting dengan Twins Group."
Baja menghela nafasnya lega. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah sendu. "Yaah... Berarti gue gak ikut makan-makan di pesta pernikahan lo dong?" Protesnya.
"Lo nih ya! Yang dipikirin cuma makan..." Ucap Ali geram.
"Emang gak ada yang lainnya apa selain gue? Tega banget lo!"
"Gimana lagi Ja, ini penting dan tidak bisa ditunda."
"Honey... Aku punya usul..." Indah yang sejak tadi hanya diam menyaksikan perdebatan kedua saudara itu akhirnya bersuara.
"Gimana kalau kamu mengirim Prilly saja untuk mewakili kantor ini?"
"Prilly?" Tanya Ali dan Baja bersamaan.
"Iya, kenapa? Kamu nggak mau?"
"Dari mana kamu tahu Prilly bekerja di sini?" Pertanyaan Ali sukses membuat Indah menjadi gugup.
'Mampus gue! Keceplosan.' Indah merutuki dirinya sendiri dalam hati. "Ah... Em... Itu.... Kak Alya yang cerita... Iya aku tahu dari Kak Alya." Jawabnya memberi alasan.
Ali menyipitkan matanya menatap Indah yang berada di sebelahnya. "Jadi kamu tahu Prilly kerja di sini dan kamu tidak memberi tahu aku?"
"Memangnya itu penting ya buat kamu?"
"Iya pentinglah... Aku seorang atasan di sini jadi harus tahu siapa saja karyawanku." Jawab Ali dengan sedikit emosi. Jadi, orang-orang terdekatnya mengetahui bahwa orang yang ia hindari selama ini ternyata ada di dekatnya tapi tak ada satupun yang memberi tahunya. Ia merasa dipermainkan.
"Halah... Alasan. Bilang saja biar kamu bisa melepas rindumu itu pada dia." Ucap Indah yang ikut tersulut emosi.
"Maksud kamu apa sih?"
"Atau jangan-jangan kamu masih menyimpan perasaan terhadapnya ya? Iya kan?"
"Tidak." Ali menggeleng dengan tegas.
"Ya sudah agar aku bisa percaya jika kamu sudak tidak memiliki perasaan padanya, kirim dia ke Singapore untuk mewakili kantor ini."
"Tapi dia hanya seorang karyawan biasa honey.. Dia juga baru beberapa bulan kerja di sini. Bisa-bisa nanti..." Ali mencoba untuk memberikan pengertian namun Indah tak mau mendengarnya.
"Ya terserah! Yang jelas aku nggak ingin lihat dia ada di pesta pernikahan kita lusa."
Ali mengehla nafasnya kasar. "Honey..."
"Aku nggak mau ya dia mengacaukan suasana hatiku nanti dengan kedatangannya."
Ali tak habis pikir dengan kekasihnya yang keras kepala dan egois ini. "Baiklah... Aku akan mengirimnya sebagai perwakilan dari kantor." Akhirnya Ali pun mengalah agar tak menimbulkan pertengkaran.
"Aahh... Terima kasih honey..." Baja memutar bola matanya malas melihat tingkah labil kekasih sepupunya itu.
"Ja, segera lo bikin surat tugas dan berikan pada Prilly hari ini juga."
"Apa nggak sebaiknya dia didampingi Pak Hendi Li? Biar tidak menimbulkan kesalahpahaman pada karyawan lain nantinya?" Baja memberi usul untuk mengutus salah satu pimpinan divisi di kantor mereka.
"Ya sudah, lo atur aja."
-TO7-
"Siang pak..." Silvi berdiri dan menganggukkan kepalanya, menyapa atasannya yang baru saja datang.
"Silvi suruh Prilly ke ruangan saya sekarang juga. Beri tahu dia untuk membawa berkas hasil kunjungan ke Singapore dua minggu lalu." Ucap Ali kemudian berlalu masuk ke dalam ruangannya.
"Silvi..." Teriak Ali dari dalam ruangannya saat melihat Silvi tidak segera menjalankan perintahnya.
"I...ii...iya pak.." Silvi pun segera berjalan dengan cepat masuk ke ruangan bossnya itu setelah mendengar Ali meneriakinya.
"Cepat panggilkan Prilly sekarang!" Ucap Ali dengan nada meninggi.
"Ta... tapi pak..."
"Kenapa?" Tanya Ali kesal.
"Prilly sudah dua minggu tidak masuk kantor pak."
"Bukankah tugas ke Singapore hanya tiga hari? Lalu ke mana dia?"
"Memangnya bapak tidak tahu ya jika Prilly mengalami kecelakaan pada hari keberangkatannya ke Singapore?"
Degh...
Jantung Ali rasanya berhenti berdetak mendengar penuturan sekretarisnya.
"Apa??" Tanyanya dengan suara yang cukup lirih.
"Saya sudah menghubungi bapak untuk mengabarkannya waktu itu. Ibu Alya yang menerima telfon saya."
Ali duduk di kursi kebesarannya dengan lesu. Bahkan semakin merasa tubuhnya lemas tak bertenaga saat mendengar penjelasan Silvi.
"Ke..ce...la...ka...an?" Tanyanya dengan suara tercekat. Silvi hanya menganggukinya. Ali menghela nafasnya perlahan untuk mengurangi rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dalam dadanya. Silvi yang memperhatikan raut wajah atasannya yang terlihat sendu dan sepertinya merasa terpukul itupun ikut prihatin.
Ali memejamkan matanya beberapa detik sebelum kembali bertanya. "Lalu bagaimana kondisinya sekarang?" Silvi bisa melihat dengan jelas bahwa Ali berusaha menghalau air matanya agar tidak menetes.
"Prilly belum ditemukan sampai hari ini pak..." Silvi hanya mampu menunduk sedih menjelaskannya, sebelum dia pamit untuk kembali ke meja kerjanya menyisakan berbagai pertanyaan dalam benaknya.
Setelah merasa cukup mampu menguasai dirinya kembali, Ali memutuskan untuk menemui sang kakak ingin meminta penjelasan mengapa ia tak dikabari tentang kecelakaan Prilly.
"Terima kasih ya kak atas bantuanmu selama ini."
"Jika tanpa campur tangan kakak, aku yakin akan sulit untuk menyingkirkan Prilly dari kehidupan Ali."
Ali yang hendak masuk pun terpaksa menghentikan langkahnya saat samar-samar ia mendengar percakapan dua orang dalam ruangan itu. Ia menajamkan pendengarannya.
"Sama-sama Ndah. Lo ini kayak sama siapa aja.. Gimana sekarang perasaan lo? Udah lega kan?"
"Sangat... Sangat lega kak... Akhirnya saingan gue satu-satunya udah enyah dari kehidupan Ali." Indah menjawab pertanyaan Ali dengan senyum penuh kemenangan. Ali mengepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat mendengar obrolan Indah dan Alya dari balik pintu yang terbuka sedikit itu.
'Apa mereka yang merencanakan ini?' Tanya Ali dalam hati. Ali pun membalikkan badannya untuk berlalu dari depan ruangan itu dengan perasaan yang tak menentu. Tak ingin lagi mendengarkan pembicaraan yang memuakkan itu. Ia ingin menenangkan diri terlebih dahulu sebelum melabrak sang kakak untuk meminta penjelasan.
"Uukk..." Indah menutup mulutnya saat rasa mual dan ingin muntah kembali melanda.
"Lo kenapa Ndah?" Tanya Alya curiga.
"Eng... Nggak... Nggak apa-apa kak. Paling cuma kecapaian aja." Jawab Indah tergagap.
"Emang kalian lembur tiap hari ya pas bulan madu kemarin?" Alya menaik turunkan alisnya menggoda adik iparnya itu.
"Iiihh kakak apaan sih?" Indah mengelak dengan gugup. "Mungkin karena banyak tempat yang dikunjungi jadinya baru terasa sekarang capainya." Lanjutnya untuk berusaha meyakinkan.
Drrrtt... Drrttt...
Indah segera mengambil hp yang ada di dalam tasnya. "Em, kak aku ada janji bertemu dengan teman. Aku pergi ya..." Pamitnya setelah membaca chat tersebut.
"Iya, hati-hati.."
Tak berselang lama setelah Indah meninggalkan ruangan Alya,
Braakk...
Alya terlonjak mendengar suara gebrakan pintu yang dibuka dengan kasar.
"Ali? Lo apa-apaan sih? Nggak sopan banget." Tegurnya pada Ali.
"Kenapa lo nggak bilang sama gue kak?" Tanya Ali menggebu-gebu membuat Alya mengerutkan dahinya.
"Apa sih?"
"Kenapa lo sembunyiin kabar itu dari gue?" Desaknya lagi membuat Alya semakin tak mengerti.
"Kabar apa Ali?"
"Lo tahu kalau Prilly kecelakaan saat berangkat ke Singapore tapi kenapa lo nggak nyampaiin berita itu ke gue?" Ali menatap tajam kakaknya. Sedangkan Alya yang mendapat tatapan itu langsung memalingkan pandangannya pada berkas yang ada di atas mejanya.
"Oh...eemm... i..tuu..." Alya tergagap menjawabnya.
"Gue nggak mau merusak suasana pesta aja." Lanjutnya.
Alya pun berdehem untuk mengurangi rasa gugupnya kemudian menghela nafasnya. "Udah lo tenang aja.. Nih, laporan hasil kunjungan dari Pak Hendi. Jadi lo nggak perlu cemas..." Ucapnya berusaha sesantai mungkin lantas memberikan berkas itu kepada Ali yang masih setia menatapnya dengan tajam.
Buukk...
Dengan cekatan tangan Ali langsung melemparkan berkas itu ke lantai.
"Ali? Kenapa lo buang? Itu berkas penting.." Teriak Alya memprotesnya.
Ali mencengkeram kedua lengan kakaknya dan menggeram kesal. "Jadi lebih penting berkas ini dari pada nyawa Prilly? Iya?"
"Dengan entengnya lo nyuruh gue untuk tenang... Sedangkan sampai hari ini pun masih belum ada kabar tentang keberadaanya..." Ali mengguncang-guncang tubuh kakaknya dengan kasar.
"Lo pikir kak..." Tunjuk Ali tepat di depan wajah Alya. "Pakai juga hati nurani lo... Jika hal itu terjadi pada gue, gimana perasaan lo?" Alya terperanjat mendengar perumpamaan Ali. Ia tak berkutik sama sekali hingga akhirnya ia membiarkan Ali menumpahkan semua uneg-unegnya.
"Apa lo pernah mikir gimana perasaan orang tua Prilly sekarang?" Tanya Ali menatap Alya sendu dengan mata yang berkaca-kaca.
"Penyebab kecelakaan Prilly itu gue kak..." Ali tak mampu lagi menahan air matanya. Tubuhnya lemas meluruh ke kursi yang ada di hadapan meja Alya. "Gueee... Gue yang nyuruh dia berangkat ke Singapore... Gue kak...." Ali tergugu menyesali sikap egoisnya. Bagaimanapun ia tidak akan pernah bisa menghilangkan perasaan cintanya untuk Prilly. Gadis yang berusaha ia hindari beberapa tahun ini.
"Alii..." Alya memeluk tubuh adiknya yang bergetar.
"Kenapa lo lakuin ini sama gue kak?" Teriak Ali dalam tangisnya... Tak lama kemudian, Ali melepaskan diri dari pelukan kakaknya. Menyeka air matanya dengan kasar lalu berdiri dengan tegar.
"Selamat kak... Usaha kalian untuk memisahkan gue dengan gadis yang sangat gue cintai berhasil." Alya hanya mampu tercengang mendengar penuturan adiknya sebelum meninggalkan ruangannya...
"Alii...." Teriak Alya berusaha mengejar adiknya yang sudah menghilang dari pandangannya..
-TO7-
"Maaf nak, anda mencari siapa ya?" Tanya seorang wanita paruh baya saat melihat sosok seorang pemuda berdiri di depannya.
"Benarkah ini kediaman Bapak Rizal dan Ibu Ully?" Tanya pemuda itu ramah.
"Iya benar. Saya sendiri. Mari... mari, silakan masuk." Pemuda itupun mengikuti Bu Ully memasuki ruang tamu rumah sederhana itu.
"Sebentar saya panggilkan bapak dulu..." Ia mengangguk membiarkan Bu Ully memanggil suaminya.
"Selamat siang..."
"Siang pak... Saya, Aliandra Syarief, atasan putri bapak dan ibu, Prilly." Ali langsung berdiri menyalami punggung tangan Pak Rizal yang menemuinya.
"Nak Ali?" Ucap Bu Ully dengan wajah berbinarnya kala Ali memperkenalkan dirinya.
"I..iyaa... Dari mana ibu mengetahui nama panggilan saya itu?" Ali sangat terkejut mendengar Bu Ully mengenalinya.
"Prilly selalu bercerita tentang Nak Ali..." Seulas senyum terukir di wajah wanita paruh baya itu. Ucapan Bu Ully mampu membuat hati Ali berdebar seketika.
'Prilly cerita tentang gue sama ibunya?' Batin Ali bertanya-tanya.
"Kalau tidak salah, kalian dulu teman sekolah saat SMA bukan?" Ali tersenyum dan mengangguk.
"Dulu setiap pulang sekolah, dengan semangat dan wajah berbinarnya Prilly selalu bercerita pada ibu tentang kamu nak.. Namun, beberapa bulan sebelum kelulusan dia sudah tidak pernah lagi bercerita tentang Nak Ali. Setiap ibu tanya bagaimana kabar Nak Ali, dia hanya mengatakan bahwa Nak Ali baik-baik saja." Ali hanya diam mendengarkan dengan seksama curhatan Bu Ully.
"Buu..." Pak Rizal mencoba untuk menyela.
Ali langsung menggelengkan kepalanya. "Lanjutkan bu, saya ingin mendengar ceritanya." Ali benar-benar merasa penasaran kelanjutan cerita tersebut.
Bu Ully tersenyum simpul sebelum melanjutkan ceritanya. "Sebelum berangkat ke Surabaya setelah pengumuman kelulusan, Prilly pernah cerita bahwa dia telah melakukan kesalahan pada Nak Ali yang menyebabkan hubungan pertemanan kalian jadi renggang." Seketika ingatan Ali kembali pada kejadian hampir lima tahun lalu di lapangan sekolah. Saat dimana Ali melihat dengan mata kepalanya sendiri, Prilly menerima Deni sebagai pacarnya. Padahal ungkapan cinta Ali yang telah dulu dia nyatakan pada Prilly tak kunjung mendapatkan jawaban. Ali sangat sangat merasa kecewa dan sakit hati dengan keputusan Prilly itu. Padahal ia yakin betul bahwa Prilly juga mempunyai perasaan yang sama padanya.
"Dia juga bilang bahwa dia terpaksa menerima Deni sebagai pacar karena Prilly tidak ingin Nak Ali terluka." Lanjutan cerita Bu Ully membuat Ali tersadar dari lamunannya.
"Terluka?"
"Iya, Deni selalu mengancam dia akan menghajar Nak Ali kalau Prilly tidak menjauhi kamu nak..."
'Kenyataan apalagi ini Tuhan?' Teriak Ali dalam hati. Dia benar-benar syok, mengapa baru sekarang mengetahui kebenaran yang menyebabkan kesalahpahaman selama ini hingga menyebabkan ia membenci Prilly?
"Tolong maafkan kesalahan Prilly ya nak..." Bu Ully menyeka air matanya yang sudah tak dapat dibendung lagi. Pak Rizal dengan sigap membawa tubuh rapuh istrinya dalam pelukannya untuk memberikan ketenangan.
"Maafkan saya pak, bu... Saya..." Air mata Ali pun ikut mengalir membasahi wajahnya yang terlihat kusut. "Ini adalah salah saya.. Jika saya tidak menyuruh Prilly untuk menggantikan saya ke Singapore mungkin hal ini tidak akan terjadi.."
"Sudahlah nak... ini adalah takdir... Kami tidak menyalahkanmu... Namun, kami tidak memungkiri bahwa kami mengharapkan keajaiban dapat melihat Prilly kembali dalam kondisi apapun. Semoga jasadnya bisa segera ditemukan." Pak Rizal menyela ucapan Ali yang menyalahkan dirinya sendiri.
'Bahkan Ali berharap Prilly masih hidup pak.. Agar Ali punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami.' Doa Ali dalam hati.
Mereka bertiga sama-sma menangis dalam keheningan hingga suara getaran hp Ali memecah keheningan tersebut.
Ali menyeka kedua pipinya dengan kasar dan menghela nafasnya untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya.
"Maaf pak, bu. Saya ada rapat di kantor. Apa lain kali saya boleh kemari lagi?" Tanya Ali penuh harap. Masih banyak yang ingin ia tahu tentang Prilly. Hampir lima tahun ia melewatkan semua tentang Prilly hanya karena rasa sakit hatinya. Dan Indah lah yang selalu menemaninya selama ini.
'Indah...' Mengingat nama itu, Ali pun menyadari sesuatu. Iya Indah lah sumber masalahnya. Yang selalu memprovokasinya, menjelek-jelekkan Prilly hingga rasa benci itu tertanam dalam hati Ali.
"Tentu saja nak... Kapanpun Nak Ali mau bahkan menginap di sini pun kami akan dengan senang hati mengizinkan." Ucap Pak Rizal membuat senyum Ali mengembang.
"Terima kasih pak... Kalau begitu saya permisi dulu."
Namun, saat Ali hendak melangkah, Bu Ully pun mencegahnya.
"Tunggu sebentar nak... Bisakah Nak Ali ikut kami sebentar? Ada titipan dari Prilly untuk Nak Ali." Ali mengerutkan dahinya. Ia pun mengangguk mengikuti langkah pasangan suami istri tersebut menuju ke sebuah kamar sederhana bernuansa hijau itu.
"Ini... Sebelum berangkat Prilly menitipkan ini sebagai kado pernikahan Nak Ali."
Tangan Ali terulur menerima sebuah bingkisan dari Bu Ully dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati. Rasanya ia tertampar dengan sebuah kenyataan bahwa dirinya telah salah mengambil keputusan.
"Dan ini..." Ucap Pak Rizal menunjuk tiga buah kardus yang terjejer rapi di samping almari. Ali pun mengalihkan pandangannya pada kardus-kardus itu. Ali menautkan kedua alisnya tak mengerti.
"Ini... adalah surat-surat dari Prilly untuk Nak Ali." Jelas Pak Rizal.
Mata Ali terbelalak sempurna. "Untuk saya?" Tanyanya terkejut.
Pak Rizal pun mengangguk.
"Sebenarnya selama hampir lima tahun ini Prilly selalu berusaha mencari keberadaan Nak Ali. Dia ingin mendapatkan maaf dari Nak Ali dan memperbaiki hubungan kalian."
Mendengar penjelasan Pak Rizal itu, Ali melangkahkan kakiknya untuk membuka isi kardus tersebut. Kemudian membacanya satu persatu.
"Jumlahnya ada 1000 surat yang isinya sama, permintaan maaf Prilly pada Nak Ali." Ali masih melanjutkan membuka dan membaca satu persatu surat tersebut walaupun Bu Ully sudah menjelaskannya.
"Nak, tolong maafkan semua kesalahan Prilly... Semoga jalan Prilly menuju syurga Allah diringankan.."
'Tuhan, beri aku kesempatan untuk menebus semua kesalahnku. Beri aku kesempatan untuk mendapatkan maafnya. Dan beri aku waktu untuk membahagiakannya. Jangan ambil dia, Tuhan...' Batin Ali menjerit. Ali tak kuasa menahan air matanya yang mengalir begitu saja. Ia segera menyekanya dengan kasar.
"Apa ini boleh Ali bawa pulang?" Tanya Ali sambil menunjuk tiga buah kardus itu. Bu Ully dan Pak Rizal pun mengangguk mempersilakan.
-TO7-
Enam bulan kemudian,
Dengan berharap-harap cemas Ali menunggu pintu rumah megah itu dibuka.
"Mama..." Lirihnya kala melihat sang mama berdiri di depannya membukakan pintu.
"Ali...."
Ali langsung menubrukkan dirinya pada sang mama dan menangis sejadi-jadinya. "Maafkan Ali ma... Ali anak durhaka... Maaf... Ali..."
"Sssttt... Ayo masuk dulu..." Bu Resi mengajak Ali untuk masuk ke dalam rumah agar lebih leluasa berbicara.
"Ada apa sebenarnya?" Tanya Bu Resi dengan lembut setelah membawa Ali duduk di kursi ruang tamu.
"Ali... Ini karma buat Ali ma karena Ali tidak mau mendengarkan mama." Ucap Ali lirih, menundukkan kepalanya. Menyesal karena tak mau mendengarkan nasihat orang tuanya dulu. Bahkan ia memilih untuk tinggal di apartemen dan tak pernah lagi mengunjungi rumah orang tuanya saat ia memutuskan untuk menjalin kasih dengan Indah. Padahal kedua orang tuanya tak merestui hubungan tersebut.
"Maksud kamu? Coba ceritakan sama mama.." Ali pun menceritakan semua yang terjadi akhir-akhir ini padanya, pada hubungannya dengan istri juga kakaknya yang kini renggang dan tak lupa kejadian naas yang menimpa gadis yang sangat ia cintai hingga membuatnya selalu dihantui rasa bersalah dan menyesal sedalam-dalamnya. Bu Resi memilih diam untuk mendengarkan cerita sang anak dengan seksama.
Tiba-tiba sekelebat bayangan orang melintas membuat focus Bu Resi terpecah.
"Princess... Mau ke mana sayang?" Tanya Bu Resi pada seseorang tersebut membuat Ali menghentikan ceritanya dan ikut menoleh ke arah seseorang itu berdiri. Jantung Ali berdetak dengan cepat. Antara percaya dan tak percaya Ali memicingkan matanya kemudian menguceknya untuk mempertajam penglihatannya.
"Ma, aku mau ke teras samping." Rajuk seseorang yang dipanggil Princess tersebut tanpa menoleh ke arah Bu Resi duduk.
"Prilly?" Gumam Ali dengan nada bergetar. Masih memperhatikan Princess yang berjalan dengan tangan meraba-raba sekitarnya.
Bu Resi pun menoleh heran ke arah Ali yang duduk disampingnya. "Siapa Prilly Li? Beberapa hari lalu saat Alya kemari pun dia menyebut nama Prilly saat melihat Princess." Ali menatap nanar punggung Princess yang semakin menjauh dengan perlahan.
"Kak Alya tahu Prilly ada di sini ma?"
"Prilly siapa sih?" Tanya Bu Resi penasaran.
"Itu yang mama panggil Princess..." Jawab Ali ragu. Mungkin saja hanya mirip sekilas saja. Batin Ali menyanggah.
"Oh... dia... dia gadis yang nolongin mama waktu mama akan menyebrang jalan karena mama buru-buru Li. Waktu itu, mama sengaja pergi di hari pernikahanmu. Mama berniat untuk menenangkan diri ke luar negeri. Dalam perjalanan ke bandara, mama mampir dulu ke sebuah toko bunga. Saat menyeberang jalan, hp mama bunyi langsung mama angkat namun tiba-tiba ada orang yang mendorong mama dan..." Bu Resi tak mampu melanjutkan ceritanya. Sedangkan Ali terperangah mendengar penjelasan mamanya. "Dia malaikat penolong mama Li... Seandainya tidak ada dia mungkin mama sudah tidak ada di dunia ini... Tapi..." Lanjut Bu Resi yang mulai terisak mengingat kejadian tersebut. Ali mengernyitkan dahinya meminta penjelasan.
"Kecelakaan itu menyebabkan dia buta dan hilang ingatan."
Degh..
Jantung Ali arasanya berhenti berdetak.
Buta?
Amnesia?
Rasanya ia tak rela jika mata indah gadisnya tak bisa melihatnya lagi apalagi melupakan semua tentang dirinya. Entah mengapa hati kecilnya meyakini bahwa gadis itu adalah Prilly.
"Karena mama tidak tahu siapa namanya dan asal usulnya, makanya mama merawatnya dan memanggilnya Princess." Semangat hidup Ali kembali berkobar.
"Ali yakin dia adalah Prilly ma..." Ucapnya dengan mantap kepada sang mama. Bu Resi menautkan kedua alisnya. "Teman SMA Ali dan juga karyawan Ali di kantor." Jelas Ali mengerti keheranan sang mama. "Gadis yang Ali cintai selama ini ma..." Lanjutnya dengan lirih masih tetap memperhatikan seorang gadis yang sedang duduk di teras samping rumanh mamanya.
Dengan mata berkaca-kaca Bu Resi tersenyum memperhatikan raut wajah bahagia anak lelakinya itu yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
"Kalau kamu yakin dia gadismu, gapailah dia kembali." Bu Resi menepuk pundak Ali pelan.
"Pasti ma.. Ali akan lakukan apapun untuk mendapatkannya kembali. Terima kasih ma..."
Usai mendapat suntikan semangat dari sang mama, Ali pun berusaha mendekati Princess. Dan ternyata apa yang dikatakan mamanya adalah sebuah kenyataan. Namun, Ali bertekad untuk memulihkan ingatan Princess juga membuat Princess agar bisa kembali melihat. Jujur, Ali merindukan binar indah mata gadis itu menatapnya.
-TO7-
"Hahaha...." Tawa dua orang wanita itu terhenti ketika mendengar deheman seseorang.
"Honey..." Sapanya dengan wajah berbinar melihat siapa yang masuk ke ruangan kakak iparnya.
"Maaf ya honey aku lama, sampai kamu harus nyusulin aku ke sini." Ucapnya percaya diri.
"Duduk Li."
Bukk...
Bukannya mengikuti perintah sang kakak untuk duduk, namun Ali melemparkan sebuah amplop coklat berukuran dengan ke atas meja hingga beberapa lembar kertas yang ada di dalamnya berceceran.
"Apa ini?" Alya mengambil salah satu kertas itu dan memperhatikannya dengan seksama. Sedetik kemudian, Alya menutup mulutnya dengan tangan karena merasa tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sedangkan mata Indah terbelalak kaget melihatnya. "Honey?" Ucapnya lirih dengan mata berkaca-kaca. Namun Ali tak menghiraukannya.
Dengan rasa syoknya, Alya menoleh pada Ali dan Indah secara bergantian.
"Indah?" Alya ingin meminta penjelasan. Di tangannya ada beberapa lembar foto Indah yang sedang berada di sebuah club. Tak hanya itu, ada juga foto Indah sedang dirangkul mesra seorang laki-laki. Dan Indah hanya mampu menundukkan kepalanya dengan isak tangis yang berusaha ia tahan.
Ali menghela nafasnya kasar. "Gue kecewa sama lo kak..." Alya mengerutkan dahinya tak mengerti.
"Ini yang ketiga kalinya kak lo udah bohongin gue.."
"Maksud lo?"
"Pertama lo bilang Prilly sudah bahagia dengan laki-laki pilihan orang tuanya."
"Ii... itu..."
"Kedua, lo sengaja menutupi kabar tentang kecelakaan Prilly dari gue."
"Ali... gue..."
"Dan sekarang, lo tahu di mana keberadaan dan kondisi Prilly tapi lo nggak ngasih tahu gue?"
"Li, gue juga baru tahu tiga hari lalu..."
"Tapi kenapa lo nggak langsung ngasih tahu gue? Mau sampai kapan lo sembunyiin hal itu dari gue? Kalau kemarin gue nggak ke rumah mama dan melihatnya sendiri... Pasti gue nggak akan pernah tahu sama sekali."
"Li, lo jangan salah paham... Gue nggak ngasih tahu lo itu ada alasannya..."
"Gue nggak peduli apapun alasannya. Yang jelas gue sangat sangat kecewa sama kakak gue sendiri."
"Gue cuma nggak mau hubungan lo dan Indah..."
"Stop! Hubungan gue dan dia akan segera berakhir."
"Li, tapi Indah sedang hamil..."
"Hamil?" Ali tersenyum sinis mendengarnya. "Gue bahkan belum pernah menyentuhnya sama sekali.." Lanjutnya membuat Alya terkejut bukan main.
"Surat perceraian kita sudah aku urus. Tinggal menunggu bayimu lahir saja." Ucap Ali dingin tanpa menoleh pada Indah yang sejak tadi hanya menunduk dan terisak.. Lalu Ali melangkahkan kakinya untuk pergi dari ruangan itu.
Namun, langkahnya terhenti sesaat setelah langkahnya mencapai ambang pintu. "Oh iya, jangan lupa kabari kekasihmu untuk segera mempersiapkan pesta pernikahan untukmu." Kemudian melanjutkan langkahnya tanpa ingin menoleh lagi ke belakang.
"Indah..."
"Maaf kak...."
-TO7-
Andra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia merasa panik setelah mendapatkan telfon dari mamanya yang mengatakan bahwa Princess jatuh pingsan. Ini adalah kejadian untuk yang ketiga kalinya dalam beberapa bulan ini. Keinginan kuat untuk bisa kembali mengingat siapa dirinya dan orang-orang di sekelilingnya lah yang membuat pikiran Princess terforsir.
"Maaf.." Andra menolehkan wajahnya ke samping pada gadis yang sudah membuka matanya.
"Princess.." Ia pun segera membantu Princess untuk duduk bersandar di kepala ranjang.
"Andra?" Princess memicingkan matanya sembari menyebut nama seseorang yang ada di hadapannya dengan nada bertanya. Tangannya terulur untuk menyentuh pipi Andra.
Senyum manis terukir di wajah lelaki itu. "Kamu bisa melihatku Princess?" Andra memejamkan matanya menikmati sentuhan hangat itu.
Princess mengangguk dengan lemah. "Tapi buram..." Jawabnya lirih.
"Alhamdulillah... berarti terapi yang kamu jalani sudah ada perkembangan dengan baik.." Susah payah Andra membujuk dan menyemangati Princess untuk mau menjalani terapi pijat syaraf agar dirinya bisa kembali melihat karena gadis itu bersikukuh tidak mau matanya dioperasi.
Andra menggenggam tangan Princess. "Sabar ya Princess, aku yakin suatu saat nanti penglihatanmu pasti kembali normal."
"Iya, terima kasih ya Ndra selalu nyemangatin aku.." Ucap Princess menyambut genggaman tangan Andra.
"Aku akan selalu ada untuk kamu sayang..." Mata Princess terpejam merasakan bibir Andra yang mengecup keningnya.
"Ehem.." Deheman itu membuat keduanya jadi salah tingkah.
"Gitu ya... Mama nggak di kasih tahu kalau Princess mama sudah siuman.."
"Mama?" Princess menoleh pada Andra seraya bertanya. Andra mengangguk membuat Bu Resi mengernyitkan dahinya.
"Ma, Peluuuukkkk..." Princess merentangkan kedua tangannya meminta Bu Resi untuk memeluknya.
"Sayang, kamu... Apa kamu sudah bisa melihat kembali?" Tanya Bu Resi penuh keharuan. Princess pun tersenyum dan mengangguk. Bu Resi langsung mendekat dan memeluknya dengan erat kemudian menciumi seluruh bagian wajah gadis manjanya itu.
"Beliau mama kita sayang... Cantik kan?" Ucap Andra merangkul sang mama. Princess tersenyum lebar dan mengangguk setuju atas ucapan Andra. "Tapi masih cantikan kamu sih.." Colek Andra pada dagu Princess membuatnya tersipu malu.
"Aduuh..." Andra mengaduh saat merasa telinganya dijewer oleh sang mama yang berada disampingnya.
"Coba bilang sekali lagi... Cantikan mama apa Princess?"
"Aduuhh... iya... iya... Cantikan Prilly ma." Andra mengusap telinganya yang memerah bekas jeweran itu. Princess yang sedari tadi menahan tawanya melihat tingkah mama dan Andra pun terhenyak.
"Prilly?" Andra terkesiap mendengar gumaman Princess. Andra menepuk mulutnya, merutuki kebodohannya yang keceplosan.
"Emm... itu sayang..." Andra menghela nafasnya perlahan.
"Prilly itu calon istri aku..."
"Calon istri?" Tanya Princess dengan mata berkaca-kaca. 'Lalu apa artinya aku bagimu Ndra?' Tanyanya pilu dalam hati.
Andra mengangguk dengan wajah bahagianya membuat hati Princess seketika terasa nyeri.
Melihat ada sedikit ketegangan di antara dua anak muda di hadapannya, Bu Resi pun meninggalkan kamar itu, memberi waktu untuk mereka berdua berbicara dari hati ke hati.
"Iya, dia adalah seorang gadis cantik, baik hati dan juga tulus.. Dia pacar aku saat SMA. Tapi, aku sudah menyakitinya. Aku selalu menghindarinya hanya karena rasa kecewa dan sakit hati saat melihat dia menerima yang lain... Bahkan aku pernah membencinya. Bodohnya aku yang mudah terhasut omongan orang lain tanpa mencari tahu kebenarannya dulu." Andra menghela nafasnya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Sedangkan Princess hanya terdiam menunduk dan mendengarkannya. Membiarkan Andra, orang yang akhir-akhir ini sudah berhasil mencuri hatinya, menumpahkan semua isi hatinya.
"Dan kamu tahu sayang?" Ali menarik dagu Princess agar mau menatapnya. "Aku sangat menyesal." Ucapnya menatap nanar wajah gadis yang ada di hadapannya.
"Tapi, aku bersyukur... Aku berterima kasih pada Tuhan karena telah memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya lagi. Dan aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menebus semua kesalahanku, untuk mendapatkan maaf darinya dan untuk membagiakannya."
Tess...
Air mata Princess mengalir begitu saja mendengar penuturan Andra. Dengan cekatan, Andra segera menyeka air mata yang terus menerus mengalir di pipi chubby gadisnya.
"Kembalilah padanya..." Ucap Princess sambil terisak.
"Kamu, merestuinya?" Princess mengangguk sambil menyeka air matanya yang tak mau berhenti,
"Terima kasih sayang..." Ucap Andra dengan binar kebahagiaan di wajahnya. "Kalau begitu, hari ini juga aku akan melamarnya.." Ucap Andra girang kemudian mencium kening Princess kilat sebelum ia pergi meninggalkan kamar. Tinggalah Princess yang menangis tersedu setelah kepergian Andra.
'Bohong jika aku tak merasa sakit mengetahui ternyata kamu mencintai yang lain. Aku akan bahagia untuk kebahagiaanmu Andra...' Lirih Princess dalam hatinya. Ia segera menyeka air matanya yang semakin deras membanjiri kedua pipinya. Berusaha untuk menguatkan hatinya.
Tak lama kemudian Andra kembali muncul dengan diikuti dua orang paruh baya di belakangnya.
Princess mendongakkan kepalanya merasakan ranjangnya sedikit bergoyang. Matanya yang masih basah bersibobrok dengan mata teduh Andra yang duduk di sampingnya.
"Sayang..." Andra mengelus lembut rambut Princess yang terurai.
"Kenalkan, mereka adalah orang tua Prilly."
Degh...
Jantung Prilly berdebar dengan kencang saat melihat dua orang paruh baya berdiri seraya tersenyum padanya.
"Boleh kami memelukmu nak?" Dengan spontan Princess menganggukkan kepalanya saat salah satu dari mereka bertanya.
Andra menyingkir memberikan ruang pada kedua orang tua itu untuk mendekat.
"Prilly, sayang... ini ibu dan ayah...." Ucap Bu Ully terisak memeluk tubuh mungil Princess. Pak Rizal pun ikut memeluk mereka berdua.
"Anakku..." Mendengar ucapan Pak Rizal membuat hati Princess menghangat. Princess yang masih merasa kebingungan pun ikut meneteskan air matanya kembali. Bahkan Andra dan Bu Resi yang menyaksikannya pun ikut menangis dalam diam.
Beberapa saat kemudian Pak Rizal dan Bu Ully melepaskan pelukannya.
"Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah mengabulkan doa kami." Pak Rizal mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya yang di aamiin kan oleh istrinya.
"Sayang, ini ibu... dan ayah.."
"Ibu dan ayah?" Tanya Princess melihat dua orang tua yang duduk di seelah kanan kirinya itu bergantian.
"Dan aku adalah calon suamimu.." Andra pun iku mendekat dan Bu Ully pun bergeser memberi tempat padanya untuk duduk di samping Princess.
"Prilly?" Princess menautkan kedua alisnya tak mengerti. Andra mengangguk dan tersenyum.
Andra menarik tangan Princess kemudian mengecupnya. "Kamu adalah Prillyku. Prillynya Ali."
"Ali?"
"Ali akan kembali bersama pulihnya ingatan Prilly." Jawab Andra membelai rambut Princess.
Princess memijat pelipisnya. Penuturan Andra membuatkan pusing tiba-tiba. "Andra... aku... aku... pusing..." Ucapnya menyandarkan kepalanya di bahu Andra.
"Jangan dipikirkan sayang... Jangan dipaksa." Andra memeluknya memberi ketenangan.
Hening sesaat...
"Menikahlah denganku..." Ucap Andra memecah keheningan.
"A... apa?" Princess melepaskan diri dari pelukan Andra.
"Ini ajakan bukan penawaran."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian Princess. Aku tidak mau kamu menolak."
"Kamu melamar apa nodong sih Ndra?" Ucap Princess memanyunkan bibirnya kesal. 'Ngajak nikah kok nggak romantis.' Gerutunya dalam hati.
Andra tertawa melihat ekspresi gadisnya yang menggemaskan itu. "Aku sudah menodong ayah dan ibu lebih dulu untuk merestui pernikahan kita."
"Iya nak... sudah dari beberapa bulan lalu malah." Pak Rizal yang masih duduk di sebelah Princess pun menimpali.
"Padahal dia belum resmi bercerai." Kini giliran Bu Resi yang berbicara.
"Bercerai?"
"Ups... Maaf sayang mama sengaja." Ucap Bu Resi tersenyum jail. Kemudian mengajak calon besannya untuk meninggalkan Andra dan Princess berdua.
Andra menghela nafasnya. 'Mungkin ini memang saatnya dia harus mengetahui semuanya sebelum ada kesalahpahaman yang terjadi selanjutnya.'
"Aku menikah dengan sahabat kamu, Indah, hampir satu tahun lalu."
"I... Indah?" Princess menautkan kedua alisnya.
"Iya, Dan alhamdulillah kami sudah resmi bercerai sebulan lalu setelah anaknya lahir." Ucap Andra dengan wajah bahagianya.
Namun, respon yang diberikan Princess ternyata di luar dugaan. "Ka.. Kamu menceraikan dia? Bahkan dia baru saja melahirkan.. Kamu jahat Ndra... Kamu jahat..." Ucap Princess geram memukuli dada Andra berkali-kali.
"Hei, dengar dulu..." Andra mencekal kedua pergelangan tangan gadisnya yang memberontak. "Justru aku mengembalikan dia pada orang yang harus bertanggung jawab pada anak yang dia kandung..."
"Maksudnya?"
"Dia menjalin hubungan dengan yang lain selain denganku.. Dia hamil dengan yang lain..."
"Ka.. Kamu nggak bohong kan?"
"Sayang, bahkan aku belum pernah menyentuhnya."
"Masa?" Tanya Princess ketus.
"Kamu nggak percaya?"
"Sayang, kamu jangan bikin aku frustasi dong..." Andra mengacak rambutnya frustasi karena Princess tak kunjung menyahut.
"Sayang, kamu marah ya karena harus menikah dengan seorang duda?" Tanya Andra lirih.
"Siapa bilang aku mau nikah sama kamu?" Andra membulatkan matanya dengan sempurna.
"Aku memaksa."
"Lalu Prilly bagaimana?"
"Prilly adalah Princess. Dan Princess adalah Prilly." Ucapan seseorang yang baru saja datang menghentikan perdebatan mereka.
"Kak Alya..." Alya tersenyum dan melangkah mendekat kemudian memeluk Ali atau yang dikenal Princess dengan sebutan Andra.
"Maafin kakak Li..."
"Maafin Ali juga kak..."
Alya memperkenalkan dirinya pada Princess setelah melepaskan pelukannya dengan adik lelakinya. "Hai... Prilly... Aku Alya... Calon kakak iparmu..."
"Maafin kakak yaa..." Alya memeluk Princess yang juga membalas pelukannya.
"Maaf untuk apa?"
Alya menghela nafasnya dengan kasar. "Maaf sudah berusaha memisahkan kalian." Princess menautkan kedua alisnya bingung.
Ali yang mengerti pun langsung berusaha untuk menenangkannya. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan ya..." Ucapnya mengusap lengan Princess.
"Prill, yang harus kamu ingat adalah Princess dan Prilly itu orang yang sama." Alya tersenyum dan memeluk Prilly lagi sebelum berlalu keluar.
"Jadi, aku Prilly?"
"Tepat sekali." Ali menjentikkan jarinya.
"Jadi, kapan kita menikah?" Tanyanya, merengkuh Prilly dalam pelukannya.
"Beneran mau nikah?" Prilly mendongakkan wajahnya. Ali tersenyum dan mengangguk dengan mantap.
"Maaf Ndra..." Ali menautkan kedua alisnya tak mengerti. 'Apa Prilly benar menolak?'
Prilly melepaskan diri dari pelukan Ali. "Aku belum bisa mengingat tentang Ali..." Ali tersenyum lebar dan hatinya menjadi lega mendengar pernyataan Prilly.
Ali kembali meraih tubuh mungil gadisnya ke dalam dekapannya. "Tidak apa-apa. Jangan dipaksakan sayang.. aku yakin suatu saat ingatan kamu pasti kembali."
"Aku juga belum ingat Prilly.'
"Udah dong, jangan dipaksakan..." Ali mengecup kening Prilly dalam.
"Yang penting kamu harus tahu satu hal."
"Apa?"
"Ali ditakdirkan untuk Prilly. Dan Andra ditakdirkan untuk Princess Agatha. Baik Ali Prilly maupun Andra Agatha adalah satu cinta."
Ali mengarahkan tangannya ke depan dengan posisi ibu jari dan jari telunjuknya membentuk setengah dari simbol "Love" yang kemudian disambut hangat oleh tangan Prilly hingga bentuk symbol "Love" itu terbentuk dengan utuh dan sempurna.
"Satu cinta." Ucap mereka bersamaan.
"Li, kali ini lo nggak ada niat nyuruh gue gantiin posisi lo gitu?"
Bukkk..
Baja langsung lari terbirit-birit saat Ali menimpuknya dengan sebuah bantal karena sudah mengganggu momen romantisnya bersama Prilly.
"Jadi, kapan nikah?" Ali tercengang mendengar Prilly menanyakan kapan mereka nikah? Namun sedetik kemudian wajahnya berseri...
"Papa, mama, ayah, ibu......"
"Ada apa?" Keempat orang paruh baya itu tergopoh-gopoh mendengar teriakan Ali. Bukan niat untuk memanggil mereka, hanya ingin berteriak saja karena merasa bahagia...
Ali pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal... "Kapan nikahnya?"
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top