TheOne - 6
TRAUMA CINTA
Ahmad Ali Afrizal
Prilly Safira Erliani
Perlakuan kejam dan semena-mena yang selalu diterima Prilly membuatnya menjadi trauma dan ragu atas sikap baik Ali, suaminya. Apalagi yang ia tahu bahwa Ali tak pernah menganggap ada ikatan suci di antara keduanya karena pernikahan mereka hanyalah pernikahan di bawah tangan atau bahasa kerennya pernikahan siri. Bahkan, Ali tak segan membawa kekasihnya ke rumah, tak merasa sungkan pula untuk bermesraan di hadapan istri siri yang hanya diakuinya sebagai salah satu asisten di rumahnya.
"Dia, pembantu baru kamu ya honey?" Tanya Laila sesaat setelah Prilly membukakan pintu untuk mereka.
"Iya..." Jawab Ali malas dan menghendikkan kedua bahuanya acuh. Kemudian mengajaknya duduk di sofa. Lalu menyalakan televisi yang ada dihadapannya. Menyadari bahwa kekasihnya tak membuka suara lagi, Ali pun menoleh...
"Kenapa sih love?" Tanya Ali begitu mendapati wajah Laila yang ditekuk.
"Awas ya kamu naksir pembantu barumu itu nanti!" Jawab Laila melayangkan tatapan tajamnya pada Ali.
"Hahaha...."
"Kok malah ketawa sih?" Tanya Laila kesal.
"Lagian kamu lucu love... Mana mungkin sih aku naksir sama dia? Ada-ada aja kamu nih." Jawab Ali sambil menowel dagu Laila. Kemudian mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir gadis itu.
Bahkan tak peduli dengan kedatangan Prilly yang menyuguhkan minuman serta camilan untuk mereka. Ali melanjutkan aksi ciumannya dengan melumat bibir seksi kekasihnya itu hingga suara decapan pun terdengar begitu mengerikan di telinga Prilly. Dengan secepat kilat ia pun bergegas meninggalkan ruangan itu yang telah membuat dadanya merasa sesak. Tak mau tahu lagi apa yang terjadi setelahnya pada pasangan mesum itu.
Selain suara decapan yang sangat mengganggu indera pendengarannya, tingkah gadis yang selalu bersandar dan bergelayut manja pada Ali itu pun merusak indera penglihatannya bahkan sampai terdengar suara gelak tawa yang begitu membahagiakan dari pasangan tersebut, namun memilukan untuk Prilly yang mendengarnya hingga akhirnya mereka berdua pindah masuk ke dalam kamar Ali yang berada di lantai atas sampai keadaan kembali senyap. Seperti itulah pandangan yang selalu tersaji di depan mata Prilly tiap kali Ali mengajak kekasihnya ke rumah.
"Yang sabar ya non..." Mbok Rum pun hanya bisa mengelus punggung si nona mudanya itu saat tubuhnya terlihat bergetar.
Belum cukup rasa sakit dan pedih yang Prilly rasakan, bahkan Ali menambahnya dengan rasa yang teramat pahit dalam hidupnya.
"Prilly... buka pintunya...." Ali berteriak dan menggedor pintu rumahnya saat menjelang dini hari.
Dengan tergagap Prilly bangun dari tidurnya karena kaget mendengar suara gedoran dan teriakan yang tak berhenti itu akhirnya Prilly membukakan pintu.
"Lama amat sih?" bentak Ali setelah pintu terbuka dan duduk di sofa ruang tamu. Tanpa merespon ucapan Ali, Prilly pun mengunci pintu kembali dan segera berlalu dari hadapan Ali.
Namun tak disangka tiba-tiba Ali membopongnya kemudian membanting Prilly ke atas kasur dengan kasar.
"Tt... Tuu.. tuan..." Suara Prilly tercekat dan ketakutan menghampirinya saat Ali dengan senyum seringaiannya mulai melepaskan bajunya satu persatu.
"Ja... Jangan tu...an." Prilly memundurkan tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman Ali.
"Layani aku..." Dengan beringas Ali menyeret kaki Prilly hingga jatuh telentang kemudian menindihnya, menyobek baju tidur yang Prilly kenakan.
Prilly pun meronta berusaha memberontak agar bisa terlepas dari kungkungan Ali, namun sia-sia saja karena yang dia lakukan itu malah berakibat fatal. Ali semakin tak terkendali. Ia menyibakkan celana dalam Prilly kemudian dengan paksa menuntaskan hawa nafsunya. Tak peduli dengan jerit kepedihan dan kesakitan yang Prilly rasakan. Ali semakin gencar memompa dan terus memompa dengan kasar hingga akhirnya ia ambruk di atas tubuh mungil itu dengan nafas yang tersengal setelah menumpahkan cairan spermanya.
Selain pulang dalam kondisi mabuk, Ali selalu memaksa Prilly untuk melayaninya menuntaskan hasratnya tanpa ada sentuhan rangsangan terlebih dahulu, tanpa ada foreplay sebelumnya.
-TO6-
"Mungkin dia pernah mengalami tindakan kekerasan yang menyebabkannya menjadi tertekan?"
"Lihat paras ayu nya Li... Dia nggak pantas lo sakiti. Perhatikan baik-baik pancaran indah matanya... Sekarang hanya ada kesedihan dan luka mendalam yang terpancar di sana. Harusnya lo tahu semua itu. Harusnya lo peka... Semua yang terjadi sekarang ini karena ulah lo!"
Ucapan dokter yang merawat Prilly juga cercaan Kaia terhadapnya saat mengetahui kondisi buruk yang menimpa Prilly terus saja terngiang dalam benak Ali.
Ali menghela napasnya dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Sudah beberapa minggu ini ia tak bisa fokus untuk menyelesaikan pekerjaan di kantornya. Pikirannya selalu melayang pada situasi dan kondisi dalam rumahnya yang terasa aneh dan asing baginya.
Setiap pulang kerja ia selalu menjumpai Prilly, istri sirinya itu terlihat murung di depan jendela kamarnya dengan pandangan kosong dan ketakutan saat melihatnya. Bahkan tak pernah mau bersuara sedikit pun terhadapnya.
"Prill..."
Prilly terlonjak kaget saat merasa ada sentuhan di bahunya. Dengan panik ia segera memeluk dirinya sendiri dan bergerak mundur sampai mentok memberntur dinding kamarnya.
"Dingin..."
Ali memakaikan jaket yang sengaja ia ambilkan untuk Prilly.
Prilly hanya bergeming tanpa berani mendongakkan wajahnya.
"Udah malam, sebaiknya kamu tidur.."
Dengan refleks Prilly menepis tangan Ali yang mengusap kepalanya hingga membuat jaket yang dipakaikan Ali tadi terjatuh.
Ali menghela napasnya dengan kasar, lalu mengambil jaket yang tergeletak di atas lantai.
"Selamat tidur. Semoga tidur nyenyak." Ucap Ali sebelum berlalu dan kembali memakaikan jaket itu ke tubuh Prilly.
Sorot mata sendu yang terpancar dari raut wajah ayu istrinya itu terekam dengan sangat jelas dalam benak Ali. Menyesal dan merasa bersalah itulah yang menjadi bebannya kini.
Seandainya saja peristiwa itu tak terjadi....
Prilly menaiki anak tangga menuju kamar Ali untuk mengantarkan minuman dan beberapa camilan yang Ali minta sebelumnya. Ia pun mengetuk pintu kamar Ali namun tak ada respon. Kemudian membukanya dengan perlahan.
Prilly membekap mulutnya tak percaya melihat Ali yang hanya memakai boxer saja berada di atas tubuh kekasihnya yang juga terihat bertelanjang dada.
Praaangg...
Nampan lengkap dengan isinya yang ia pegang jatuh hingga menimbulkan suara nyaring. Membuat dua orang yang sedang asyik bercumbu di atas tempat tidur tersebut terlonjak. Ali segera beranjak dari atas tubuh Laila dan Laila langsung menutupi bagian dadanya dengan kaos yang tergeletak disampingnya.
"Maaf..." Dengan air mata berlinang, Prilly segera membersihkan pecahan beling yang berserakan.
"Lo bisa ketuk pintu dulu kan?" Bentak Ali yang sudah berdiri disampingnya.
"Heh! Lo punya mulut nggak sih?" Karena tak mendapat respon Ali menendangkan kakiknya pada tangan Prilly yang sedang memunguti pecahan beling tersebut, alhasil secuil pecahan beling tersebut berhasil menusuk jari tangan Prilly.
"Maaf..." Ucapnya lagi. Dengan tangan gemetar serta darah yang mengalir dari jari tangannya Prilly membersihkan beling tersebut dan buru-buru berlalu sebelum amarah Ali makin berkobar.
Ali mengusap wajahnya kasar. Kemudian duduk di tepi ranjangnya. Laila segera bergelayut manja. "Kita lanjutkan lagi?" Tanya Laila dengan senyum genitnya.
"Non Prilly.... Tuaaaan..."
Teriakan itu membuat Ali dan Laila berpandangan. Laila menaikkan salah satu alisnya seolah bertanya ada apa? Dan Ali hanya menghendikkan bahunya seolah menjawab tak tahu dan masa bodo.
Suara deringan ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya pun memutuskan lamunan Ali yang berkelana pada kejadian beberapa waktu lalu.
"Tuan, Non Prilly pngsan lagi."
Ali pun segera keluar dari ruang kerjanya setelah mendapat kabar tersebut. Ia segera mencari kontak seseorang yang sangat ia butuhkan saat ini.
"Ja, handle semua kerjaan gue." Titahnya, dan langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari si penerima telfon.
Ia segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Panik dan khawatir membuatnya tak sabar untuk segera sampai rumah. Untung saja kondisi jalanan lumayan lengang siang itu hingga Ali bisa sampai rumahnya kurang dari 30 menit. Ia pun berlari masuk ke dalam rumahnya setelah memarkirkan mobilnya sembarangan.
"Prill... Prilly..." Ali menepuk kedua pipi Prilly dengan perlahan.
"Telepon Kaia mbok..." Perintahnya pada mbok Rum yang duduk bersimpuh di atas lantai.
"Sudah tuan..."
"Minyak angin mbok.."
Mbok Rum pun segera memberikan minyak angin yang sedang ia pakai untuk memijit telapak kaki Prilly yang terasa dingin.
Ali pun melakukan hal yang sama. Ia mengoleskan minyak angin tersebut di depan lubang hidung istrinya. Kemudian menggosokkannya di kedua telapak tangan Prilly secara bergantian.
"Gimana ceritanya mbok?" Tanya Ali dengan pandangan fokus menatap wajah layu istrinya.
"Tadi non manggil-manggil saya tuan saat saya sedang bersih-bersih di lantai atas. Tak lama kemudian saya mendengar non menjerit histeris meminta tolong, saya langsung cepat-cepat turun. Saat saya sampai ternyata si non sudah lemas tergeletak di lantai."
Tangan Ali yang sedari tadi memijit telapak tangan Prilly pun beralih memeriksa sekujur tubuh Prilly. Mencari apakah ada luka di bagian tubuh istrinya.
"Li..." Ali menoleh dan berdiri saat melihat Kaia, kakaknya datang.
"Engh..." Di saat bersamaan Prilly siuman.
"Alhamdulillah.... Kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan? Mana yang sakit?" Tanya Ali bertubi-tubi saat melihat Prilly mulai membuka matanya.
"Aliiii...." Sela Kaia.
"Eh, aku hanya khawatir Kai." Ali menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Lebih baik biarkan dia istirahat dulu." Kaia pun mengajak Ali menuju kamar Ali.
"Oh iya mbok, tolong ambilkan makan siang untuk Prilly ya, biar dia segera minum obat dan bisa istirahat." Pinta Kaia yang diangguki oleh mbok Rum.
"Li..." Kaia membuka obrolan setelah ia dan Ali berada di kamar Ali.
"Sepertinya lo harus bawa dia pergi dari rumah ini..."
"Maksudnya?" Tanya Ali tak menegerti.
"Iyaa... Sepertinya rumah ini juga salah satu penyebab dia mengalami depresi. Jauhkan juga dia dari orang-orang yang mungkin membuatnya jadi tertekan. Mungkin cara ini bisa membantunya untuk meringankan beban pikirannya."
"Gue... harus mengasingkan dia maksud lo?" Ucapnya dengan suara sedikit meninggi.
"Iya bisa dibilang begitu...Lebih tepatnya kalian berpisah saja." Jawab Kaia.
"Apa?? Lo gila?!" Ali menggeleng. Tak percaya dengan ucapan sang kakak.
"Eit, dengar dulu penjelasan gue Li..." Ali menghembuskan napasnya kasar.
"Lo, adalah sumber kesedihannya."
"Gue tahu."
"Lo, juga sumber penderitaannya..."
"Iyaa gue tahu.."
"Biarkan dia tidak melihatmu untuk beberapa lama, mungkin itu akan membuatnya sedikit lebih tenang." Kaia memberi saran.
"Terus gimana gue bisa tahu perkembangan dia kalau gue harus jauh dari dia?" Ali menanggapinya dengan sedikit emosi. Enak saja disuruh pisah. Umpatnya dalam hati.
"Adik gue yang jenius.... Otak lo jangan digadaiin deh. Kan ada mbok Rum.." Ucap Kaia menyentil dahi Ali.
"Terus gue gimana?" Tanya Ali pasrah.
"Lo udah dewasa ya, udah gak butuh babysitter kan?" Ali hanya mengangguk.
"Makan, ya udah tinggal beli. Baju kotor juga tinggal laundry. Kaya orang hidup susah aja lo!"
Suasana menjadi hening karena tak ada jawaban dari Ali.
"Terus kira-kira gue harus mindahin dia ke mana?" Tanya Ali dengan lesu.
"Rumah kita atau rumah mertua lo... Yang penting jangan biarkan dia sendiri dan merasa kesepian."
"Ya udah di rumah kita aja deh. Kan ada lo, jadi lo aja yang jagain Prilly biar mbok Rum tetap di sini."
"Lusa gue ada dinas luar kota." Ucap Kaia dan berlalu.
-TO6-
Ali memasuki kamar Prilly dengan gugup. Setelah semalaman berpikir, akhirnya ia mengambil keputusan menyetujui saran Kaia. Ali berdiri di samping Prilly yang sedang termenung di depan jendela. Setelah menarik napas perlahan kemudian menghembuskannya, Ali memberanikan diri untuk berbicara. "Prill, aku mau ngajakin kamu ke rumah papa mama, mau kan?"
Tak ada jawaban dari orang yang ada disampingnya.
"Emm... Kaia ada dinas ke luar kota selama beberapa hari. Mama minta kita untuk tinggal di sana selama Kaia nggak di rumah, biar mama nggak kesepian." Ali mencoba untuk menjelaskan. Masih tak ada jawaban.
Namun Ali tak menyerah. "Mau kan?" Tanyanya lagi.
Prilly hanya menganggukkan kepalanya tanpa memandang Ali yang duduk disampingnya. Jika saja Ali tak benar-benar memperhatikannya mungkin ia tak akan tahu bahwa Prilly merespon ucapannya dengan sebuah anggukan.
Seulas senyuman menghiasi wajah Ali untuk pertama kalinya. Entah mengapa hatinya merasa hangat setelah mendapat persetujuan dari Prilly. Dengan antusias Ali segera keluar dari kamar Prilly dan memanggil mbok Rum.
"Mbok Rum, tolong kemasi baju-baju Prilly ya. Kita mau ke rumah mama."
"Baik tuan.."
"Mbok Rum juga ikut yaa.."
"Saya, tuan?"
"Iyaa... Kita tinggal di sana selama beberapa hari sampai Kaia pulang dari luar kota."
"Baik tuan."
Usai berbenah, Ali segera mengajak Prilly dan mbok Rum meninggalkan rumahnya. Tak ada obrolan apa pun di dalam mobil selama perjalanan. Prilly yang duduk di kursi depan samping kemudi pun sangat betah memandangi jalanan yang ramai tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ali yang sedari tadi selalu curi-curi pandang. Tak apalah dihiraukan. Prilly sudah mau duduk di depan saat ia membukakan pintu mobil tadi saja sudah membuatnya senang.
"Sayang... Gimana kabar kamu? Sehatkan?" Dengan hebohnya Bu Ully menyambut kedatangan Prilly dan langsung merangkul menantunya itu, mengajaknya untuk masuk. "Ayoo... Ayo masuk..."
"Riin... Ririn..." Bu Ully memanggil salah satu asisten rumah tangganya setelah ia mengajak Prilly duduk.
"Iya Bu..."
"Untuk beberapa hari ini kamu sekamar lagi sama mbok Rum ya..." Jelasnya pada Ririn yang baru saja muncul.
"Wah... Iya bu..." Dengan berbinar Ririn menyambutnya. Karena dia akan punya teman ngobrol lagi sebelum tidur seperti dulu, sebelum mbok Rum ditugaskan untuk membantu Prilly setelah Ali dan Prilly menikah.
"Dan ini tasnya tuan muda sama mantu saya kamu taruh di atas ya, kamarnya tuan." Pinta Bu Ully.
"Baik Bu... Ada lagi?"
"Setelah itu bikinkan mereka minum dan bawakan camilan."
"Baik Bu..."
"Kamu bikin minum saja Rin. Biar tas ini aku yang membawanya sekalian menatanya di almari." Cegah mbok Rum saat melihat Ririn menenteng tas kedua majikannya.
"Mbok Rum nggak lupa kamar tuan muda kan?" Tanya Ririn mengerling.
"Nggak ada yang berubah kan?" Tanya mbok Rum yang dibalas gelengan kepala oleh Ririn.
"Ya udah ayoo..." Ririn dan mbok Rum pun berlalu.
"Kaia mana ma?" Ali membuka pembicaraan.
Prilly hanya diam menunduk di samping mama mertuanya.
"Katanya sih udah di jalan..."
"Silahkan diminum tuan, nona.." Ririn kembali menyuguhkan minuman juga camilan untuk tuan dan nona mudanya.
"Makasih ya Rin... Mbok Rum mana?" Jawab Ali.
"Ada di atas tuan, baru masukin baju-baju Non Prilly ke lemari."
Tak lama setelah Ririn pamit, mbok Rum muncul di hadapan mereka.
"Kamar sudah siap tuan, nona. Silakan kalau mau istirahat."
"Kamu istirahat gih... Yuk aku anterin."
Ali mengulurkan tangannya pada Prilly yang berada dihadapannya. Prilly hanya menurut dan mengikuti langkah Ali yang berjalan sambil menggandeng tangannya. Namun saat berada di depan anak tangga tiba-tiba Prilly berhenti dan menggenggam tangan Ali dengan sangat erat. Keringat dingin pun terasa membasahi telapak tangan Ali yang digenggam erat Prilly.
"Kenapa?"
Prilly memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan kuat seolah menolak bayangan yang berkelebat menghantuinya. Hingga tubuhnya melemas dan meluruh. Untung saja Ali sigap menangkapnya.
"Prill..." Ali segera membopongnya kemudian membaringkannya di atas sofa ruang keluarga.
Bertepatan dengan Kaia yang baru saja memasuki rumahnya.
"Prilly kenapa Li?"
"Gak tahu Kai. Tadi waktu mau gue ajakin naik tiba-tiba dia berhenti dan genggam tangan gue erat banget. Dia juga menggelengkan kepalanya beberapa kali sebelum pingsan."
"Apa mungkin dia takut naik tangga?" Gumam Bu Ully.
"Bisa jadi Ma... Prilly keguguran kan karena jatuh dari tangga. Mungkin dia trauma." Jawab Kaia yang kini ikut sibuk mengoleskan minyak angin di telapak kaki Prilly.
Sekelebat bayangan kembali berputar dalam benak Ali.
Saat itu...
Setelah tak mendengar teriakan lagi Ali memutuskan untuk membersihkan diri dan mengajak Laila keluar tanpa memedulikan apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumahnya.
Jam 10 malam Ali baru kembali setelah menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Ia hanya mengernyit heran mengapa rumahnya dalam keadaan gelap gulita?
"Mbok...." Ali mengetuk pintunya.
"Mbok...." Teriaknya dengan menggedor pintu karena tak ada sahutan.
Karena masih tak ada sahutan Ali mencoba membuka pintu ruang tamu yang ternyata tak terkunci.
"Ceroboh." Gerutunya.
"Mbok Rum.... Prilly.... Pak Min...." Ali berteriak memanggil ketiga penghuni rumahnya yakni asisten rumah tangga, istri dan supirnya.
"Pada keluyuruan ke mana sih?" Dengan kesal Ali menyalakan lampu teras juga ruang tamunya. Pandangannya menyapu ke sekeliling, tak ada yang berubah dan tak ada yang mencurigakan. Semua barangnya tak ada yang hilang. Ia pun melanjutkan langkahnya.
"Bau apaan nih?" Gumam Ali saat melewati tangga menuju kamarnya. Dan ia tak berusaha untuk mencari tahu. Sampai di kamarnya, ia segera mengaktifkan hpnya kembali lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Suara deringan notifikasi tak henti-hentinya berbunyi membuat Ali menggerutu. Dengan kesal ia mengambil hpnya.
15 panggilan tak terjawab dan 23 pesan dari keluarganya.
Tubuhnya menegang saat membaca semua pesan dari mama, papa serta kakaknya. Ia segera bangkit dan pergi dengan tergesa-gesa menuju tempat di mana keluarganya sudah menunggu sejak sore.
Plaaakkk....
Tamparan keras di kedua pipinya yang ia terima dari papa serta mamanya saat ia sampai di tempat tujuan. Bahkan ia hanya bisa pasrah. Tak ada gunanya melakukan pembelaan. Karena ini memang salahnya. Ia hanya bisa menerima amukan amarah kedua orang tuanya juga cercaan kakaknya.
"Prilly jatuh tergelincir dari tangga dan itu menyebabkan dia keguguran." Kalimat terakhir Kaia yang ia dengar saat itu sangat menohok hatinya.
Apa? Prilly keguguran?
Dia hamil?
Hamil anakku?
Tubuh Ali meluruh ke lantai saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dengan beberapa pertanyaan yang hanya mampu ia pendam dalam benaknya. Tamparan dari kedua orang tuanya tak berarti apa-apa baginya. Justru tamparan dari sebuah kenyataanlah yang mampu membuat hatinya merasa sakit.
Bahkan ia menyaksikan sendiri bagaimana Prilly jatuh tergelincir dari tangga dengan kedua tangan yang memegang sebuah nampan. Melalui rekaman CCTV itulah ia menyaksikan dengan mata kepalanya bagaimana sakitnya tubuh Prilly yang mengalami pendarahan ditambah dengan beberapa luka pada bagian tangan dan kakinya akibat pecahan beling yang jatuh tercecer saat Prilly tergelincir.
Rasanya, kata maaf tak akan dapat menebus semua kesalahannya pada Prilly, istri sirinya. Apa lagi pasca pembersihan janin dalam rahimnya, Prilly tak pernah mau melihat ke arahnya. Prilly tak pernah mau memandang wajahnya. Walaupun Ali selalu berusaha ada di dekatnya dan selalu mengucapkan maafnya berkali-kali kala mata indah istrinya terpejam.
-TO6-
Dua bulan sudah Ali dan Prilly tak pernah bertemu muka. Kini Prilly berada di kediaman orang tuanya sendiri setelah dua minggu berada di rumah mertuanya. Dalam dua minggu itu, ia hanya sempat bertemu Ali dua kali pada saat akhir pekan saja. Itu karena Ali memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya seminggu sekali, mengingat jarak rumah orang tuanya dan tempat kerjanya lumayan jauh.
Masih tak ada perubahan dengan sikap Prilly padanya. Padahal menurut cerita mamanya, Kaia dan mbok Rum, Prilly terlihat lebih segar dan bersemangat saat bersama mereka. Dan menjadi pendiam kembali tiap akhir pekan saat Ali kembali pulang ke rumah. Hingga akhirnya Ali memutuskan untuk menawari Prilly berkunjung ke rumah kedua orang tua Prilly. Berharap semoga keadaan Prilly akan berangsur membaik.
Mungkin dengan cara Ali tak menampakkan dirinya di depan Prilly dalam waktu yang cukup lama, akan mengembalikan senyum dan semangat hidup Prilly. Dengan beralasan bahwa Ali dikirim oleh perusahaan, tugas dinas ke luar negeri selama satu bulan dan dilanjutkan dengan tugas berkunjung ke beberapa kota pada bulan berikutnya. Dan semua itu hanya Prilly dengar melalui mbok Rum. Ali tak pernah mengatakannya secara langsung terhadapnya.
Hanya sebuket bunga dan surat singkat berisi permintaan maaf yang selalu ia terima tiap minggunya dari pengirim yang mengatasnamakan suaminya. Dan hanya benda itulah satu-satunya yang bisa membuat Prilly tersenyum kembali. Namun, sudah dua minggu ini tak ada sebuket bunga dan sebuah surat singkat yang ia terima lagi. Senyum yang sempat mengembang di wajahnya itu pun kini sirna.
"Non, makan dulu..." Prilly menyeka air matanya dengan cepat saat mbok Rum memasuki kamarnya.
"Prilly nggak lapar mbok." Jawabnya lirih.
Mbok Rum hanya bisa menghela napasnya. Sudah dua hari ini majikannya tak mau menyentuh makanan. Hanya berdiam diri sambil memeluk tubuhnya sendiri di atas ranjang kamarnya yang ia lakukan.
"Nanti non sakit..." Prilly hanya menggeleng lemah. Susah sekali merayu nona mudanya ini.
"Non, kangen ya sama tuan?" Mbok Rum membelai rambut Prilly yang teruarai acak-acakkan. Tanpa dikomando pun air mata Prilly langsung mengalir saat mendengar pertanyaan Mbok Rum.
"Tuan pasti sudah bahagia bersama kekasihnya." Ucap Prilly lirih sambil menyeka air matanya. Namun bukannya reda, tangisnya malah semakin deras mengaliri kedua pipinya yang kini tirus.
"Jangan berkata begitu non..."
"Buktinya dia tidak pernah datang menemui Prilly. Dia juga sudah enggan berkirim bunga untuk Prilly. Dia memang tak pernah menganggap Prilly ada mbok..." Ucap Prilly sesenggukan. Mbok Rum segera memeluk nona mudanya memberi ketenangan. Sudah beberapa malam dia selalu mendapati majikannya menangis dalam diam. Bahkan tak jarang Mbok Rum pun ikut meneteskan air mata ikut merasakan kesedihan dan kegundahan hati majikannya.
Tanpa mereka berdua sadari, ada seseorang yang baru saja datang dan mendengar semua percakapan itu. Orang itu berdiri di ambang pintu dengan pandangan sendu menatap kedua orang yang sedang berpelukan saling menguatkan. Mbok Rum sedikit melonggarkan pelukannya saat mendengar panggilan dari Bu Resi dan pamit undur diri pada nona mudanya.
Mbok Rum tercengang saat membalikkan badannya dan membekap mulutnya saat ia hendak keceplosan menyapa orang yang berdiri di ambang pintu. Dan beberapa saat kemudian ia mengangguk saat orang yang ada dihadapannya mengisyaratkan untuk bungkam. Kemudian berlalu meninggalkan kamar nona mudanya.
"Prill...." Prilly terlonjak kaget saat mendengar suara itu. Suara dari orang yang ia rindukan dan ia benci beberapa waktu lalu.
"Hei..." Sebuah tangan menyentuh pundaknya pelan membuat ia menoleh.
"Tt... Tuan...." Dengan refleks Prilly segera memeluk badan kokoh yang ada dihadapannya. Menenggelamkan wajahnya yang penuh air mata di perut orang yang berdiri dihadapannya kini.
"Eh... maaf..." Prilly segera melepaskan pelukannya saat ia tersadar siapa orang yang ada dihadapannya. Ia juga segera menyeka air matanya dengan kasar. Ia merutuki sikapnya. Setelah ini pasti akan dimarahi habis-habisan karena sudah lancang memeluk orang tersebut. Pikirnya.
Ali tersenyum melihat Prilly yang sedang menundukkan kepalanya takut. Ia pun duduk di tepi ranjang di samping Prilly. Kemudian meraih tubuh Prilly untuk ia dekap dengan erat.
"Maaf...." Akhirnya satu kata keramat itu lolos juga dari bibirnya. Selama ini Ali tak pernah berani mengatakan permohonan maafnya secara langsung. Dan berkali-kali mengecup puncak kepala Prilly yang menangis kembali dalam dekapannya. Dulu, saat Prilly dirawat di rumah sakit ia selalu mengucapkan kata maaf dan penyesalannya saat Prilly terlelap. Dan dua bulan terakhir, ia hanya mampu menyampaikan melalui sebuket bunga dan surat singkat yang selalu ia kirimkan tiap akhir pekan.
-TO6-
"Pagiii...." Prilly terperanjat kaget saat ia baru saja membuka matanya, ada suara seseorang menyapanya dalam jarak yang begitu dekat. Dengan takut-takut, ia menolehkan kepalanya. Matanya menangkap sosok tersebut sedang berbaring disampingnya, menghadap ke arahnya dan tersenyum manis terhadapnya.
"Selamat pagi sweety...." Sapanya lagi dengan menowel pipi Prilly yang sedikit merona.
"Pag... Pagi tt... tuan..." jawabnya terbata.
"A-bang sweety. Aku bukan majikanmu..." Ali bangkit dari berbaringnya kemudian duduk bersandar di kepala ranjang. Sedikit merasa kesal karena Prilly belum mau mengubah panggilannya. Padahal ia sudah berkali-kali mengingatkan akan hal itu.
Prilly pun segera menyusul untuk duduk dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia merasa asing dengan ruangan yang ia tempati kini.
"Selamat datang di apartemen baru kita sweety..." Bisik Ali, mengecup pipi Prilly sekilas kemudian meraih tubuh Prilly ke dalam pelukannya. Hati Prilly berdesir dengan kecupan singkat itu. Tak menyangka Ali melakukan hal itu padanya.
"Apartemen?" Prilly melepaskan diri dari pelukan Ali dan bertanya tanpa mau menatap wajah suaminya. Bukan tak mau menatapnya tapi dia malu..
"Iya, maaf ya, selama dua minggu kemarin abang nggak ngasih kabar sama adek. Abang sibuk berbenah untuk tempat tinggal kita yang baru ini." Jelas Ali. Sudah beberapa hari ini ia sengaja menggunakan panggilan abang untuk dirinya dan adek untuk memanggil Prilly. Ya walaupun Prilly belum pernah mau memanggilnya abang.
"Tuan pindah rumah?" Tanya Prilly menundukkan wajahnya dengan tangan yang sibuk memilin bagian tepi selimutnya.
Ali mengangguk dan tersenyum. "Kita sweety... Kita yang pindah. Bukan cuma abang." Ali pun merangkul Prilly kembali.
Prilly segera menoleh saat teringat sesuatu. "Mbok Rum?" Tanyanya.
"Ada tuh, paling lagi masak di dapur." Jawab Ali santai. Sudah ia duga bahwa istrinya pasti akan menanyakan mbok Rum yang selama ini selalu ada disampingnya.
"Eh, mau ke mana?" Tanya Ai saat melihat Prilly menyibakkan selimutnya dengan tak sabaran.
"Bantuin mbok Rum." Ali segera meraih tangan Prilly untuk mencegahnya saat Prilly hendak melangkah.
"Di sini saja." Ucap Ali pelan saat Prilly sudah terduduk di atas pangkuannya. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ali segera melingkarkan kedua tangannya di pinggang Prilly. Sedangkan Prilly? Jangan tanyakan bagaimana wajahnya kini.
"Gimana tidurnya semalam? Nyenyak kan?" Ali meraih dagu Prilly yang menundukkan kepalanya. Menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu, salah tingkah juga kaget untuk yang kesekian kalinya. Benar-benar terkejut atas sikap Ali padanya. Dikecup, dirangkul, dipeluk dan apalagi sekarang dikurung di atas pangkuannya. Hal yang tak pernah terlintas dalam benak Prilly.
Ali menyelipkan rambut Prilly yang terurai menutupi wajahnya ke belakang daun telinga. Sambil terus mengumbar senyum kepada wanita dipangkuannya.
"Kok nggak dijawab?" Tanya Ali menatap mata indah Prilly sangat dalam.
"Ap... apa?" Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Prilly dengan terbata.
"Nyenyak kan tidurnya?" Ali mengulang pertanyaannya sambil mengusap pipi Prilly.
Bagai dihipnotis, Prilly merasa sulit untuk memalingkan wajahnya. Dia hanya mengangguk saja tanpa melepaskan pandangannya pada mata Ali.
Bagaimana tidak nyenyak? Prilly sendiri bahkan tidak tahu dia tidur jam berapa. Ingatan Prilly melayang pada kejadian hari kemarin. Setelah kedatangan Ali di rumah mertuanya, Ali membujuknya untuk kembali pulang bersama. Ali bilang, Ali sengaja menjemputnya. Namun Prilly tak memberikan jawaban.
Usai maghrib, tepatnya setelah Ali menyelesaikan makan malamnya bersama keluarga Prilly. Saat Ali pamit pada kedua mertuanya, Prilly dan mbok Rum keluar kamar dengan menenteng dua tas besar. Ali hanya melongo melihatnya. Apalagi saat Prilly berpamitan pada ayah ibunya. Ali merasa tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Bukannya Prilly tadi tak menjawab saat ia membujuknya dan mengajak untuk pulang ke rumah mereka? Aah... Akhirnya Ali dapat kembali ke rumahnya dengan perasaan senang dan lega.
Dan Prilly sudah tak tahu lagi apa yang terjadi, setelah hampir satu jam dalam perjalanan ia pun terlelap. Hingga saat matanya terbuka dia menyadari dirinya berada di suatu tempat asing.
Saling memandang dengan lekat dalam waktu yang cukup lama membuat Ali mendekatkan wajahnya ke wajah Prilly. Dengan jantung yang berdebar karena gugup, Prilly hanya mampu bergeming menunggu apa yang akan Ali lakukan terhadapnya. Saat ujung hidung mereka sudah saling bersentuhan, terdengar suara pintu diketuk.
Tok... tok... tok...
Ketukan pintu dari luar kamarnya membuat Ali dan Prilly tersadar. Sontak hal itu membuat mereka berdua saling menjauhkan wajahnya. Dan sama-sama terpaksa harus melepaskan kontak mata yang terjalin beberapa lama. Karena sama-sama merasa tenggelam dalam indahnya pancaran mata pasangannya.
"Maaf tuan, nona, kalau mbok Rum mengganggu... Sarapannya sudah siap..." Ucap mbok Rum dari luar kamar pasutri tersebut.
Ali dan Prilly kembali berpandangan sesaat setelah tak terdengar suara mbok Rum lagi.
"Ya udah, sekarang adek mandi. Habis itu, kita sarapan terus jalan-jalan." Ali menurunkan Prilly dari pangkuannya dengan halus. Kemudian menggiring Prilly menuju kamar mandi dan menyerahkan handuk juga baju ganti saat pintu kamar hendak ditutup oleh Prilly.
Usai sarapan bersama, Prilly pun membereskan peralatan makan yang habis mereka pakai. Sedangkan Ali masih bersantai duduk di ruang makan sambil memperhatikan Prilly yang sibuk membersihkan dan merapikan meja makan.
Suara dering hp yang berada di atas meja makan mengharuskan Ali mengalihkan pandangannya dari kegiatan istrinya. Dahi Ali mengkerut saat melihat nomor tak dikenal memanggil. Akhirnya Ali memutuskan untuk menerima panggilan tersebut.
"Honey..." terdengar panggilan dari seberang. Sedetik kemudian Ali langsung menjauhkan hpnya saat mengenali siapa penelepon tersebut. Kemudian ia menekan tombol loud speaker dan meletakkan hpnya kembali ke atas meja makan. Ia ingin agar Prilly bisa mendengarkan percakapan mereka tanpa harus ada yang ditutup-tutupi. Ia tak mau Prilly salah paham nantinya.
"Honey, kamu ke mana aja sih? Susah dihubungi..." Rengek si penelepon.
Ali melirik Prilly sekilas seraya berdoa dalam hati semoga Prilly tak marah padanya. Ah, mana mungkin Prilly berani marah-marah pada Ali? Namun, Ali melihat sedikit perubahan dari raut wajah Prilly yang tadinya terlihat ceria, kini nampak murung walaupun berusaha disembunyikannya. Prilly pun berlalu membawa piring-piring kotor ke dapur.
"Honey, aku hamil...." Terdengar suara isakan dari seberang yang bagaikan petir di tengah cuaca cerah.
Praaangg...
"Prilly..." Gumam Ali dan segera bangkit saat mendengar suara benda jatuh. Ia mendapati Prilly sedang berjongkok membereskan pecahan piring yang baru saja tak sengaja ia jatuhkan. Ali pun segera berjongkok dan mencekal pergelangan tangan Prilly.
"Maaf...." Ucap Prilly lirih sebelum Ali memarahinya.
Ali segera memeriksa jari Prilly yang berdarah terkena pecahan beling. Tak disangka, Ali berinisiatif menghisap darah yang keluar dari jari Prilly dengan mulutnya kemudian membuangnya pada bak cuci. Hal itu membuat Prilly terperangah dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Ayo, abang obatin lukanya. Ini biar diberesin mbok Rum." Ucap Ali setelah berkumur. Dengan lembut Ali mernarik tangan Prilly untuk bangkit kemudian mengajaknya duduk di ruang makan.
Dengan telaten Ali mengobati luka ringan pada jari Prilly.
"Honey...." Ali menoleh ke arah hpnya yang berada di atas meja makan. Ternyata masih aktif to? Ali segera mengambil hpnya kemudian menon-aktifkannya.
"Mau ke mana?" Cegah Ali saat melihat Prilly berdiri.
"Kamar saya yang mana ya?" Ali menautkan kedua alisnya mendengar pertanyaan Prilly.
"Tidak ada kamar untukmu." Terdengar Prilly menghela napasnya. Mengapa ia tak memberi sebuah kamar untukku dari 4 ruang kamar yang ada di apartemen ini? Apa karena memang kehadiranku tak di anggap? Pikiran Prilly berkecamuk dengan berbagai prasangka yang negatif.
"Karena kamu akan tinggal satu kamar denganku." Ali meraih pinggang Prilly yang masih berdiri disampingnya dengan wajah menunduk. Kemudian Ali berdiri dan meraih dagu Prilly agar mau menatapnya. "Selamanya." Lanjut Ali dengan senyum manisnya.
Ali menangkup wajah Prilly dengan kedua tangannya. "Jangan salah paham yaa... Jangan percaya apa yang barusan kamu dengar. Aku emang selalu bersikap jahat padamu, tapi aku gak seburuk itu." Ucapnya dengan sendu. Mengapa di saat ia sudah memantapkan hatinya, pihak ketiga muncul lagi?
"Tolong beri aku waktu untuk menjelaskannya. Aku sungguh tak mau kamu salah paham sayang..." Ali menatap Prilly dengan lekat.
"Kamu mau dengar penjelasanku kan? Hm?" Tanya Ali memelas. Prilly memejamkan matanya kemudian menghela napasnya dengan perlahan. Beberapa saat kemudian ia membuka matanya lalu mengangguk pelan.
Ali pun dapat bernapas lega... Akhirnya Ali mengajak Prilly untuk duduk di ruang keluarga.
Ali meraih tangan Prilly kemudian menggenggamnya. Ia pun mulai menjelaskan.
"Aku sudah mengakhiri hubunganku dengan dia sejak kamu di rawat di rumah sakit. Aku sudah menghapus kontak dia dari hp. Aku sudah tak pernah komunikasi dengan dia. Sayang... aku..." Ali menjeda ucapannya.
"Tapi waktu itu aku lihat kalian sedang..."
Dengan cepat Ali memotong ucapan Prilly. Ia tahu kemana arah omongan Prilly tersebut. "Sssttt..." Ali menaruh jari telunjuknya di depan bibir Prilly.
Ali menggelengkan kepalanya. "Memang... hampir saja aku khilaf jika kamu tak datang ke kamarku waktu itu. Tapi, aku berani bersumpah aku tak pernah melakukan hubungan intim dengan dia. Yaa... hanya sebatas.... Seperti yang kamu lihat..." Ali mencoba menjelaskannya dengan susah payah. Memorinya berkelana pada kejadian itu. Kerjadian di mana ia sedang bermesraan dan bercumbu dengan Laila di kamarnya dan Prilly memergokinya. Dan dengan angkuhnya Ali memarahi Prilly bahkan bertindak kasar saat Prilly tak sengaja menjatuhan nampan yang ada ditangannya.
"Please... sayang, percaya sama aku. Aku nggak pernah melakukannya kecuali denganmu. Dan aku... aku telah menyakitimu..." Air mata Ali keluar dengan perlahan. Rasa bersalah dan menyesal yang sudah hampir terkikis pun kini muncul lagi.
"Aku... aku memaksamu melayaniku... aku menyiksa badan serta hatimu... aku...." Ucapan Ali terpotong saat ia mendengar suara isak tangis Prilly yang semakin keras.
"Sayang... maaf..." Ucapnya lirih. Ali segera meraih tubuh Prilly dan memeluknya dengan erat. Menenggelamkan wajahnya pada cekukan leher Prilly. Ia benar-benar tak ingin Prilly salah paham. Mereka berdua menangis bersama dalam pelukan. Ali menangisi dirinya juga sikap bodohnya. Sedangkan Prilly menangis karena merasakan luka hati kembali, luka yang sudah hampir terlupakan itu.
"Tolong beri abang kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita." Ucap Ali di sela isakannya. Kemudian melonggarkan pelukannya.
"Abang akan berusaha menyembuhkan luka yang telah abang torehkan padamu..." Janjinya.
"Kamu mau kan?" Tangannya terulur untuk menghapus air mata di pipi Prilly. Begitu pun dengan Prilly. Ia pun melakukan hal yang sama, menyeka sisa air mata di pipi Ali. Sentuhan pertamanya terhadap Ali. Perasaan Ali menjadi hangat karena perlakuan Prilly terhadapnya.
Sesaat kemudian Prilly pun mengangguk perlahan. Bagaimana lagi jika perasaan sayang sudah mendominasi?
"Jawab sayang, abang pingin dengar suara kamu..." Ucap Ali menuntut.
"Ii...iya a...bang." Jawab Prilly terbata karena masih sesenggukan.
"Apa? Kamu manggil aku abang? Aku nggak salah dengar kan?" Tanya Ali dengan heboh.
"Iya... tuan..." Ucap Prilly sambil tersenyum..
"Kok tuan lagi sih?" Protes Ali kesal. "Aku bukan majikanmu sweety. Aku suami kamu sayang!" Lanjutnya dengan tegas.
"Iya... abang..." Ali tersenyum mendengar ucapan Prilly kemudian melotot tak percaya mendengar lanjutannya "Tuan..."
"Apa?? Coba ulangi!" Ali mendekatkan wajahnya ke wajah Prilly membuat Prilly gugup seketika.
Prilly pun memejamkan matanya dan menghela napasnya perlahan untuk mengurangi rasa gugupnya karena ditatap sedekat itu oleh Ali. "Iya abang tuan..." Ucap Prilly cepat.
"Terima kasih adek nona..."
"Adek nona?" Tanya Prilly tak mengerti.
Ali mengangguk kemudian menjawabnya. "Iya, pasangannya abang tuan kan adek nona..." Prilly tersenyum malu mendengar penuturan Ali. Membuat Ali merasa gemas dan meraih tubuh Prilly, memeluknya kemudian mengangkat juga memutar tubuh mungil dalam pelukannya tersebut. Tawa pun keluar dengan lepas dari kedua insan tersebut.
Mbok Rum yang sedari tadi diam menyaksikan pertikaian dua majikannya yang berakhir dengan bahagia pun menyusut air matanya yang terus saja mengalir. Dia lah saksi hidup perjalanan rumah tangga tuan dan nona mudanya. Setelah memastikan hubungan tuan dan nonanya baik-baik saja, mbok Rum memutuskan kembali ke dapur. Ia tak mau mengganggu momen bahagia majikannya.
Ali menurunkan Prilly dengan halus, kemudian memandang mata Prilly sangat dalam. Senyum pun tak pudar dari wajah keduanya. Bersyukur dan mengangumi satu sama lain dalam diam.
Cup....
Prilly terbelalak saat Ali mengecup bibirnya dengan cepat.
"Iiiihhh..." Prilly memanyunkan bibirnya dan memukul dada Ali dengan manja. Bukannya kesakitan Ali malah terbahak menikamtinya.
Kemudian....
Cup...
Ali mencuri kecupan lagi pada bibir Prilly... Prilly pun tersipu malu dibuatnya...
"Tetap selalu disampingku apa pun yang terjadi.. Dan selalu ingatkan aku, tegur aku jika aku melakukan kesalahan apalagi sampai menyakitimu." Prilly pun tersenyum dan mengangguk. Kemudian memeluk Ali membuat Ali terkejut. Namun ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dibalasnya pelukan Prilly dengan hangat. Mencium pucuk kepala Prilly lama, yang bersandar di dadanya.
"Udah siap hamil lagi?" Bisik Ali.
"Hah??" Prilly mendongakkan kepalanya melihat Ali tersenyum manis padanya.
"Udah siap jadi ibu anak-anakku kan?" Ali menaik-turunkan alisnya.
Prilly melepaskan diri dari sandaran hangat itu. "Ah... Emm... Ituu..." Jawabnya dengan gugup.
"Aku akan sabar nunggu kamu siap kok... Udah jangan dipikirin ya..." Ali mengelus rambut panjang Prilly.
"Maaf ya abang..." Ucap Prilly takut-takut.
"Nggak apa-apa sweety..." Ali menangkup wajah Prilly kemudian mendaratkan kecuapan di seluruh bagian wajah istrinya. Mulai dari keming, kedua mata, kedua pipi, kemudian hidung, lalu turun ke dagu... Dan berakhir pada benda kenyal di atas dagu itu sangat lama.
Dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas baru Ali tiap harinya, bahkan mungkin tiap jam atau tiap detik?
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top