TheOne - 4

TAK KAN ADA 'LAIN KALI'

Muhammad Aliconsina Syarief

Syariefa Latuconsina Prilly

-TO4-

Prill, siap2 nanti malem jam 7 gue jemput yaa...

Emang mau ngajakin kmn Li?

Biasalah...

Waduh... ga janji deh yaa... hehe

Chat pun berakhir tanpa ada balasan lagi dari Ali. Prilly pun meletakkan Hpnya kembali, namun beberapa saat kemudian terdengar nada dering lagi pertanda ada notifikasi chat masuk. Dengan segera ia membukanya. Senyum lebar terlukis di wajahnya kala melihat nama si pengirim.

Hai cantik, ntar mlm ada acara ga?

Hai jg ganteng, ga ada acara kok. Knp?

Oke. Nanti gue jemput jam 6. Dandan yg cantik.

Emang mau ngajakin kmn?

Ada deh... mau kan?

Oke deh...

Bahagia. Itulah yang dirasakannya. Baru beberapa hari kenal sama cowok ganteng, eh langsung diajak jalan oei... Kenny. Kenalan baru Prilly beberapa hari lalu. Tak sengaja bertemu di perpustakaan kampus saat ia sedang ingin mengambil sebuah buku. Namun karena tangannya tak sampai untuk menggapai buku tersebut, akhirnya Kenny yang berada di dekatnya kala itu mengambilkannya.

'Sori Li... Kita udah sering banget ngehabisin waktu berdua jadi kali ini biarin gue pergi sama yang lain ya... Lain kali kita kan masih bisa jalan bareng, iya kan? Masih banyak kesempatan lain kali ya Li?' Ucap Prilly dalam hati setelah selesai mengirim balasan untuk Kenny, orang yang mengirim chat barusan. Dengan penuh semangat, Prilly langsung bergegas ke almari pakaiannya. Mengobrak-abrik isi almari untuk mencari baju yang cocok yang akan ia kenakan malam nanti.

"Aduuuhhh... pakai yang mana ya?" Bingung Prilly memilih sekian banyak baju yang ia keluarkan dari almari. Lalu mencobanya satu persatu bak seorang model..

"Cowok ngajakin keluar malam minggu pula... bisa disebut kencan kan?" Gumamnya sambil terus mencoba baju-bajunya tersebut, hingga tak terasa petang sudah menyapa.

"Aduuh... udah jam lima lebih nih... aduuh..." ucapnya dengan panik saat matanya tak sengaja menatap jam dinding yang ada di kamarnya. Dengan buru-buru ia memasukkan kembali baju-bajunya dengan asal ke dalam almari. Ia langsung bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian bersolek. Bagaimanapun juga ia ingin tampil cantik di depan Kenny. Apalagi Kenny adalah cowok pertama yang ngajakin dia keluar pada saat malam minggu. Tentunya, selain Ali. Padahal di setiap malam minggu, biasanya Prilly juga selalu keluar untuk jalan-jalan atau hanya sekedar nongkrong. Itu pun selalu bersama Ali. Sahabat baiknya.

-TO4-

"Assalamualaikum Tante."

"Waalaikumsalam Nak. Ayo masuk." Bu Ully tersenyum melihat siapa sosok yang berdiri di depan pintu ruang tamunya.

"Pasti mau ketemu Prilly kan?" Tebaknya langsung. Membuat Ali tersenyum manis menjawabnya. "Iya Tante." Jawabnya seraya mendaratkan pantatnya di sofa.

"Lho, memangnya Prilly nggak bilang sama Ali kalau dia ada janji sama teman-teman SMAnya? Tadi dijemput sama temannya." Tanya Bu Ully heran.

"Ah, enggak ada kayaknya deh Tan. Coba Ali cek dulu." Jawab Ali sambil mengeluarkan HPnya dari saku jaketnya untuk mengecek apa Prilly menghubunginya atau mengirimkan pesan untuknya saat ia di jalan tadi.

"Mungkin Prilly lupa Tan." Ucap Ali tersenyum manis saat melihat ponselnya ternyata tak ada satu pun pesan dari Prilly.

"Maaf ya... Anak itu... selalu saja seenaknya." Bu Ully merasa tak enak hati pada Ali. Ia yakin walaupun Ali menampilkan senyum manisnya pasti ada sedikit rasa kecewa karena Prilly tak memberitahunya bahwa ia ada acara dengan temannya yang lain.

"Nggak apa-apa Tan." Ucap Ali masih mempertahankan senyuman manisnya di hadapan Bu Ully.

"Ya udah Ali mau minum apa nih sambil nungguin Prilly pulang?" Bu Ully membalas senyuman manis Ali dengan menawarinya minum.

"Nggak usah repot-repot Tan."

"Nggak repot kok. " Ucap Bu Ully seraya berjalan ke dapur untuk membuatkan Ali minum. Ali pun mengcek ulang HPnya, siapa tahu tadi ia kurang teliti memeriksanya. Namun memang ternyata nihil. Prilly sama sekali tak menghubunginya.

"Emang Prilly perginya jam berapa Tan?" Tanya Ali saat Bu Ully sudah kembali ke ruang tamu dengan membawa secangkir kopi dan sepiring kroket kentang.

"Kira-kira udah satu jam lalu Li."

Akhirnya obrolan pun mengalir begitu saja antara Ali dan Bu Ully. Tak jarang juga mereka bercanda. Yah, memang Ali sudah dianggap seperti anaknya sendiri di rumah ini. Walapuan diperlakukan seperti itu, namun Ali tetap tahu batasan bahwa ia sejatinya hanya seorang teman atau sahabat Prilly.

"Sudah lama Li?" suara seseorang menyela obrolan seru mereka.

Ali segera bangkit dan menyalaminya. Pak Rizal, ayah Prilly yang baru saja datang. "Eh Om. Baru kok Om." Jawab Ali kemudian duduk kembali setelah Pak Rizal mengacak pelan rambutnya.

"Baru sejam ya Li?" Bu Ully mengerling menaggapi jawaban Ali. Dan itu membuat Pak Rizal tertawa. Hingga obrolan yang sempat terhenti sesaat tadi, kini berlanjut kembali dengan tambahan satu personil.

"Emm... maaf Tan, Om, udah malam. Ali mau pamit." Ucap Ali saat menyadari bahwa waktu beranjak semakin malam.

"Lho kok buru-buru Li? Kita juga belum ngobrol lama...." Protes Pak Rizal karena saat sedang seru-serunya membahas dan saling berargumen tentang jalannya pertandingan sepak bola kemarin malam, ternyata Ali malah memilih untuk pamit.

"Iya nih. Belum jam 9 ini Li. Mungkin bentar lagi Prilly datang." Bu Ully menimpali ucapan suaminya, seakan tak rela jika Ali pamit pulang segera.

"Maaf Om, Tan. Ali nggak bisa nunggu Prilly pulang. Ini sudah dicariin mama." Jawab Ali sambil memperlihatkan HPnya yang menyala karena mamanya menelepon.

"Emang kamu nggak bilang sama mama kalau ke sini?" Tanya Bu Ully sedikit heran. Padahal selama ini mamanya Ali tak pernah merecokinya, menyuruhnya pulang saat sedang berada di rumahnya. Pikir Bu Ully.

"Ali mah selalu izin dulu Tan sebelum pergi."

"Tumben dicariin? Biasanya juga kamu pulang di atas jam 10 nggak pernah dicariin kalau di sini?" Tanya Bu Ully penasaran. Benar-benar merasa tak rela jika Ali harus pulang sekarang.

Ali menggaruk kepalanya yang tak gatal dan sedikit malu menjawabnya. "Ini mie ayam pesenan mama udah ditungguin..."

"Oh... gitu...?" Bu Ully dan Pak Rizal terkekeh mendengar penuturan Ali. Ternyata mamanya Ali pesan mie ayam...

"Ali pamit ya Om, Tan." Ali segera menjabat tangan kedua orang tua tersebut secara bergantian.

"Iya hati-hati nak.." Bu Ully dan Pak Rizal pun mengantarkannya sampai depan.

Ali segera memakai helm dan menaiki motor maticnya. Namun, ia kembali melepaskan helm dan menuruni motornya. Dengan ragu-ragu, ia menatap kedua orang paruh baya yang masih berdiri di depan pintu.

"Ada yang ketinggalan Li?" Tanya Pak Rizal yang melihat sikap ragu Ali.

Ali segera menghampiri mereka dan menjabat tangan mereka lagi. "Emm... Tan, Om, Ali minta maaf atas kesalahan dan sikap kurang ajar Ali selama ini..."

"Kamu ngomong apa sih?" Tanya Bu Ully tak mengerti. Kenapa Ali tiba-tiba meminta maaf?

"Ali mau pamit. Nanti jam 3 dini hari Ali akan berangkat ke Jepang Om, Tan. Ali mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di sana." Jawab Ali dengan wajah sendunya. Seketika wajah Bu Ully dan Pak Rizal berbinar mendengar penjelasan Ali. Tak menyangka. Bahkan selama ini Ali tak pernah menyinggung masalah ini sebelumnya saat mereka mengobrol.

"Wah, selamat ya Nak..." Bu Ully memberi selamat dan memberikan pelukan hangat pada Ali.

Pak Rizal juga melakukan hal yang sama. "Hebat kamu Li! Om bangga sama kamu." Setelah itu menepuk pundak Ali dengan bangga.

"Terima kasih Om. Tapi sebelum Ali pamit, Ada yang ingin Ali sampaikan pada Om dan Tante."

"Apa itu Li?" Tanya Pak Rizal tersenyum simpul.

"Ali.... Aliii...."

"Jangan gugup Li... Tarik napas dulu..." Ali pun mengikuti saran Pak Rizal yang merangkulnya. Setelah bisa menenangkan dirinya, Ali pun melanjutkan untuk mengutarakan maksudnya.

"Ali minta tolong jagain Prilly untuk Ali ya Om, Tan." Ucapan Ali membuat Pak Rizal tertawa.

"Kamu lucu deh Li. Pastilah kami akan jaga putri kesayangan kami tanpa kamu minta." Ucap Pak Rizal masih dengan tawanya.

"Tolong, jangan izinkan cowok mana pun untuk mendekati Prilly om." Ucap Ali selanjutnya dengan serius membuat tawa Pak Rizal lenyap. Mengerti bahwa apa yang diucapkan anak muda di depannya ini memang serius karena kegalauan yang melanda.

"Wah, kalau itu Om nggak janji Li. Kamu tahu sendiri kalau anak Om itu cantik dan banyak yang naksir." Jawab Pak Rizal dengan senyum mengembang.

"Om, Ali mohon..." ucap Ali bersimpuh di hadapan kedua orang tua Prilly.

"Ali, apa yang kamu lakukan? Bangun Nak..." Bu Ully yang kaget langsung membimbing Ali untuk berdiri, namun tak berhasil membuatnya bangkit.

Ali mendongak menatap dua orang paruh baya di hadapannya. Ia bertekad untuk mengutarakan rasa yang telah ia pendam dua tahun ini. Tak peduli bagaimana tanggapan orang tua dari seseorang yang menganggapnya hanya sebagai sahabat. "Ali mohon jaga Prilly untuk Ali, Om. Ali janji setelah S2-nya selesai nanti Ali akan segera kembali ke sini untuk meminang Prilly. Ali sangat mencintai Prilly, Om." Ucapnya dengan mata berkaca-kaca membuat Bu Ully terharu dan ikut terbawa suasana.

Pak Rizal membimbing Ali untuk berdiri. "Om hargai niat baikmu untuk meminang putri Om. Tetapi Om tidak bisa berjanji banyak padamu karena rizqi, jodoh dan maut adalah kehendak Yang Maha Kuasa." Kali ini Pak Rizal juga menanggapinya serius tidak seperti tadi yang menganggap ucapan Ali hanyalah lelucon. "Kamu mengerti kan? Semua ada di tangan Allah." Ali mengangguk membenarkan.

"Dan Om tunggu kamu serta orang tuamu datang kembali menemui Om dan Tante setelah S2-mu selesai." Ucapan Pak Rizal sukses membuat Ali sangat terkejut hingga ia hanya bisa membuka dan menutup mulutnya berkali-kali tanpa bisa mengeluarkan satu suku kata pun.

"Dengan satu syarat!" Tepukan Pak Rizal di pundaknya membuat Ali tersadar dari keterkejutannya.

"Syarat apa Om?" Tanyanya dengan cepat.

Pak Rizal menggelengkan kepalanya dan tersenyum melihat Ali yang tak sabaran. "Kamu harus sudah mempunyai pekerjaan yang mapan sebelum resmi melamar Prilly."

"Iya Om. Pasti itu... terima kasih banyak." Jawab Ali dengan yakin kemudian memeluk Pak Rizal erat. Membuat Pak Rizal sedikit terhuyung ke belakang karena tak sigap. Bu Ully yang berada di samping suaminya pun ikut mengusap-usap lengan Ali dengan wajah berseri.

"Eh... maaf Om, refleks." Ali segera melepaskan pelukannya ketika sadar apa yang diperbuatnya.

"Nggak apa-apa... Ada lagi yang ingin kamu sampaikan? Atau mungkin ada pesan untuk Prilly? Nanti kami sampaikan."

"Ali boleh minta tolong nggak Om, Tan?" Tanya Ali menatap dua orang dihadapannya secara bergantian.

"Apa yang bisa Tante bantu Li?"

Ali mengeluarkan sesuatu dari saku jaket kemudian menyerahkannya pada Bu Ully. "Ali titip ini untuk Prilly dan sampaikan permintaan maaf Ali karena tidak bisa menunggu Prilly pulang."

"Iya nanti akan Tante sampaikan."

"Terima kasih Tan. Kalau begitu Ali permisi Tan, Om." Ali mencium punggung tangan kedua orang yang ia harapkan akan menjadi mertuanya beberapa tahun lagi.

"Iya hati-hati ya calon mantu..." Dua kata di akhir ucapan Bu Ully membuat Ali jadi salah tingkah.

"Jaga diri kamu.. Jangan lupa selalu kabari kami." Ali mengangguk dan tersenyum pada Pak Rizal dan Bu Ully lalu pamit untuk pulang.

"Assalamualaikum..." Ali menganggukkan kepalanya saat motornya sudah siap melaju.

"Waalaikumsalam..." Setelah punggung Ali tak terlihat lagi, Pak Rizal dan Bu Ully pun saling pandang dan tersenyum.

"Itu apa ya Ma kira-kira?" Bu Ully menatap sesuatu yang masih ia pegang saat Pak Rizal bertanya.

"Pasti sesuatu yang berharga dari calon mantu ya Pa...."

"Mama yakin kalau Papa juga menganggap Ali sebagai calon mantu?" Senyum di wajah Bu Ully langsung pudar seketika mendengar ucapan Pak Rizal.

"Memang Papa punya calon lain?" Pak Rizal menganggukinya tanpa menjawab. Kemudian berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Bu Ully yang termenung.

-TO4-

Sudah satu minggu ini Prilly hampir tak pernah berada di rumah. Waktu senggangnya selalu ia gunakan untuk hang out bersama Kenny. Yang jelas saat ini Prilly merasa sangat bahagia bahkan mungkin merasa terbang melayang di awan yang penuh dengan warna warni pelangi. Ia bahkan belum menyadari jika ada sesuatu yang hilang. Yang mungkin akan membuatnya sangat menyesal.

"Pagi Ma, Pa..." Sapanya dengan ceria ketika ia sampai di ruang makan.

"Pagi juga sayang...." Jawab Bu Ully mencium kedua pipi anak gadisnya.

"Mau ke mana nih anak Papa kok udah rapi?"

"Biasa Pa, Kenny ngajak keluar..." Jawab Prilly sambil melahap sarapannya.

"Kenny?" tanya Pak Rizal dengan kening mengkerut.

"Oh iya... Papa, Mama belum pernah ketemu Kenny ya? Nanti deh Prilly ajak ke sini." Jawab Prilly dengan antusiasnya.

"Ehem... oh iya Pril, Gimana kabar Ali?" Tanya Bu Ully mengalihkan pembicaraan. Dan seketika Prilly tersedak makanan yang sedang ia kunyah saat mendengar nama Ali disebut. Dengan segera Prilly meraih segelas air putih dihadapannya untuk meredakan rasa sakit di tenggorokannya.

"Iya, ya Ma. Papa kok jarang lihat dia main ke sini akhir-akhir ini." Pak Rizal pun menimpali ucapan istrinya. Bu Ully dan Pak Rizal saling pandang dan tersenyum melihat anak gadisnya yang kelabakan mendengar nama Ali mereka sebut.

"Nggak tahu tuh. Mungkin dia udah dapat teman baru jadi lupa sama Prilly." Jawab Prilly dengan sewot.

"Masa sih? Nggak kebalik tuh?" Bu Ully menanggapinya dengan sengaja memancing yang membuat Prilly menjadi makin sewot.

"Buktinya dia udah nggak pernah hubungin aku lagi Ma...." Jawabnya dengan jutek.

"Kamu sendiri udah coba hubungin dia belum?" Kembali Bu Ully bertanya. Hanya ingin tahu saja bagaimana reaksi anak gadisnya. Namun Prilly hanya menghendikkan kedua bahunya. Jujur saja, ia malas membahas Ali, membuat moodnya jadi rada kacau pagi ini.

"Jangan nunggu dia hubungin kamu dulu. Nggak ada salahnya sekali-sekali kamu yang hubungin dia dulu." Pak Rizal pun ikut angkat bicara. Namun Prilly tak menghiraukannya karena bersamaan dengan bunyi deringan notifikasi chat di HPnya. Yang tentu saja membuat perhatian Prilly teralih pada benda pipih tersebut.

"Pa, Ma Prilly jalan dulu ya..." Pamitnya pada orang tuanya sesaat setelah dia membaca pesan yang ada di HPnya.

"Suruh masuk dulu teman barumu itu. Biar Papa, Mama bisa kenalan."

"Dia nggak jemput ke sini Pa... Kami janjian di luar."

"Ya udah Prilly pamit Pa, Ma...." Prilly pun menyalami orang tuanya secara bergantian.

"Oh iya Pril, ada titipan dari Ali." Ucap Bu Ully saat Prilly mencium punggung tangannya.

"Nanti aja deh ma. Prilly buru-buru. Nggak enak kalau Kenny nungguin lama." Jawabnya sambil ngeloyor pergi. Melihat tingkah anak gadisnya itu membuat Bu Ully menghela napas dengan berat. Merasa tak enak hati harus bilang apa pada Ali yang tadi pagi baru menghubunginya menanyakan perihal tersebut.

Dua hari kemudian, hari sudah menjelang maghrib. Pak Rizal dan Bu Ully sengaja duduk di teras rumah, menikmati senja sekalian menunggu kepulangan putrinya dari kampus.

"Mana teman barumu? Katanya mau dikenalin ke Papa, Mama?" Tanya Pak Rizal saat Prilly keluar dari mobilnya.

"Dia ada acara keluarga Pa, jadi belum rejeki Papa deh kenalan sama dia." Jawabnya dengan raut berbinar.

"Ya udah Prilly mau istirahat dulu Pa, Ma... capai..." Selesai mencium punggung tangan kedua orang tuanya, Prilly segera pamit ke kamarnya.

"Pril..." Bu Ully memegang pergelangan tangan putrinya untuk mencegahnya lalu mengisyaratkan pada Prilly untuk duduk di kursi sebelahnya. Prilly pun menurutinya dengan malas. "Mama boleh tahu nggak Ali ngasih kamu apa sih?" tanya Bu Ully memulai pembicaraan.

"Ali?" Prilly mengernyitkan kedua alisnya. Bu Ully mengangguk.

"Maksud Mama?" Prilly bertanya lagi seperti orang linglung.

"Memang kamu belum membukanya ya?" Tanya Bu Ully dengan lembut.

Prilly memutar bola matanya dengan malas. "Buka apaan sih Ma? Yang jelas deh." Mood Prilly seketika berubah menjadi buruk saat mendengar nama Ali disebut. Sudah capai karena habis jalan-jalan sama Kenny, sampai rumah udah mau malam. Eh malah ini diajakin bahas Ali. Huh, malesin banget deh. Gerutunya dalam hati.

"Ehem..." Deheman Pak Rizal membuat kedua perempuan yang duduk di sebelahnya menoleh. "Dua minggu lalu, Ali ke sini nyari kamu. Nungguin kamu hampir dua jam tapi kamu belum pulang juga." Pak Rizal pun berinisiatif untuk membantu Bu Ully menjelaskannya.

"Dan sebelum pulang dia nitip sesuatu untuk kamu. Mama taruh di meja belajar kamu. Memang kamu nggak lihat kotak kecil terbungkung kertas kado warna biru?" Lanjut Bu Ully memperjelas maksudnya.

Dengan segera Prilly bangkit dari duduknya. "Nanti deh Ma kalau ada waktu Prilly lihat. Prilly capai, mau istirahat dulu." Ucapnya meninggalkan kedua orang tuanya yang diam terpaku melihat perubahan tingkah polah putrinya.

Semakin hari Prilly bertingkah semakin liar seperti seekor burung yang lepas dari sangkarnya. Sering melewatkan waktu sarapan atau makan malam bersama keluarganya. Bahkan selesai jam kuliah dia tidak langsung pulang. Selalu izin sama mamanya sekedar memberi tahu bahwa dia jalan-jalan dulu bersama Kenny juga teman-teman kampusnya.

"Dari mana saja kamu sampai larut malam begini?" Tanya Pak Rizal dengan suara dinginnya berusaha menahan emosi yang sudah ia pendam sejak beberapa hari lalu. Orang tua mana yang tak akan marah jika anak gadisnya selalu keluyuran dan pulang hingga hampir jam 12 malam?

"Diajakin nongkrong dulu Pa..." Jawab Prilly tanpa rasa takut, lalu dengan seenaknya melenggang pergi.

"Mau ke mana kamu?" Pak Rizal dengan cekatan mencegah Prilly yang akan berlalu.

"Tidur." Jawabnya malas lalu membuang pandangan ke arah lain.

"Duduk! Papa mau bicara." Dengan malas, Prilly pun menurutinya.

"Kenapa nggak dianterin sampai rumah?" Tanya Pak Rizal dengan dingin.

"Kan Prilly bawa mobil sendiri Pa...." Jawab Prilly santai sambil memainkan hpnya.

"Semenjak kenal sama Kenny itu, kamu jadi keluyuran nggak jelas tiap hari. Papa jadi ragu. Jangan-jangan kamu juga sering bolos kuliah...." Ucap Pak Rizal dengan tenang sesudah menetralan emosinya. Karena menghadapi anak yang mulai membangkang tidak bisa dengan keadaan emosi tinggi bahkan akan membuat anak itu semakin membangkang dan tak bisa diatur.

"Nggak kok Pa, baru dua kali." Jawabnya enteng.

"Baru dua kali?" Prilly mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari HPnya.

Pak Rizal mengembuskan napasnya dengan kasar. Lalu merebut HP yang berada di tangan Prilly.

"Bagus... Mulai besok Papa tidak mengizinkan kamu bawa kendaraan sendiri ke kampus." Ucap Pak Rizal sebelum Prilly sempat mengajukan protes. "Dan HP ini Papa sita."

"Aku bukan anak kecil lagi Pa yang harus diantar jemput...." Protes Prilly dengan nada tinggi.

"Tak ada antar jemput. Naik angkot atau bis." Ucap pak Rizal hendak berlalu, namun ia teringat sesuatu yang harus ia sampaikan kepada putrinya.

"Oh iya, satu lagi. Sebaiknya kamu jaga jarak sama teman barumu itu."

"Lho memang kenapa Pa?" tanya Prilly tak terima.

"Papa tidak suka." Jawab Pak Rizal dengan tegas.

Prilly tersenyum sinis. "Papa kan belum kenal sama dia... Dia orangnya baik Pa...." Masih berusaha untuk membela diri.

"Gimana bisa kenal kalau tiap disuruh ke sini dia selalu punya alasan?" Tanya Pak Rizal tak mau kalah.

"Nanti deh Pa, Prilly coba ajak dia ke sini."

"Nanti kapan?" Tanya Pak Rizal menantang namun tetap dengan tenang agar tak memancing emosi anak gadisnya. "Dan kalau memang dia cowok yang baik, dia tidak akan membiarkanmu pulang sendirian setiap malam." Lanjutnya, membuat Prilly terdiam. Entah karena memang merasa bahwa ucapan papanya itu ada benarnya atau mungkin karena malas berdebat.

"Oh iya, ada lagi. Kamu perlu tahu bahwa ada orang yang sudah melamarmu." Sontak kedua mata Prilly membulat dengan sempurna mendengar pernyataan papanya. Tanpa bisa melayangkan protes karena papanya sudah berlalu.

Keesokan paginya di ruang makan, Pak Rizal menyinggung masalah semalam yang sudah ia sampaikan kepada putrinya saat Prilly bergabung untuk sarapan bersama kedua orang tuanya.

"Wah, siapa Pa?" Tanya Bu Ully dengan wajah berbinar. Berharap semoga orang itu adalah calon mantu idamannya.

"Bercandanya nggak lucu deh Pa." Sungut Prilly kesal. Moodnya yang semalam sudah kacau, pagi ini pun malah bertambah kacau.

"Kemarin salah satu rekan Papa datang menemui Papa ke kantor. Beliau berniat melamarmu untuk putranya." Jelas Pak Rizal. Senyum yang terpancar di wajah Bu Ully langsung pudar mendengar penjelasan Pak Rizal.

"Dan Papa sudah menyetujuinya." Lanjutnya sambil berlalu meninggalkan ruang makan. Tanpa beliau sadari, tak hanya Prilly yang merasa kesal dengan ucapannya barusan. Bu Ully menghela napasnya. Wajahnya mendadak menjadi sendu mengingat bahwa Pak Rizal mempunyai kandidat lain yang akan ia jadikan menantu.

Prilly segera berlalu dari ruang makan. Selera makannya mendadak hilang karena obrolan pagi papanya yang membuat kesal dan ingin marah. Dilarang menggunakan mobil ke kampus, HPnya pun di sita. Akhirnya ia memutuskan untuk membolos kuliah saja hari ini. Mungkin menghabiskan waktunya dengan tidur seharian akan membuat moodnya kembali baik nanti.

Menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang dengan pandangan matanya yang berkeliling ke seluruh penjuru kamar. Sampai pandangan itu terhenti pada suatu benda yang baru ia sadari keberadaannya. Prilly pun segera melangkah menuju meja belajarnya. Mengamati dengan seksama lalu mengambil benda tersebut. Seketika ingatannya berputar pada penjelasan mamanya tempo hari tentang Ali.

Dengan perlahan ia membuka kotak kecil tersebut. Matanya berbinar melihat benda yang ada di dalamnya. Sebuah gelang. Seulas senyum pun mengembang diwajahnya. Agak lama ia memperhatikan gelang tersebut hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk mempercantik pergelangan tangannya dengan memakai benda itu.

Dengan senyum yang masih menghiasi wajah cantiknya, Prilly pun mengambil sebuah kertas yang terlipat rapi di dalam kotak tersebut.

Dear cewek imutku,

Hai Prill...

Maaf ya jika aku menjadi seorang pengecut. Bahkan untuk berpamitan padamu secara langsung saja aku tak berani. Begitu berat rasanya bibir ini mengucapkan kata 'selamat tinggal dan sampai berjumpa lagi nanti' padamu.

Senyum di wajah Prilly pun memudar setelah membaca paragraf pertama dalam surat tersebut. Air mata mulai turun membasahi pipinya yang chubby. Dia menggigit bibirnya untuk menahan isak tangisnya yang kian tak terbendung. Kembali meneruskan untuk membaca goresan pena Ali dengan sesekali menyeka air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir.

Malam ini adalah malam terakhir pertemuan kita karena jam 3 dini hari nanti aku akan berangkat ke Jepang untuk meneruskan kuliah S2 ku di sana. Terima kasih cewek imutku, sudah mau menjadi sahabat baikku selama dua tahun ini. Maaf jika aku selalu mengusilimu, selalu membuatmu kesal bahkan marah. Kamu pasti seneng kan sekarang bisa terbebas dari aku? Tak akan ada yang membuatmu jengkel lagi. Tapi, satu hal yang pasti harus kamu tahu bahwa aku pasti akan merindukan kebersamaan kita yang sudah kita lalui selama ini.

Akhirnya tangis Prilly pun pecah memenuhi ruang kamarnya setelah sekuat tenaga ia menahannya. Dadanya terasa semakin sesak menyadari bahwa Ali sekarang berada di tempat yang jauh ia gapai, dalam waktu yang lama. Merutuki dirinya sendiri mengapa malam itu dia memilih untuk pergi bersama cowok lain. Seandainya dia tahu bahwa malam itu adalah malam perpisahannya dengan Ali pasti ia tak akan mengabaikannya. Ia akan meluangkan seluruh waktunya untuk Ali... Seandainya saja ia tahu hal ini sebelumnya... Yah, kini Prilly hanya bisa berandai-andai... Dan kini semuanya sudah terlambat.

Kamu jaga diri baik-baik yaa... Jangan lupa makan yang teratur... Nggak usah diet diet lagi. Apapun dan bagaimanapun kamu, aku akan tetap selalu menyayangimu. Doain aku yaa semoga kuliahku lancar dan aku bisa segera kembali ke sini sesuai janjiku. Akan aku tunjukkan sesuatu padamu nanti saat aku kembali. Tunggu yaa...

Salam sayang,

Cowok tengilmu.

Hatinya sedikit menghangat membaca kalimat di paragraf terakhir surat tersebut. Namun itu tak berlangsung lama karena air mata Prilly terus saja mengalir menggantikan senyum manis yang terukir di wajahnya beberapa saat lalu. Ia mendekap surat itu dengan erat. Sesak, itulah yang dirasakannya sekarang. Tubuhnya pun meluruh ke lantai. Ia menangis sekencang-kencangnya sambil meneriakkan nama Ali berkali-kali. Menyesal. Itulah yang kini ia rasakan. Menyesal karena telah melewatkan momen terakhir bersama Ali.

"Papaaaaa.... Mamaaaaa..." Teriaknya dengan histeris.

"Prilly... ada apa sayang?" Dengan tergopoh-gopoh, Pak Rizal dan Bu Ully segera berlari menuju kamar anak gadisnya saat mendengar teriakan Prilly.

"Ali Paa.... Aliiii Maaa... Aliiii... Hikss... Hiksss..." Ucap Prilly dengan sesenggukan. Bu Ully langsung mendekap tubuh anak gadisnya yang sedang bergetar.

"Ali? Kenapa?" Tanya Pak Rizal berjongkok di depannya.

"Alii... Aliii...." Prilly tak mampu melanjutkan ucapannya karena kini ia baru menyadari ada yang hilang dari hatinya.

"Cup... cup... tenang dulu sayang...." Bu Ully mengusap-usap lengan Prilly memberikan ketenangan.

"Ali Maa... Ali pergi jauh... ninggalin Prilly..." Lirihnya masih dengan deraian air mata.

"Ali pergi Paaa...." Berganti memeluk papanya dengan erat.

Dengan sabar kedua orang tuanya menenangkan anak gadisnya bahkan menemaninya hingga ia tertidur karena lelah menangis.

-TO4-

Semenjak kejadian tersebut, Prilly pun berubah menjadi sosok pendiam dan cuek. Lebih banyak menyendiri di kampus. Bahkan chat dari Kenny pun sudah tak pernah ia tanggapi. Selain itu ia juga memutuskan untuk menyetujui permintaan mama papanya yang menyuruhnya agar diantar jemput oleh supir jika mau bepergian. Hal ini bukan tanpa alasan karena beberapa waktu lalu saat Prilly sedang kalut memikirkan Ali, ia hampir saja celaka saat pulang dari kampus. Hampir bertabrakan dengan pengendara sepeda motor yang mengendarai motornya terlalu ke tengah jalan saat belok di sebuah tikungan. Untung saja fungsi rem mobil Prilly masih bisa diandalkan hingga tabrakan itu bisa dihindari.

Yang kini dia lakukan hanyalah menatap layar HPnya tanpa rasa bosan. Bahkan sehari pun tak pernah absen untuk memandangi layar HP tersebut. Barharap ada sebuah pemberitahuan chat dari seseorang yang sangat ia rindukan. Namun itu sepertinya tak mungkin karena orang tersebut seolah lenyap ditelan bumi. Bahkan akun sosmednya pun sudah tak pernah diaktifkan lagi. Prilly memang tak pernah absen untuk selalu mengeceknya, siapa tahu dia bisa mendapatkan sebuah kabar dari akun sosmed tersebut. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah memandangi wajah orang tersebut dalam galeri foto yang tersimpan di HPnya.

Rasa kehilangan itu pun terasa semakin dalam saat ia tak pernah bisa berkomunikasi dengan Ali, walapun sudah sering kali ia mencoba menghubunginya. Ia hanya bisa berharap bahwa seseorang yang ditunggunya akan segera pulang. Bahkan menharapkan hal yang lebih dari sekedar bertemu dengannya lagi. Sudut hati kecilnya memupuk harapan yang besar terhadap seseorang tersebut. Harapan untuk hidup bersama dalam suka dan duka. Dan keyakinan itu semakin menebal tatkala papanya mengungkit masalah lamaran orang lain pagi tadi.

"Prill, bagaimana, apa kamu sudah siap untuk bertemu dengan putra teman Papa yang melamarmu waktu itu?"

"Papa apaan sih? Prilly nggak mau Pa..." Jawabnya dengan lesu.

"Kamu yakin? Anaknya ganteng lho... pinter lagi... kuliahnya di luar negeri."

"Ganteng, pinter mau kuliah di luar kek, dimana kek, nggak menjamin hidup Prilly bakal bahagia nantinya." Jawabnya ketus.

"Lalu kamu nyari yang bagaimana lagi? Sebentar lagi kuliahnya selesai. Papa jamin hidup kamu akan tercukupi nanti jika kamu menikah dengannya." Prilly tak menjawab. Jujur saja ia malas membahas hal ini. Bahkan dia juga sudah sering memberikan penolakan namun sepertinya papanya masih belum mau menyerah.

"Kamu kan juga nggak lagi nunggu seseorang kan? Nggak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk menerima calon suamimu itu."

"Maaf Pa, jangan paksa Prilly lagi." Jawabnya bersiap untuk bangkit dari duduknya.

"Papa nggak maksa. Tapi nggak ada salahnya kamu belajar untuk menerima. Cobalah untuk bertemu dengannya dulu. Siapa tahu kalian merasa cocok."

Prilly menghela napasnya kasar. "Kalau Papa masih mau maksain Prilly untuk ketemu sama dia, oke akan Prilly temui."

"Tapi nanti Pa, nunggu Ali kembali." Lanjutnya dengan tegas kemudian berlalu.

-TO4-

Dugh...

"Aduh, maaf... maaf yaa...." Ucap seseorang yang dengan sengaja menabrak orang yang sedang berjalan dengan wajah menunduk.

"Iya nggak apa-apa." Merutuki dirinya sendiri karena jalan menunduk hingga ia tertabrak orang lain. Kemudian perlahan ia mendongakkan wajahnya karena melihat tubuh orang yang menabraknya tadi masih berdiam diri dihadapannya.

"Aliii...." Ucapnya dengan lirih melihat sosok yang ada dihadapannya kini.

"Prilly...." Dengan senyum manis yang mengembang di wajahnya, Ali pun menyapa seseorang yang sengaja ia tabrak tadi.

Prilly mengucek matanya berulang kali. Menatap tak percaya dengan penglihatannya. "Kamu beneran Ali?" Tanyanya ingin memastikan. Dan orang yang ada dihadapannya itu pun mengangguk dengan mantab masih dengan memamerkan senyum manisnya.

"Aku kangeeeeeennnnn...." Prilly segera berhambur memeluk Ali dengan erat. Menyalurkan rasa rindunya yang hanya bisa ia pendam selama dua tahun ini.

Merasa pelukannya tak bersambut, Prilly pun melepaskan pelukannya. "Maaf jika buat kamu nggak nyaman..." Lirihnya.

Ali tersenyum, menggelengkan kepalanya mendengar penuturan Prilly tersebut.

"Kita ngobrol di sana yuk?" Tanpa menunggu persetujuan Prilly, Ali langsung merangkul Prilly mengajaknya duduk di salah satu bangku taman. Ya, Prilly tadi hanya berniat untuk mengusir rasa bosannya, makanya ia memilih untuk pergi ke taman dekat kompleks perumahannya. Dan tanpa ia ketahui, Ali sengaja membuntutinya.

Setelah sedikit basa-basi menanyakan kabar dan saling bercerita kesibukan masing-masing selama dua tahun ini, Ali pun memulai membuka percakapan.

"Prill...."

"Iya Li..." Prilly tersenyum menoleh ke sampingnya di mana Ali duduk.

"Besok ada acara nggak?"

"Emm..." belum sempat Prilly menjawab, Ali sudah mengutarakan maksudnya.

"Aku mau ngajakin kamu..."

"Iya Li, aku bisa kok." Ucap Prilly memotong kalimat Ali yang belum selesai.

"Beneran?" Tak dipungkiri ia merasa bahagia saat Prilly menyetujui ajakannya.

"Iya...."

"Aku nggak maksa lho... kalau kamu udah ada janji sama yang lain..."

"Aku bisa batalin kok Li..." Potong Prilly cepat.

"Eh jangan... Kasihan kan kalau dibatalin? Bagaimanapun janji itu sudah ada dulu sebelum ajakanku...." Ucapan Ali terhenti ketika ia melihat Prilly menangis.

"Lho, kok nangis? Kamu kenapa Prill?" Tanyanya dengan cemas.

"Apa aku menyinggungmu?" Prilly menggelengkan kepalanya.

"Udah, jangan sedih ya... Lain kali kan..." Ali mengusap rambut panjang Prilly yang terurai bermaksud untuk memberi ketenangan.

"Nggak Li..." Air mata Prilly pun semakin tak terbendung lagi. "Nggak." Prilly menggelengkan kepalanya dengan tegas membuat Ali semakin bingung.

"Hei, kamu kenapa?"

"Nggak akan ada lain kali lagi Li..." Ucap Prilly lirih.

"Maksudnya?"

"Aku nggak mau kejadian dua tahun lalu terulang lagi Li... Nggak..." Prilly menggelengkan kepalanya berkali-kali mengingat hal itu. Hal yang membuatnya merasa bersalah dan menyesal.

"Kejadian dua tahun lalu?" Gumam Ali tak mengerti. "Memang apa yang sudah terjadi?" Ali menaikkan satu alisnya ingin tahu.

"Wah, sepertinya aku ketinggalan banyak info nih." Lanjutnya lagi, namun tak mendapat respon dari Prilly.

"Hmm... Kamu udah nggak mau cerita lagi sama aku?" Prilly menggeleng.

"Udah nggak percaya lagi sama sahabatmu ini?" Prilly menggeleng lagi.

"Bukan Li... Bukan begitu..." jawabnya.

"Lalu? Apa yang tak kuketahui selama ini?" Tanya Ali makin penasaran dan itu membuatnya menjadi sedikit khawatir.

"Maaf..." Lirihnya sambil menundukkan kepalanya.

"Maaf malam itu aku mengabaikan ajakanmu. Aku malah lebih memilih untuk pergi bersama orang lain yang bahkan baru aku kenal beberapa hari... Seandainya aku tahu malam itu adalah malam terakhir kebersamaan kita... sebelum kamu ninggalin aku... aku pasti..." Isak tangisnya pun makin menjadi hingga Prilly tak sanggup untuk menyelesaikan kalimatnya.

Mengerti arah pembicaraan Prilly, Ali segera membawa Prilly ke dalam dekapannya. Memang ia juga sempat kecewa atas kejadian itu, namun melihat kesedihan dan kerapuhan Prilly kini, ia tak sanggup. "Sssttt udah... nggak usah dibahas lagi ya? Itu udah berlalu..."

"Aku nyesel Lii..." Ucap Prilly mempererat pelukannya.

Untuk beberapa lama, Ali membiarkan pelukan tersebut sampai Prilly merasa tenang dan melepaskan dengan sendirinya.

"Jadi gimana Li besok?" Prilly yang masih berada dalam rengkuhan Ali pun mendongak untuk menatapnya.

"Besok?"

"Iya, tadi bukannya kamu bilang mau mengajakku..." Prilly pun mengingatkan.

"Ah iya... itu pun kalau kamu bisa Prill... kalau nggak juga nggak apa-apa. Lagian sepertinya kamu sudah punya janji kan?"

"Janji makan malam sama Papa Mama kok Li. Masih bisa ditunda..." Jawabnya dengan tenang.

"Aku bisa kok Li... Serius deh!" Lanjutnya berusaha meyakinkan agar Ali tak membatalkan niatnya untuk mengajaknya jalan. Pikirnya.

"Emm... ya udah kalau gitu besok malam kamu aku jemput sebelum jam 7 ya..." Senyum Prilly mengembang.

"Emang mau ke mana sih?" tanyanya manja.

"Aku... mau ngenalin kamu sama calon istriku...."

Deg...

Dan pelukan itu pun seketika terlepas.

-TO4-

Prilly berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Mendengar ucapan Ali kemarin yang akan memperkenalkannya dengan calon istri membuat Prilly menjadi ragu. Ingin rasanya ia membatalkan janjinya dengan Ali. Prilly pun merutuki dirinya berkali-kali seharian ini karena sudah terlanjur mengiyakan ajakan Ali sebelum ia tahu ke mana tujuannya.

"Prill, sudah dijemput Ali tuh." Prilly hanya menatap mamanya malas.

"Kok kamu belum siap-siap? Bukannya kamu membatalkan acara makan malam kita demi Ali?" Prilly menundukkan kepalanya dengan cemberut.

"Udah, cepetan siap-siap.... Kasihan Ali kalau harus nungguin lama." Bukannya menjawab ucapan mamanya, Prilly malah berlalu dari kamarnya.

"Lho, kok belum siap?" Tanya Ali ketika melihat Prilly menghampirinya di ruang tamu dan duduk di sebelah papanya.

"Emm... maaf ya Li... Aku nggak bisa pergi sama kamu." Ucapnya dengan lesu membuat papa dan mamanya menatapnya heran. Padahal kemarin ia sendiri yang ngotot untuk membatalkan acara makan malam bersama kedua orang tuanya karena ia ada acara sama Ali dan sekarang tiba-tiba membatalkannya begitu saja.

"Lho kok gitu Pril? Ali udah jauh-jauh ke sini buat jemput kamu..." Bu Ully mencoba untuk memberi pengertian agar anaknya tak seenaknya saja membatalkan janji dengan orang lain.

"Iya Prill kami sudah terlanjur membatalkan janji dengan keluarga calon suamimu demi kamu dan mereka juga sudah sepakat untuk menunda pertemuan kalian lho... masa kamu juga membatalkan acaramu sama Ali?" Pak Rizal pun ikut bersuara. Senyum Ali pun sedikit memudar. Ia menunduk lesu dengan perasaan yang tak tentu mendengar penyataan Pak Rizal. Memang benar dia juga sudah memantapkan pilihannya pada seorang gadis namun tak bisa dipungkiri bahwa rasa itu masih ada untuk Prilly.

Dengan tegar Ali pun menjawab "Nggak apa-apa Om kalau Prilly memang nggak bisa." Ucapnya dengan senyum yang terlukis di wajahnya. Kecewa untuk yang kedua kalinya. Harapannya untuk menghabiskan waktu bersama sahabat baiknya yang sudah lama tak ia temui kini musnah sudah.

"Maaf ya gara-gara Ali, rencana Om sekeluarga jadi batal." Lanjutnya tak enak hati.

"Nggak Nak, bukan salah kamu kok." Bu Ully pun dengan rasa tak enak hati menjawabnya.

"Ya udah kalau gitu Ali permisi Om, Tan. Ali juga harus nepatin janji untuk bertemu dengan keluarga calon istri Ali."

"Mak-sudnya?" Tanya Bu Ully sedikit tercekat mendengar penjelasan Ali. Pupus sudah harapannya. Ternyata Ali juga sudah mempunyai calon istri.

"Iya Tan, tadinya Ali mau ngajak Prilly untuk mengenalkan calon istri Ali tapi ternyata Prilly nggak bisa..." Jelasnya dengan kecewa.

Dengan terpaksa Bu Ully pun menyunggingkan senyumnya saat Ali menjelaskan maksudnya mengajak Prilly jalan. Sedangkan Prilly dari tadi hanya diam menunduk tak berani menatap kedua orang tuanya apalagi Ali... Bahkan dengan susah payah ia menahan rasa sesak yang dirasa dalam dadanya.

"Kamu nggak ada niat ngenalin calon istrimu ke Om, Li?" Tanya Pak Rizal tersenyum menatap Ali.

"Pasti Om... pasti akan Ali kenalin nanti." Jawab Ali dengan ragu.

"Kenapa nggak sekarang aja Li? Kamu pergi sama Om aja kalau Prilly nggak mau." Ali melebarkan matanya mendengar Pak Rizal menawarkan diri untuk menemaninya.

"Ya, setidaknya kamu ada temen ngobrol nanti di jalan." Lanjut Pak Rizal kemudian bangkit dari sofa. "Tunggu ya, Om ganti baju dulu." Ucap Pak Rizal sambil berlalu, tanpa memberikan kesempatan bagi Ali untuk menerima atau menolaknya.

"Tante juga mau ikut. Bolehkan Nak?" Setelah merasa bisa menenangkan perasaannya untuk berusaha ikhlas, Bu Ully pun bertanya dengan nada memohon. Mungkin memang mereka tidak ditakdirkan untuk bersama. Semua sudah kehendak Allah. Batin Bu Ully menguatkan dirinya sendiri.

"Bo...boleh Tan." Jawab Ali gugup sekaligus risau. Bu Ully pun segera berlalu dengan cepat setelah mendengar jawaban Ali. Begitu pun juga dengan Prilly, ia pun ikut meninggalkan ruang tamu tanpa sepatah kata pun. Ali hanya bisa menatapnya dengan nanar. Kenapa semua jadi kacau begini? Teriak Ali dalam hati.

"Yuk Li, Om sudah siap."

"Nungguin Tante, Om." Pak Rizal mengernyitkan dahinya tak mengerti.

"Yuk, Tante udah siap." Pak Rizal menoleh pada istrinya dengan tatapan bingung.

"Lho Prilly mana?" tanya Bu Ully tak merespon tatapan mata Pak Rizal padanya. Ali hanya menghendikkan kedua bahunya dengan lesu.

"Prill... Kami pergi dulu ya.. Kamu jaga..." Ucap Bu Ully sedikit meneriaki Prilly yang ia yakini sedang berada di kamarnya. Namun sebelum Bu Ully menyelesaikan kalimatnya, Prilly sudah muncul dengan baju yang rapi.

"Ayo berangkat." Ucap Prilly dengan nada dinginnya sambil berlalu keluar meninggalkan ketiga orang tersebut yang masih tercengang.

"Lho... kamu nggak bawa mobil Li?" Tanya Pak Rizal begitu sampai di teras rumahnya. Bingung karena hanya melihat sebuah motor matic yang terparkir di sana.

"Ali kan belum punya mobil Om." Jawab Ali tahu diri. Mungkin karena ia belum bisa menepati janjinya dulu pada Pak Rizal untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan serta gaji yang layak lah yang membuat dirinya harus ikhlas melepaskan Prilly.

"Nih, pakai mobil Om. Kamu yang nyetir." Pak Rizal menyerahkan kunci mobilnya ke dalam genggaman tangan Ali.

"Ck! Ayo Li... kamu mau buat keluarga calon istrimu menunggu lebih lama?" Pak Rizal berdecak kesal kemudian meneriaki Ali yang masih diam mematung.

"I... iya Om." Ali bergegas membuka pintu mobil Pak Rizal.

Kebetulan jalanan tidak terlalu macet, hingga mereka pun tak terlalu membutuhkan waktu berjam-jam untuk bisa sampai di tempat tujuan.

"Ali..." Panggil seseorang melambaikan tangannya saat melihat Ali memasuki restoran yang telah ditentukan. Ali pun segera mengajak Pak Rizal, Bu Ully dan Prilly untuk segera bergabung dengan beberapa orang yang telah menanti kedatangannya.

"Jeng Resi..."

"Jeng Ully..." Bu Resi dan Bu Ully yang sama-sama terkejut karena pertemuan ini, mereka pun saling berpelukan. Pak Syarief pun mempersilakan mereka untuk duduk setelah saling berjabat tangan juga berpelukan hangat dengan Pak Rizal.

"Sayangnya Mama apa kabar nih?" Bu Resi mengerling pada Prilly yang sedari tadi hanya mampu berdiam diri.

"Ba... baik Tante." Jawabnya gugup.

"Ayo duduk sayang..." Prilly mengangguk lalu mengambil tempat duduk di samping mamanya. Obrolan kedua keluarga itu pun mengalir begitu saja. Hanya menyisakan dua orang yang duduk saling berjauhan itu menundukkan kepalanya. Sibuk dengan pikiran juga perasaan masing-masing.

"Oh iya keluarga calon besan kalian belum datang juga ya?" Tanya Bu Ully sedikit heran saat melihat jarum jam di tangannya. Mereka sudah satu jam berada di sini bahkan sudah menikmati hidangan yang sudah di pesan, namun belum juga ada tanda-tanda kemunculan orang lain.

Pak Syarief dan Pak Rizal pun saling pandang dan mengukir senyumnya lalu mengangguk satu sama lain.

"Mereka sudah datang kok Jeng Ully. Sudah dari tadi." Jawaban Pak Syarief membuat Bu Ully, Bu Resi bahkan Ali dan Prilly yang dari tadi sangat betah menundukkan kepalanya pun akhirnya menoleh ke sekeliling.

"Bahkan sudah ngobrol dan menikmati hidangan yang kami pesankan." Lanjut Pak Syarief.

"Mereka duduk di mana Pa?" Tanya Bu Resi yang juga penasaran ingin melihat wajah dari keluarga besannya.

"Mereka ada di depan kita Ma sekarang."

"Mak... Maksudnya?" Tanya Bu Resi dan Bu Ully bersamaan.

"Kalian tidak mau besanan?"

"Ja... Jadi...." Pekik keduanya berbarengan dan menatap suaminya masing-masing. Pak Syarief dan Pak Rizal pun mengangguk dengan senyum hangatnya.

"Alhamdulillah...." Secara bersamaan pula Bu Ully dan Bu Resi menengadahkan kedua telapak tangannya mengungkapkan rasa syukurnya.

"Eh, kalian kenapa?" Tanya Bu Resi memandang secara bergantian Ali dan Prilly yang hanya diam saja saling pandang.

"Apa kalian tidak senang dengan berita ini?" Tanya Bu Ully sendu yang mendapatkan gelengan dari kedua anaknya.

"Bukankah kalian berdua saling mencintai?" Tanya Bu Resi tak mengerti yang diangguki oleh keduanya.

"Lalu apa yang kalian tunggu?" Ganti Bu Ully yang bertanya karena merasa geregetan melihat tingkah kedua anak itu yang mendadak jadi linglung. Ali dan Prilly bahkan tak menjawabnya, mereka masih betah saling pandang. Hingga akhirnya Pak Syarief dan Pak Rizal mengguncangkan tubuh anak mereka masing-masing. Dan hal itu berhasil membuat Ali maupun Prilly mengerjapkan matanya dan memandang sekeliling dengan bingung.

"Jadi bagaimana?" Tanya Pak Syarief pada Ali.

"Apanya Pa?" Ali balik bertanya tak mengerti.

"Kamu nggak jadi ngelamar anak Om, Li?" Mata Ali membulat sempurna mendengar pertanyaan Pak Rizal. Dengan refleks Ali menggelengkan kepalanya membuat semua orang mendesah kecewa, tak terkecuali Prilly yang sejak tadi merasa tegang saat mendengar pertanyaan papanya yang ditujukan pada Ali.

"Maafin Ali Om. Ali membatalkannya."

Suasana berubah menjadi hening dalam sekejap.

"Ali maunya langsung ngajakin Prilly nikah aja dalam waktu dekat ini." Ucap Ali dengan tegas memandang Prilly yang menunduk.

Ali pun berjalan menghampiri Prilly dan mengulurkan tangannya untuk membimbing Prilly berdiri.

"Cewek imutku, mau kan menikah sama cowok tengilmu ini?" Tanya Ali menatap dalam mata indah Prilly yang sudah berkaca-kaca. Prilly menggigit bibir bawahnya kemudian menganggukkan kepalanya.

Tanpa rasa sungkan apalagi malu pada keluarganya yang sedang tercengang, Ali langsung merengkuh tubuh Prilly ke dalam pelukan eratnya untuk beberapa saat.

Ali tersenyum manis menatap wajah cantik calon istrinya setelah melepaskan pelukannya. Kemudian, mencium kening Prilly dalam menyalurkan rasa rindunya yang membuncah, beralih turun ke kedua kelopak mata Prilly, lalu ujung hidung Prilly dan...

"Eiiittt... belum mukhrim..." Telinganya pun dijewer mamanya saat bibirnya hendak mendarat di bibir ranum milik Prilly.

"Ya sudah kita nikahkan mereka minggu depan." Pak Syarief memutuskan.

"Alhamdulillah...." Pekik Ali lalu mengangkat dan memutarkan tubuh mungil Prilly yang berada dalam pelukannya.

Cup...

"Aliiii....." Ali tersenyum menang saat berhasil mencuri sebuah kecupan di bibir Prilly walau akhirnya dia harus mendapatkan jeweran di kedua telinganya lagi dari mama dan calon mama mertuanya.

-END-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top