TheOne - 3

CINTA TERHALANG MASA LALU

Dheny Ali Hadiarto

Septi Prilly Ningtyas

Ali adalah seorang karyawan di salah satu kampus ternama di kotanya, tempat di mana Prilly juga sedang menuntut ilmu. Ini bukan direkayasa namun memang hanya sebuah kebetulan yang mungkin akan membawa nikmat atau malah musibah bagi keduanya.

Ali dan Prilly, mereka baru saling mengenal seminggu yang lalu karena sebuah keterpaksaan. Perjodohan. Perjodohan yang harus dilaksanakan karena sebuah janji pada masa lalu orang tuanya.

Ayah Prilly, Pak Rizal dan Mama Ali, Bu Resi dulunya adalah dua sejoli yang saling mencintai. Namun, karena adat istiadat Jawa, -pihak keluarga Pak Rizal- yang masih kental dengan kepercayaan atau mitos bahwa jodoh, selain telah menjadi suratan takdir Tuhan, juga ditentukan melalui perhitungan weton atau hari lahir dan pasarannya. Dari perhitungan hari lahir Ayah Prilly yang jatuh pada Jumat legi dan Mama Ali yang jatuh pada hari Sabtu pon menandakan mereka memang tidak ditakdirkan untuk hidup bersama dalam membangun rumah tangga. Menurut sesepuh dari kerabat Pak Rizal, hari Jumat dan Sabtu itu saling berhadapan jadi tidak ada kecocokan untuk berjodoh. Jika dipaksakan, mungkin salah satu anggota keluarga atau sanak famili dari keluarga Pak Rizal atau Bu Resi akan ada yang meninggal dunia entah itu dalam waktu dekat maupun beberapa tahun setelah terjadi pernikahan.

Oleh karena itu, dengan sangat berat hati, Pak Rizal dan Bu Resi sepakat untuk saling mengubur mimpi indah masa depan mereka berdua untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Dengan keterpaksaan untuk mengakhiri hubungan mereka dan berpisah secara baik-baik. Hingga rasa ikhlas untuk melepaskan satu sama lain itu hadir dengan sendirinya seiring waktu berjalan.

Kini keduanya sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Sudah mempunyai istri, suami dan anak yang melengkapi hidup mereka. Dan beberapa tahun lalu, mereka dipertemukan kembali dalam suasana yang sudah sangat jauh berbeda. Saat Pak Rizal -Ayah Prilly- yang bekerja sebagai seorang manager marketing dari sebuah perusahaan elektronik yang ada di kotanya, Surabaya, sedang menghadiri kunjungan kerja selama beberapa hari di Malang pada salah satu cabang perusahaan tempat ia mencari nafkah itu.

Tanpa sengaja, Pak Rizal yang selalu ditemani oleh sang istri tercinta, Bu Ully saat melakukan dinas luar kota bertemu dengan Bu Resi yang juga sedang ditemani oleh suaminya, Pak Syarief di sebuah mall. Dari pertemuan tersebutlah komunikasi mereka terjalin kembali. Untunglah, baik Pak Rizal maupun Bu Resi mempunyai pasangan hidup yang sangat pengertian. Sebelum memutuskan untuk membina rumah tangga, mereka sudah saling terbuka satu sama lain tentang pahit manisnya perjalanan cinta mereka di masa lalu untuk menghindari adanya kesalahpahaman. Karena mereka mengerti bahwa tak seorang pun tahu bagaimana lika-liku jalan hidup mereka ke depannya. Dan bertemu kembali dengan orang di masa lalu yang pernah singgah dalam hati, itu sangatlah mungkin terjadi. Seperti yang mereka alami beberapa waktu lalu.

Dan berawal dari pertemuan mereka itulah, perjodohan Ali dan Prilly terungkap. Karena sebelum memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing, Pak Rizal dan Bu Resi sudah sepakat untuk menjodohkan anak-anak mereka nantinya agar hubungan tali silaturrahmi yang sudah terjalin dengan sangat baik antara dua keluarga akan tetap sambung-menyambung tak akan pernah putus.

Ali terlahir dari sebuah keluarga yang kaya raya. Pak Syarief adalah pebisnis yang sangat ulet. Ia mempunyai berbagai macam usaha. Sedangkan Bu Resi yang menekuni dunia fashion dan kecantikan pun mengembangkan usahanya ke berbagai kota. Namun, kekayaan orang tuanya yang telah ia nikmati sejak kecil, tak membuatnya menyombongkan diri.

Dheny Ali Handiarto yang kerap disapa Ali, adalah sosok yang tampan, cerdan juga ramah maka tak heran jika banyak cewek yang berlomba-lomba untuk mendekatinya. Namun, tak semudah itu untuk meraih perhatian Ali karena hati Ali sudah terpaut pada seorang gadis yang bernama Hilda Rizqya, seorang sahabat semasa SMA.

Ruangan dalam hati Ali sudah terpenuhi dengan nama Hilda sejak beberapa tahun lalu bahkan sampai kini. Walau tanpa tahu kabar darinya sekalipun, Ali memantapkan hatinya untuk tetap menunggu Hilda kembali. Saat perpisahan kelas XII lalu, Hilda memilih untuk pergi meninggalkannya demi meneruskan karirnya dalam dunia modeling. Dengan berat hati Ali menyetujui pilihan sahabatnya itu, demi kebahagiaan sahabatnya. Dan ia yakin suatu saat nanti Hilda pasti kembali untuknya.

Namun sejak terpisah jarak dengan Hilda, Ali menjadi sosok lain. Tidak lagi ramah pada setiap orang, hanya kepada orang-orang terdekatnyalah ia bisa menunjukkan sikap ramahnya itu. Ia juga tak pernah sekalipun terlihat jalan bersama seorang cewek. Ahh, bahkan hanya sekedar ngobrol saja tidak pernah, bagaimana bisa jalan bareng? Ali membentengi dirinya sendiri agar tak ada seorang gadis pun yang bisa mendekatinya. Walaupun cara itu tidak cukup berhasil, karena ternyata masih banyak mahasiswi yang mengaguminya dan mendambanya, ingin dekat dengannya untuk menjadi kekasihnya. Dengan berbagai cara para mahasiswi tersebut mendekatinya. Walaupun sudah sering kali mendapat penolakan dari Ali secara tegas, tak membuat nyali mereka menciut. Bahkan mereka semakin gentar melakukan usahanya.

Septi Prilly Ningtyas, gadis mungil nan cantik yang berasal dari keluarga sederhana. Dalam kehidupannya yang sederhana itulah Prilly selalu tampil apa adanya, Prilly dididik untuk mandiri dari kecil. Selain itu ia adalah salah satu mahasiswi yang berprestasi, ia juga ramah kepada semua orang yang dikenalnya tak peduli orang tersebut lebih muda ataupun lebih tua darinya.

Dan keramahannya itulah yang membuatnya banyak memiliki teman. Bahkan tak jarang pula banyak cowok yang mengincarnya untuk dijadikan kekasih. Walaupun dia ramah dan baik terhadap semua orang namun tak mudah untuk bisa menjadi teman dekatnya apa lagi untuk menjadi kekasihnya. Tak ada satu cowok pun yang sudah berusaha untuk mendapatkan perhatiannya, ia jadikan tambatan hatinya.

Itulah bedanya dengan Ali. Jika Ali sudah mengunci hatinya untuk satu nama, sedangkan Prilly tak pernah terbersit dalam benaknya untuk berpacaran. Ia hanya ingin fokus pada kuliahnya, kemudian bekerja setelah lulus nanti dan berusaha untuk selalu membahagiakan orang tuanya, meluangkan waktu dan mencurahkan kasih sayangnya kepada orang tuanya. Keinginan yang sangat sederhana bukan? Namun pembuktiannya tak sesederhana yang ada dalam bayangannya.

Belum lulus kuliah saja, ia sudah dihadapkan pada sebuah pilihan hidup yang entah akan membuatnya terlimpahi kebehagiaan atau bahkan terjerumus dalam penderitaan kelak? Namun jika itu salah satu cara untuk membahagiakan kedua orang tuanya, mau bagaimana lagi? Memang tak ada pilihan untuk menolaknya bukan? Iya, Prilly sudah memutuskan untuk menerima perjodohan itu dengan menanggung semua resiko yang akan terjadi nantinya. Ia tak mau memikirkan bahagia tau tidak hidupnya nanti, yang terpenting kebahagiaan orang tuanya adalah prioritas utama dalam hidupnya.

-TO3-

"Aku mau bicara sama kamu." Ucap Ali dingin.

Prilly yang saat ini sedang bersantai di taman belakang rumah Ali pun menolehkan kepalanya ke samping di mana Ali sedang berdiri dengan tatapan lurus ke depan. Kedua tangannya berada dalam saku celana jeansnya.

"I... iya.. silahkan." Jawab Prilly gugup dan segera menundukkan kepalanya. Bukan karena gerogi saat bersama Ali, namun dia takut. Takut dengan sikap dingin Ali terhadapnya karena ia tak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini dalam keluarganya.

"Aku cuma mau peringatin kamu agar tak berharap lebih. Karena aku tak akan mau menerima perjodohan ini. Aku sudah punya pilihan lain. Jadi, jangan mengharapkan hal yang tak mungkin. Tolong kubur dalam-dalam anganmu untuk bisa menikah denganku." Setelah mengucapkannya panjang lebar, Ali melangkah pergi meninggalkan taman belakang rumahnya, tinggalah Prilly sendiri mencerna setiap kata yang Ali ucapkan barusan. Tak dipungkiri, rasa sesak merayap dalam dadanya. Bukan karena ada cinta yang ia rasakan. Mungkin belum sampai tahap itu. perkenalan mereka barulah berlangsung beberapa minggu lalu. Mana mungkin cinta bisa hadir dalam waktu sekejap? Apalagi tak ada komunikasi yang harmonis antara dia dan Ali jadi mana mungkin akan timbul rasa cinta itu? Namun karena keikhlasan juga niat tulusnya yang ingin membahagiakan kedua orang tuanya itulah yang membuat dadanya merasa sesak atas ucapan Ali.

Sejak Ali dan Prilly dipertemukan dan diperkenalkan satu sama lain oleh orang tuanya, maka sesuai permintaan Bu Resi, setiap akhir pekan Prilly disuruh untuk menginap di rumahnya. Alasannya hanya satu yaitu agar hubungan Ali dan Prilly bisa semakin dekat. Karena Bu Resi tau dan yakin jika tanpa campur tangan para orang tua, maka Ali dan Prilly tak akan saling menyapa apalagi mengobrol. Ditambah dengan sikap dingin yang selalu Ali tunjukkan jika ada Prilly di rumahnya. Itu membuat Bu Resi semakin kekeh memaksa agar Prilly menyetujui permintaannya.

Apalagi cibiran-cibiran yang selalu ia lontarkan kepada Prilly. Tanpa rasa segan ia mengucapkan kata-kata pedas itu di depan orang tuanya. Tanpa memikirkan bagaiamana pula perasaan orang yang dicibirnya.

"Jadi cewek tuh harus pinter masak biar suaminya entar betah di rumah."

Cibiran pertama yang ia lontarkan kepada Prilly saat mamanya mengajak Prilly untuk memasak bersama dan Prilly mengaku bahwa dia tidak bisa memasak.

"Jadi cewek kok nggak ada anggun-anggunnya." Cibirnya lagi saat mendengar suara tawa Prilly yang nggak ada jaim-jaimnya sama sekali. Padahal Prilly sedang duduk bersama kedua orang tua Ali menonton acara komedi.

"Jadi cewek itu yang feminine. Kaya dia dong?!" Cibir Ali dengan suara pelan namun ditekankan dan memperlihatkan sebuah foto seorang cewek cantik yang berpenampilan modis. Pandangan Ali meneliti dari atas hingga bawah penampilan Prilly yang hanya memakai celana jeans dan T-shirt saat keluarga Ali mengajaknya makan malam di sebuah restoran.

"Jadi orang tuh yang up to date dong? Hari gini nggak punya akun sosmed?" Cibir Ali lagi di kemudian hari saat mamanya meminta nama akun sosmed Prilly. Prilly bukan orang yang kudet kok dia hanya tidak ingin terlena dengan kecanggihan teknologi dan membludaknya aplikasi sosmed. Dia tidak ingin waktunya tersita untuk hal yang tidak begitu penting baginya.

"Ceroboh banget sih kamu!" Kali ini bukan cibiran yang keluar dari mulut Ali, melainkan sebuah bentakan keras. Karena Prilly tak sengaja menunpahkan teh pada tumpukan kertas yang ada di atas meja. Tumpukan kertas yang berisi hasil pekerjaan Ali yang baru saja selesai ia print. Kaki Prilly tak sengaja terantuk buku yang tersebar di lantai saat hendak menaruh teh untuk Ali di atas meja.

Ali memang sengaja mengibarkan bendera perang dengan menunjukkan sikap tidak sukanya terhadap kehadiran Prilly di rumahnya. Tujuannya adalah membuat Prilly tak betah dan akan mundur dengan sendirinya untuk menolak perjodohan itu. Bahkan dia juga sudah dengan tegas menolak mentah-mentah perjodohan tersebut saat mama papanya memberitaunya. Namun, karena mama dan papanya bilang bahwa mereka tidak akan memaksakan kehendaknya agar Ali menuruti juga menyetujui, maka Ali mau untuk dikenalkan dengan Prilly. Hanya berkenalan. Tidak lebih.

"Kamu jangan ge-er yaa..." Ali membuka pembicarannya. Saat ini Ali sedang berada di sebuah mall bersama Prilly.

"Jangan anggap aku sudah bisa menerima perjodohan ini hanya karena aku mengajakmu jalan-jalan malam ini. Kalau bukan karena paksaan mama, nggak bakalan aku mau ngajakin kamu ke sini. Ngerti?" Prilly hanya mengangguk saja meresponnya. Dia tidak ingin berdebat dengan orang yang duduk disamingnya ini. Karena dia tahu hanya akan buang-buang tenaga saja jika meladeninya.

"Asal tahu aja kalau kamu itu bukan tipe istri idamanku." Lanjut Ali dengan wajah meremehkannya.

"Bahkan jauh banget dari kriteriaku." Ucapnya dengan senyum sinisnya.

"Memang bagaimana kriteria kak Ali?"

"Untuk apa kamu ingin tahu bagaimana kriteriaku? Kamu ingin berubah jadi sosok yang sesuai kriteriaku? Agar aku mau menerima perjodohan ini? Demi membahagiakan orang tua kita? Cuihh...! Jangan harap! Dan jangan coba-coba!" Ungkap Ali panjang lebar dengan pikiran-pikran negatisnya. Padahal Prilly hanya ingin menanggapi obrolannya. Eh, tak tahunya malah menimbulkan kesalahpahaman yang baru.

"Hai Lii... sorry bro kita telat nih." Sungguh lega hati Prilly karena kedatangan teman-teman Ali membuat tak harus terjepit dalam situasi tak menyenangkan tadi lebih lama.

"Ah kebiasaan kalian." Ali mencebikkan bibirnya.

"Heleh biasanya juga kita yang selalu nunggu kamu datang." Ucap dari salah satu temannya yang baru saja mengambil tempat duduk di hadapan Ali.

"Eh, siapa nih bro? Gebetan baru?" Tanya salah satu teman cewek Ali yang lebih dulu menyadari keberadaan Prilly dari pada yang lainnya.

"Bukanlah... masa yang kaya gini gebetan aku sih? Kalian kan tahu sendiri gimana kriteriaku."

"Hai dek... boleh kenalan nggak? Aku Kevin." Tak mau menanggapi Ali yang ujung-ujungnya pasti akan membahas seseorang di masa lalunya, Kevin mulai memperkenalkan dirinya.

"Prilly kak." Jawab Prilly dengan senyumnya saat menerima jabatan tangan Kevin.

"Aku Mila."

"Ricky."

"Aku Lia." Satu persatu teman Ali saling memperkenalkan dirinya kepada Prilly.

"Kamu siapanya Ali?" Tanya Mila penasaran karena selama ini Ali tak pernah mengajak seorang cewek saat mereka sedang berkumpul di malam minggu seperti ini. Bahkan ledekan-ledekan dari keempat temannya itupun tak mampu membuat Ali goyah. Dia tetap pada pendiriannya memilih untuk single dan menanti sampai seseorang yang dicintainya kembali padanya suatu saat nanti.

"Bukan siapa-siapa aku. Dia anak teman mama. Kebetulan kuliah di sini." Ali menjawab rasa penasaran Mila.

Obrolan merekapun berlanjut. Prilly cukup senang karena teman-teman Ali ternyata ramah dan bisa menerima kehadirannya. Meskipun awalnya Prilly khawatir jika keikutsertaannya ini akan membuat mereka merasa tak nyaman.

-TO3-

"Mbak..." Ali yang sedang menuruni anak tangga menyapa mbak Yati, asisten rumah tangga yang sudah bekerja untuk Bu Resi selama beberapa tahun ini.

"Iya mas..." Mbak Yati hanya menoleh sekilas karena dia sedang sibuk menyiapkan makan malam.

"Emm.. Apa dia tidak datang ke sini?" Tanya Ali ragu. Namun karena rasa penasarannya yang mendominasi, akhirnya ia menyingkirkan sedikit egonya.

"Dia?" Mbak Yati menautkan kedua alisnya, tak mengerti siapa yang dimaksud majikannya ini.

"Emm... Maksudku.... Prilly." Ucap Ali dengan cepat saat menyebutkan nama Prilly.

"Oohh... Mbak Prilly?" Ali menganggukinya dengan sedikit senyum yang mengembang.

"Saya nggak tahu mas. Saya juga belum lihat. Padahal harusnya kan sudah sejak sore tadi dia datang ya mas..." Senyum itu pun langsung pudar dalam sekejap. Entah mengapa hatinya gelisah. Baru pertama kali ini Prilly tak menampakkan batang hidungnya di rumahnya. Padahal biasanya tak pernah absen setiap Jumat sore, saat Ali pulang kerja pasti sudah melihat Prilly bercengkrama dengan mamanya di halaman belakang.

"Mas Ali kangen ya?" Mbak Yati mengerlingkan matanya pada Ali yang terduduk lesu dihadapannya.

"Ha?? Eh, apaan sih mbak..." Ali tergagap menjawabnya kemudian segera meninggalkan ruang makan dengan buru-buru. Mbak Yati tersenyum tipis melihat majikannya sedang salah tingkah karena godaannya.

Sudah dua minggu ini Prilly menghilang tanpa kabar. Dia tak tahu bahwa hal itu mampu membuat Ali kelimpungan. Kekhawatiran dan kegelisahan menghinggapinya. Mati-matian menahan rasa penasarannya untuk mengetahui bagaiamana keadaannya. Bahkan Ali sering kali dengan sengaja lewat depan gedung fakultas Prilly, siapa tahu dia bisa melihat sosok yang diam-diam ia rindukan beberapa hari ini. Yah, walaupun Ali masih mengingkari adanya rindu itu dalam hatinya. Namun, usahanya pergi dan pulang melewati depan gedung fakultas Prilly rupanya tak membuahkan hasil. Bahkan kadang dia menyempatkan untuk berhenti sejenak mengamati aktifitas yang terjadi melalui kaca mobilnya yang tertutup itu. Berharap sosok mungil tersebut tiba-tiba muncul yang bisa ia lihat dari kejauhan.

"Aliii..." Panggilan mamanya membuat Ali tersadar dari lamunannya.

"Iya ma..." Ali begergas menuruni ranjang dan membukakan pintu kamarnya.

"Mama mau minta tolong. Ali mau nggak bantuin mama?"

"Apa ma?" Ali duduk kembali di ranjangnya, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.

"Emm.. Kira-kira, Ali mau nggak jemput Prilly?" Ucapan mamanya sukses membuat Ali melebarkan pandangannya. Hatinya berdesir mendengar nama gadis itu.

"Apa ma? Jemput....??" Bahkan Ali tak mampu mengucapkan namanya. Nama gadis yang sudah memenuhi pikitrannya beberapa hari ini.

"Iya.. Nanti jam 2 kan dia pulang kemah. Ali bisa nggak jemput Prilly ke kampus dan ajak dia ke sini? Mama kangen sama dia." Jelas Bu Resi dengan antusisanya namun terdengar lirih dalam ucapan terakhirnya. Terlihat jelas kerinduan yang membuncah pada sorot matanya. Ali bisa melihat itu.

'Jadi dia pergi kemah? Makanya dia nggak ke sini? kenapa nggak ngasih kabar sih? Bikin khawatir aja.' Gerutu Ali dalam hatinya.

"Lii...." Bu Resi melambaikan tangannya di depan wajah Ali membuat anak lelakinya mengerjapkan mata.

"Kok malah bengong sih? Gimana bisa nggak?" Tanya Bu Resi penuh harap.

"Suruh naik angkot ajalah ma... Ali lagi malas ke mana-mana." Ucapnya sok cuek. Padahal dalam hatinya ia ingin segera melihat wajah gadis mungil itu yang sudah berhasil membuatnya tidak bisa konsentrasi penuh pada pekerjaannya.

"Kamu nggak kasihan apa sama dia? Pasti dia kecapaian. Kamu juga pernah ngerasain sendiri kan gimana lelahnya badan kamu setelah selesai kemah dulu?"

"Nah, itu mama sudah tahu kalau dia kecapaian.. Jadi, biarkan saja dia istirahat di kost ma... Besok deh, selesai jam pulang kantor Ali ajak dia ke sini." Ucapnya spontan.

"Beneran? Mama nggak salah dengar kan?" Tanya Bu Resi dengan semangatnya membuat Ali mengernyitkan dahinya. Bingung melihat mamanya yang seperti habis mendapatkan hadiah saja...

"Tadi kamu bilang akan ajak dia ke sini besok...." Bu Resi menjelaskan dengan hati-hati sekali menyadari kebingungan anaknya. Mata Ali membulat sempurna menyadari ia telah keceplosan. Dia merutuki kebodohan yang sudah ia lakukan. Ia sudah memberikan sedikit harapan pada mamanya.

"Ah... Eh... I... Iyaa..." Ali tergagap mengingat apa yang telah ia janjikan pada sang mama. "Tapi mama jangan ge-er ya. Ini semua Ali lakukan demi mama." Lanjutnya dengan suara tegasnya.

"Iya... mama tahu... Kamu memang anak yang sangat pengertian. Makasih sayang..." Bu Resi memeluk putranya dengan haru. Dengan tetap memanjatkan doa agar Tuhan membukakan pintu hati anak kesayangannya ini.

-TO3-

Sikap dingin Ali terhadap Prilly sudah agak mencair. Terlihat Ali sudah tak pernah lagi membentak dan mencibirnya. Tidak lagi membandingkannya dengan seseorang di masa lalunya. Sosok yang memang harus ia ingat dalam memorinya saja tak perlu untuk diungkit kembali.

Beberapa minggu lalu saat Ali menghadiri reuni SMAnya, Ali mendapatkan informasi tentang Hilda sebanyak yang ia mau. Ia menumpahkan segala rasa keingintahuannya yang terpendam selama beberapa tahun ini. Namun sepertinya harapan untuk dapat bertemu dan menjalin kembali hubungan dengan Hilda harus ia kubur dalam-dalam bahkan sebelum rasa cinta itu sempat terungkapkan. Masih terngiang jelas dalam benaknya kabar mengenai Hilda dari seorang temannya waktu SMA. Bahkan kabar itu yang akhirnya membuat Ali harus menelan rasa pahit dan sesak dalam dadanya.

'Kamu nggak tahu kabar Hilda sama sekali Li?'

'Wah, ke mana aja sih kamu?'

'Padahal dulu kalian itu sangat dekat yaa.. masa nggak pernah komunikasi sama sekali?' Itulah beberapa pertanyaan yang dilontarkan teman-teman terhadapnya saat itu. Dan Ali hanya diam termenung. Memorinya kembali berkelana pada masa SMA dulu di mana ia dan Hilda selalu menghabiskan waktu bersama.

'Hilda sudah meninggal 6 bulan lalu Li.. dia over dosis.' Bagai tersambar petir di siang bolong yang membuat tubuh Ali langsung membeku. Semua kenangan yang masih tersimpan rapi dalam benaknya menjadi hancur berkeping-keping detik itu juga. Harapan dan keyakinan hati yang ia pupuk terkikis sudah. Itulah kalimat terakhir yang ia dengar dari temannya sebelum ia memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Meninggalkan hingar bingar pesta reuni yang belum usai. Pulang ke rumah dengan perasaan yang tak menentu dan pikiran yang kacau balau.

Hampir tak percaya dengan apa yang telah ia dengar, namun ada bukti yang memperkuat berita itu. Bukti yang terpampang nyata di depan matanya saat ia mengecek kebenarannya. Bahkan berita kematian seorang model yang sedang naik daun itu dimuat di media. Lalu, kemana Ali selama ini? Hingga ia tak mengetahui perihal tersebut? Butuh waktu berhari-hari untuk Ali bisa percaya bahwa Hilda seorang gadis yang ia cintai kini telah tiada.

'Kenapa sih kamu nggak coba untuk buka hati?'

'Ayolah Li... Hilda itu masa lalu.. Jangan menutup diri hanya karena masih mengharapkan masa lalumu kembali...'

'Iya Li... Nggak ada salahnya kamu coba untuk nerima Prilly.'

'Iya benar. Lagian kata kamu, om dan tante juga tidak memaksa kan? Mencoba untuk saling mengenal terlebih dahulu nggak ada salahnya kan Li.. Kalau cocok ya dilanjut, kalau memang tidak cocok ya sudah..'

'Lebih baik kamu nenangin diri dan pikirkan semuanya dengan hati juga pikiran yang jernih. Ikuti kata hati nurani bro... Karena hati nurani tak akan pernah bohong.'

'Jangan sampai menyesal Li..'

'Sepertinya Prilly anak yang baik dan menyenangkan..'

Itulah wejangan-wejangan yang keluar dari mulut Kevin, Mila, Ricky dan Lia saat Ali menceritakan hal yang sebenarnya kepada mereka. Beberapa hari sebelum Ali menghadiri acara reuni SMAnya.

Tersadar dari lamunannnya dan karena tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Ali segera meraih jaket dan menyambar kunci mobilnya. Ia berlari menyusuri anak tangga. Ia bertekad untuk menyusul Prilly ke Surabaya dan akan mengajaknya kembali... Kembali menginap di rumahnya tiap akhir pekan seperti yang sudah pernah Prilly janjikan dulu pada mamanya.

"Mbak... Nanti kalau mama dan papa tanya bilang aku ke Surabaya yaa nyusul Prilly."

"Assalamualaikum." Secepat kilat Ali menghilang dari rumahnya bahkan tanpa memberi kesempatan pada mbak Yati untuk menjawab salamnya.

Tak sampai dua jam Ali sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah sederhana Pak Rizal. Kebetulan jalanan sedikit lengang mengingat malam sudah semakin merayap.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..." Terdengar jawaban seseorang dari dalam rumah.

"Eh, nak Ali.. ayo silahkan masuk." Bu Ully menyambutnya dengan hangat.

"Apa kabar ayah dan ibu?" Ali menyalami kedua orang paruh baya tersebut sebelum ia duduk. Bahkan panggilan om dan tante yang dulu ia ucapkan saat bertemu dua bulan lau kini sudah berganti dengan ayah dan ibu. Dan panggilan Ali tersebut membuat kedua orang yang ada dihadapannya sedikit kaget namun juga senang mendengarnya. Setelah mempersilahkan Ali duduk, Bu Ully beranjak ke dapur.

"Alhamdulillah kami sehat nak. Bagaimana dengan keluarga di Malang?"

"Alhamdulillah semuanya juga sehat yah.."

"Ayo nak, silahkan di minum." Bu Ully kembali ke ruang tamu dengan satu nampan berisi tiga cangkir teh hangat dan camilan.

"Terima kasih bu."

"Emm... kok sepi yah?" Ali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Pak Rizal dan Bu Ully tersenyum melihatnya calon menantunya seperti sedang mencari keberadaan seseorang.

"Prilly sedang mengantar keponakannya pulang nak..."

Ali baru saja akan menyecap teh hangatnya namun terdengar suara lembut sedang mengucap salam. "Assalamualaikum..." Langkah kakinya pun terdengar mulai mendekat. Ali segera menolehkan kepalanya pada pintu ruang tamu yang terbuka.

"Waalaikumsalam... Nah tuh orangnya, panjang umur."

Prilly diam termangu saat pandangan matanya bersibobrok dengan mata elang Ali. "Kak Ali..." Gumamnya lirih. Kaget melihat Ali yang tiba-tiba ada di rumahnya. Apalagi saat melihat senyum manis Ali. Senyum yang baru pertama kali ditujukan untuknya.

"Dari mana?" Ali menyambutnya dengan senyum manisnya. Entah mengapa jantungnya semakin berdebar kencang.

"Dari rumah mbak Sarah nganterin Arya pulang." Jawab Prilly yang masih terpaku di depan pintu.

"Duduk Prill..." Ucapan Pak Rizal berhasil mengalihkan pandangan Prilly yang sejak tadi terfokus pada Ali. Dengan perasaan yang tak menentu Prilly melangkah duduk di samping Ali. Suasana menjadi canggung dan keheningan terjadi selama beberapa saat.

"Oh iya, dalam rangka apa nak Ali mampir ke sini malam-malam? Apa sedang ada acara di Surabaya?" Ucap Pak Rizal berusaha memcah keheningan. Ali tergagap mendengarnya. Ia pun langsung menolehkan kepalanya memandang Pak Rizal yang ada didepannya. Karena sejak tadi Ali terus memperhatikan Prilly dengan tatapan penuh kerinduan. Sedang Prilly hanya menunduk tak berani melihatnya.

"Oh tidak yah.. Ali memang sengaja ke sini." Jawab Ali dengan senyum manis yang semakin lebar.

"Mau jemput Prilly." Ucap Ali tegas dengan memperhatikan Prilly yang duduk disampingnya. Lagi dan lagi Ali membuat ketiga orang tersebut terkejut.

"Jemput Prilly?" Ulang Pak Rizal untuk meyakinkan pendengarannya. Tidak salah jika Pak Rizal merasa tidak yakin sebab dulu Ali menunjukkan sikap tak ramahnya pada saat mereka bertemu.

"Iya yah... Jemput Prilly untuk pulang ke rumah." Pak Rizal semakin bingung dengan ucapan Ali.

"Emm... maksudnya ke Malang yah." Ali berusaha menjelaskan.

"Tapi ini sudah malam nak. Apa tidak sebaiknya besok pagi saja?" Bu Ully menyela.

"Ali sih terserah Prilly bu, maunya sekarang atau besok."

"Sebaiknya besok saja Li. Malam ini kamu menginap di sini saja. Bagaimana?"

"Ide bagus tuh yah.. Ali juga pingin nginep sini sebenarnya... hehe." Jawaban Ali yang blak-blakan mengundang tawa dari Pak Rizal dan Bu Ully, sedang Prilly menunduk malu menyembunyikan tawanya.

-TO3-

Sejak tadi senyum Ali mengembang di wajahnya. Pandangan matanya tak pernah luput dari sosok gadis mungil yang sudah memporak porandakan kedaaan hatinya beberapa hari ini. Sedang Prilly pun menjadi salah tingkah karenanya. Ia pun merasa risih karena dipandangi Ali terus menerus. Bahkan satu katapun belum terucap dari bibir keduanya. Ali sendiri masih betah memandanginya.

"Ehem... mau sampai kapan nih dilihatin terus?" Deheman dan ucapan seseorang berhasil menggagalkan konsentrasi Ali memandang objek yang ada disampingnya. Ali pun segera menoleh ke sumbaer suara. Ia mengumpat dalam hati. Jika tidak sedang berada di rumah orang mungkin dia sudah mengumpat orang yang telah mengganggunya.

"Mama...." Ali terkejut mendapati mamanya yang ternyata menyusulnya.

"Kenapa? Mau marahin mama karena udah gangguin momen kebersamaan kalian?" Ali hanya meringis dan menggaruk tengkuknya.

"Udah kelar belum urusannya sama Prilly?"

"Memang kenapa ma?" Ali menautkan kedua alisnya mendengar pertanyaan mamanya.

"Ya, mama kan juga pingin ngobrol sama calon mantu...."

"Belum juga ngomong satu kata pun ma..." Jawab Ali cemberut. Wah, bisa gagal nanti kalau mamanya udah memonopoli Prilly. Pasti nggak bakal ada kesempatan ngobrol berdua.

"Siapa suruh cuma dipandangi melulu dari tadi?" Bu Resi menaik turunkan kedua alisnya. Prilly pun semakin salah tingkah dibuatnya.

"Ah, mama rese ah... Udah sana mama nimbrung sama papa, ayah dan ibu aja." Ujar Ali sambil mendorong punggung mamanya secara pelan agar menjauh dari halaman belakan rumah Pak Rizal, di mana ia dan Prilly sedang menikmati waktu bersama.

"Iya deh... Iya... Untuk saat ini mama ngalah deh. Tapi nanti jangan marah dan protes yess kalau mama lagi sama Prilly." Bu Resi menghilang dari pandangan Ali dengan wajah cemberutnya. Ali menghela nafasnya, lega karena sudah tak ada yang akan mengganggunya lagi.

"Eh, mau ke mana?" Ali segera menahan pergelangan tangan Prilly saat melihat Prilly hendak melangkah meninggalkannya.

"Mau salim sama papa..."

"Nanti aja.. Aku... Ada yang ingin aku bicarakan." Ali mengajak Prilly kembali untuk duduk.

"Aku ke sini untuk menjemputmu. Kamu mau kan kembali ke rumah?"

"Iya kak. Nanti kalau liburan semesternya sudah selesai juga Prilly kembali ke Malang."

"No! Itu kelamaan.. Aku maunya kamu ikut aku kembali ke Malang hari ini juga."

"Tapii..."

"Sssttt... Nggak ada penolakan!" Ucap Ali tegas membuat Prilly kembali menundukkan kepalanya.

"Prilly... Aku minta maaf atas sikapku, tingkahku juga ucapanku selama ini. Maaf sedikit banyak aku telah melukai perasaanmu. Maaf..." Ali berlutu dihadapan Prilly dengan kedua tangannya menggenggam erat jari jemari Prilly.

"Kak..."

"Sssttt... Dengarkan aku..." Ali menaruh jari telunjuknya di depan bibir Prilly, mengisyaratkan agar Prilly tak menyelanya.

"Kamu masih mau kan meneruskan perjodohan ini?"

"Tapii... bukankah kak Ali bilang aku bukan tipe istri idaman kakak. Aku tidak bisa masak seperti cewek kebanyakan lainnya, tidak bisa mengontrol tawa, tidak bisa berpenampilan feminine dan anggun, aku juga orang yang ceroboh... Akuu..." Ali memeluk Prilly dengan erat. Semakin merasa bersalah dan menyesal telah membuat Prilly menjadi minder dan tak percaya diri dengan kelebihan yang ia miliki. Kelebihan yang bahkan tak semua gadis memilikinya. Dan Ali baru menyadarinya akhir-akhir ini. Mempunyai pendirian teguh yang membuat ia mampu menjadi dirinya sendiri, tak mudah terbawa arus. Nyatanya, cibiran-cibiran Ali tak membuatnya untuk merubah penampilannya atau menjadikannya ketergantungan sosmed. Benar-benat gadis yang langka bukan apalagi di zaman yang serba canggih sekarang ini? Prilly tetap menunjukkan bahwa inilah Prilly. Prilly ya Prilly dengan apa adanya Prilly. Namun, lihatlah apa yang telah Ali perbuat padanya? Ali telah membuatnya merasa rendah diri.

"Tidak... Jangan bilang begitu.. Maaf. Maaf jika aku sudah membandingkanmu dengan orang lain. Maaf..." Setitik air menetes dari pelupuk mata Ali. Benar-benar menyesal telah melukai perasaan gadis yang sedang ia peluk sekarang ini.

"Tolong beri aku kesempatan untuk bisa mengenalmu lebih dalam lagi..." Ucap Ali setelah melepaskan pelukannya. Meraih dagu Prilly, mendongakkan kepalanya agar mau menatapnya.

"Kita lanjutkan perjodohan ini yaa... Kamu masih mau kan?" Ali memohon.

"La-lu bagaimana dengan di-a?" Tanya Prilly terbata karena Manahan isakannya.

"Dia?"

"Iya, cewek kak Ali yang..." Ali menggelengkan kepalanya memotong ucapan Prilly. Ia tak ingin lagi mengungkit masa lalunya.

"Sssttt... Dia itu masa laluku." Ali menghela nafasnya sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Dan mulai sekarang, esok dan selamanya hanya ada kamu Septi Prilly Ningtyas, masa depanku."

"Kamu masih mau kan melanjutkan perjodohan kita ini?" Tanya Ali lagi yang mendapat anggukan dari Prilly.

"Terima kasih... Terima kasih Prilly... Aku yakin orang tuaku pasti memilihkan jodoh yang terbaik untukku." Ali menagkup kedua pipi Prilly. Menempelkan dahinya dengan dahi Prilly, menggesekkan hidung mancungnya pada hidung Prilly kemudian... Cup.. mengecup lembut bibir ranum Prilly. Melepaskan semua beban yang menghimpitnya beberapa hari belakangan ini. Menumpahkan rasa rindu yang membuncah dalam pelukan hangatnya. Menyalurkan rasa sayangnya dengan mengecupi puncak kepala Prilly.

Setelah cukup lama mencurahkan rasa rindunya, Ali melepaskan pelukannya. "Sayang... kita susul orang tua kita yuuk..." Ali segera menggandeng mesra tangan Prilly, mengajaknya menyusul para orang tua yang sedang bercengkrama di ruang tamu.

"Ayah... Ali boleh menginap di sini lagi untuk semalam?" Tanya Ali setibanya di ruang tamu. Pertanyaannya mengundang tawa dua pasangan paruh baya ini.

"Tentu saja boleh nak..."

"Jadi gimana Li?" Tanya Pak Syarief pada Ali yang sudah duduk di sofa yang ada di seberangnya.

"Sebulan lagi pa..." Jawab Ali mantap. Namun membuat para orang tua dan juga Prilly terbengong.

"Apanya yang sebulan lagi?" Tanya Bu Resi tak mengerti.

"Iya... menikahnya. Ali mau menikah sama Prilly sebulan lagi." Jawabnya sambil membawa Prilly ke dalam dekapannya.

"Udah ngebet ternyata..." Ledek Pak Rizal.

"Iya yah... takut disambar orang lain." Jawabnya dengan malu.

"Selain itu juga takut khilaf sih yah kalau kelamaan halalinnya...."

Tawa menggema dalam kediaman Pak Rizal. Aura kebahagiaan terpancar pada raut wajah mereka. Akhirnya janji kedua orang pada masa lalu itu benar-benar bisa terlaksana.


-END-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top