TheOne -2

DEMI KAMU

Zabib Ali Zubair, seorang siswa yang tampan, cerdas, sopan, tidak banyak tingkah dan juga sabar. Kecerdasannya itulah yang membuat dia bisa menduduki jabatan sebagai ketua OSIS. Ketampanan dan tutur katanya yang sopan juga perilakunya yang santun membuat dia dikagumi banyak siswi.

Siapa sih yang tidak mau punya cowok seperti Ali?

Author sendiri pun maulah... biasanya nih cowok kaya Ali itu tipe orang yang setia lhoo... Hayooo siapa yang mau daftar? Mumpung dia masih single.. Katanya siih.. tapi, siapa pun yang jadi ceweknya harus siap-siap sakit hati lho karena makan hati mulu.. Karena Ali orang yang ramah pula apalagi sama cewek? Hmm... siap-siap untuk selalu cemburu deh..

Namun dari sekian banyaknya cewek yang berusaha dekat dengannya, hanya ada satu cewek yang mendapatkan perlakuan serta perhatian spesial darinya. Prilly Asyifa, sahabatnya sejak kecil. Bersekolah di tempat yang sama dari mulai SD dan selalu sekelas pula membuat mereka semakin akrab dan tak terpisahkan, karena di mana ada Ali di situ pasti ada Prilly begitu juga sebaliknya. Pokoknya setiap lihat mereka bersama pasti dijamin pada iri deh... keakraban mereka seperti layaknya saudara bahkan keromantisan mereka mengalahkan pasangan yang mengaku statusnya sudah jelas pacaran. Sedangkan mereka pasti bilang bahwa hanya sekedar sahabat, best friend gitulah.

Ah ya sudah, mari kita simak saja curhatan Ali pada author berikut ini...

"Aliiiii...." Gue baru saja mendaratkan bokong pada sebuah kursi. Gue terlonjak kaget mendengar suara cempreng itu memanggil nama gue.

"Aliii... iiish... lo nyebelin ah. Dipanggil diam aja." Protesnya, karena gue sedang mengecek PR matematika yang semalam belum selesai gue kerjakan, udah ngantuk duluan.. hehe..

"Aaliii..." Si cempreng itu menggoyangkan lengan tangan gue.

"Apaan sih? Nih jadi tercoretkan?" Protes gue kesal.

"Salah sendiri lo nyuekin gue." Ucapnya cemberut. Kebiasaan deh.

"Siapa sih yang nyuekin lo? Gue lagi ngecek PR nih."

"Eh, gue nyontek yaa..."

"Kebiasaan." Gue sentil jidatnya.

"Awwwsss... Aliii..... sakit tahuuuu." DIa merengek.

"Eh Li.."

"Hmm..."

"Aliii..."

"Hmm..."

"Ham hem ham hem... lihat gue napa?" Ucapnya geram dan gue lihat dia berkacak pinggang memasang wajahnya yang kesal.

"Ada apa sih?"

"Gue... lagi bahagia.." Dia memamerkan senyum manisnya.

"Terus?"

"Lo tahu..."

"Nggak."

"Gue belum selesai ngomong kali." Ucapnya kesal. Ah, gue seneng banget lihat ekspresinya yang seperti ini. Selalu menggemaskan.

"Aliii..."

"Aduh... sakit tahu Prill. Pelan-pelan napa?" Protes gue saat dia mencubit kecil pipi kanan gue.

"Ah, bilang aja mau dielusin."

"Nah, itu lo tahu. Enakan dielusin dari pada dicubitin lah..." Gue nyengir dan dihadiahi sebuah toyoran sayang di pelipis gue.

"Lo dengerin dong?" Nah kan dia mulai deh merajuk.

"Iya ini juga dengerin kok. Emang ada apa sih?" Gue mengalihkan pandangan mata gue dari buku yang penuh dengan rumus dan angka untuk menatap dia yang masih setia berdiri..

"Lo tahu kak Juan kan? Kakak kelas kita yang ganteng itu..." Gue hanya anggukin kepala.

"Dia nembak gue Lii..." Ucap Prilly menggebu, dia terlihat sangat bahagia, pancaran matanya bersinar.

"Dia nembak gue Lii..." Dia mengulangi ucapannya.

"Ooh..."

"Masa cuma gitu doang respon lo?"

"Terus gue harus bilang apa?"

"Ya apa gitu.. masa cuma oh doing? Lo gak suka ya Li?"

"Hah? Eng... enggak kok."

"Kira-kira gimana ya Li, gue terima apa tolak nih?"

"Ya terserah lo aja."

"Ah, lo gak asyik. Dimintain pendapat cuma bilang terserah..."

"Ya terus mau lo gimana?"

"Gue bingung Li.." gue menautkan kedua alis tebal gue tak mengerti apa maksud ucapan Prilly. Aneh. Tadi cerita antusias banget lah ini kok mendadak raut wajahnya berubah jadi mellow gini.

"Bingung kenapa?"

"Ya itu gue harus kasih jawaban apa sama dia? Tadi gue bilang kalau minta waktu dua hari buat ngasih jawaban."

"Kenapa dua hari?"

"Ya kan gue harus minta pertimbangan lo dulu.."

"Prill, yang punya perasaan itu lo kenapa musti minta pertimbangan gue dulu sebelum ngasih jawaban?"

"Lo kan sahabat terbaik gue Li.. jadi gue merasa gue harus minta pendapat ke lo dulu sebelum mengambil keputusan. Cuma lo yang bisa ngertiin gue Li.."

"Tanyakan pada hati lo sendiri Prill." Ucap gue sambil meletakkan jari telunjuk gue di depan dadanya.

"Gue ragu Li.. tapii... kalau ditolak kan sayang juga.. secara cewek yang pingin jadi pacarnya itu bejibun Li, masa gue yang dapat kesempatan ini malah nolak dia sih? Udah hampir dua tahun sekolah di sini masa jomblo mulu?"

"Ya udah, kalau gitu terima aja."

"Beneran? Lo ngizinin?"

"Ya, apa pun itu demi lo. Asal lo bahagia."

"Aahhh... makasih Aliiiiii... You are the best!"

"Iya iya... tapi lepasin kali Prill. Lo bikin gue gak bisa napas nih..."

"Eh, sorry, sorry Li.. refleks.. saking senengnya gue..."

-TO2-

Hari ini gue lihat Prilly sedang tertawa lepas bersama Juan and the gengs. Mungkin aja Prilly sudah ngasih jawabannya pada Juan. Sepertinya dia bahagia sekali. Bahkan dia tidak menolak rangkulan tangan Juan di bahunya.

Ah, bodo amat deh. yang penting lo seneng Prill.

Gue bersiap untuk mengunci pintu koperasi namun kedatangan beberapa orang mendekat dan seruan dari salah satunya membuat gue mengurungkan menutup pintunya.

"Eh, jangan ditutup!" dari gaya bicaranya yang angkuh itu ge udah tahu siapa orangnya tanpa melihatnya.

"Sekarang terserah lo semua, silahkan ambil apa pun semau kalian." Setelah mendengar perintah tersebut, mereka langsung heboh berebut untuk minta dilayani. Saat ini gue jaga sendirian karena tadi Melly dan Ovi izin untuk kembali ke kelas mereka setelah mendengar peringatan bahwa waktu istirahat tinggal lima menit. Gue sampai merasa kuwalahan melayani permintaan mereka yang ini, itu, banyak maunya.

"Lo, gak mau apa gitu sayang?"

Hah? Gue gak salah dengar kan? Sayang? Juan manggil Prilly dengan sebutan sayang? Berarti emang benar mereka sudah jadian. Gue lihat Prilly tersenyum dan meminta gue untuk mengambilkan beberapa camilan dan juga minuman dingin untuknya.

"Eh, gak boleh yang ini. Nanti lo bisa gemuk sayang..." Ucap Juan saat gue memberikan cokelat yang Prilly minta.

"Oh, gitu ya.. ya udah Li ganti yang ini aja." Ucap Prilly menunjuk keripik singkong pedas.

"Gak yang lain aja Prill?" gue mencoba menawarkan snack yang lain karena gue tahu Prilly gak tahan makan makanan pedas, perutnya kan gak bisa diajak kompromi, pasti sakit setelah makan yang pedas-pedas.

"Heh, udah deh tinggal lo beri aja apa yang cewek gue minta. Apa susahnya sih?" Dengan terpaksa gue memberikan keripik tersebut. Bukannya gue takut sama omelan kakak senior yang ada di depan gue ini tapi malas aja debat ntar ujung-ujungnya nimbulin keributan lagi. Masa iya, ketua osis malah teribat keributan? Kan gak elit ntar kalau headline bulletin sekolah judulnya "Sang Ketua OSIS terlibat kasus kriminal." Sorry bro, gue suka perdamaian. Perdamaian... perdamaian... ah elah kok jadi karaokean gini? Biasanya lagu perdamaian kan nongolnya waktu bulan ramadhan,

"Udah sekarang lo hitung semua apa aja yang udah diambil sama mereka." Gue langsung ambil kalkulator. Untung gue ini termasuk orang yang ingatannya tajam jadi masih ingat apa aja tadi yang mereka makan dan minum. Walapun barangnya sudah lenyap tinggal bungkus dan botol kosong doang yang berserakan di lantai.

"Berapa?"

"32.000."

"Cuma segitu? Lo gak salah hitungkan?" dengan angkuhnya dia mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari dompetnya.

"Nih kembaliannya."

"Buat lo aja." Dia langsung mengajak anak buahnya melenggang pergi. Gue berdecak kesal melihat sampah yang tersebar di lantai. Padahal sudah disediakan tempat sampah lho di dalam koperasi tapi ini kelakuan mereka seperti orang yang tak berpendidikan saja.. hufh. Dengan cepat gue sapu lantainya, memunguti botol-botol plastik yang berserakan. Aduh.. gue udah telat tiga menit nih. Tanpa menghiraukan sampah yang belum gue masukin ke tempat sampah gue langsung buru-buru mengunci pintu dan berlari kembali ke kelas. Siap-siap deh gak bisa ikut pelajaran matematika. Padahal itu pelajaran favorit gue walaupun gurunya killer parah sih tapi gue sangat suka cara ngajarnya Pak Dharma.

Gue lihat Pak Dharma sudah berjalan di depan kelas XI IPA-3, gue yang baru saja menetralkan napas setelah ngos-ngosan lari menaiki tangga, buru-buru deh gue lari lagi. Gak boleh keduluan Pak Dharma nih masuk kelasnya, bisa-bisa gue harus berada di luar kelas nih. Peraturan Pak Dharma dalam mengajar memang begitu, jika beliau sudah masuk kelas terlebih dahulu maka siswa yang berada di belakangnya tidak diperbolehkan masuk.

Gue lihat Prilly sudah duduk di bangkunya dan tersenyum manis melihat gue yang baru memasuki kelas. Gue langsung duduk dan mengambil sebuah buku untuk mengipasi diri. Kipas angin di dalam kelas tak begitu membantu menyusutkan keringat-keringat gue yang bercucuran, napas pun masih tersengal. Gue melirik sekilas ke sebelah kanan, Prilly sedang memperhatikan gue dengan tawa yang tertahan. Namun mendadak suasana kelas menjadi sunyi ternyata Pak Dharma sudah memasuki kelas dan langsung menyuruh kami menyiapkan lembar ulangan. Pasti deh ulangan dadakan.

-TO2-

Sudah hampir tiga minggu ini gue merasakan ada yang berubah dari Prilly. Memang sih dia jadi rajin berangkat sekolah. Bukannya dulu dia suka bolos. Bukan itu maksud gue, tapi dia jadi datang lebih awal. Biasanya kan pasti gue duluan yang sampai kelas dan dia baru datang 15 menit sebelum apel pagi dimulai. Mungkin itu efek positifnya dia pacaran sama Juan. Tapii.. dia kok jadi berubah agak liar sih? Ah, mungkin gue aja yang salah menafsirkan sikap dia akhir-akhir ini.

Setiap harinya saat gue baru memasuki kelas, yang gue lihat Prilly selalu mojok berdua sama Juan bahkan tak malu-malu lagi saling bergantian cium pipi sebagai salam perpisahan saat bel tanda apel berdering. Pemandangan yang sama pun selalu gue lihat saat jam istirahat. Kadang mereka duduk berdua di anak tangga, kadang juga mojok di kantin, kadang juga di dalam kelas tanpa malu berangkulan dan memamerkan kemesraan. Prilly yang gue kenal dulu bukan kaya gini. Gue miris aja lihatnya.. bukan karena gue cemburu tapiii gue cuma takut kalau dia salah bergaul.

Satu lagi perubahan dia yang bikin gue sedikit kecewa sama dia.. Dia jadi anak pemalas, sering banget nggak ngerjain PR. Selalu nyontek punya gue. Dulu dia gak gini-gini amat deh. Paling dia nyonteknya hanya beberapa soal saja yang memang dia bener-bener gak bisa jawab. Bahkan dia minta diajarain gimana cara ngerjainnya setelah dia nyontek punya gue. Lah ini? Semua soal gak ada yang dia kerjakan satu pun. Nanyain cara ngerjainnya juga nggak. Yang penting dia mengisi semua jawabannya habis itu pergi deh pacaran. Yang udah menjadi rutinitasnya tiap hari tiga kali. Pagi sebelum masuk, waktu istirahat dan siang sebelum pulang sekolah. Kaya minum obat aja ya?? Parahkan?

"Ngelamun aja lo!" Tepukan di pundak gue membuat gue terlonjak.

"Eh lo Mel, ngagetin aja."

"Lo tuh dari tadi ngelamun. Gue tanya ini harganya berapa? Gak lo jawab." Gue hanya nyengir aja. Apa yang dikatakan Melly tadi benar. Memang sedari tadi pandangan gue fokus melihat ke arah luar memperhatikan seseorang yang sedang berada di teras depan kelas XII IPS-2 melalui jendela koperasi.

"Tuh kan jadi ngelamun lagi..." Ovi menyenggol lengan gue.

"Nggak, gue nggak ngelamun kok." Gue mengelak dan berusaha mengalihkan pandangan pada beberapa catatan yang ada di meja depan gue.

"Terus apa namanya kalau gak ngelamun?"

"Cuma menerawang kejadian akhir-akhir ini aja sih.."

"Maksudnya?" Tanya Melly dan Ovi bersamaan.

"Ciee lo berdua kompak bener neng..."

"Udah deh Li gak usah bercanda. Apa maksud lo tadi?" Melly menggertak. Ah ini anak emang gak bisa diajak bercanda..

"Ya elah Mel, gak usah galak-galak napa?"

"Habis lo tadi serius, kita seriusin eh malah lo bercandain?" Dia merengut.

"Udah lo jangan merengut gitu napa? Jelek ah." Ucap gue meledeknya.

"Ehem... kacang... kacang..."

"Permen.... Permen..." Gue menimpali ucapan Ovi yang menginterupsi ledekan gue pada Melly..

"Kuaci... Kuaci...." Melly pun ikut nyamber aja nih anak.

Lalu suasana menjadi hening sejenak. Kami bertiga beradu pandang. Dan sedetik kemudian tawa kamibpun pecah. Namun kegaduhan yang kami ciptakan di dalam koperasi ini tak berlangsung lama, karena deheman dari seseorang.

"Ehem..." Gue lihat Melly dan Ovi saling senggol sambil melihat ke arah pintu koperasi yang terbuka lebar. Gue pun ikut mengalihkan pandangan ke arah yang sama.

"Lo mau beli apa yank?" Tanya Juan yang masih setia merangkul Prilly. Gue lihat Juan sempat melemparkan senyum seperti senyum penuh kemenangan ke gue. Entahlah. Gue menyibukkan kembali pada berkas-berkas pembukuan koperasi yang dari tadi gue hadapi. Gue dengar Prilly menyebutkan beberapa snack dan minuman yang dia inginkan.

"Tumben lo gak minta cokelat Pril?" Melly menawarinya.

"Nggak suka cokelat gue." Jawaban Prilly terdengar sedikit ketus.

"Udah deh lo gak usah bawel. Tinggal nurutin aja apa yang cewek gue minta." Melly melengos, tak menggubris ucapan Juan yang sewot itu.

"17.000" Ucap Melly tak kalah ketus setelah menghitung semuanya.

"Nih Kembaliannya ambil aja. Yuk yank?" Juan melemparkan selembar uang dua puluh ribuan di hadapan Melly lalu mengajak Prilly keluar dengan merangkul pinggang Prilly erat. Lagi dan lagi Juan menyunggingkan senyum sinisnya sama gue saat gue memperhatikan mereka melangkah keluar.

"Bossy banget tuh orang! Belagu!"

"Bikin orang naik darah aja.." Melly mengeluarkan semua uneg-unegnya setelah Juan dan Prilly tak terlihat lagi.

"Lo kenapa mesam-mesem gitu Li?" Protesnya karena melihat gue hanya mesem melihat tingkahnya yang tersulut emosi itu.

"Gue pingin ngakak malah lihat lo ngomel."

"Ya gue kesel aja Li sama tuh anak. Belagu banget, heran gue kenapa Prilly mau ya sama orang kaya gitu?"

"Cinta." Gue bergumam pelan yang gue yakini Melly dan Ovi tak mendengarnya. Buktinya mereka diam aja tak menanggapi.

"Eh, kalian ngerasa Prilly berubah gak sih?" Tanya Ovi tiba-tiba.

"Kalau lo gimana?" Melly balik bertanya pada Ovi.

"Kok malah nanya balik? Menurut gue sih berubah."

"Lo Li?" Gue mendongakkan kepala gue melihat Ovi yang bertanya.

"Banyak." Setelah menghela napas akhirnya gue menceritakan apa yang terjadi semenjak Prilly dan Juan jadian. Apa yang tadi gue lamunin. Melly dan Ovi menggeleng tak percaya Prilly berubah sampai segitu parahnya.

"Tahu deh kalau itu cuma perasaan gue aja.." Ucap gue mengakhiri cerita. Gue nggak mau dianggap mempengaruhi orang lain untuk membenci Prilly atau pun Juan demi mendapatkan teman. Namun, kenyataannya tanpa gue ngutarain hal yang mengganjal dalam benak gue kepada orang lain sebelumnya, mereka sudah bilang sama gue dulu bahwa mereka muak dengan sikap yang ditunjukkan Prilly. Terutama teman-teman sekelas gue yang merupakan teman Prilly juga. Bahkan mereka minta gue untuk ngingetin Prilly. Kenapa gue? Alasannya hanya satu. Gue adalah orang terdekat Prilly dari kecil dan biasanya Prilly selalu menurut sama gue.

Kemesraan yang Juan dan Prilly tunjukkan di mana pun saat mereka sedang bersama itulah yang membuat mereka muak. Apalagi ini di sekolah. Akhirnya ada beberapa anak yang melaporkan tindakan Prilly dan Juan yang sudah keterlaluan tak lihat tempat dan sikon, pada guru BK. Gue sih gak mau ikutan. Tapi gue sedih juga lihat Prilly nangis kaya gitu setelah beberapa anak ada yang nyeletuk...

"Ini sekolah woei... bukan tempat untuk mesum.."

Gue tahu kalimat itu pasti membuat Prilly sakit hati. Tapi gimana lagi, emang nyatanya kaya gitu.. Cinta sih cinta tapi gak harus mengumbar kemesraan di depan umum kan? Bukannya gue gak mau ngingetin Prilly, tapiii dulu udah pernah gue ingetin saat gue mulai merasakan perubahan pada diri Prilly. Dia malah membentak gue dan nyuruh gue gak usah campurin urusan dia lagi. Semenjak itulah gue berusaha untuk cuek sama dia, berusaha untuk tak tahu menahu apa yang terjadi sama dia. Walaupun itu gue lakuin dengan berat hati.

-TO2-

Gue memarkirkan sepeda motor gue setelah sampai di depan rumah.

"Ali..." Seseorang manggil gue saat gue mau buka pintu rumah. Gue pun segera menoleh untuk memastikan pendengaran gue masih normal atau nggak. Karena sepertinya gue sangat mengenali suara itu, suara yang udah jarang gue dengar lagi.

"P... Prill... ly." Antara yakin tak yakin, percaya tak percaya atas penglihatan gue. Gue lihat prilly sedang berdiri di depan gue. Ah, paling ini hanya halusinasi gue aja gara-gara tadi sepanjang perjalanan pulang sekolah gue sibuk mikirin Prilly.

Sudah dua bulanan ini gue jarang komunikasi sama Prilly lagi. Bahkan hanya untuk bertegur sapa pun hampir tak pernah lagi. Sejak dia nyuruh gue untuk jauhin dia karena Juan cemburu. Kami seperti dua orang yang tak pernah saling mengenal sebelumnya.

"Li..." Nah kan, suara itu manggil nama gue lagi. Gue memejamkan mata meyakinkan bahwa gue sedang berhalusinasi. Namun gue kaget setengah mati saat gue membuka mata. Wajah Prilly nyata ada di depan gue dengan jarak yang sangat dekat.

"Alii..."

"Prilly?" Tanya gue masih ragu dengan apa yang gue lihat.

"Iya, ini gue Li..." Prilly menggenggam tangan gue dan menaruhnya di depan dadanya.

"Lo udah lupain gue ya Li?" Suara Prilly terdengar bergetar dan matanya berkaca-kaca. Gue menggeleng dengan cepat.

Lo salah besar Prill kalau anggap gue lupa sama lo... Gimana bisa gue lupain lo dalam waktu sekejap? Sedangkan kita selalu menghabiskan waktu bersama dari kecil... Namun hanya bisa gue ucapkan dalam hati.

"Alii... kok Prilly nggak diajak masuk?" Gue segera menoleh, melihat ibu yang berdiri di ambang pintu.

"Ah, iya bu. Yuk Prill.."

"Prilly kok lama gak pernah main ke sini lagi?" Tanya ibu saat gue dan Prilly selesai mencium punggung tangannya.

"Duduk Prill.. gue ganti baju dulu yaa..." Gue pun segera meninggalkan ibu dan Prilly yang sedang berbincang.

"Lho, ibu mana Prill?" Saat gue kembali ke ruang tamu, tak melihat ibu di sana.

"Barusan pergi, katanya nganterin jahitan." Gue duduk di sebelah Prilly namun gue tetap jaga jarak. Tak seperti dulu yang selalu nempel. Sekarang semuanya sudah berbeda.

"Minum Prill..." Gue menyuruhnya minum karena sudah ada segelas es sirup di atas meja. Pasti ibu yang membuatkannya sebelum pergi.

"Makan yuk Prill..." Gue mangajaknya untuk makan karena perut gue udah keroncongan.

"Lo makan aja. Gue gak selera." Ucapnya lesu. Gue mengurungkan niat untuk makan. Sabar ya ciiing, caciiing...

"Lo kenapa?" Perasaan gue nanyanya baik-baik deh kok dia malah mewek gini?

"Ada apa sih?" Tapi dia hanya menggeleng.

"Ya udah lo puasin dulu deh nangisnya, ntar kalau udah selesai baru gue anterin pulang." Gue menahan tangan gue yang refleks ingin mengelus rambutnya yang terurai. Biasanya dulu kalau dia nangis gini, pasti langsung gue elus rambutnya, gue seka air matanya dan gue peluk untuk nenangin dia. Dan sekarang gue harus menahan itu semua. Ya Allah, kenapa berat banget ya rasanya? Seperti menahan lapar dan haus di hari pertama puasa aja...

"Lo mau ke mana?" Prilly mencekal tangan gue saat gue berdiri hendak mengambilkan tissue untuk dia.

"Mau ambil tissue buat lo..."

"Di sini ajaa..." Pintanya manja.. Aduh, lama gue gak denger rengekan dia.. Gue kembali duduk saat dia meminta gue tak pergi.

"Gue udah putus sama Juan."

"Apa?" Gue tak percaya apa yang telah dikatakan Prilly.

"Iya, gue udah putus sama Juan." Secepat itukah hubungan mereka berakhir? Tapi... kok bisa? Bukannya selama ini mereka selalu terlihat mesra..

"Kenapa?"

"Gue capai Li... harus ngertiin dia terus.. Gue capai ngalah mulu.. Gue capai tiap hari bertengkar sama dia terus.. Dan ujung-ujungnya pasti dia selalu mengait-ngaitkan lo dalam setiap pertengkaran kami."

"Gue?" Loh kok jadi gue diseret-seret nih dalam masalah mereka?

"Iya... pokoknya gue yang selalu salah Li.. dengan alasan apa pun itu. gue juga sebel kenapa dia selalu mengaitkan lo dalam maslah kami.. Cemburu sih cemburu Li... tapi ini sudah keterlaluan. Gue udah gak tahan Li.. " Dia berhambur memeluk gue dengan isak tangisnya yang kembali mengalir. Gue gak tega lihatnya.. akhirnya gue beraniin untuk membalas pelukannya dan mengusap rambutnya dengan lembut. Sepertinya berhasil membuat dia lebih tenang. Setelah tak terdengar lagi isakannya gue berusaha untuk melepaskan pelukannya namun dia makin mempererat pelukannya pada gue.

"Mau ke mana?" Tanyanya dengan suara serak.

"Cuma mau ngambilin tissue buat ngelap bekas air mata lo.."

"Emang lo nggak mau nyeka air mata gue lagi dengan tangan lo?" Gue langsung menundukkan kepala bersamaan dengan dia yang mendongakkan kepalanya. Gue tersenyum..

"Jadi, lo mau gue nyeka air mata lo? Bilang dong dari tadi..." Dia mengerucutkan bibirnya.. ini nih ekspresi dia yang selalu menggemaskan..

"Lii... maafin gue yaa?"

"Maaf untuk apa?"

"Maaf gue udah bentak lo. Maaf gue udah ngebantah lo. Maaf gue udah nyuruh lo jauhin gue.. Gue... Gue..." Air matanya kembali menetes dan dengan cepat gue menyekanya..

"Ssstt... udah.. Lo gak salah.. Kan lo hanya ingin menjaga perasaan pacar lo."

"Mantan." Dia melepaskan diri dari pelukan gue.

"Ya kan dulu lo lakuin itu semua demi pacar..."

"Sekarang udah mantan ya Alii..."

"Hhh.. iya, iya deh.." Dia tersenyum melihat gue kesal.

"Li.. lo jangan jauhin gue lagi yaa.. gue mohon..."

"Iya, apa pun yang lo mau Prill.. Demi kamu... Asal kamu bahagia.."

"Aaah Alii... makasih... Aku nyesel banget udah mengabaikan kamu.. Aku bodoh ya?" Dan entah bagaimana, panggilan kami berubah menjadi aku-kamu.

"Kok gitu?"

"Nyatanya emang kamu yang terbaik.. tapi udah aku sia-siain..." Gue tersenyum lalu memeluknya lagi.. Rasanya senang sekali Prillyku sudah kembali...

"Li.. kamu maafin aku kan?"

"Dengan syarat."

"Apa?"

"Gak boleh malas ngerjain PR lagi.."

"Siapp pak boss!! Cuma itu?" Gue mengangguk.

"Yakin gak ada syarat lain?" Gue mengangguk lagi tapi dia mengerucutkan bibirnya. Lho kenapa lagi ini? Tadi udah senyum-senyum kok jadi ngambek lagi?

"Emang mau syarat apa lagi?" Akhirnya gue tanya, ingin tahu apa yang buat dia mendadak jadi ngambek. Aneh, bukannya senang cuma dikasih satu syarat kok malah ini minta syarat lain...

"Nyuruh aku makan kek.. lapar tahuu..." Ucapnya merajuk dan berhasil membuat tawaku pecah seketika...

"Kamu lapar?" Dia mengangguk lucu..

"Ya udah ayo..." Gue melepaskan pelukan gue, menarik tangannya untuk menuju ruang makan tapi dia masih tetap diam. Gimana sih ini? Tadi minta makan... kok sekarang malah gak mau?

"Katanya mau makan? Aku juga udah lapar banget ini..." Die menggeleng membuat gue mengernyitkan dahi.

"Panggil sayang dulu..." Rengeknya...

"Ayo makan sayang..." Matanya berbinar dan senyum manis terukir di wajahnya tapi tetap saja tak membuatnya berdiri dari duduknya.

"Apa lagi?"

"Gendoooong...." Ah, ya sudah dari pada kelamaan dan cacing-cacing pada demo gue segera menggendongnya.

"Makasih..." Dia mengecup pipi gue saat gue mendudukkannya di atas kursi. Gue tersenyum menatapnya, tangannya masih betah melingkar di leher gue. Matanya selalu menghipnotis gue dan membuat gue...

Cup..

Mengecup bibirnya singkat.

"Aku sayang kamu Prill.."

"Sayang kamu juga Alii..." Kami saling tersenyum dan menatap lebih lama.. sampai tak menyadari kedaaan sekitar.

"Pelukan aja teruuuusss... gak usah makan sekalian."

"Ibuuu..." Ucap gue dan Prilly bersamaan. Gue dan Prilly saling pandang seolah bertanya,

'Apa ibu tadi melihat kita...?' Dan Prilly menghendikkan bahunya. Lalu kami tertawa bersama membuat ibu keheranan.

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top