TheOne - 10
Menghapus Jejak
Aku melangkah tergesa-gesa sambil terus sibuk mencari ID card dalam tas. Gawat ini kalau sampai tertinggal di rumah. Gumamku cemas karena tak kutemukan juga benda itu. Namun, tiba-tiba ada seseorang menyapaku saat aku masih sibuk mengobrak-abrik isi dalam tas.
“Prilly?” Kudongakkan kepalaku tatkala mendengar namaku disebut oleh orang itu. Mataku membulat sempurna saat pandangan kami beradu. Aku menelan ludahku dengan susah payah. Tenggorokanku tercekat, rasanya tiba-tiba dehidrasi. Dia kembali? Aku tidak salah lihat kan? Untuk apa dia muncul lagi? Sedetik kemudian pikiranku menjadi semrawut.
Dia… Sosok yang bertubuh tinggi nan berkulit putih berdiri di depanku dengan senyum manisnya. Rasanya, masih tidak menyangka, kami dipertemukan kembali. Dia, yang coba aku hapus bayangannya dari hidupku beberapa tahun ini, berjarak beberapa centimeter di hadapanku.
“Benar Prilly kan?” Mataku mengerjap saat mendengar dia bersuara lagi. Aku pun berdehem kecil lalu mengalihkan pandanganku sesaat sebelum akhirnya aku mengangguk dan mencoba untuk tersenyum.
“Akhirnya, Kita dipertemukan kembali.” Tanpa aba-aba dia langsung memelukku begitu saja membuatku terkesiap karena tak siap.
“Kamu ke mana saja selama ini?” tanyanya dengan suara lirih. Aku tertegun mendengarnya. Sepertinya, dia sedang menahan tangis. Kurasa pelukannya semakin erat mendekap tubuhku. Aku hanya membiarkan saja tanpa membalas pelukannya. Entahlah, aku jadi seperti orang linglung saja tanpa tahu harus berbuat apa, bahkan untuk membuka suara saja rasanya lidahku menjadi kelu.
Beberapa saat kemudian, dia melepaskan pelukannya. “Kamu ke mana saja selama ini? Aku mencarimu.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku….” Belum sempat aku menjawabnya, ucapanku harus terpotong saat terdengar ada sebuah instruksi dari pengeras suara yang mengumumkan bahwa acara seminar akan segera dimulai dan peserta seminar diminta untuk segera memasuki ruangan. Aku pun menepuk dahiku pelan saat teringat sesuatu. Aku langsung membuka tasku kembali untuk mencari benda yang sempat terlupakan sesaat.
“Cari apa?”
“ID card.” balasku tanpa mengalihkan pandangan.
“Sudah, Ayo masuk saja.” Dia langsung menarikku untuk memasuki sebuah ruangan yang berada di lantai empat salah satu kampus ternama di kota kelahiranku. Namun sebelumnya dia sempat menyapa beberapa orang panitia yang berjaga di depan ruangan.
“Eh, aku belum daftar ulang.” ucapku saat melewati meja panitia, namun tak dipedulikannya. Dia terus saja menarikku.
“Sudah, ayo masuk.”
Dia terus menggiringku untuk mengikuti langkahnya, lalu berhenti pada kursi yang berjejer di urutan paling depan dan meminta salah satu peserta untuk bergeser agar memberikan kursinya untukku. Setelah aku duduk, dia pun pergi begitu saja tanpa pamit. Tak berselang lama, dia kembali, memberiku satu botol air mineral dan snack yang memang merupakan salah satu fasilitas yang disediakan oleh panitia penyelenggara kegiatan seminar.
Jam di tanganku menujukkan pukul 08.30 pagi. Kulihat Ali -orang yang menyapaku tadi- menempatkan diri di depan bersama beberapa orang yang sepertinya akan menjadi narasumber pada acara ini. Dan aku sempat terperangah saat mengetahui bahwa Ali adalah ketua panitia penyelenggara seminar ini saat ia memberikan sambutan sekaligus membuka acara. Acara seminar bertema Peran Pendidikan Dalam Mencetak Generasi Muda yang Berkarakter ini hanya berlangsung satu hari.
Sesi pertama yang dimulai sejak pukul 9 pagi dan dijadwalkan akan selesai pada pukul 12 siang, diisi dengan penyampaian materi oleh dua orang narasumber yang merupakan dosen dari salah satu PTN dari Jawa Timur. Aku mengikutinya dengan antusias juga mendengarkan penjelasan materi dengan serius. Bahkan tak terasa acara sesi pertama pun selesai. Mungkin karena cara penyampaiannya yang menarik dan tidak membosankan maka waktu 3 jam pun terasa sangat cepat berlalu.
Aku pun mengikuti langkah peserta yang lain untuk meninggalkan ruangan untuk mengambil jatah makan siang pada panitia. Kami, diberi waktu satu jam untuk istirahat makan siang dan sholat. Saat sudah berada di luar, tiba-tiba saja ada seseorang yang menarikku. Aku lantas menoleh dengan cepat untuk melihat siapakah gerangan? Aku menghembuskan napasku lega saat melihat Ali lah yang menarikku. Dia tersenyum manis menatapku. Tanpa berkata apa pun dia mengajakku turun ke lantai 3 menuju sebuah ruangan di mana, sudah berjejer rapi berbagai menu makan siang di sana.
Aku mengangguk dan tersenyum kikuk saat mendapati beberapa panitia juga para narasumber memperhatikan aku dan Ali. Aku menahan langkah Ali yang masih saja menggandeng tanganku. “Aku makan di atas saja.” ucapku berbisik karena merasa tak enak juga dengan panitia lainnya. Aku bukan bagian dari mereka, jadi tidak sepantasnya bergabung di ruangan itu. Ali hanya menyunggingkan senyumnya, lalu menarikku kembali mendekati meja yang penuh dengan makanan itu. Akhirnya, aku pun menikmati makan siangku dengan rasa canggung. Sesekali aku terlibat dalam pembicaraan ringan mereka karena Ali selalu berusaha melibatkanku.
Usai makan dan sholat, acara sesi kedua pun dilanjutkan dengan tanya jawab, diskusi, dan tentu saja games yang membuat acara seminar ini semarak pada siang menjelang sore, saat rasa kantuk melanda dan badan sudah terasa letih. Acara berakhir tepat sesuai dengan yang tertera pada jadwal. Ali menyuruhku untuk menunggu dia yang membantu panitia lain beres-beres. Dia bersikeras untuk mengantarku pulang.
***
Sejak pertemuan yang tidak sengaja itu, Ali semakin sering bertandang ke rumah dan mengajakku jalan. Hampir setiap sore dia meluangkan waktunya ke rumah walaupun hanya sekedar memberikan camilan untukku, sesudah itu pamit pulang. Padahal jarak dari rumahnya ke rumahku lumayan jauh, memakan waktu sekitar 30 sampai 40 menit perjalanan.
Biasanya, malam Minggu identik dengan kencan dan pacaran. Dan malam ini adalah malam Minggu yang ketiga kalinya aku lalui bersama Ali. Entahlah, aku tidak berniat bertanya dan mencari tahu mengapa sudah beberapa kali malam Minggunya dia lalui bersamaku? Itu bukan urusanku walau sebenarnya aku juga merasa sedikit heran dan penasaran.
Duduk di teras rumah, membahas kekonyolan yang kami lakukan dulu saat masih menjadi pelajar.
“Ingat nggak Pril, saat dulu pulang dari tempat les, kamu merengek minta dibeliin es tung-tung?” Aku tersenyum mengingat sore itu melihat penjual es krim 'tung-tung' yang sedang lewat saat kami menunggu angkot. Aku pun langsung merengek pada Ali meminta dibelikan es krim.
“Ingat lah.”
“Esnya sampai mencair gara-gara kamu jilat dikit dikit, takut cepat habis.”
“Iya, kamu bilang mukaku cemong dan belepotan. Akhirnya aku sibuk mencari tisu buat bersihin, eh tiba-tiba es krim di tanganku hilang.”
“Siapa suruh makannya kelamaan? Ya aku srobot lah.”
“Hahaha..” Kami tertawa bersama mengingat masa itu.
“Eh, ada lagi nih. Ini yang paling bikin aku pingin ketawa tapi ya prihatin juga sama kamu.” Aku menoleh dan menautkan kedua alisku.
“Ingat nggak waktu kamu menstruasi—” Aiiihhh… Dia masih ingat saja peristiwa memalukan itu?
“Bocor, tembus di kursi angkot terus kamu minjami sweater buat nutupin noda di celanaku.” ucapku kesal memotong kalimatnya. Kenapa justru hal itu sih yang dia ingat? Bukannya masih banyak hal konyol lainnya?
“Turun dari angkot aku langsung nyari toko buat beliin kamu pembalut.” Lanjutnya.
“Hahaha… Nggak kebayang aku gimana malunya kamu waktu itu.” Aku tak bisa mengontrol tawaku. Betapa malunya dia, seorang cowok kece beli pembalut. Dan aku hanya panik dengan keadaanku sendiri waktu itu, menunggunya di tepi jalan.
“Malu sih, tapi untungnya yang jaga toko baik, dia nggak ngeledekin, cuma….” Aku menoleh, penasaran dengan lanjutannya. “Cu-ma… senyum geli gitu lihat aku.”
“Hahaha… Eh, iya, aku dulu sudah bilang terima kasih belum ya?”
“Boro-boro…. Ngetawain sih iya.” ucapnya cemberut.
“Ya sudah deh, terima kasih ya?”
“Telat.” Dia mendengus.
“Lebih baik telat dari pada tidak sama sekali.”
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Dia tidak menyahuti ucapanku. Kulirik, dia menegakkan tubuhnya. Menghela nafasnya dengan kasar lalu menoleh ke arahku. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.
“Iya, kamu benar.” ucapnya memecah keheningan yang terjadi beberapa saat. Aku hanya memilih diam, menunggunya untuk melanjutkan kalimatnya.
“Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.”
Aku menoleh. Dapat kulihat dengan jelas wajahnya terlihat serius. Suasana yang tadinya mencair berubah dalam sekejap.
“Maafkan aku.” Dia menggapai tangan kananku yang berada di sisi tubuhku, dan menggenggamnya erat.
“Maaf, aku telah lancang membaca ini.” Mataku membulat dengan sempurna saat dia mengeluarkan sebuah buku dari saku jaket tebalnya. Buku itu… Diaryku. Semua curahan hati kutuangkan di dalamnya, termasuk tentang rasaku pada Ali yang bertepuk sebelah tangan. Dan….
“Maaf, bukannya aku tidak peka, hanya saja---”
Aku mengangguk dan tersenyum miris. Rasa kecewa dan sakit hati yang susah payah aku hapus, kini tertoreh lagi. Jadi, dia sudah mengetahui semuanya sejak lama?
“Sudahlah, lupakan.” Kataku, lalu merebut buku diaryku dari tangannya.
Tiba-tiba dia berlutut di depanku. Menggenggam kedua tanganku dengan erat.
“Tolong jangan hapus aku dari kenangan masa lalu kamu.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku ingin menjadi masa depan kamu.” lanjutnya dengan pelan.
“Tapii---”
Ssstt… Dia menaruh jari telunjuknya di depan bibirku, mengisyaratkan agar aku tak melanjutkan kata-kataku.
“Aku hanya meragukan perasaanmu waktu itu. Kamu begitu mudah dekat dengan cowok lain. Makanya setiap aku dapat surat cinta, hadiah dan pemberian lainnya, aku selalu menyuruhmu untuk membukanya terlebih dahulu. Bukan aku ingin pamer. Aku hanya ingin memastikan, melihat ekspresi wajahmu tersirat rasa cemburu atau tidak. Dan kamu sangat pandai menyembunyikan semuanya dariku. Kamu selalu bersikap seolah-olah biasa saja, bahkan kamu malah menyuruhku untuk menerima salah satu dari mereka yang mengungkapkan cintanya padaku ” Aku mndengarkan penjelasannya dengan saksama. Iya sih, memang. Aku hanya tidak ingin dia menjauhiku jika dia tahu aku memendam rasa padanya.
“Kamu tidak bertanya aku bisa mendapatkan buku harianmu dari mana?” Aku menahan tawaku melihat ekspresinya. Dia mencebikkan bibirnya seperti anak kecil.
“Memangnya dari mana?” tanyaku sambil menyunggingkan senyumku.
“Aku menggeledah tasmu beberapa hari sebelum ujian.”
“Apa?”
“Aku yakin kamu tidak akan menyadarinya karena sedang fokus dengan ujian. Kamu tahu, aku membacanya setelah ujian selesai.” Aku berdecih. Jengkel. Rasanya pingin nyakar wajah tampannya karena dia sudah mencuri barangku. Bahkan mengetahui hal pribadi yang aku tutup rapat selama ini.
“Marathon, kaya baca novel.” Aku mendengus kesal mendengar kekehannya.
“Apa tidak ada niatan menyuruhku berdiri.? Lututku capai nih..”
“Siapa suruh berlutut?” ucapku memberengut. Masih kesal sama Ali. Rasanya tidak adil. Dia mengetahui kalau aku menyukainya sejak lama tapi….
Tiba-tiba kurasakan Ali merengkuh tubuhku dan merangkulku.
“Sudahlah ikhlaskan saja.” Aku mengernyitkan dahinya, mendongak ke arahnya.
“Ikhlaskan saja aku menjadi masa depanmu.” ucapnya lalu mencium keningku lama. Bahkan tak sadar aku pun memejamkan mata menikmati kecupannya.
“Tapi, kamu harus siap-siap cemburu karena fansku sekarang lebih agresif.”
“Memang masih ada yang ngefans? Kan sudah nggak ABG lagi.”
“Bagaimanapun juga aku ini calon suamimu yang most wanted. Jadi siapkan saja tombak, pedang, clurit atau apa pun itu sebagai senjata menghadapi mereka.”
Huh.. Ternyata masih tetap narsis. Di kira mau perang apa? Gerutuku kesal.
“Iya dong. Perang menaklukkan hati pangeran tampan.” Tiba-tiba dia menyahut, apa dia bisa membaca pikiran orang?
“Nggak kok. Cuma pikiranmu saja.” ucapnya dengan senyum manisnya membuatku ternganga.
“Woei bro, sudah malam. Pulang sana. Kalau mau nginap sini harus disahin dulu anak Om.” Aku dan Ali menoleh saat mendengar ayah menegurnya. Aku melirik jam di tanganku. Astaga…. Sudah hampir jam 11 malam. Aku pun menoleh pada Ali, di saat bersamaan pun dia menoleh padaku. Kami pun tersenyum. Duuuh, kok rasanya enggan berpisah walau sekejap ya?
-tamat-
Jateng, 101118
Cerita ini aku tulis satu bulan lalu untuk diikut sertakan dalam sebuah event cerpen tema Kenangan.
Alhamdulillah , Ali Prilly kembali membawa hoki. Cerpen ini terpilih, masuk 20 besar yang akhirnya dibukukan oleh Penerbit Ahsyara dengan judul buku Antologi Cerpen Selembar Kenangan.
#AliPrillybawahoki
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top