Sixteen

A P A R T

[First Name] memainkan tali gaun tidurnya dengan tatapan menerawang. Entah sudah berapa hari ia tidak merasakan sosok suaminya di mansion yang terlalu besar ini. Tidurnya tidak pernah nyenyak saat Shuu tidak bersama dengannya, tidak berada di sampingnya, tidak memeluknya. [First Name] tidak pernah tahu ia bisa serindu ini pada Shuu. Yang ia inginkan sekarang adalah melihat sosok pirang beriris lautan dengan raut wajah malas itu di sampingnya.

“Apa yang kau lakukan di balkon saat tengah malam, Nyonya Shuu?” tanya seseorang dengan suara setengah menggoda.

“Aku menunggu kepulangannya, Laito. Apa yang kau lakukan di sini?” [First Name] bertanya balik pada Laito yang memamerkan senyumnya sambil membungkuk dan menaruh fedora di dadanya sebelum bangkit kembali.

“Ada seseorang yang memberi perintah untuk tidak membiarkanmu sendirian, [First Name]-chan,” jawab Laito sambil menghampiri [First Name]. “Aku tidak bisa melanggar perintah yang begitu keras diberikan padaku. Tidak ingin lebih tepatnya.”

Sebelah alis [First Name] terangkat. “Oh ya? Kenapa seperti itu?”

Laito menyandarkan punggungnya di tepi balkon. Angin yang berhembus kencang memainkan rambut merahnya, tetapi tidak merubah posisi fedoranya. Senyum yang dilemparkannya pada [First Name], entah kenapa terlihat begitu sedih.

“Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan sosok yang kucintai. Kurasa aku hanya tidak ingin ada saudaraku mengalami hal yang sama,” Laito memejamkan matanya, kemudian memperlihatkan senyumnya lagi.

[First Name] ingat Shuu pernah mengatakan kalau Cordelia memperlakukan anaknya dengan tidak sepantasnya. Menjadikan anak-anaknya sebagai pemuas hawa nafsunya sampai membuat salah satu anaknya jatuh cinta padanya. Seketika tangan [First Name] mengusap perutnya yang sudah membesar, hanya tinggal menunggu waktu sampai ia bisa melihat wajah putranya.

“Kemana perginya istrimu? Apa kau tidak mencintai istrimu?” tanya [First Name] dengan nada lembut. Sepertinya, ia merasakan ironi yang terjadi dalam keluarga bangsawan nan berkuasa ini.

“Tidak bisa disebut mencintai,” Laito terkekeh. [First Name] menyadari ada perubahan dalam tatapannya. “Tetapi aku berani meyakinkanmu kalau hidupku mulai tidak tenang jika Doll-chan tidak bersamaku.”

[First Name] ikut terkekeh melihat ekspresi bahagia yang tidak asing di matanya. Matanya masih belum berhenti bergerak di perutnya, berusaha membuat putranya tenang, setidaknya sampai Shuu pulang dan membujuk putranya untuk tenang.

“Bukankah aku hanya menyuruhmu untuk menjaganya, bukan menggodanya?” ucap seseorang dengan suara familiar. Sosok itu melingkarkan lengannya di pinggang [First Name] dengan posisi posesif.

Laito mengangkat kedua tangannya defensif. “Baiklah. Suamimu sudah pulang. Aku tidak akan mengganggu kalian lebih lama lagi, lagipula aku sudah merindukan Doll-chanku.”

Tepat saat Laito menghilang, [First Name] menyadari bahwa ia sudah berada di kamarnya, Shuu masih belum melepaskan pelukannya, malah semakin gencar menciumi leher [First Name]. Tidak ada yang bisa [First Name] lakukan selain membiarkan suaminya melakukan apapun yang ia suka, toh [First Name] sendiri merindukan pelukan Shuu setelah dua minggu pergi.

“Dan kau. Bukankah aku sudah mengatakan kalau kau adalah milikku, bukan saudara-saudaraku,” bisik Shuu. [First Name] tersenyum saat sisi posesif Shuu kembali muncul. Percaya atau tidak, [First Name] lebih menyukai sifat posesif Shuu daripada sisi malas suaminya.

“Aku memang milikmu. Sudah seperti itu sejak aku datang ke mansion ini. Laito hanya menemaniku, kau sudah memberinya perintah untuk melindungiku kan? Ia melakukan tugasnya dengan baik.”

“Aku tetap tidak suka melihatnya bersama denganmu,” ucap Shuu.

Tanpa basa-basi ia menusukkan taringnya di tempat yang sama setiap kali ia menyesap darah [First Name]. Tangannya mengusap perut [First Name] saat merasa ada kaki kecil yang menendang seakan memintanya untuk tidak menyakiti Ibunya.

“Kita tidak perlu bertengkar untuk hal sepele,” bisik [First Name] saat Shuu masih asyik berada di lehernya. “Aku merindukanmu selama dua minggu kau pergi. Aku tidak percaya saat menjadi seorang Raja kau akan disibukkan dengan berbagai tugas yang mengharuskanmu untuk pergi jauh dariku.”

Shuu tidak mengatakan apapun. Ia memberi ciuman pada leher [First Name] sekali lagi, lalu menuntun wanitanya merebahkan diri di kasur. Pelukannya tidak mengendur, malah semakin erat saat ada pergerakan di perut [First Name].

“Kau sama sekali tidak merindukanku, Shuu?” tanya [First Name] membalikkan tubuhnya sehingga mereka berdua berhadapan.

Tidak ada balasan dari Shuu. Ia memejamkan matanya seakan mengatakan tidak ingin diganggu oleh apapun. Namun, peraturan seperti itu tidak pernah berlaku pada [First Name]. Wanita itu menyusuri wajah Shuu dengan jari telunjuknya, berusaha menggali ingatannya tentang wajah Shuu. Berlebihan memang, tetapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menginginkan suaminya.

“Hentikan, gadis nakal,” ucap Shuu tanpa membuka matanya.

“Tetapi Shuu, aku ingin kau menatapku dan berkata kalau kau merindukanku, bisakah?” pinta [First Name] setengah merengek.

Shuu mendengus pelan lalu membuka mataya. [First Name] tersenyum saat beradu tatap dengan iris lautan yang sangat ia suka. Senyumannya semakin melebar saat Shuu menyibak rambutnya, tidak ingin ada sesuatu yang menghalangi jarak pandangnya.

“Puas?”

[First Name] menggeleng. “Kau belum mengatakan kalau kau merindukanku.”

“Dasar gadis merepotkan,” gumam Shuu kembali memejamkan matanya. Ia mendekatkan wajahnya dengan wajah [First Name], mencium dahi wanitanya lembut.

“Hanya aku yang tahu seberapa besar aku mendambakanmu. Bahkan aku sudah menginginkan sosokmu detik saat aku meninggalkan sisimu. Jadi rindu bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku padamu.”

Holllaaaaaa.... alasan kenapa di update yg terakhir aku nanyain adakah ARMY atau EXO-L adalah karena aku udah bikin drabbles tentang mereka!!

Bagi yang tertarik, bisa liat di work aku ya..

Untuk sekedar informasi... The Oldest's Bride akan selesai di chapter dua puluh ya..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top