Six

L O V E

Semua mata terfokus pada Shuu dan [First Name] saat keduanya berjalan di lorong. Tangan Shuu yang menggenggam tangan [First Name] serasa diremas pelan. Sejujurnya, Shuu sendiri tidak pernah mempedulikan pendapat orang lain terhadap dirinya, begitu juga dengan sekarang. Ia tidak merasa terganggu dengan tatapan yang diterimanya, suara bertubi-tubi berkomentar tentang dirinya. Yang ia pedulikan hanyalah sosok yang berjalan di sampingnya. Toh berdasarkan hukum vampir, mereka sudah resmi menikah.

"Shuu, mereka memperhatikan kita," bisik [First Name] risih. Sepertinya tatapan penuh penilaian itu mengganggu [First Name].

"Tidak perlu memperhatikan mereka," balas Shuu dengan nada malas.

Kata-kata 'aku mencintaimu' sudah kehilangan maknanya di dunia ini. Kalimat itu sering diucapkan untuk rayuan dan membuat kata-kata yang seharusnya penuh makna itu terdengar murahan. Shuu tidak pernah mengucapkan kalimat itu pada [First Name], menurutnya hal seperti itu harus di tunjukkan. Tindakan berbicara lebih keras daripada ucapan.

"Kau pergi ke ruang musik?" tanya [First Name]. Mereka tepat berada di tengah-tengah lorong, membuat tatapan para siswa semakin terasa menusuk ke punggung [First Name].

Shuu mengangguk. "Menghadiri kelas terlalu merepotkan untukku."

[First Name] terkekeh pelan, sudah bisa menebak jawaban yang akan keluar dari mulut Shuu.

Sudah menjadi kebiasaan setiap harinya saat mereka sampai di sekolah, Shuu hanya akan mengantarnya sampai di tengah lorong lalu mereka akan berpisah. Shuu ke ruang musik yang sudah seperti kamar untuknya, sementara [First Name] harus tetap menghadiri kelas. Perintah dari Reiji yang tidak bisa dibantah, walaupun pernyataan itu sering tak berlaku pada Shuu.

"Kalau begitu aku akan mampir saat ada jam kosong," ucap [First Name] bersiap meninggalkan kekasihnya.

Shuu menahan lengan [First Name]. Ia tidak mengucapkan apapun, bahkan tatapannya setengah terpejam seakan jatuh tidur kapan saja. Shuu hanya menarik dagu [First Name] dan menyapu bibirnya di sudut bibir [First Name] lembut, meninggalkan sensasi geli di sudut bibirnya. Ia beralih ke pipi [First Name] lalu menggigit kecil leher [First Name].

"Shuu!" protes [First Name] seraya memeluk Shuu, menyembunyikan wajahnya yang memerah di sweater kekasihnya.

Para siswa yang memperhatikan keduanya hanya bersiul dan menggumamkan 'aww' membuat [First Name] mengubur wajahnya semakin dalam. Shuu memang suka sekali bertindak dengan perasaannya tanpa berpikir panjang.

"Kita berdua dalam masalah kalau Reiji mengetahui hal ini. Lagipula kita berada di sekolah, Shuu," bisik [First Name] setengah berteriak. Gadis itu memukul dada Shuu pelan.

Shuu terkekeh pelan melihat kekasihnya yang bersikap malu-malu, ia tidak keberatan terlambat masuk ke ruang musik dan mengorbankan beberapa menit waktu tidurnya kalau bisa melihat wajah memerah [First Name] yang menurutnya menggemaskan, walaupun ia tidak akan mengakuinya sampai mati.

"Kenapa? Seluruh sekolah mengetahui kalau kau adalah milikku dan tidak ada seorang pun dari mereka yang akan mendekatimu," bisik Shuu. Hidungnya sibuk menghirup aroma yang akan ia rindukan walaupun baru beberapa menit tidak berada di sekitarnya.

"Dasar bodoh!"

"Heh... kau berani mengataiku bodoh?" tanya Shuu memastikan. "Bersiaplah untuk menerima hukumanmu malam ini [First Name]."

Puas menatap wajah [First Name] yang menjadi kembaran kepiting rebus, Shuu melepas pegangannya pada lengan [First Name]. Tanpa ada kata yang terucap lagi, Shuu melangkahkan kakinya ke ruangan yang menjadi singgasananya. Tidak ada yang berani memasuki ruang musik selain [First Name] atau saudaranya. Dengan kata lain, ia bisa menikmati tidurnya selama di sekolah tanpa ada gangguan apapun, kecuali kalau Reiji berniat untuk merusaknya.

Entah sudah berapa lama Shuu memejamkan mata, akhirnya ia mendengar pintu ruang musik terbuka. Bau darah yang khas dan langkah kaki dengan irama konstan mampu membantu Shuu menebak siapa yang berani memasuki ruang singgasananya. Ia harus menahan diri untuk tidak membuka mata dan mengejutkan [First Name].

"Shuu, kau tidur?" tanya [First Name] dengan hati-hati. Ia merasakan blazer [First Name] menyelimuti tubuhnya, walaupun usaha itu sia-sia. Tubuhnya jauh lebih besar daripada blazer yang tersampir di atasnya.

"Tch. Kau terlalu berisik," kata Shuu. Tangannya menarik [First Name], menjatuhkan gadis itu di atasnya.

[First Name] memekik terkejut saat mendapati dirinya sudah dijadikan guling hidup oleh suaminya sendiri, walaupun ia sama sekali tidak keberatan. Sebelah lengan Shuu menyelimuti pinggang [First Name] dan yang lainnya berada di bawah kepala Shuu, menjadi bantal. [First Name] tidak terkejut menyadari Shuu sama sekali tidak membuka matanya sejak pertama kali ia masuk ke ruang musik. Bagaimana Shuu bisa mengetahui dimana posisinya berdiri benar-benar diluar imajinasi [First Name].

"Kau tahu, Reiji memintaku untuk memaksamu menghadiri kelas," ucap [First Name] pelan, tidak ingin merusak musik Shuu.

"Merepotkan."

Shuu merasakan [First Name] tersenyum di seragamnya dengan wajah terkubur di dada. Ia mendengus begitu menyadari ada seseorang yang berdiri di dekat pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada dengan pandangan kecewa setengah jengah.

"Bukankah sudah kubilang pada kalian untuk tidak bermesraan di sekolah?" tanya Reiji sambil mendorong kacamatanya. "Aku tidak percaya kalian masih melakukannya walaupun sudah ada peraturan yang melarang."

"Pergi sana," balas Shuu masih dengan nadanya yang khas tanpa membuka mata.

"Tch, gokutsubushi," umpat Reiji sebelum meninggalkan kakaknya. Ia gagal melihat senyum penuh kemenangan yang terukir di wajah Shuu.

"Mungkin Reiji benar. Tidak seharusnya kita melakukan hal ini di sekolah, Shuu," gumam [First Name] membela Reiji.

"Tidak peduli apa yang orang lain katakan. Inilah caraku mengatakan aku mencintaimu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top