Seven

H O L D M E

Api. Elemen yang paling tidak ia sukai berkobar di hadapannya. Melahap apapun yang berada di jalannya. Hal yang pertama kali terlintas di kepala Shuu adalah berlari menjauh dari mansionnya. Sebagai vampir ia memang tidak perlu bernafas, tetapi asap dari kobaran api membuatnya terasa sesak seakan ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Kakinya tidak ingin bergerak, terpaku karena syok. Mengandalkan insting, Shuu berlari sekencang yang ia bisa.

Iris sebiru lautan itu menatap rumahnya yang perlahan hancur di lahap api. Matanya terbelalak begitu menyadari sosok istrinya masih terperangkap di dalam sana. [First Name] memukul jendela dengan pandangan memohon, sesekali terbatuk karena asap yang memasuki paru-parunya. Bisa terlihat kalau [First Name] benar-benar berjuang untuk tetap hidup. Shuu yakin [First Name] memohon untuk di selamatkan. Namun, lagi-lagi ada yang menahan kaki Shuu untuk kembali masuk.

"Tolong ia, bodoh," umpat Shuu pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal, memberanikan diri. "Tolong istrimu. Beranikan diri."

Alih-alih mengikuti apa yang pikirannya katakan, Shuu bergerak dengan instingnya yang diselimuti oleh ketakutan untuk berlari meninggalkan rumah, meninggalkan [First Name] beserta semua kenangannya. Ia menerobos semak-semak, hampir tersandung akar yang mencuat dari tanah dan baru berhenti saat ia kembali dikelilingi oleh oksigen.

Kakinya berhenti berfungsi, memaksa lututnya beradu dengan tanah. Matanya tidak lepas dari asap hitam yang membumbung tinggi menghiasi langit malam. Dari tempatnya sekarang, ia masih bisa melihat warna merah dari kobaran api yang ia yakin sedang melahap istrinya sekarang.

Ingin rasanya menyalahkan sang Ibu untuk traumanya terhadap api atau mengutuk Edgar yang sengaja menantang si jago merah untuk menyelamatkan keluarganya dan meninggalkan Shuu sendirian. Ingin sekali Shuu melakukannya. Namun, Shuu tahu kalau [First Name] terbakar di rumah mereka karena sikap pengecutnya sendiri. Karena Shuu terlalu takut berhadapan dengan masa lalunya.

"Maafkan aku, [First Name]," ucap Shuu dengan suara menahan isak.
Ia tidak menyadari air mata sudah membasahi pipi perlahan. Tidak. Ia tidak sempat menyadari kalau dirinya menangis karena rasa sakit dan hampa yang mulai menyelimuti mengambil semua perhatian Shuu. Semua indranya berhenti berfungsi, membuatnya terlihat seperti mayat hidup dalam arti yang sebenarnya.

Shuu terduduk di kasurnya dengan keringat membasahi tubuhnya. Sweater yang biasa ia pakai melekat di tubuhnya. Air mata menggenang di pelupuk mata dan siap jatuh. Mimpinya terasa begitu nyata. Sakit dan kehampaan yang ia rasakan seperti benar-benar terjadi. Namun, tangan kecil yang mengusap punggungnya, memaksanya kembali pada kenyataan.

"Ingin menceritakannya padaku?" tanya [First Name]. Matanya masih mengerjap, berusaha menghilangkan kantuk yang tertinggal.

Tidak ada kata yang terucap dari Shuu, seperti biasa. Namun, ada yang berbeda. Kali ini Shuu membawa [First Name] dalam pelukannya, memastikan istrinya masih bernafas dan baik-baik saja. Ia menyadari bahunya gemetar dan hampir menangis kalau sedikit dari harga diri tidak menahannya.

"Shuu?"

Masih tidak ada balasan. Tangan [First Name] tidak berhenti bergerak di punggung Shuu, menenangkan vampir itu sebisa mungkin. Ia ingin memaksa Shuu untuk menjawab pertanyaannya. Memang tidak sering kejadian seperti ini terjadi, tetapi setiap kali Shuu mengalami hal ini, [First Name] selalu penasaran apa yang membuat sosok yang memeluknya ini takut.

[First Name] melihatnya. Saat Shuu menjauhkan diri darinya, [First Name] bisa melihat ketakutan yang tertinggal di iris biru yang sangat ia sukai itu dan [First Name] harus menahan senyum begitu mengetahui apa yang membuat Shuu begitu takut sampai ingin menangis.

"Kemari," suruh [First Name] lembut. Shuu kembali bergerak, kali ini agar [First Name] bisa memeluk Shuu dengan mudah. [First Name] merebahkan dirinya, membawa Shuu dengannya.

"... pernah ... sendiri...," gumam Shuu di leher [First Name].

"Apa?" [First Name] menangkup kedua pipi Shuu dan menjauhkan wajahnya, meminta Shuu agar mengulangi ucapannya.

"Jangan pernah biarkan aku sendiri," ucap Shuu lagi. Bahunya bergetar samar saat mengingat perasaan ketika berada di dalam mimpinya. Perasaan yang sama saat Edgar meninggalkannya. Tidak. Shuu tidak ingin merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya. Tidak di saat ia sudah memiliki seseorang yang menjadi sandarannya.

[First Name] tersenyum kecil lalu mencium dahi Shuu. Ibu jarinya masih asyik bergerak di kulit Shuu yang dingin, tatapan penuh kasih sayang [First Name] sudah mampu membuat Shuu merasa nyaman. [First Name] terkekeh pelan saat Shuu kembali menenggelamkan kepalanya di leher [First Name], Shuu yang sekarang mirip seperti kucing yang minta dibelai, bukan seorang vampir bangsawan menakutkan yang di segani oleh hampir seluruh vampir lainnya.

"Aku berjanji tidak akan membuatmu merasakan hal itu lagi, Shuu," ucap [First Name]. Gadis itu merasa senang saat Shuu memperlihatkan sisinya yang tidak pernah di perlihatkan pada orang lain. Bukankah itu berarti Shuu mempercayainya?

Shuu bungkam. Ia menghirup aroma tubuh dan darah [First Name]. Suara aliran darah [First Name] yang mengalir ke jantung membuatnya mengantuk seperti lagu pengantar tidur yang menenangkan.

"Kau tidak tahu betapa bersyukurnya aku saat pelukanmu mampu membuat semua mimpi burukku memudar."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top