Fourteen

K I D N A P

Saat [First Name] membuka mata, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Suasana remang tidak membantu penglihatannya. Hanya ada satu sumber cahaya, yaitu bohlam dengan daya kecil yang menggantung di langit-langit. Ventilasi di sudut ruangan yang paling atas menandakan [First Name] terbangun di tengah malam. Andai saja ini mimpi buruk, Shuu sudah pasti akan membangunkannya lalu merengkuhnya seraya membisikkan kalimat menenangkan. Namun, semua ini kenyataan.

Entah sudah berapa lama [First Name] mendekam di ruangan sempit ini. Dipukuli, dicambuk dan cacian sudah menjadi santapannya akhir-akhir ini. [First Name] pernah melihat sosok yang menahannya sekali. Sosok tinggi besar dengan seringai keji yang membuat [First Name] merinding. Ia yakin pernah melihat sosok itu di suatu tempat, saat menggali ingatannya lebih dalam, [First Name] mengetahui sosok itu adalah orang yang hadir dalam acara penobatan Shuu dan pertama kali bertanya siapa [First Name].

"Ah ... sepertinya Nyonya Sakamaki sudah terbangun dari tidurnya," ucap suara yang akhir-akhir menggema di telinganya. "Hampir saja aku ingin membangunkanmu dengan air dingin, tapi sepertinya tindakan itu tidak perlu."

Mata [First Name] menyipit begitu pintu terbuka. Matanya belum terbiasa dengan cahaya terang setelah berhari-hari dalam ruangan gelap. Tubuh [First Name] gemetar melihat apa yang dibawa oleh sosok itu. Cambuk.

"Apa setelah berhari-hari mendekam di ruangan ini kau tidak ingin menceritakan sedikit tentang keluarga Sakamaki dan rahasia mereka?" tanyanya. Langkah kaki menggema dan [First Name] tahu sosok itu sedang menghampirinya. "Aku akan mengurangi cambukannya kalau kau ingin membuka mulut."

"Suamiku akan menemukanmu. Dan saat itu terjadi, aku akan sangat menikmati kejadian selanjutnya," ucap [First Name] dengan suara serak karena jarang berbicara dan air yang tidak memasuki tenggorokannya.

Satu cambukan mengenai lengan [First Name] dan yang lainnya beradu dengan punggung [First Name]. Ditahannya ringisan yang ingin keluar. Sebisa mungkin menghindari kontak fisik dengan perutnya. Kalau ada satu hal yang bisa [First Name] lakukan, hal itu adalah bertahan. Bertahan untuk Shuu juga untuk bayi mereka.

"Dasar jalang! Vampir tidak berguna itu tidak akan pernah menemukanmu. Bau darahmu akan bercampur dengan darah bangkai hewan dan darah manusia yang pernah mendekam di sini. Vampir tidak berguna itu akan kusingkirkan! Setelah itu kau akan menjadi wanitaku. Kau dengar itu!?" balasnya dengan penuh amarah. Tangannya tidak berhenti mengayunkan cambuk.

"Lebih baik mati sebelum menjadi wanitamu," umpat [First Name] dengan suara yang tidak lebih dari bisikan.

"Vampir pecundang itu sama sekali tidak pantas mendapatkan tahta dan juga wanita sepertimu. Ia tidak akan bisa menggunakan kekuasaannya dengan baik. Aku akan merebut kekuasannya. Aku akan merebut semua miliknya!"

"Dasar pengecut," umpat [First Name].

Sebelum ia bisa mengayunkan cambuknya lagi, [First Name] mendengar jeritan di luar ruangan. Sosok itu menatap [First Name] tajam dan penuh peringatan lalu menjauhinya. Namun, belum sempat sosok itu keluar ruangan, pintu sudah dihancurkan dengan kekuatan dahsyat.

[First Name] menghela nafas lega menyadari rambut pirang yang sangat familiar terlihat di pintu. Geraman marah, tatapan dengan penuh kebencian dan hawa membunuh menguar hebat di sekitarnya. Namun, [First Name] tahu kalau semua itu tidak ditujukan untuknya. Shuu menghalangi jalan keluar sosok itu.

"Tutup matamu, [First Name]," geram Shuu. [First Name] menurut.

Terdengar suara berdebum keras saat tubuh beradu dengan dinding besi, erangan sakit dan geraman menggema. Saat mendengar jeritan, [First Name] tahu kalau Shuu berhasil membebaskannya. Ingin sekali matanya terbuka, tetapi ia tidak ingin membantah Shuu. Tidak setelah tragedi penculikkannya.

"Sudah baik-baik saja," bisik Shuu tepat di telinga. "Kau bisa membuka matamu, [First Name]."

[First Name] mengerjap, membiasakan matanya dengan cahaya terang. Perlahan tapi pasti siluet suaminya terlihat. Rambut pirang yang halus dan iris sebiru lautan itu menatapnya dengan penuh kelembutan. Tidak lagi tersisa amarah dan kebencian yang beberapa saat terpancar.

"Shuu ... Shuu, aku tahu kau akan menemukanku," pandangan [First Name] mengabur karena air mata. Rasa takut yang ia tahan selama ini perlahan tumpah. "I-ia melakukan sesuatu padaku. Aku berhasil bertahan, melindungi bayi kita, tapi suaranya –suaranya begitu licik. Ia ingin mencelakaimu, Shuu."

Shuu menangkup pipi [First Name] dengan lembut dan hati-hati. "Sudah berakhir. Sudah selesai, [First Name]. Kau hebat sekali."

Saat [First Name] terisak, Shuu mendekapnya. Membawa [First Name] ke dalam pelukannya, hal yang belum ia lakukan beberapa hari terakhir. Tangan Shuu mengepal saat merasakan betapa rapuhnya [First Name] dalam pelukannya. Ia merasa marah karena gagal melindungi apa yang berarti untuknya.

"Kita pulang sekarang. Reiji akan memeriksamu. Setelah itu jangan berharap kau bisa lepas dari pandanganku lagi," bisik Shuu lembut. Perlahan ia menggendong [First Name], berhati-hati agar tidak menyentuh luka yang masih mengeluarkan darah.

"Terima kasih karena tidak mengabaikanku, Shuu," bisik [First Name] sebelum kegelapan menyelimutinya.

Shuu tersenyum tipis. "Aku akan selalu menemukanmu, gadis naif, bahkan di tempat yang tidak kukenal. Dan saat aku menemukanmu, jangan berharap kau bisa terlepas dari pelukanku. Kau dengar?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top