Fifteen

N I G H T T E R R O R

Shuu masih belum bisa
memejamkan matanya, bahkan saat ia merasa lelah. Sangat kelelahan malah. Tetapi matanya menolak untuk terpejam. Ia hanya memeluk [First Name], memastikan wanitanya tidak lagi menghilang, memastikan tidak akan ada yang menyakiti [First Name] atau putranya.

Pandangan Shuu beralih pada dinding di belakang [First Name]. Benaknya kembali memutar hari dimana [First Name] tiba-tiba menghilang. Ia tidak pernah menyangka jalan-jalan sore untuk menghilangkan penat malah berubah menjadi petualangan berbahaya yang bisa saja melayangkan dua nyawa orang yang paling berharga untuknya.

Jemari Shuu menyusuri lengan [First Name] yang masih penuh dengan luka cambuk, kemarahan menguasai dirinya hanya dengan melihat bekas luka. Ia tidak pernah memiliki keinginan untuk menyakiti wanitanya, tetapi bagaimana bisa orang lain melakukan hal itu pada [First Name]? Betapa ingin Shuu membangkitkan orang itu dari kematiannya dan kembali mematahkan lehernya atas apa yang ia lakukan.

“S-Shuu...”

Iris biru itu terfokus pada wajah [First Name]. Dahinya mengernyit kala mendapati ekspresi panik [First Name]. Bibir wanitanya sedikit terbuka, nafasnya terengah. Sama sekali bukan pertanda yang baik di mata Shuu. Ditambah lagi [First Name] bergerak tidak nyaman, sesekali menendang selimut dan meringkuk tidak wajar.

“Kumohon ... Kumohon jangan bayiku. Jangan sakiti bayiku,” lirih [First Name] dalam tidurnya.

Sebelum Shuu bisa memeluk [First Name] untuk menenangkannya, wanita itu sudah terbangun dan menjerit. “Shuu!”

“Aku di sini,” bisik Shuu membawa [First Name] ke dalam pelukannya. “Tidak akan ada yang bisa menyakitimu atau putra kita saat aku bersamamu.”

Shuu mengabaikan fakta bahwa sweaternya mulai basah akibat air mata [First Name]. Ia tidak pernah menenangkan seseorang dalam hidupnya. Jangankan menenangkan seseorang yang tengah panik akibat mimpi buruk, Shuu bahkan tidak pernah mempedulikan orang lain dalam hidupnya. Namun, ia berusaha agar tangisan yang membuatnya sesak ini berhenti.

“Ia melakukan sesuatu padamu. Aku melihatmu tergeletak Shuu. Kemudian ia menendang perutku. Banyak darah di sekitarku. Banyak sekali darah. Aku tidak bisa melakukan apapun untuk menolong kalian,” jelas [First Name] dengan nafas terengah. Tangannya mencengkeram lengan Shuu erat, seakan suaminya akan menghilang kalau ia mengendurkan cengkeramannya.

Shuu tidak berkata apapun. Ia hanya mengikuti apa yang biasa [First Name] lakukan untuk membuatnya rileks. Tangannya bergerak naik turun di punggung [First Name]. Bibirnya berulang kali menempel di puncak kepala dan dahi [First Name].

“Aku takut Shuu. Aku takut kehilangan kalian. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menolong putra kita,” isak [First Name] masih belum bisa melupakan kejadian beberapa hari lalu.

“Aku bersamamu. Tidak akan ada seorang pun yang bisa menyakiti gadis merepotkan sepertimu atau putraku selama aku bersama kalian. Ia tidak akan pernah bisa menyentuhmu lagi, [First Name],” bisik Shuu lagi. perlahan tetapi pasti, ia membaringkan tubuhnya dengan [First Name] masih berada di dadanya.

Ingin rasanya Shuu meluapkan seluruh amarahnya. Bahkan setelah kematiannya, vampir brengsek yang menyakiti [First Name] masih menghantuinya dalam mimpi. Namun, bukan itu prioritasnya sekarang. Ia bisa saja membangkitkan vampir yang menyakiti [First Name], tetapi ia akan meninggalkan wanitanya sendirian.

“Maafkan aku Shuu,” ucap [First Name] setelah isakannya berhenti. “Kumohon maafkan aku.”

Shuu mendengus pelan. Ibu jarinya mengusap lembut tulang pipi [First Name] yang semakin mengurus. “Untuk apa, gadis naif?”

“Karena sudah membangunkanmu. Karena tidak bisa menjaga diriku sampai hampir membahayakan nyawanya. Karena sudah membuatmu repot dengan kehadiranku,” balas [First Name]. Wanita itu mengangkat kepalanya, beradu tatap dengan iris biru yang terlihat lelah tetapi lega dalam waktu yang bersamaan.

“Jangan meracau di tengah malam seperti ini,” sahut Shuu.

[First Name] menggelengkan kepalanya. “Aku bersungguh-sungguh, Shuu. Kehadiranku pasti sangat mengganggumu. Ditambah lagi, aku terus bermimpi buruk setelah kejadian mengerikan itu. Aku sudah mengganggu waktu tidurmu.”

Shuu memajukan wajahnya, menyapukan bibirnya ke dahi [First Name] lembut dan lama, berusaha untuk memberitahu bahwa apa yang terjadi sama sekali tidak mengganggunya. “Pejamkan matamu. Kau membutuhkan banyak istirahat setelah apa yang terjadi, gadis merepotkan.”

[First Name] mengernyitkan dahinya dengan respon yang diberikan Shuu. “Benar kan? Aku hanya merepotkanmu. Besok aku akan meninggalkan mansion ini. Aku akan membesarkan anak ini sendirian. Kami tidak akan mengganggumu lagi.”

Tatapan Shuu menajam saat beradu dengan iris [First Name]. “Tch. Berisik.”

“Kau selalu berkata seperti itu padaku, Shuu. Keberadaanku di sini hanya menjadi bebanmu kan? Baiklah, aku akan pergi malam ini,” [First Name] berusaha bangkit dari posisi tertidurnya, tetapi Shuu langsung menahan pergerakannya.

Shuu ingat Reiji pernah mengatakan sesuatu tentang perubahan sikap seorang wanita yang tengah mengandung. Apakah ini salah satunya? Haruskah ia bersikap lebih baik pada istrinya saat ini?

“Pejamkan saja matamu, gadis berisik. Kau tidak akan pernah meninggalkan mansion ini tanpa pengawasanku, mengerti?” perintah Shuu dengan nada tidak bersemangat berbanding terbalik dengan pelukannya yang semakin mengerat.

“Tetapi Shuu ... aku tidak ingin mengganggumu.”

“Bukankah sudah kukatakan padamu? Kau sudah membuatku merasa candu dan hidup dengan keberadaanmu. Tidak akan kubiarkan kau pergi semudah itu. Kau tidak akan pernah bisa mengusirku dari hidupmu. Kau adalah hidupku sekarang, mengerti gadis berisik?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top