Eighteen

S I B L I N G S

[First Name] memperhatikan putranya yang tengah bermain dengan putra Reiji. Wanita itu tidak sendirian, ia ditemani dengan istri Reiji yang asyik menyesap teh jahenya dengan anggun. [First Name] tidak mengharapkan kurang dari istri seorang Reiji.

“Yukimura berulang kali berkata ingin mengalahkan Ririe. Aku bisa melihat kenapa,” gumam istri Reiji dengan senyuman miring. “Ririe memang terlihat seperti Ayahnya, tapi aku melihat jiwa Ibunya dalam diri anak itu.”

“Aku juga mengakui keberanian Yukimura. Kalian merawatnya dengan sangat baik,” balas [First Name] setelah menyesap teh madunya. “Aku hanya tidak ingin Ririe dan Yukimura mengulang kisah Shuu dan Reiji, maksudku mereka bersaudara, kurasa sudah sepantasnya mereka menghormati satu sama lain.”

Istri Reiji beradu pandang dengan [First Name]. “Kau benar. Kita tidak boleh membiarkan sejarah yang sama terulang di rumah ini.”

Sebelum [First Name] mampu membalas ucapan pujaan hati Reiji, ia mendengar suara Ririe yang memamerkan betapa hebatnya ia. Yukimura mengepalkan tangannya, matanya menyorong tajam saat menatap kakak sepupunya. Dan [First Name] tahu tatapan itulah yang menjadi awal dari permusuhan Shuu dan Reiji.

“Ririe! Apa yang kau lakukan?” [First Name] melambaikan tangannya, hal yang sama juga dilakukan oleh istri Reiji.

Kedua anak berbeda warna rambut itu datang, tetapi masih belum melepaskan aura permusuhan mereka. [First Name] mengusap kepala anaknya lembut, mencoba untuk menenangkan perasaan negatif apapun yang menyelimuti perasaan putranya.

“Apa yang kalian lakukan sampai bertengkar seperti ini?” tanya istri Reiji dengan nada yang dibuat lembut, tidak ingin anaknya mengalami trauma jika dibentak.

“Yukimura berkata kalau aku tidak bisa apa-apa karena selalu bermain biola dan piano,” adu Ririe masih melemparkan tatapan tajam pada Yukimura yang terlihat tidak terima dengan tuduhan yang diberikan padanya.

“Tapi Ibu,” sangkal Yukimura. “Ririe yang berkata kalau aku terlalu kaku karena terus-menerus berada di laboratorium bersama Ayah. Lalu aku menantangnya untuk adu lari, membuktikan bahwa aku lebih kuat dan pintar darinya.”

Ririe tertawa mengejek, memaksaku untuk mencubit pipinya yang masih gembul. “Tidak boleh bersikap seperti itu pada saudaramu, Ririe Sakamaki.”

“Tapi bukan salahku kalau ia kalah dan tidak bisa membuktikan dirinya lebih kuat dan lebih pintar dariku. Ayah mewariskan kekuatannya padaku,” tambah Ririe dengan senyum penuh kemenangan, berbeda dengan Yukimura yang kembali mengepalkan tangannya, kesal tidak bisa mengalahkan kakak sepupunya.

“Yukimura, Ibu ingin kau meminta maaf pada kakakmu. Minta maaf padanya karena sudah mengejeknya,” perintah istri Reiji. “Ibu tidak pernah mengajarkanmu untuk bersikap kurang ajar pada kakakmu.”

Tidak ingin membuat Yukimura merasa dipermalukan dan menyenangkan Ririe karena merasa dirinya benar, [First Name] menepuk bahu Ririe. “Ibu juga ingin kau meminta maaf pada Yukimura karena mengejeknya. Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kakak pada adiknya yang membutuhkan bantuan?”

“Aku harus membantunya dengan semua yang kupunya, aku tidak boleh mengejeknya karena kami adalah keluarga,” gumam Ririe dengan penuh penyesalan. [First Name] tersenyum kecil, sepertinya Ririe sudah mengetahui dimana letak kesalahannya.

[First Name] dan istri Reiji menunggu salah satu dari kedua anaknya untuk memulai gerakan menjabat tangan, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang ingin memulainya. Ririe mendengus pelan lalu mengangkat tangannya sambil membuang muka.

“Aku berjanji akan membantumu agar lebih kuat agar bisa melindungi adik kita,” ucap Ririe masih belum menatap wajah Yukimura. “Tapi aku tidak akan meminta maaf karena aku tidak menyesali apa yang kulakukan.”

Seakan tidak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ririe, Yukimura memamerkan senyum lebarnya. “Aku juga berjanji akan mengajarimu tentang ramuan agar lebih efektif melawan musuh.”

[First Name] tidak bisa menahan senyum saat keduanya berdamai. Sudah tidak ada lagi aura permusuhan yang beberapa menit lalu menguar. Dari sudut matanya ia melihat Reiji memperhatikan mereka di jendela yang mengarah langsung ke taman. [First Name] yakin kalau anak tertua kedua itu tengah menahan senyumnya.

“Maafkan aku, [First Name], tapi aku harus pergi. Reiji memanggilku,” istri Reiji menaruh cangkirnya dan pergi setelah [First Name] mengangguk.

Wanita itu ikut bangkit dan melangkahkan kakinya ke ruang kerja Shuu, ruangan kedua yang tidak boleh dimasuki siapapun kecuali dirinya, Shuu atau Ririe. [First Name] menahan senyum kala melihat ekspresi serius yang sangat jarang diperlihatkan oleh Shuu. Ia tidak percaya, laki-laki yang dua tahun lalu masih mendapat predikat vampir termalas, kini sudah menjadi seorang raja yang sibuk.

“Apa yang kau ajarkan pada putraku, gadis nakal?” tanya Shuu tanpa mengangkat wajahnya dari dokumen yang tengah ia baca.

“Memangnya ada apa?” [First Name] bertanya balik. Ia menghampiri suaminya dan tanpa berpikir panjang, mendudukkan dirinya di pangkuan Shuu.

Shuu menatap [First Name] malas setengah geli. “Putraku baru saja datang dan mengatakan kalau ia tertarik pada ramuan. Bocah itu juga berkata kalau ia akan mengajarkan Yukimura cara bermain biola.”

[First Name] terkekeh pelan seraya mengalungkan lengannya di leher Shuu. “Memangnya kenapa? Aku hanya ingin Ririe dan Yukimura akur, tidak seperti Ayah mereka.”

“Tch, gadis licik,” gumam Shuu. Ia menaruh dokumennya di atas meja, [First Name] lebih menyenangkan daripada selebaran kertas yang penuh coretan tinta. “Aku tidak tahu apa yang kau ajarkan pada bocah itu, tapi Ririe tidak sepertiku dulu dan aku tidak seperti orang itu saat aku masih kecil.”

“Kau seharusnya bersyukur karena wanita sepertikulah yang jatuh cinta lalu menikah denganmu,” ucap [First Name] sembari menggesekkan hidungnya ke leher dingin Shuu, menempelkan bibirnya beberapa kali pada kulit putih suaminya.

Shuu bungkam. Ia menangkup wajah [First Name], matanya sibuk menelusuri setiap jengkal wajah yang selalu ia lihat setiap kali ia bangun tidur. Shuu mendekatkan wajahnya pada [First Name], mengadukan bibirnya dengan dahi, mata, pipi, bahkan sampai leher tidak luput dari bibirnya.

“S-Shuu...”

“Aku tidak tahu kebaikan apa yang pernah kulakukan sampai seorang malaikat sepertimu menjadi pendamping hidupku. Percayalah padaku saat kukatakan kau adalah hal terbaik yang pernah terjadi di hidupku.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top