• The Oceanic •
Pria itu menatap layar laptop sekali lagi. Hamparan lautan nan bersih serta debur ombak yang terdengar harmoni membuatnya enggan untuk beranjak. Tidak seharusnya ia berekspektasi akan lautan yang dapat kembali seperti sediakala. Suka tidak suka, percaya tidak percaya, akhir-akhir ini di tahun 2030 samudera tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Tiba-tiba seorang wanita masuk ke dalam ruangannya dengan napas tersengal-sengal. "Marvis, kau tidak akan percaya dengan apa yang baru saja kami dapatkan," ujar wanita itu. Namanya Ellis, Sekertaris Marvis sekaligus sahabatnya sejak kecil.
Marvis terperanjat kaget karena Ellis lagi-lagi lupa tidak mengetuk pintu. Dia menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan gusar. "Lain kali kau harus mengetuk pintunya terlebih dahulu," peringat Marvis.
"Oke, maaf. Tetapi sebelumnya kau harus melihat ini." Dia meletakkan sebuah flashdisc di meja kerja atasannya.
Marvis mengambil benda itu lalu segera menghubungkannya dengan laptop. Kemudian dia melihat-lihat beberapa gambar yang belum lama diambil menggunakan helikopter. Foto-foto ini tentang samudera yang tak lagi sebiru angkasa. Dan tentang hamparan lautan yang tak lagi terbebas dari plastik.
"Permukaan laut telah tertutup oleh limbah plastik, bangkai ikan ada di mana-mana dan seluruh pantai di Indonesia ikut terkena dampaknya," jelas Ellis terdengar risau. Ia takut permasalahan ini tidak ada solusi, dengan kata lain: kehabisan jalan keluar.
"Itu berarti tidak akan ada kapal yang dapat melintas," tambah Marvis sambil tercenung.
Ellis merogoh ponsel dari saku pakaiannya dan memperlihatkan video amatir pada Marvis. "Masalah baru, ombak membawa sampah dan bangkai ikannya ke pesisir. Jadi, semua pantai resmi ditutup hari ini. Tidak ada lagi wisata pantai." Penjelasan Ellis berhasil membuat Marvis bungkam seketika. Wanita itu menarik kembali tangannya dan menaruh ponsel ke tempat semula. "Apa yang kita lakukan dalam seminggu penuh ini, yah kau tahu, seperti tidak ada gunanya," ungkap Ellis tersirat nada kecewa.
Pria berkacamata itu memandang layar laptopnya dengan kosong. Padahal baru beberapa menit lalu ia membayangkan laut akan kembali biru bersama ombak yang menggulung pasir, tak lupa burung-burung cemara yang berterbangan dengan bebas. Sekarang semua itu hanya akan menjadi angan-angan belaka.
"Kau berhasil membuat kepalaku nyaris pecah. Apa ada kabar lain kecuali kabar-kabar buruk?" tanya Marvis seraya melepas kacamata kemudian ia meletakkannya di dalam laci meja.
"Kami menemukan paus orca."
Lagi-lagi Marvis sukses dibuat terkejut. Masalahnya lima tahun lalu paus orca dikatakan sebagai hewan yang dilindungi dan dua tahun setelahnya paus termasuk populasi hewan yang akan punah. Jadi, wajar saja bila Marvis kaget bukan main.
"Mayat paus orca," ralat Ellis sambil nyengir kuda.
Marvis memutar bola mata kesal, ia menunjuk wanita berpakaian formal itu dengan pulpen. "Itu bukan kabar baik," ujarnya masih menahan sebal.
Ellis tertawa geli melihat wajah dongkol milik sahabatnya. Kemudian ekspresi serius wanita itu kembali terlihat. "Jadi, apa yang harus kita lakukan? Pengambilan sampah dalam seminggu ini sama sekali tidak membuat perubahan."
Hening.
"Marvis, kita masih memiliki kesempatan, kan?" Ellis kembali bertanya dengan ragu.
"Lambat laun Bumi akan kehilangan laut dan nasib kita akan sama seperti ikan-ikan itu." Marvis menatap Ellis dengan sorotan sendu. "Jawabannya: tidak."
END.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top