Bab 2

"Hey, bisa tolong aku?" Malissa mencoba lagi kepada seorang wanita muda yang berjalan dengan bakul di kepalanya, namun wanita itu justru memalingkan wajah dan pergi tanpa menjawab.

Sadar bahwa ia berada di tempat yang berbeda-di waktu yang berbeda- Malissa merasa cemas. "Aku harus kembali ... Aku harus pulang. Pekerjaanku belum selesai, aku juga belum menerima upah," bisiknya pada diri sendiri, meski ia tahu tak ada yang mendengarnya.

Malissa berdiri terpaku, meresapi kenyataan yang baru saja ia temui. Pasir di bawah kakinya terasa lebih kasar, dan angin yang bertiup membawa aroma laut yang jauh lebih kuat dari yang biasa ia hirup di pelabuhan. Ia memandang ke sekitar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tapi semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung.

Apa ini mimpi? Apa ini surga? Di sini tidak seharusnya ada pantai. Apa setelah jatuh ke laut, aku hanyut ke pulau ini?

Malissa sempat berpikir bahwa situasinya mungkin bisa terjadi karena dia hanyut terbawa ombak. Mungkin saja dia terdampar di pulau yang tak dia kenal atau ke suatu negara tetangga yang tak jauh dari negaranya. Tapi pada kenyataannya, tempat ini berbeda. Mulai dari pakaian hingga orang-orangnya.

Bunyi suara dari perut menyadarkan Malissa bahwa ini bukan mimpi. Dia memang belum makan sama sekali. Apalagi terik matahari membuat tenggorokannya terasa kering. Apa lebih baik dia mencoba melihat-lihat sekitar? Siapa tahu ada yang bisa memberinya bantuan.

Dari tempatnya berdiri, sebuah desa kecil tampak terbentang, rumah-rumahnya tersebar tak beraturan di sepanjang garis pantai. Pohon-pohon kelapa melambai-lambai malas di bawah terik matahari, seolah menyambut kehadirannya di dunia yang tidak dikenalnya. Malissa menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat.

"Sebenernya di mana ini?" bisiknya pada dirinya sendiri, meski ia tahu tidak ada yang akan menjawab pertanyaannya. Dengan langkah ragu, ia mulai berjalan menuju desa itu. Setiap langkah terasa berat, seakan ada sesuatu yang menghalanginya untuk maju. Setiap orang yang ditemuinya memandangnya dengan tatapan aneh, seolah-olah ia adalah makhluk dari dunia lain. Dan mungkin, memang itulah dirinya sekarang.

Malissa mencoba menyapa seorang wanita tua yang sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Namun, begitu wanita itu melihatnya, ia langsung memalingkan wajah dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan keras. Malissa terdiam, merasa semakin terasing.

Sebenernya orang-orang kenapa, sih? batin Malissa yang ingin sekali menangis. Tempat ini sangat berbeda dengan tempat asalnya. Biasanya orang yang menyapa atau meminta bantuan akan ditanggapi dengan ramah, tapi tempat ini sepertinya lebih individualis. Atau mereka merasa terancam dengan kehadiran Malissa?

"Permisi…" panggil Malissa dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Namun, tidak ada yang menjawab. Desa ini, meski terlihat ramai, tampak sunyi dari kehangatan manusia. Setiap orang yang ia temui hanya menatapnya sekilas, lalu berlalu tanpa sepatah kata pun. Malissa merasa semakin kecil, terjebak dalam dunia yang tidak mengenalnya, dan ia pun tidak mengenal dunia ini.

"Tolong, saya tersesat," katanya sambil melangkah lebih cepat, berharap ada seseorang yang mau membantunya.

Akhirnya, ia tiba di sebuah alun-alun kecil di tengah desa. Di sana, ada sebuah pasar yang menjual berbagai macam barang. Pakaian, makanan, dan barang-barang lainnya terpajang di atas meja kayu. Para pedagang berteriak menawarkan dagangan mereka. Di tengah keramaian pasar, Malissa baru menyadari kalau tempat ini mengusung konsep zaman kerajaan. Buktinya, banyak orang yang mengenakan gaun dan masih menjunjung sistem perbedaan kasta.

"Silakan, Nyonya Baroness, mampir dilihat-lihat dulu."

"Dasar kaum jelata! Kau tak lihat aku bangsawan?"

"Apa kau sudah dengar? Nyonya Duchess dilamar oleh seorang Count! Bukankah seharusnya pria itu sadar diri dengan statusnya?"

"Selamat siang Marquess! Anda masih saja tampan seperti biasa."

Dan masih banyak lagi percakapan di sekitar Malissa yang terdengar. Konsep kerajaan begini pernah dia baca di salah satu komik online. Bukannya Malissa pecinta Manhwa, dia hanya pernah membacanya sekali untuk menghibur diri. Sebab dia juga tak punya waktu lama karena sibuk bekerja.

Tempat ini benar-benar berbeda. Apakah aku sedang berhalusinasi sekarang?

Malissa merasa dadanya semakin sesak ketika percakapan di sekitarnya semakin jelas terdengar. Orang-orang berbicara dengan aksen yang asing baginya, menggunakan kata-kata dan gelar yang hanya pernah ia temui di buku atau komik. Namun, kenyataan di hadapannya ini terasa sangat nyata.

"Tolong, saya tersesat," katanya sekali lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras dan putus asa. Namun, tak ada yang memperhatikannya. Para pedagang sibuk melayani pelanggan mereka, dan para bangsawan lewat begitu saja, tak memedulikan kehadirannya. Seolah ia hanyalah bayangan yang tak kasatmata di tengah kerumunan.

Malissa melangkah lebih cepat, berharap menemukan seseorang yang mau membantunya. Ia terus menatap ke kanan dan kiri, mencari sosok yang terlihat ramah atau setidaknya bersedia mendengarkan. Namun, tatapan curiga dan penolakan halus justru menjadi balasan atas setiap usaha yang ia lakukan. Pakaian kotanya yang berbeda membuatnya tampak aneh dan mencolok di antara penduduk setempat.

Akhirnya, langkahnya terhenti di depan sebuah tenda besar yang tampak lebih megah dibandingkan yang lain. Di tenda tersebut, berbagai macam perhiasan dan kain sutra yang berkilauan dipamerkan. Seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun berdiri di belakang meja, dengan pakaian yang anggun dan riasan wajah yang sempurna.

"Tolong, saya tersesat," ucap Malissa lagi, kali ini dengan nada memohon. Ia berharap wanita ini, dengan penampilannya yang berwibawa, mau mendengarkannya.

Wanita itu menatap Malissa dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu alisnya terangkat sedikit. "Tersesat, katamu? Dari mana kau berasal, dan mengapa pakaianmu begitu aneh?" tanyanya dengan nada penuh selidik.

"Saya... saya berasal dari tempat yang jauh," jawab Malissa gugup. Ia tahu bahwa penjelasan yang tepat hampir mustahil diberikan. "Saya tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini. Tiba-tiba saja saya terbangun di pantai dan—"

Wanita itu mengangkat tangannya, menghentikan penjelasan Malissa. "Pantai? Jadi kau seorang nelayan yang tersesat, atau kau datang dari negeri seberang?" tanyanya dengan nada lebih keras.

"Sa--saya bukan nelayan, dan saya... saya tidak tahu bagaimana menjelaskan ini," ujar Malissa, suaranya gemetar. Ingin menangis rasanya karena dia tak tahu bagaimana memposisikan identitasnya di tempat asing ini. "Saya hanya ingin tahu di mana saya sekarang, dan bagaimana cara saya bisa kembali."

Wanita itu menatapnya tajam sejenak, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Kau berada di Kerajaan Astria, anak muda. Tempat ini adalah pusat kekuasaan yang dipimpin oleh Raja Xeleza Alvorin Thaloria dan Ratu Damaika Ceressa Thalorian. Namun, jika kau berasal dari tempat yang jauh, sebaiknya kau berhati-hati. Orang asing seringkali dipandang dengan curiga di sini, terlebih jika mereka tak tahu adat dan aturan."

Mendengar kata "Kerajaan Astria," hati Malissa berdebar keras. Ia belum pernah mendengar nama tempat ini sebelumnya, bahkan dalam sejarah yang ia pelajari di sekolah atau yang ia baca di buku. Ini jelas bukan dunia yang ia kenal.

"Terima kasih atas penjelasannya," ucap Malissa pelan, mencoba menenangkan dirinya. "Tapi, bisakah Anda memberitahu saya di mana saya bisa menemukan seseorang yang mungkin bisa membantu saya pulang?"

Wanita itu terdiam sejenak, lalu menatap ke arah seorang pria muda yang berdiri tak jauh dari mereka, mengenakan pakaian sederhana tapi rapi. "Lihatlah ke sana. Itulah Ethan, pelayan dari keluarga Duke Vaelith Dravenmoor, salah satu Duke yang berpengaruh di sini. Mungkin dia bisa membantumu menemukan jalan keluar, atau setidaknya memberikan informasi lebih lanjut tentang tempat ini."

Malissa mengikuti arah pandang wanita itu dan mengangguk. "Terima kasih banyak. Saya akan mencoba berbicara dengannya."

Dengan langkah cepat, Malissa mendekati Ethan yang sedang mengatur barang-barang di sebuah meja kayu. Pria muda itu tampak sibuk, namun ketika Malissa mendekat, ia segera menyadari kehadirannya.

"Maaf, saya perlu bantuan," kata Malissa dengan hati-hati. "Apakah Anda Ethan?"

Ethan menoleh dan mengangguk. "Iya, saya Ethan. Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanyanya dengan suara yang tenang dan ramah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top