Spesialis Jaga Malam (part 2)
Sebenarnya nggak heran kalau semua tempat itu ada penunggunya, termasuk rumah sakit. Dan sudah wajar jika tempat ini selalu diselipi cerita mistis dari mulut ke mulut. Bahkan ada juga yang mengalaminya sendiri.
Hari itu kamis malam jumat, bertepatan hari pertama aku jaga malam di ruang perawatan penyakit dalam perempuan. Sialnya, mahasiswa ners yang jaga cuma aku dan satu cewek dari kampus lain. Di sini kadang sebal dengan pembimbing ruangan. Meski jaga malam itu kami lebih santai daripada jaga pagi, menurutku sebaiknya jadwal jaga malam diisi dua orang. Tapi hal itu tidak memungkinkan sih, apalagi satu kelompok terdiri empat orang. Otomatis jaga pagi dua orang, jaga siang satu orang, dan jaga malam satu orang.
Setelah menyapa perawat, aku disuruh menaruh tas di ruang mahasiswa yang letaknya di belakang sendiri berhadapan dengan kamar enam dan berdampingan dengan ruang pantry. Entah ini cuma perasaanku saja atau bukan, suasana di ruang mahasiswa begitu tidak mengenakkan. Aku mencium aroma amis yang melewati kedua lubang hidungku. Namun sedetik kemudian berganti bau yang begitu wangi.
Tiba-tiba aku teringat dengan temanku yang mengatakan bahwa ada kursi roda jalan sendiri. Seketika itu pula bulu kudukku meremang. Cepat-cepat aku keluar ruangan itu menuju nurse station untuk menyiapkan injeksi malam.
"Dek,tolong siapin injeksi malam ya!" perintah perawat yang bertubuh kurus yang bernama Sarah.
Aku mengangguk dan mengajak siswa lain. Kami berdua pun menyiapkan injeksi bersama. Sesekali kami bercerita tentang desas-desus yang datang ke telinga tentang kursi roda itu. Cewek yang bernama Sintya itu membenarkan sambil sesekali dia merinding takut.
"Semoga aja nggak ada apa-apa ya, mana aku lagi halangan pula," kata Sintya dengan muka masam.
Aku mengangguk. "Iya, lagian kamu tahu nggak pas di ruang mahasiswa hawanya kayak aneh gitu."
"Ih, masa?"
"Iya. Kamu nyium aroma anyir nggak sih di sana?"
Kedua mata Sintya membulat. Dia menarik kursi yang di dudukinya semakin dekat padaku. Aku tertawa melihat tingkahnya meski dalam hati aku pun sama.
"Udah selesai. Untung injeksinya cuma sepuluh pasien," kataku. "Udah jam sepuluh nih. Ayo injeksi."
Kami berdua berpencar. Namanya anak ners harus mandiri melakukan tindakan. Alhasil kami membagi injeksi itu menjadi dua. Sintya kebagian kamar satu sampai tiga, sedangkan aku kamar empat sampai enam.
Dengan hati-hati aku memberikan satu persatu suntikan kepada pasienku yang kebanyakan menderita diabetes mellitus. Sesekali mereka menanyakan kapan pulang atau pun melaporkan keluhan mereka. Sebagai ners, kita harus pintar-pintar menjawab pertanyaan pasien tersebut terutama saat pemberian suntikan.
Jangan sampai kita menjadi perawat yang sekadar menyuntik tanpa memberi informasi. Itu salah besar. Pasien jaman now lebih cerdik daripada dulu, ditambah adanya media sosial yang bisa saja menjatuhkan profesi yang mulia ini.
Injeksiku tersisa dua untuk pasien di kamar enam. Sejenak kulirik ruang mahasiswa yang lampunya cukup suram bagiku. Inginku memanggil Sintya namun dia pasti sedang menyuntik ke pasien lain. Sendirian tapi aku takut bau yang kucium tadi bakal tercium lagi.
"Bismillah," gumamku melangkah masuk ke kamar enam tanpa melihat ruang mahasiswa di sisi kiriku.
Kumasukkan suntikan itu kepada pasien sambil menanyakan keluhannya.
"Saya nggak bisa tidur, Mbak," ucap pasien yang bernama Ibu Sani.
"Kenapa, Bu? AC-nya kurang dingin kah?" tanyaku sambil membenarkan selang infus yang sedikit macet.
"Sudah cukup. Cuma nggak bisa tidur aja, Mbak."
"Obatnya sudah diminum? Ibu kan dapet obat tidur tadi. Nanti kalau nggak tidur tensinya naik lagi kayak kemaren lho," kataku.
"Sudah, Mbak. Tapi kok nggak ngefek ya?"
"Obat tablet itu bekerja sekitar lima belas menit, Bu, baru bisa ngefek. Ibu coba pejamkan mata, rileks aja, nggak usah mikir apapun. Nanti pasti tidur sendiri," jelasku.
Bu Sani mengangguk. "Iya, Mbak, makasih. Oh iya, kemaren juga makasih ya."
Sejenak aku terdiam. "Makasih untuk apa, Ibu?"
"Kemaren saya liat, Mbak ganti botol infus saya. Suami saya sih tidur mulu," gerutu Bu Sani.
Aku terdiam sejenak. Perasaan kemaren aku tidak jaga malam. Aku pun tertawa lalu berkata, "Ah, Ibu. Kemaren saya jaga siang, Bu."
"Masa? Kemaren jam dua pagi, saya liat Mbak Rizky kok. Malah pas saya bilang makasih, Mbak nya nggak menyahuti saya."
Jleb!
Mampus! Mampus!
"Oh... I-iya, Bu. Mungkin saya yang ngantuk kali ya. Hehe, ya udah, Bu Sani istirahat ya. Besok pagi saya tensi," pamitku lalu cepat-cepat keluar kamar enam.
Refleks, kedua mataku menatap lurus ruang mahasiswa yang hanya dibatasi dinding kaca tembus pandang. Entah itu nyata atau tidak, aku melihat seseorang sedang duduk di pojon ruangan sambil memeluk kedua lututnya.
Seketika tubuhku merinding. Kakiku rasanya tidak bisa bergerak sama sekali. Keringat dingin pun menjalari tubuh serta aroma anyir itu kembali menggelitik hidung membuat otakku memaksa sel-sel dalam tubuhku untuk bergerak.
Ah, tidak bisa!
Aku terhipnotis oleh penampakan di depanku. Perasaan antara takut dan terkejut menjadi satu. Tidak. Tidak. Aku tidak ingin praktek malam ini bakal membuatku trauma. Kupejamkan kedua mata membaca doa apapun yang bisa kubaca.
"Riz!"
"Argh!"
Aku terkejut bukan main sampai bak instrumen yang kubawa hampir terjatuh dari tanganku. Kulihat Sintya menatapku heran.
"Ada apa sih, kok pucet gitu?"
Aku menggeleng tak bisa berkata apa-apa. Sintya menatap ruang mahasiswa lalu menarik kedua tanganku seolah tahu apa yang kualami. Sejenak dia menoleh padaku dengan alis berkerut. Pasti dia ingin mengatakan bahwa tanganku sedingin es batu.
Ah, pengalaman yang tidak mengenakkan.
####
Malam berikutnya, aku datang dan cukup senang bahwa hari ini ada dua mahasiswa lagi. Salah satunya adik kelasku yang masih S1. Kejadian kemarin malam sebenarnya membuatku malas untuk jaga lagi. Namun apa boleh buat, namanya mahasiswa profesi harus tunduk sama aturan. Apalagi kalau ketahuan bolos maka akan berurusan dengan dosen. Dampaknya mau tidak mau ya ke IPK.
Memasuki ruangan itu, kepalaku refleks menoleh pada kamar pertama di mana ada seseorang yang sedang tidur setengah duduk alias posisi semi fowler. Tapi, orang itu hanya diam seperti patung. Dia memakai pakaian serba putih. Aku pun tidak memikirkan apapun, mungkin dia sedang melamun.
Kami pun operan jaga dari jaga siang ke jaga malam. Aku mendengarkan dengan seksama saat Mbak Reni membacakan hasil kerja bersama timnya.
"Kamar satu bed A, atas nama Ibu Lastri tadi jam delapan meninggal ya. Aku belum sempet beresin tempat tidurnya."
Bu Lastri?
Bed A?
Aku menoleh ke lorong di sisi kiriku melihat pintu kamar pertama. Bukannya aku tadi melihat ada orang duduk di sana? Lantas siapa?
"Kamu kenapa?" tanya Sintya.
"Enggak apa-apa. Cuma tadi aku liat ada orang duduk di bed A."
Sintya mendecak. "Kamu ini. Dari kemaren horor terus, ih!"
"Serius. Aku tadi liat ada orang di sana."
"Kamar itu nggak ada pasiennya selain almarhum Bu Lastri, kampret," rutuk Sintya.
Refleks kedua mataku membulat. Tubuhku membeku seketika. Ya, ampun! Kenapa sih dari kemaren malam aku mengalami hal menyeramkan?
"Pokoknya nanti aku tindakan sama kamu terus ya, Sin," pintaku dengan muka melas.
Kedua mata gadis itu memutar. "Iya-iya."
Sebenarnya tidak semua ruangan memiliki hal mistis seperti ini. Terkadang itu semua datang dari pikiran negatif kita. Ya, namanya juga mahasiswa, capek pikiran dan capek fisik. Bisa jadi kan mahasiswa sepertiku tiba-tiba berhalusinasi melihat penampakan seperti itu?
Tapi serius, selama jaga malam di rumah sakit. Shift ini selalu menjadi momok yang diceritakan anak-anak ketika ketemu di kantin. Meski takut tapi ketika mendengarnya menjadi lebih seru.
Kuharap, kedepannya aku menjadi lebih pemberani menghadapi hal mistis seperti itu. Lagipula, kita semua kan punya agama dan Tuhan yang melindungi. Kenapa mesti takut?
To be continued
Ya ampun, lapak ini berdebu ya wkwkwkwk semoga suka ya sama cerita ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top