Spesialis Jaga Malam (part 1)
Selama ners, aku termasuk anak yang selalu mendapat urutan pertama jaga malam selama dua hari. Bukan berarti jadwal jagaku jadwal neraka terus. Kadang MMLSSP kadang MMLPPSS. Kalau MMSSPPL matilah aku, bukan bermaksud alay. Jadwal neraka biasanya berbarengan dengan seminar besar. Sialnya, jadwalku tepat saat jaga malam kedua, yang artinya hari ketiga aku libur. Seminar besar diadakan sampai sekitar pukul 12 siang, otomatis liburku terpotong, kan? Libur macam apa ini?
Sebenarnya jaga malam itu enak karena kita cuma injeksi khusus pukul 10 malam, observasi tanda vital pukul lima pagi, bagi obat pukul enam, ganti cairan infus, dan membagikan air panas. Tidak terlalu banyak pekerjaan dibanding jaga pagi atau jaga siang. Kalau jaga malam, kita bisa dengan leluasa mengerjakan tugas kita.
Malam ini aku harus berisitirahat dengan tenang, damai, dan tepat waktu sebelum seminar jam 8 besok. Semua tugas sudah selesai, termasuk menyiapkan injeksi pukul sepuluh, mencatat infus pasien yang habis, dan menyiapkan obat pukul enam pagi. Dengan sok akrab, aku pun mengajukan diri ke Mas Arga--perawat ganteng--di ruang bedah saraf. Dia terlihat masih menulis rekam medis pasien. Sedangkan Mbak Astrid masih ke ruang Stroke ICU entah ngapain.
"Mas, aku injeksi sekarang ya. Udah jam sepuluh," kataku.
Mas Arga mendongak lalu tersenyum menampakkan gingsulnya. "Boleh, minta tolong ya, Dek."
Kuanggukan kepala lalu berjalan ke ruang obat. Kuambil bak instrument kecil yang sudah berisi beberapa macam spuit yang telah diberi label nama pasien dan obatnya. Tak lupa juga aku mengambil handscoon dan beberapa bungkus alkohol swab. Kulangkahkan kaki menyusuri lorong kamar satu sampai tujuh untuk memberikan injeksi sesuai nama pasien. Tidak enaknya injeksi malam-malam adalah kadang aku merasa nggak enak hati karena posisi pasien sudah terlelap. Kalau dibangunin kasihan, kalau nggak dibangunin nanti melanggar etik. Dilema, kan? Akhirnya terpaksa dengan sentuhan lembut dan suara pelan kubangunkan mereka sambil meminta maaf karena menganggu jam istirahat.
"Pak ... permisi," kataku saat mencoba membangunkan pasien kamar 7c.
Cukup lama karena pasien berusia 65 tahun itu benar-benar sudah terlelap tidur. Lalu kucoba membangunkan istrinya yang menggelar tikar di sisi kanan kasur pasien.
"Bu," panggilku dengan suara lirih sambil menyentuh tangan kanannya.
Alhamdulillah, si Ibu peka. Beliau bangun dengan sedikit terkejut melihatku. Kedua matanya memerah lalu mengerjap beberapa kali.
"Ma'af, menganggu. Saya mau injeksi bapak obat antibiotik ceftriaxone."
"Oh, iya-iya," kata si ibu berdiri membangunkan suaminya. "Pak... Susternya mau nyuntik obat."
Si bapak sudah bangun. Kembali aku mengatakan maaf bahwa aku menganggu jam tidurnya. Dengan perlahan, kumasukkan obat yang berisi ceftriaxone secara perlahan karena antibiotik ini jika masuk ke pembuluh darah biasanya menimbulkan rasa nyeri. Kenapa? Karena konsentrasi antibiotik itu cukup pekat. Jadi, jika kau melarutkannya hanya 10cc pasti masih menimbulkan rasa tidak nyaman. Sehingga, kalau aku sedang oplos obat injeksi terutama antibiotik, akan kuberikan sampai 20cc.
Setelah selesai memberikan injeksi terakhir. Aku kembali ke ruang perawat. Mas Arga dan Mbak Astrid saling menunduk memainkan hp masing-masing. Mas Arga mendongak sambil tersenyum kepadaku.
"Nanti kamu tidurnya sama Mbak Astrid di sana. Nanti aku tidur di ruang karu," kata Mas Arga menunjuk ruang ganti perawat di ujung ruangan ini. Sedangkan ruang kepala ruangan(karu) ada di sisi kanan ruang ganti.
Aku hanya menganggukkan kepala. Dalam hati aku mencibir, sudah tahu lah jika aku tidur sama Mbak Astrid. Mana mungkin aku tidur sama cowok. Bisa digantung di tengah lapangan sama kampus.
####
Bukan mahasiswa namanya jika dibolehin tidur sebelum jam 12. Tapi ini tergantung dari kebijakan pribadi perawat itu ya. Aku tidak ingin menjudge siapapun. Di ruang bedah saraf, kebetulan pukul 11.30 sudah boleh tidur. Kubaringkan tubuhku beralaskan selimut tebal milik perawat, bantal dari tas, selimut dari jaket, serta pakai masker biar nggak mangap.
Tidur sih tidur. Tapi, nih ya, ada ... aja yang membuatku nggak bisa tidur nyenyak. Berulang kali, pasien membangunkan perawat karena infus macet atau infus habis. Padahal aku sudah mengganti semuanya. Mana Mbak Astrid nggak bisa bangun lagi. Dia malah ngorok. Alhasil, aku yang maju membenarkan infus macet tersebut.
Kulihat Mas Arga juga ngorok dari ruang karu. Kuelus dada, ini yang kerja siapa yang praktek siapa. Bukannya nggak ikhlas sih, cuma apa ya kadang mereka kebangetan nggak mau bangun dan menyuruh anak ners untuk menyelesaikan masalah di tengah malam seperti ini. Belum lagi jika ada telepon dari UGD karena ada pasien baru yang akan masuk. Kitalah yang menyiapkan kamar pasien sendirian dan mengambil bantal serta selimut di lemari yang letaknya di ruang laundry.
Jika ada pasien baru masuk, aku langsung membangunkan mereka. Bukan tugasku untuk tanda tangan penyerahan pasien dari UGD ke ruangan. Tapi, para perawat jaga malam pasti menyuruh mahasiswa praktek untuk observasi dan anamnese. Sedangkan mereka, setelah menata file medis pasien, mereka melanjutkan tidurnya.
Pukul 5.30 aku harus bangun menyiapkan air panas di dapur yang letaknya dekat dengan laundry. Kemudian solat subuh. Kulihat wajahku di cermin bener-bener suram seperti hantu. Kantung mataku kelihatan besar, lingkaran hitam mirip panda juga kentara, auraku juga tidak secerah seperti biasanya. Sambil menahan kantuk, kucuci muka dengan sabun kemudian gosok gigi. Kurasa aku harus pakai lipstik, alis, dan bedak biar nggak keliatan merana.
Sambil menguap dan menahan pusing karena tidur ayam, kuambil alat tensimeter beserta stetoskop termometer, oximetri, dan buku catatan. Dari bed satu ke bed lain, kuobservasi tensi mereka sambil menanyakan keluhan. Setelah selesai, kulaporkan kepada Mbak Astrid sekaligus melaporkan ada pasien yang demam. Wanita cantik tapi cerewet itu menyuruhku mengambil paracetamol tablet untuk diberikan kepada pasien.
"Jangan lupa beritahu pasiennya buat banyak minum, ya. Keluarganya juga suruh kasih kompres ke leher, ketiak, lipatan paha, dan dahi."
Aku mengangguk. Kulakukan perintah Mbak Astrid.
"Sekalian bagi obat jam enam ya, Dek!" perintah Mbak Astrid. "Terus, bapak kamar 4a tolong ambil darah vena ya sekalian EKG."
"Iya, mbak."
"Oh iya, untuk keluarga bapak 1a tolong mintakan fotocopy bpjs ya. Soalnya habis."
"Iya mbak."
Kenapa nggak dia aja? Situ kan kerja bukan cuma asal nyuruh.
####
Seminar besar tiba. Aku duduk memojokkan diri sambil menaruh kepala di atas meja mencoba tidur. Kepalaku pusing seperti dipukul palu. Kedua mataku rasanya pengen merem aja. Bahkan meskipun makan permen kopiko lima bungkus rasa kantuk itu masih ada.
Aku tidak mempedulikan anak-anak yang sibuk menata kursi, meja, memasang proyektor ataupun sedang check sound. Kubilang pada mereka bahwa dalam satu hari kemarin aku bekerja di dua tempat.
"Lah kamu masih kerja?" tanya Candra--teman satu angkatan--yang praktek di ruang penyakit dalam.
Aku mengangguk malas. "Kalau di ruangan jaga malam. Otomatis aku kerja sore."
"Ini kamu libur kerja?"
Aku mengangguk. "Besok kerja lagi. Kalau kayak gini jangan salahkan aku agak males ngerjakan tugas."
Candra menepuk punggungku. "Semangat. Kamu kecil-kecil hebat bisa bagi waktu kayak gitu, Riz. Eh tapi jaga malam di sana nggak ada hal aneh, kan?"
Aku bangun menatap Candra sejenak. "Iya. Kenapa?"
"Apa? Ceritain dong, nggak ketemu kembarannya Nia?"
Aku tertawa. Rasa kantukku tiba-tiba hilang. "Ngawur, jangan sampe lah. Cuma nih ya, pas aku ke ruang laundry serasa ada yang merhatiin gitu. Padahal sepi, semua orang tidur."
"Kamu diajak Mbak perawatnya tidur?"
"Iya, tapi selalu kebangun karena pasien."
"Ih, nggak apa-apa daripada kebangun karena suara kursi roda jalan sendiri."
Candra tertawa melihat ekspresiku yang menatap ngeri padanya. Kursi roda jalan sendiri? Bagaimana bisa?
"Emang ada yang kayak gitu?"
Cowok itu mengangguk. "Ada, kamis malam jumat pula. Untung bukan aku yang jaga, tapi anak dari kampus lain. Dia bilang dia udah merasa nggak enak pas jaga di ruang penyakit dalam cewek. Eh, nggak tahunya maghrib ada pasien meninggal. Terus malamnya ada kursi roda jalan sendiri."
"Ih, kok, serem sih!" kupeluk diriku sendiri merasa merinding. "Eh, tapi itu ruanganku minggu depan buat praktek dodol!"
Candra tertawa terbahak-bahak melihat mukaku yang sudah pucat pasi. Aku tidak bisa membayangkan jika ada hal-hal aneh terjadi pada saat aku jaga malam sendirian. Oh tidak! Aku harus bagaimana?
Mampus aku, batinku lesu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top