Jerit Malam!
Brrr...
Aku tidak ingat ini jam berapa yang pasti mungkin sudah diatas pukul 10 malam mengingat lingkungan sekitar outbound sangat sepi ditambah udara yaang begitu dingin. Kami dikumpulkan di tengah lapangan dengan menggunakan jaket kami dan masih mengenakan baju olahraga yang sama dengan api unggun yang menari-nari di tengah-tengah lapangan. Bisa kau bayangkan betapa baunya badan kami setelah merayap tadi siang. Lagi pula bagiku percuma meski memakai jaket tebal, Tapi aku tetap saja kedinginan.
Malam ini kami akan melakukan uji nyali yang terdiri dari 3-4 orang secara acak. Setelah Bang Sat berteriak 'mulai' untuk mencari kelompok secara bebas dengan cepat aku menggapai tangan anak lelaki tinggi kurus dari dep 1 ketika ia berdiri tak jauh dariku. Dia bernama Ghaffar, kalo diingat penampilannya itu mirip bapak-bapak beranak satu. Tingginya saja 177cm, kurus seperti keripik pisang, berkacamata, dan mukanya sedikit boros :v.
"Aku sama kamu ya, aku takut, " kataku jujur sambil menarik kaus olahraga belakangnya.
"Iya, penakut amat sih, nggak ada apa-apa juga, " kata Ghaffar sambil berusaha melepas tanganku yang memegang kausnya, "kan kata Bang Angga nggak boleh pake parfum, setan nggak bakal datang. "
"Bau kecut kan sama kayak bau parfum, " kataku tak mau kalah.
Aku hanya merengut tanpa melepaskan genggaman tanganku di kausnya. Ghaffaar menoleh ke belakang dan melihat ada dua anak perempuan di belakangku.
"Namanya siapa? " tanyanya
"Aku rizky, " kataku
"Aku Indri," kata anak di belakangku
"Aku Sasa," kata anak di belakang Indri.
Ghaffar mengangguk,"aku ghaffar. Diingat-ingat ya nama temen yang lain, jangan sampe lupa dan kita jumlahnya 4 orang. "
"Riz, aku di depan dong kamu dibelakang, " kata Indri, "aku takut. "
Aku menggeleng keras, "nggak mau, maaf ya, aku juga takut, ini aja mau pingsan. "
"Gimana kalo kita gantian aja yang di belakang?" usul Sasa
"Bawel amat jadi cewek, " kata Ghaffaar, "nggak ada apa-apa pokoknya jangan pikiran kosong. "
"Ya iyalah kamu kan cowok, " dengus Sasa, "kemaren ada yang kesurupan nggak? "
Kami bertiga menggeleng.
"Aku hampir kemasukan tapi nggak jadi, malah anak sebelahku yang kena, " kataku.
"Oh.. Bagus deh, kalo belum kemasukan setidaknya kalian belum bolong, " kata Sasa
Bolong disini maksudnya jika seseorang sudah sekali kemasukan / kesurupan pasti lebih mudah untuk kemasukan setan lagi.
"Tes tes, " suara Bang Angga mencoba speaker, "suara kedengaran sampe belakang nggak? "
"Siap dengar? "
"Ada yang capek? "
"Siap tidak! "
Padahal aslinya capek
"Ada yang ngantuk? "
"Siap tidak! "
Padahal mata serasa tinggal setengah watt.
"Ada yang dongkol? "
"Siap tidak! "
Padahal rasanya pengen nampol panitia pps dengan sandal udah nguras batin dan fisik.
"Bagus, sekarang pukul 11 malam kita akan melalukan uji nyali sekitar 2 kilometer yang terdiri tiga atau empat orang, " kata Bang Angga, "ada yang belum dapat kelompok? "
"Siap tidak! "
"Bagus, nanti akan ada beberapa pos dimana kalian nanti akan diberi tugas tertentu, " kata Bang Angga, " aturannya kalian harus mengikuti jalur yang sudah panitia buat dengan tali rafia , jangan sekali - kali menerobos jalur itu. Dibelakang tali rafia itu sudah jurang, saya nggak mau tanggung jawab jika terjadi apa-apa dan hapalkan nama teman dan jumlah anggota kalian. "
"Siap! "
"Jangan sampai anggota kelompok kalian berkurang atau bertambah, bila perlu liat wajah anggota kelompok kalian. "
Sontak aku menoleh ke belakang untuk melihat secara detail wajah Indri dan Sasa dengan pencahayaan yang sangat minim. Indri bertubuh tinggi kurus, berambut pendek. Sedangkan Sasa dia juga tinggi namun tidak lebih tinggi dari Indri, dia memiliki hidung mancung dan berambut ikal.
Kemudian Bang Angga pun meniup peluit dimana tanda dari kelompok satu berangkat uji nyali terlebih dahulu. Aku melihat gerombolan kelompok 1 yang terdiri dari satu cowok dua cewek mereka berjalan menuju hutan yang sangat gelap.
Aku menelan ludah, entah mengapa aku membayangkan ini seperti adegan di video petualangan uji nyali melihat hantu di youtube. Aku membayangkan ada mbak kun atau buntelan permen berdiri dengan tenang di balik pohon dengan wajahnya yang menyeramkan. Kejadian kesurupan di kampus saja masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Hingga jam 1 malam kelompokku belum juga maju untuk masuk ke area uji nyali. Aku duduk di atas tanah dengan rumput yang mulai basah karena embun sambil memeluk kedua lututku dengan gigi gemetaran sambil sesekali mengusap kedua tanganku dengan cepat meski api unggun masih Setia menghangatkan kami. Kulihat di belakang kayaknya masih ada sekitar 10 kelompok yang belum maju.
"Kelompok selanjutnya! " teriak Bang Sat
Ghaffaar berdiri sambil menepuk bahuku. Aku yang hampir tertidur gelagapan langsung berdiri diikuti oleh Indri dan sasa. Kami berempat melangkah menjadi satu baris menuju ke hadapan Bang Sat.
"Kamu saya tunjuk sebagai leader nya, " kata Bang Sat kepada Ghaffaar, "itung jumlah anggota kamu dan pastikan anggota kelompokmu tidak berkurang atau bertambah. "
"Siap kak, " kata Ghaffaar
"Siapa nama anggotamu? " tanya Bang sat sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Ehmm... Rizky.... Sasa... Indri, " kata Ghaffaar sambil berusaha mengingat nama anggota kami dengan benar.
Lalu Bang Sat menyalakan lampu senter dari tangan kanannya lalu menyoroti wajah mblendes kami satu-persatu.
"Mana yang namanya Rizky, " katanya membuatku mengacungkan tangan kananku, "Sasa.. Indri... "
Sasa dan Indri pun melakukan hal yang sama.
"Bagus, silakan kalian berangkat nanti akan berhenti di pos pertama. "
Kami semua mengangguk melangkah pelan mulai memasuki hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi serta suara beberapa burung yang saling bersahutan. Ku lihat kanan dan kiri memang terpasang tali rafia. Aku berpikir apakah kami memang berada di atas gunung sehingga Bang Sat memerintah kami agar tidak menerobos tali itu.
Jalan sepanjang hutan ini sedikit menanjak dengan material bebatuan berukuran sedang dan sesekali jalannya cukup becek. Aku menggenggam erat kaus Ghaffaar dengan kedua tanganku dengan erat yang membuatnya sedikit terbatuk.
"Bismillah... Selamet... Selamet... " ucapku
Sedangkan cowok itu terus mengabsen nama kami sambil sesekali ia melihat-lihat sekelilingnya. Lalu Sasa dan Indri membaca surat pendek.
Kresek... Kresek...
Sontak kami berempat berhenti dan menoleh ke kiri dimana ada sesuatu di balik semak belukar itu bergerak tanpa ada angin.
Glek!
"Riz... "
Suara Indri terdengar gemetaran sambil mencengkeram bahuku namun rasanya dia seperti mencekikku dari belakang begitu juga Sasa yang semakin keras membaca surat an-nas.
Kresek... Kresekk....
"Far... Cepetan dong, pos nya masih jauh kah? " tanyaku gemetaran.
Ghaffaar terdiam sejenak lalu dia melanjutkan perjalanan tanpa menjawab pertanyaanku.
"Rizky... Sasa... Indri... "
Dia kembali mengucapkan nama kami bertiga
"Coba itung dong, " kata Ghaffaar, "satu. "
"Dua, " ucapku
"Tiga, " kata Sasa
"Empat, " kata Indri
"Lengkap, " kata Ghaffaar, "tuh bentar lagi kita sampe. "
"Alhamdulillah," kata kami bertiga
Sesampainya di pos pertama kami pun berbaris menghadap lima panitia. Kalo tidak salah,waktu itu ada Kak Selly, Kak Angga (bukan Bang Angga), dan tiga lainnya yang tidak aku kenal.
"Laporan," kata kak Selly dingin sambil menyeroti wajah kami dengan senternya.
"Selamat malam, ijin lapor kami dari kelompok 11 atas nama Ghaffar, Rizky, Sasa, dan Indri siap menerima tugas! " kata Ghaffaar dengan tegas.
"Berapa jumlah kalian? "
"Siap empat! " jawab kami kompak
"Lalu siapa dia? " tanya kak Angga dengan tenang sambil menunjuk anak perempuan yang entah kapan sudah berdiri disamping Indri.
Anak itu berambut hitam sebahu yang dibiarkan terurai sedikit berantakan. Wajahnya ia tundukkan seperti orang malu-malu kucing. Aku, Sasa, Indri saling bertatapan dan tak sadar kami saling berpegangan agar tidak spontan berteriak ketakutan.
"Jumlah kami empat kak, " kataku dengan nada gemetaran, entah kenapa udara dingin di hutan ini sudah terkalahkan dengan hawa panas yang muncul dari sugesti kami bahwa kami ketakutan.
"Coba liat dengan benar, apakah dia teman kalian? " kata kak Selly menatap kami tajam
"Anu... " sasa berusaha bicara, "dia... Bukan teman kami, kak. "
"Ckckck, " kata kak Angga mendecih, "masa sama teman satu angkatan nggak kenal sih dek, apatis kalian! "
"Siap tidak kak! "
Kami merasa bingung, jujur menghapal segitu banyak anak dalam waktu kurang dari seminggu bukanlah hal yang mudah. Kalau mengakui anak itu teman takutnya dia mahasiswa jadi-jadian, kalau tidak mengakui dikira kami apatis.
"Push up lima kali, " perintah Kak Selly
Kami pun akhirnya pasrah dan menuruti perintah kak Selly dan seperti biasa push up lima kali sama dengan sepuluh kali bagiku. Mereka pasti menggunakan hitungan 'turun setengah, naik seperempat, naik satu, turun satu'.
"Ada yang dongkol? " tanyanya ketika kami selesai push up.
"Siap tidak! "
"Sekarang bawa anak itu bersama kalian sampe pos selanjutnya, " kata kak Selly
"Namanya? " tanya Ghaffaar
"Lely, " jawab anak itu.
Aku melihat Lely dari atas ke bawah memastikan bahwa dia benar-benar menginjak tanah dan kusuruh Indri menyentuh Lely untuk memastikan bahwa dia bukan bayangan.
"Aman, " bisik Indri.
"Di pos selanjutnya, kata kuncinya seorang siswa ditemukan meninggal dengan mata melotot lidah menjulur dan diantar dengan kereta merta. Hapalkan dan jangan sampai lupa, " kata kak Selly, "sekarang silakan lanjutkan perjalanan kalian. "
"Siap terima kasih kak. "
Mata melotot, lidah menjulur. Entah mengapa aku sedikit merinding ketika mengucapkannya. Perjalanan menuju pos dua melewati beberapa barisan pohon pisang dan jalurnya sedikit berkelok. Ketika kami belok ke kiri, aku merasakan ada sesuatu yang mengintai kami dengan sorotan mata tajam.
Aku semakin dibuat takut oleh suasana mencengkam ini. Kudengar Indri dan Sasa kembali melafalkan surat-surat pendek. Aku menoleh, memastikan bahwa Lely tidak menghilang dari pandangan kami.
"Ayo hitung, " kata Ghaffaar memecah keheningan, "satu. "
"Dua. "
"Tiga. "
"Empat. "
"Lima. "
"Ghaffaar... Rizky... Sasa... Indri... Lely..., " kata Ghaffaar, "seorang siswa ditemukan meninggal dengan mata melotot lidah menjulur dan diantar kereta merta."
Kresek kresek!
Hihihi , terdengar suara tawa entah darimana membuatku semakin takut dan ingin pingsan.
"Allahuakbar! " teriakku spontan sambil mendorong Ghaffaar untuk melangkah lebih cepat.
Sasa dan Indri pun memelukku dari belakang. Aku tidak tahu bagaimana dengan Lely apakah dia memeluk Sasa atau tidak. Kami sibuk menyelamatkan diri masing-masing untung saja aku masih sadar diri didepanku ada cowok. Jika tak sadar bisa saja aku memeluknya dari belakang, nanti dikiranya modus.
"Itu tadi suaranya panitia, " kata Ghaffaar ketika kami menuruni tanjakan.
"Kok kamu yakin? " ketus Sasa, "kamu sih enak cowok nggak bakal takut, lah kita? Kamu mau gendong kita kalo kita pingsan? "
"Nggak lah, ngrepotin, kan kamu yang pingsan ya aku tinggal aja sampe pos terakhir," kata Ghaffaar enteng.
"Apatis kamu!" dengus Indri
"Udah, disaat gini emang kita bisa egois kok," kataku
"Iya termasuk kamu, daritadi di belakang Ghaffaar terus," kata Sasa membuatku nyengir kuda.
"Aku takut, emang kalian mau gendong aku nanti. "
Aku merengut tak mau jika posisiku ini disingkirkan.
"Lel... " panggil Indri sambil menoleh
"Iya.. "
"Ngomong aja Lel, biar nggak takut, " kata Indri
"Iya, cuma lagi males ngomong aja aku, " kata Lely lesu
"Kenapa? " tanya Sasa
"Masuk angin, " kata Lely
Oalah... Jadi dia berhenti di pos pertama karena sakit. Pantes dia begitu pucat.
Kami pun akhirnya sampai di pos kedua yang letaknya agak naik dari pos pertama. Disana ada tiga panitia sambil menyalakan lilin berwarna merah berukuran sedang yang biasanya digunakan untuk sembahyang para umat khonghucu.
"Laporan dulu," kata Kak Yosep
"Selamat malam, lapor kami dari kelompok 10 atas nama Ghaffaar, Rizky, Sasa, Indri, dan Lely siap menerima tugas. "
"Berapa anggota kalian? "
"Siap lima kak, satu tambahan dari pos pertama, " kata Ghaffaar.
"Ada yang sakit? "
"Siap saya kak, " kata Lely sambil mengacungkan tangan kanannya.
"Kenapa dek? "
"Masuk angin kak. "
"Istirahat sana, nggak usah lanjutin uji nyali nya, " kata kak Yosep, "kak, bawa obat kan? " katanya lagi pada temannya yang bertubuh tinggi kurus mirip Ghaffaar.
"Bawa kok, " kata temannya.
Lely pun balik kanan untuk keluar barisan lalu melangkah menuju teman kak yosep untuk diberi obat.
"Kata kuncinya apa dek? " tanya kak Yosep
"Seorang siswa ditemukan meninggal dengan mata melotot, lidah menjulur dan diantar dengan kereta merta," kata kami kompak.
"Bagus. "
Kemudian kak Yosep pun memberikan salah satu lilin itu kepada Ghaffaar.
"Kamu bawa ini lilin sampe pos terakhir, saya nggak mau tahu bagaimana caranya kalian jaga itu lilin jangan sampe mati. "
"Siap kak. "
Kami pun melangkah menuju pos terakhir. Alhamdulillah, selama perjalanan terakhir ini tidak ada hal yang aneh seperti perjalanan sebelumnya. Ghaffaar memegang lilin itu dengan tangan kirinya dan tangan kanannya digunakan untuk melindungi lilin itu agar tidak mati. Jalan kami pun jadi semakin lambat menuruni hutan ini.
"Hitung dong," kata Ghaffar,"satu."
"Dua."
"Tiga."
"Empat."
"Seorang siswa ditemukan meninggal dengan mata melotot, lidah menjulur diantar dengan kereta merta, " kata Ghaffaar, "kata kunci apa paragraf sih. "
"Bawel, jangan diucapkan lagi dong, " kataku ketus
"Iya tuh, ini udah mau selesai tau, " sahut Indri, "bikin merinding aja. "
"Jam berapa sekarang? " tanyaku
"Setengah tiga pagi, " kata Sasa
"Eh.. Eh... Lilinnya! "Seru Ghaffaar membuat kami sontak mengerubungi cowok itu untuk melindungi api lilin agar tetap hidup.
"Aduh.. Jangan mati, nanti kita dihukum lagi, " kata Sasa dengan nada khawatir.
"Jangan ngomong, mulutmu bisa bikin lilinnya mati, " dengus Ghaffaar
Sasa mengerucutkan mulutnya mirip curut. Aku hanya bisa menahan tawa perkataan Ghaffaar itu bisa dibilang menusuk sanubari paling dalam. Perlahan-lahan api lilin itu sudah stabil kami pun melangkah semakin perlahan agar tidak mati lagi.
Nampak dari jauh samar-samar terlihat dua panitia yang berdiri sambil menaruh beberapa lilin dari kelompok lain. Kami pun mempercepat langkah kami agar perjalanan ini segera berakhir.
"Huaaa.... "
Ghaffaar berteriak
"Lilinnya mati! "
"Kampretto! " seruku, "aduu gimana? Bawa korek nggak? "
"Woi!!! " teriak panitia dari kejauhan
Deg!
"Sini kalian! "
"Mampus kita, " lirih Indri ketakutan
Kami pun akhirnya melangkah cepat dengan lilin yang sudah mati. Aku hanya pasrah dengan hukuman yang akan kami terima nanti.
Sesampainya di depan kedua panitia yang ternyata cowok dan satunya adalah ketua rektor kami. Aku menunduk ketakutan, apakah ketua rektor kami juga marah.
"Laporan dulu, " kata ketua
"Ijin lapor, kami dari kelompok 10 berjumlah empat orang, Ghaffaar, Rizky, Sasa dan Indri siap menerima arahan. "
"Laporan saya terima, " kata ketua, "ada yang sakit? "
"Siap tidak! "
"Jumlahnya tetap? "
"Siap! "
"Bagus," kata ketua, "yang pertama ada yang bisa menjelaskan kenapa kami mengadakan kegiatan jerit malam ini? "
"Siap saya, bu, " kata Sasa sambil mengacungkan tangan kanannya, "kegiatan ini untuk meningkatan rasa keberanian dan kerja sama dalam situasi apapun. "
"Kenapa bisa begitu? "
"Kerja sama untuk mempertahankan lilin tetap hidup, melatih agar tidak saling menang sendiri, " kata Sasa dengan tegas
"Kenapa lilinnya mati jika kalian bekerja sama? "
Glek!
"Kena angin bu, " jawabku spontan
"Kalo kena angin kan bisa kalian lindungi dengan tangan kalian, kalian berempat lho, " kata ketua, "banyak tadi kelompok lain yang cuma bertiga tapi lilinnya tetap hidup. "
Kami menunduk merasa bersalah. Ya memang, membentuk kerja sama dan tidak saling egois itu membutuhkan waktu cukup lama. Karena kadang kepribadian tiap satu orang pun bisa saja tidak cocok dengan kepribadian kita sendiri.
"Kerja sama kami kurang bu, " suara Ghaffaar akhirnya muncul
"Kalo kalian tidak bisa bekerja sama seperti tadi, bagaimana kalian memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan baik? "
"Siap bu. "
"Kalian mau lulus pps ini nggak? "
"Siap mau bu. "
"Mau merubah diri kalian menjadi lebih baik? "
"Siap bu. "
"Mau bekerja sama secara tim setelah pps ini? "
"Siap bu. "
Ketua rektor pun tersenyum dibawah cahaya bulan yang remang-remang.
"Selamat," kata ketua sambil mengulurkan tangan kanannya membuat kami berempat melongo, "kalian lulus pps ini dan selamat menjadi mahasiswa baru. "
Masih melongo tapi kami pun satu-persatu mengalami tangan ketua. Ada rasa bahagia bahwa ini telah berakhir. Suka duka pps ini takkan pernah dilupakan. Nangis bersamaa, dihukum bersama, makan bersama, dan semuanya bersama.
####
Esoknya pukul 8 pagi kami selesai mandi ala kadarnya. Kemudian kami dikumpulkan dilapangan untuk sarapan. Ku dengar bahwa setelah makan kami akan melakukan beberapa permainan outbound dan perang melawan panitia. Beberapa anak sudah berkasak kusuk perang macam apa yang akan kami lakukan nanti.
Kami duduk bersila di lapangan, ku lihat Bang Aris kembali memanggil dep 9 untuk jargon khasnya 'iwil-iwil' membuat beberapa anak tertawa.
"Selamat pagi! " suara Bang Angga melalui sound speaker
"Selamat pagi. "
"Ada yang ngantuk? "
"Siap tidak! "
Kampreto, dasar panitia nggak peka. Kami tidur hanya 2 jam setelah jeritan malam selesai. Aku melihat wajahku saja rasanya menyedihkan dengan kantung mata dan lingkaran hitam mirip buntelan permen.
"Kemarin siapa yang kencing di celana? "
Serentak kami tertawa dan saling mencari-cari siapa yang kencing di celana karena ketakutan.
"Ayo ngaku, kemarin yang kencing di celana siapa? "
Para panitia tertawa lagian mana ada yang mau ngaku bahwa dia kencing di celana karena takut?. Kalo kencing toh itu reflek fisiologis dia juga kan?
"Ini! " Bang Angga mengangkat sebuah palstik putih, "ada seperangkat kutang, CD, dan BH! Ayo ngaku yang merasa barangnya ketinggalan di kamar mandi. "
"Huahahaha... "
Anak-anak pun tertawa sambil sesekali menuduh teman sebelahnya mengatakan bahwa jorok sekali peralatan pribadi bisa tertinggal begitu saja.
"Hadeh... Ada-ada saja kalian, " kata Bang Angga, "kemarin juga ada yang pingsan, baru di pos pertama udah pingsan. Ada yang kencing, ada yang nangis, ada yang lari. Masa gitu aja udah takut. "
"Siap tidak! "
"Tidak, tidak, ngibul kalian! " seru Bang Angga, "setelah makan nanti segera merapat di sisi Utara untuk persiapan permainan perang. "
"Siap kak! "
####
Anak-anak dibagi menjadi dua kelompok besar. Kami diperintah untuk berdiskusi tentang strategi perang melawan panitia. Kami diberi dua lilin yang harus dibawa dan tidak boleh mati sampai garis finish dengan membuat benteng. Ada dua cara, yang pertama anak kaum jenglot alias yang bertubuh pendek membawa lilin dengan risiko dia bisa jatuh dan terinjak-injak. Yang kedua lilin tersebut dibawa oleh kaum jerapah alias anak dengan bertubuh tinggi dengan risiko lilin bisa mati dengan mudah.
"Gini aja, kita bawa korek aja bisa kan? " usul seorang anak perempuan dengan alis tebalnya.
"Yang bawa divariasi saja, tim pertama yang bawa anak pendek, yang kedua anak tinggi, nah nanti kita bikin Benteng dari tangan kita agar lilinnya gak mati. Formasinya kita bentuk lingkaran, yang pendek formasi diluar semakin di dalam semakin tinggi anaknya. Gimana? "
"Boleh tuh, " kataku
Tiba-tiba terdengar bunyi peluit yang menandakan bahwa perang segera mulai. Tim pertama dengan anak pendek yang membawa lilinnya. Dia adalah Ranti dari dep 5. Sedangkan tim kedua adalah Nelly dari dep 7.
Kami pun menyalakan lilin yang sama dengan lilin uji nyali kemarin. Lalu kami membentuk Benteng seperti yang diarahkan anak tadi. Karena aku termasuk kaum jenglot maka aku berada di barisan kedua, aku sengaja ndusel anak-anak agar tidak di barisan terdepan. Kami pun melangkah perlahan-lahan beriringan dengan derap langkah rapi. Namun tiba - tiba...
Pyarrr....
Blasssh.....
"Woi basah woi! " teriak anak perempuan ketika ia terkena plastik yang berisi air.
Pyaaaarrr...
Sial!
Kaum jenglot macam diriku akhirnya kena juga. Aku pun mencoba mendesak anak-anak agar tidak terkena lagi. Namun lemparan plastik itu semakin lama semakin banyak membuat anak-anak ramai mencoba melindungi lilin kami.
"Woi taruh sini, oper oper ke Dinda! " seru anak laki-laki bertubuh kecil kurus yang termasuk kaum jenglot
"Jangan-jangan, Dinda di pinggir nanti lilinnya mati! " seru anak perempuan yang tingginya kayak hulk.
"Bawa korek gak? Ada yang bawa korek! " seru yang lain
Pyaaarrrr...
Blasssh....
Debu-debu di jalanan tempat kami melangkah menuju garis finish membuat kami terbatuk-batuk termasuk aku. Kedua mataku kelilipan kemasukan debu membuatku merem melek sambil megap-megap mencari udara. Debu-debu itu seolah menjadi musuh kedua kami, para panitia memiliki cara licik mereka memerintah kami agar melewati jalur yang tanahnya memiliki pasir coklat yang begitu halus. Aku juga berdesakan dengan anak-anak karena mereka semakin merapatkan Benteng.
"Kampret, kakiku woi, sepatuku! " seruku ketika hampir saja sepatu kananku terlepas.
"Uhuk. Uhuk... " beberapa anak sudah mulai terbatuk-batuk
"Ayo ayo sedikit lagi! " seruku
Pyaarrr
"Aaaaa.... "
Suara anak perempuan melengking diantara Benteng kami yang mulai goyah. Tahu sendiri kan, anak perempuan kalo kena senggol dikit aja teriaknya langsung lebay. Termasuk aku :v
Pyaaarrr....
"Woi mati woi! " teriak Ranti panik ketika api lilin itu mati terkena bola air.
"Kampreto! " seru anak-anak kesal
Akhirnya kami pun kalah namun rasanya sungguh menyenangkan bisa bekerja sama dengan anak-anak satu angkatan. Panitia bilang kami angkatan 19 angkatan elek-elekan, apatis, suka ramai, suka bikin senior marah karena nggak nurut. Tapi dari sinilah akhirnya kami bisa mengenal orang lain, belajar menyingkirkan keegoisan kami dan menumbuhkan rasa saling menghargai perbedaan dan meningkatkan kerja sama kami.
Meski salah kampus... Setidaknya aku memiliki pengalaman yang berbeda dengan kampus lain.
Nb : kampreto, saat aku keliling lingkungan outbond untuk bekunjung di peternakan sapi. Ternyata tempat kami uji nyali itu kebun teh :v dan tali rafia itu tidak ada kurang sama sekali melainkan selokan buatan :v kampreto
Tbc....
Mblendes : raut wajah lelah yg ditandai dg muka kusam mirip ketumpahan oli, penampilan berantakan
Elek-elekan : melakukan perbuatan jelek / tidak menuruti sesuatu yang membuat org lain marah
Kelilipan : iritasi mata kena debu
Ndusel : menyerobot kerumunan orang
Buntelan permen : bungkusan permen, kau pasti tahu kan hantu yang bentuknya mirip bungkusan permen sugus? Aku tidak ingin menyebutnya disini :v
Selamet : selamat (selamat sampai tujuan)
Bolong : lubang
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top