chapter 5: the number you are trying to reach is calling the wrong number
Aku dan Mama sedang asyik membaca buku, ketika ponsel Mama tiba-tiba berdering. Dari ekor mataku, aku bisa melihat Mama menutup buku dan mengangkat panggilan tersebut. Setelah berbincang-bincang sebentar, Mama mengangguk-angguk kemudian mengakhiri panggilan.
"Kenapa, Ma?" tanyaku.
Mama tersenyum tipis. "Mama harus ngerjain sesuatu sekarang--mendadak dan penting banget. Harus sudah selesai besok. Maaf ya, membacanya kita lanjutin besok. Gimana?"
Aku balas tersenyum, tak kalah tipisnya. "Iya, enggak apa-apa, kok. Mama duluan aja. Aku masih mau baca di sini."
"Oke," balas Mama. Ia kemudian bangkit dari duduknya lalu menaiki tangga. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara pintu yang dibuka, kemudian ditutup. Lalu hening.
Aku menghela napas dan melanjutkan bacaanku. Sudah biasa Mama tiba-tiba harus mengerjakan sesuatu di tengah-tengah aktivitas kami. Aku maklum, walaupun tidak bisa dibilang senang juga.
Saat aku sudah kembali larut dalam bacaan, sesuatu tiba-tiba bergetar di saku celanaku. Tanpa mengalihkan mata dari paragraf yang sedang kubaca (mana bisa aku mengalihkan mataku? Aku sedang membaca A Tale of Two Cities dan ada di bagian ketika Sydney Carton menjelaskan misi mulianya kepada Mr. Lorry!), aku merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselku.
Tanpa benar-benar memerhatikan layar ponselku, aku membuka aplikasi LINE dan mendapati pesan dari Rio.
Rio: lo gatau modus? kasian, gak pernah dimodusin sih, ya?
Rio: btw, lo udah gue daftarin di kelas tambahan, ya. daftarnya harus buru-buru, ra. soalnya cmn sampai hari ini aja. lo gue daftarin di IPA, ya
Pesan kedua Rio berhasil menyita sedikit pikiranku dari Sydney Carton. Aku membaca pesan itu sekali lagi, lalu mengetikkan balasan.
Aira: hah? gue kan enggak minta didaftarin. Lagi pula, kenapa lo masukin gue di IPA?
Rio: karena gue jg di kelas tambahan IPA
Aira: terus kenapa?
Rio: itu namanya modus.
Rio: nih deh, kalau lo mau nanya-nanya soal kelas tambahannya, gue ksh no telp guru IPA-nya, ya: 081087654542
Sebelum aku sempat membalas, satu pesan baru masuk lagi.
Rio: eh, ini no gue sekalian deh. 08106548792
Aira: nomor lo buat apaan?
Rio: buat lo.
Rio: telepon gue, deh. gue mau nyimpen nomor lo.
Aku mendengus kesal. (Aku sekarang sampai di bagian ketika Sydney Carton berjalan-jalan sendirian pada malam hari, di Paris.) Tapi akhirnya, dengan mata masih setengah terfokus ke bacaanku, aku mengangkat ponselku dan menekan nomor yang diberikan Rio.
Setelah beberapa saat, tidak ada jawaban. Oke, ada. Tapi suaranya berkata, "Nomor yang Anda tuju, sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi."
Menurutku, suara perempuan itu menyebalkan sekali. Aku menjauhkan layar ponsel dari telingaku, dan kembali menekan nomor yang diberikan Rio. Setelah beberapa saat nada sambung, akhirnya suara seseorang (bukan suara mbak-mbak menyebalkan) mengangkat teleponku.
"Halo?"
Suaranya suara laki-laki. Tapi... bukan suara Rio.
Oke, aku memang baru mendengar Rio berbicara beberapa kata, tapi aku cukup yakin, kalau yang kudengar sekarang, bukan suara Rio.
"Halo?" ulang suara itu.
"Hai," balasku, bingung harus mengatakan apa.
"Saya bicara dengan siapa, ya?" tanyanya. Dari suaranya, dia terdengar ramah. Tapi tetap saja, aku tidak tahu dia siapa.
Aku menatap deretan tulisan di buku yang terletak di pangkuanku. Nama Sydney Carton tertangkap oleh mataku. Aku membaca beberapa kalimat di buku itu dengan cepat (membaca buku bisa membuatku tenang dan berpikir lebih jernih).
"Kamu bilang apa?" tanya suara itu.
"Eh?"
"Tadi kamu bilang, Sydney Carton?" tanyanya.
Hah? Apa aku tidak sengaja membaca keras-keras?
"Lupain aja. Saya enggak sengaja baca keras-keras," kataku akhirnya.
"Kamu belum jawab pertanyaan saya. Kamu siapa?" tanyanya.
"Saya... Aira?"
"Aira siapa?"
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku dan menatap layarnya. Aku mengecek nomor yang sedang kutelepon, lalu mengecek nomor yang diberikan Rio.
Oh, tidak. Aku salah memencet nomor!
Panggilan yang tadi tidak diangkat itu, benar nomor Rio. Tapi yang sekarang... itu nomor guru kelas tambahanku!
"Maaf, saya salah sambung. Saya dapat nomor ini dari Rio. Dia kasih nomor dia dan nomor ini, dan dia minta saya buat telepon dia, tapi saya malah telepon ke nomor ini. Maaf ya, Pak."
Hening sesaat, sebelum terdengar tawa geli dari seberang. "Enggak apa-apa kok, Aira. Omong-omong, kenapa Rio ngasih nomor saya ke kamu? Dan kenapa kamu manggil saya 'Pak'? Saya bukan bapak-bapak," katanya dengan suara geli.
"Rio daftarin saya ke kelas tambahan IPA. Dan dia ngasih nomor... Bapak?"
Terdengar tawa geli lagi dari seberang sana. "Enggak usah panggil saya 'Bapak''--sekali lagi, saya bukan bapak-bapak. Saya juga bukan guru resmi, kok. Saya ngajar kelas tambahan, cuma karena kakak sepupu saya, yang kerja jadi guru tetap di sekolah kamu, nawarin saya buat magang di sana. Namanya Pak Reza. Tahu?"
"Kurang tahu. Saya baru masuk... Kak?" Aku bingung harus memanggil orang ini dengan sebutan apa.
Dia tertawa lagi. "Anggap teman aja, enggak usah pakai panggilan sopan juga enggak apa-apa. Saya beberapa kali ngajar adek-adek kelas, dan mereka nyapa saya pakai 'gue-lo'."
Aku tertawa canggung, tidak yakin harus berkata apa. "Jadi, saya harus manggil apa? Kayaknya enggak sopan kalau pakai 'gue-lo'. Dan saya enggak tahu nama...."
"Terserah kamu. Oh ya, omong-omong, nama saya Arka."
"Oke, Arka."
Kemudian hening. Setelah beberapa saat, Arka berkata, "Tadi kamu bilang Sydney Carton, kan? Kamu baca A Tale of Two Cities?"
Aku otomatis mengangguk, padahal Arka pasti tidak bisa melihatnya. "Iya, saya udah pernah baca--" aku menghentikan diri sebelum berkata 'Kelas 3 SD'.
"--dulu," lanjutku. "Tapi sekarang, saya lagi baca ulang."
"Wah, saya enggak nyangka. Anak seumuran kamu di zaman sekarang, suka juga novelnya Dickens. A Tale of Two Cities termasuk novel kesukaan saya, lho. Bagian awalnya aja, sudah seperti puisi. It was the best of times, it was the worst of times, it was the age of wisdom, it was the age of foolishness--"
"It was the epoch of belief, it was the epoch of incredulity, it was the season of light, it was the season of darkness, it was the spring of hope, it was the winter of despair," sambungku otomatis. Suara Arka ketika melafalkan cuplikan novel Dickens itu, terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Cara dia mengucapkannya--pelan, pasti, keras, dan lembut, dalam saat yang bersamaan--entah kenapa, seperti tidak mau pergi dari kepalaku.
Arka tertawa. "Kamu baca atau gimana?"
"Saya hafal," jawabku sambil tertawa canggung.
"Kamu lagi baca A Tale of Two Cities sekarang?" tanya Arka.
"Iya," jawabku.
"Sampai bagian yang mana?"
"Sydney Carton jalan sendirian malam-malam di Paris--setelah dia mendiskusikan rencananya dengan Mr. Lorry," jawabku.
"Oh, saya suka percakapannya dengan Mr. Lorry. Ketika Sydney berkata kalau dia menghargai Mr. Lorry seolah-olah, Mr. Lorry adalah ayahnya sendiri--tapi Mr. Lorry beruntung, karena dia bukanlah anaknya."
Aku terdiam. Kali ini, bukan karena bingung mau membalas apa. Tapi karena aku terlalu terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata.
"Saya juga suka bagian itu," kataku akhirnya. "Menurut saya, perkataan Sydney itu, benar-benar menggambarkan dirinya--dia sebenarnya baik dan peduli pada orang lain, tapi dia menganggap dirinya sendiri tidak berguna."
"Benar. Ah, tunggu sebentar, saya baru ingat, saya harus pergi sekarang. Ada yang harus saya kerjakan--tugas kuliah untuk besok. Sampai ketemu."
Setelah membalas sekenanya, aku mengakhiri panggilan telepon.
Aneh. Apa aku barusan mengobrol tentang A Tale of Two Cities dengan orang lain selain Mama? Dan kalau itu belum cukup aneh, aku barusan mengobrol dengan guruku.[]
a.n
dor! jarang kan, nge-post siang-siang gini? lol. sebenernya ini udah mau di-post dari kapan tau, cuma... aku... lupa... dan ntar sore ada acara takutnya kelupaan lagi lmao
btw, chapter 5 ini, aku tulis-hapus-tulis-hapus berapa kali gatau dah. wkwkkw. tapi akhirnya selesai jugaa wahahaha.
22 Mei 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top