Chapter 4: the number you are trying to reach receives some messages (finally)

chapter 4: the number you are trying to reach receives some messages (finally)


"Yang tadi itu, apa-apaan?" kataku tidak terima begitu aku dan Kalila sudah berada di luar kantin.

Kalila terkekeh. "Santai aja kali. Lagian, siapa tahu kan, kelas yang Rio bilang itu, beneran bisa ngebantu lo?"

Aku terdiam. Setelah beberapa saat, aku berkata, "Kata Rio tadi, tampang gue bukan tampang anak yang nilainya jelek. Kalau menurut lo gimana?"

Kalila berhenti berjalan. Ia kemudian mengamatiku. "Enggak tahu. Gue kan, bukan Sherlock Holmes atau siapa. Kenapa enggak lo kasih tahu aja, nilai lo jelek apa enggak?"

"Em, nilai gue biasa-biasa aja, kok," kataku.

Yah, aku tidak sepenuhnya berbohong. Nilaiku memang tidak selalu sempurna. Kadang-kadang, aku masih dapat 99.

"Ya udah, siapa tahu, kelasnya bisa bikin nilai lo luar biasa," kata Kalila. "Udah, ah, gue mau pulang. Capek."

Sebelum aku bisa menimpali ucapan Kalila, seseorang tiba-tiba muncul dari arah koridor kelas sebelas, dan menghalangi jalan kami.

Aku mendongak dan mendapati Viara dan seorang cowok yang tidak kukenal berdiri di sebelahnya.

"Mau ke mana lo?" tanya yang cowok kepada Kalila.

"Pulang. Capek gue," jawab Kalila dengan datar.

"Siapa yang nyuruh lo pulang? Kan lo harusnya nganterin gue ke salon sekarang," kata Viara.

"Itu yang cowok kakak gue. Namanya Reza," kata Kalila kepadaku, terang-terangan menghiraukan ucapan Viara.

Aku melirik Viara yang tampangnya sekarang sudah lebih mengerikan dari tampangnya Hera ketika melihat baju yang dia inginkan.

"Woy! Halo! Tuli ya, lo?" tanya Viara kepada Kalila.

Kalila menepuk-nepuk kedua telinganya. "Apa? Eh iya, lo bener. Gue tuli. Gue enggak bisa denger apa-apa, nih. Pulang yuk, Ra." Kalila menyambar lenganku kemudian menarikku menjauh.

"Woy, anterin gue ke salon!"

Kalila tidak menjawab. Karena tidak tahan, aku menoleh kepada Viara dan Reza, kemudian berkata, "Maaf, dia tuli. Tahu, kan, maksudnya? Enggak bisa denger."

Tanpa peduli dengan tanggapan Viara dan Reza, aku buru-buru menoleh ke depan lagi. Aku bisa merasakan Kalila tertawa tertahan di sebelahku.

[.]

"Lo pulang naik apaan?" tanya Kalila kepadaku. Aku dan Kalila sekarang sudah berdiri di depan gerbang sekolah.

"Paling angkot," jawabku. "Lo?"

"Harusnya sih, sama si Reza. Orangtua gue enggak mau gue berkeliaran dan segala macem. Tapi ah, males banget gue pulang sama Reza. Ujung-ujungnya nyampe rumah juga udah malem--gara-gara sibuk nganterin Viara ini-itu," keluh Kalila.

"Ya udah, pulang sendiri aja," kataku.

"Niatnya emang gitu," jawab Kalila. "Walaupun yah, orangtua gue nanti bakal gorok gue, tapi bodo amat, deh. Lagian hari ini kan, hari pertama masuk SMA. Harus ada perubahan, lah."

Aku hanya meringis mendengar bagian yang terakhir.

"Kenapa kakak lo gitu, sih?" tanyaku.

"Karena dia merasa lebih diutamakan sama orangtua gue kali." Kalila mengangkat bahunya.
"Tau, deh."

"Diutamakan?" ulangku.

"Yah, dia lebih pinter, lebih berbakat, lebih lebih lebih," kata Kalila dengan datar. "Gue terlalu biasa aja."

Aku mengerutkan kening. "Biasa aja, gimana? 'Biasa aja' kan relatif."

"'Biasa aja'-nya orangtua gue berarti," kata Kalila. "Udah, ah. Jadi ngaco, kan. Pulang aja sana. Katanya mau pacaran sama Persus."

"Perseus."

"Iya, iya."

[.]

Aku baru saja selesai berganti baju dan merapikan rumah. Sekarang, aku sudah duduk di ruang keluarga--di atas kursi malas yang biasa kududuki untuk membaca. Di pangkuanku, terdapat buku mitologi yang tadi pagi Mama berikan.

Aku baru membaca satu halaman, ketika aku mendengar sesuatu. Aku menutup buku dan mempertajam indra pendengaranku.

TOET! TOET!

Sambil meletakkan bukuku di atas meja, aku bangkit dan mulai menjelajahi rumah. Setelah sekitar lima menit mencari di lantai bawah, akhirnya aku memutuskan untuk mencari di atas, dan ternyata, suara itu berasal dari dalam kamarku.

Lebih tepatnya, itu suara ponsel yang ada di dalam tasku.

Aku baru tahu, suara ponsel bunyinya senyaring itu.

Oke, oke. Lebih tepatnya, ini pertama kalinya ponselku berbunyi. Aku benar-benar akan mengatur suara ponsel itu.

Tapi, perhatianku teralihkan oleh teks yang masuk ke ponselku.

Kalila: wOOy
Kalila: gw gabut anj

Aku mengerutkan kening sambil berjalan menuruni tangga dan kembali menduduki kursi yang tadi.

Tadi siang, Kalila memang meminta ID LINE-ku, tapi aku sama sekali tidak mengira, tujuannya untuk mengirimiku pesan aneh dengan bahasa yang tidak kumengerti.

Aira: ngomong apaan, sih?
Aira: gabut? cabut maksud, lo? terus gw itu apa? g sama w kan sama-sama konsonan, gimana bacanya?

Tidak sampai satu menit kemudian, ponselku kembali berbunyi.

TOEET!

Kalila: cpk ah gw ngelasinnya.
Kalila: ah, tp gw gabut jg sih. ya udh deh. gw itu gue, aira syg. gabut itu kyk gue skrg. gaada kerjaan. gagal cabut. bete, ah

Aira: terus, cpk itu apa?

Kalila: -_- cipok.

Aira: cipok apaan?

Kalila: bodo, ah. gw cpk beneran.
Kalila: woi, rio blm line lo?

Aira: blm apaan?

Kalila: BELOOM

Aira: belum. Rio enggak LINE apa-apa. Kenapa?

Kalila: nih deh. gw ksh aja kontaknya si rio. lo line dia deh

Aira: buat apa?

Kalila: ngapain, kek. modus aja sana.

Aira: modus apaan, sih?

Kalila: apa hayo

Sebelum aku bisa membalas pesan Kalila yang itu, sebuah pesan lain muncul. Yang itu dari Rio.

Rio: lo jd mau masuk kelompok belajar, kan?

Aku tidak menghiraukan 'jd' yang tidak kumengerti, dan membalas:

Aira: enggak tahu juga, deh

Rio: gabung aja kali. pasti asik.

Aira: Nanti gue pikirin lagi, ya.
Aira: btw, lo tahu modus, enggak? Itu apa, ya? Kata Kalila, gue disuruh modus ke lo, dan dia enggak mau jelasin. Takutnya kan, modus itu penting, jadi gue nanya sama lo.

Sebelum aku bisa melihat jawaban Rio, terdengar pintu rumah dibuka, dan terdengar langkah khas Mama berjalan mendekat. Buru-buru, aku mengatur suara ponselku. Mama bakal kaget kalau lihat aku melakukan sesuatu dengan ponsel ini selama lebih dari satu menit.

"Aira?" Suara Mama hanya berjarak beberapa langkah dari ruang keluarga.

Aku buru-buru memasukkan ponselku yang sudah selesai kuatur ke dalam kantong celana (untung ponselnya gampang diatur), dan mengambil buku mitologiku. Ketika Mama memasuki ruang keluarga, yang dilihatnya pasti aku yang sedang membaca buku.

"Ya, Ma?" tanyaku sambil menutup bukuku.

"Oh, kamu lagi baca buku mitologi itu, ya?" tanya Mama sambil tersenyum. Ia kemudian duduk di sebelahku. "Gimana, bagus enggak?"

Aku memerhatikan buku itu, kemudian menjawab, "Sejauh ini, bahasanya cukup komunikatif. Sampulnya sih, lumayan bagus. Walaupun warnanya kurang menarik perhatian. Informasi di halaman pertamanya juga ada yang kurang tepat."

Mama tersenyum. "Tapi kamu suka, kan?"

"Suka, kok," jawabku.

Mama kemudian merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu. "Mama tadi dapat ini," katanya sambil menyodorkan sebuah buku kepadaku.

Aku meraih buku tersebut dan membaca judulnya. "A Tale of Two Cities? Aku kan, udah pernah baca, Ma--waktu kelas tiga SD," kataku mengingatkan.

"Iya, Mama tahu, kok," kata Mama. "Tapi itu cetakan kedua, lho. Udah jarang, kan?"

Aku mengecek tahun terbit buku tersebut, kemudian tersenyum lebar. "Iya, bener, Ma. Makasih, ya."

"Sama-sama," kata Mama. "Omong-omong, Mama kan juga baru dapat yang cetakan pertama. Gimana kalau kita baca ulang aja bukunya, terus kita diskusiin sama-sama. Mama udah lama enggak baca bukunya Dickens."

"Terus buku mitologi ini gimana?" tanyaku sambil menunjuk buku mitologi yang tergeletak di pangkuanku.

Mama menatap buku itu kemudian berkata, "Kamu udah selesai baca bab satunya, ya? Yang tentang Hestia? Kamu mau bahas malam ini? Kalau enggak, kita habis makan malam bisa baca A Tale of Two Cities di ruang keluarga. Tapi kalau kamu mau bahas Hestia, ya enggak apa-apa juga, sih."

"Enggak apa-apa," jawabku kelewat cepat. Aku berdeham kemudian berkata, "Maksudku, aku juga lagi pengen baca tulisannya Dickens."

Mama tersenyum. "Bagus kalau gitu." Kemudian, Mama berdiri dan berkata, "Ya udah, Mama mau mandi dulu. Kamu siapin makan malam, ya. Nanti Mama bantu kalau udah selesai mandi."

"Oke."

Setelah Mama pergi, aku menghela napas lega. Charles Dickens menyelamatkan hidupku. Oke, bukannya aku sama sekali tidak tahu soal Hestia dan kisah-kisah hidupnya. Aku tahu betul kisah semua tokoh dari mitologi mana pun. Tapi masalahnya, kisah per buku suka berbeda. Dan aku kan, baru membaca satu halaman dari buku ini. Bagaimana aku bisa tahu versi mana yang ini?

[.]

Setelah makan malam, aku dan Mama duduk di ruang keluarga, dengan buku A Tale of Two Cities dalam genggaman kami masing-masing.

Mama sudah dalam posisi siap membaca untuk beberapa jam ke depan. Sementara aku, masih berkutat dengan tas sekolahku. Aku baru saja mengecek pengumuman untuk jadwal MOS besok--takutnya, aku perlu membawa sesuatu. Untungnya sih, tidak. Katanya besok cuma demo ekskul.

"Aira, ayo. Kamu ngapain?" tanya Mama kepdaku.

"Ngecek jadwal," jawabku sambil duduk di sebelah Mama.

"Buat besok?"

"Iya."

Mama mengangguk-angguk. "Udah semuanya?"

Aku mengangguk.

"Bagus. Kamu harus selalu mengecek jadwal untuk besok. Jangan menyambut hari tanpa ada persiapan di hari sebelumnya. Kalau kamu menyambut hari tanpa ada persiapan, itu namanya bunuh diri--walaupun sebagian orang bilangnya 'menikmati hidup'. Tapi, apa yang mau dinikmati dari pembunuhan diri? Mama benar, kan?"

Aku mengangguk. "Bener, Ma."

"Bagus." Mama kemudian membuka halaman bukunya dan mulai membaca.

Aku merenung sebentar, tentang ucapan Mama tadi. Kalau Kalila ada di sini, dia pasti menertawai ucapan Mama habis-habisan. Betapa berbeda pandangan mereka.

Dan pandanganku sendiri? Entahlah.

Aku menghela napas kemudian membuka bukuku dan mulai membaca.[]

16 Mei 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top