Chapter 14: the number you are trying to reach is a liar

chapter 14: the number you are trying to reach is a liar



Beberapa hari yang lalu, Kalila mendaftarkan diri untuk ikut seleksi olimpiade Matematika. Dan sejak itu, Kalila berusaha untuk menjadi anak rajin. Ia bisa membuka buku pelajaran berkali-kali dalam sehari (hal yang aneh kalau disangkutkan dengan Kalila), dan berusaha mengerjakan latihan-latihan soal di sana.

Sebenarnya, soal olimpiade itu standarnya jauh dari soal latihan standar kelas sepuluh yang dikerjakan Kalila, tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Pertama, karena tidak ada gunanya—lebih baik begini. Kalau Kalila belum menguasai materi dasar seperti yang ada di buku pelajaran, untuk apa dia belajar soal olimpiade?

Kedua, kalau aku mengatakan apa yang ada di pikiranku dan menyarankan Kalila untuk belajar soal olimpiade yang lebih rumit, Kalila akan curiga.

Sebenarnya, aku tahu, aku seharusnya memberitahu Kalila secepatnya—sebelum dia tahu sendiri. Apalagi, aku tahu, cepat atau lambat beritaku yang ikut olimpiade pasti tersebar.

Masalahnya, aku sudah pernah bilang kan, kalau ada sesuatu dari Kalila yang mirip dengan Hera? Dan pertama kali Hera tahu aku pintar, dia menganggapku benar-benar aneh. (Dia bahkan sempat mau mencoba berbicara denganku pakai bahasa kucing.) Aku tidak mau Kalila menganggapku aneh dan mulai berbicara denganku menggunakan bahasa kalbu atau apa.

"Ini apaan, sih?" gerutu Kalila sambil menatap kertas di hadapannya dengan sebal, menyela pikiranku.

"Apa?" tanyaku sambil memajukan tubuh untuk mengintip kertas Kalila. Logaritma.

Sekarang, kami sedang berada di kantin, dan Kalila membawa-bawa kertas latihan soalnya. Sesuatu yang setiap hari kulakukan sewaktu SMP.

"Akar dua pangkat akar dua log lima sama dengan," kata Kalila. "Ini gimana ngerjainnya?!"

Ya ampun, jawabannya lima. Bahkan, soal semacam itu kan, tidak perlu dihitung! Nyaris saja tadi aku kelepasan dan langsung menjawab.

Akhirnya, karena merasa gemas, aku berkata, "Gue rasa, cara ngerjainnya bakal lebih gampang kalau pakai sifat." Aku berpura-pura mengamati soal itu dengan serius. "Coba lo inget sifat-sifat logaritma dulu," lanjutku, berusaha sedikit-sedikit membantu Kalila dengan cara yang paling mudah dan tidak mencurigakan.

Kalila memajukan bibirnya. "Sifatnya kan, banyak banget."

"Inget sifat enggak harus dihafal, kok," kataku. "Asal lo paham konsep awal logaritma, semua sifatnya bisa lo pikir-pikir sendiri."

Kalila melirikku, "Kayak lo bisa aja."

"Sedikit," kataku sambil tersenyum kecil. Dalam hati, aku berdoa agar tampangku meyakinkan.

"Gue enggak bisa." Kalila menghela napas sambil mendorong sedikit kertas latihan soalnya menjauh. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Tapi tenang aja, gue enggak bakal mundur dan gue enggak bakal gagal! Kan, cuma seleksi di sekolah yang harus gue lewati. Olimpiadenya sih, bodo amat. Bakal sesusah apa sih, soal sekolah? Saingannya kan, juga cuma anak-anak sini," kata Kalila, lebih kepada dirinya sendiri.

"Emangnya, sekolah bakal ngirim berapa orang?" tanyaku, penasaran.

"Tiga," jawab Kalila. Kulihat, bahunya sedikit merosot. "Gue pasti bisa kan, Ra?"

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Iya, lo belajar aja yang bener."

"Gue enggak mau gagal. Kalau gue gagal, orangtua gue bakal ngecap gue sebagai anak yang gagal lolos seleksi olimpiade," keluhnya. "Gue enggak mau orangtua gue mikir kayak gitu."

Setelah terdiam sambil berpikir selama beberapa saat, aku berkata, "Menurut gue, sebaiknya lo jangan terlalu fokus buat berhasil. Kalau lo mikirin harus berhasil terus, bisa-bisa lo malah gagal. Mendingan, lo fokus belajar dan mikir kalau lo harus bisa menguasai materinya—bukan harus lolos."

Kalila tersenyum kecil lalu mengangguk. Kemudian, dia mengembalikan tatapan ke kertas latihan soalnya yang belum selesai. "Tapi gue aja udah pusing duluan ngelihat akar-akaran begini."

Satu lagi fakta yang aku tahu soal remaja-remaja di sekililingku. Mereka terlalu gampang menyerah—apalagi kalau sudah melihat sesuatu yang mereka tidak suka. Misalnya, melihat bilangan desimal. Waktu di SMP, aku sering mendengar teman-temanku mengeluh setiap mendapat soal tentang lingkaran yang phi-nya 3,14. Aku bingung kenapa mereka tidak suka 3,14. Menurutku, 3,14 adalah bilangan yang menarik. Aku bahkan hafal lima puluh angka setelah koma dalam phi.

Walaupun sudah mengikuti rutinitas anak-anak sekarang (aku bahkan mulai terbiasa dengan bahasa gaul), kadang, aku tetap kesulitan memahami pola pikir mereka.

[.]

"Arka, saya mau nanya."

Arka tertawa. "Silakan, tanya aja."

"Kalau saya bilang, bohong itu kadang-kadang diperlukan, kamu setuju?" tanyaku.

Sekarang, jam kelas tambahan sudah selesai. Tapi, aku masih berada di dalam kelas bersama Arka. Ini menjadi kebiasaan kami—biasanya, kami akan mengobrol tentang buku atau apa saja—dan aku menikmatinya. Saat mengobrol dengan Arka, rasanya aku bisa menjadi diriku sendiri di sekolah. Lebih dari itu, aku merasa disukai saat menjadi diriku sendiri. Bukannya dianggap orang yang kelewat genius atau aneh.

Arka tidak pernah menganggapku kelewat genius atau aneh. Maksudku, tentu saja kalau orang menganggap kita aneh dan genius, bukannya mereka menghampiri kita dan berteriak, "DASAR LO GENIUS ANEH!" di depan muka kita. Ya, setidaknya, itu tidak pernah terjadi dalam hidupku. Yang pernah terjadi adalah, orang-orang memandangiku dengan tatapan itu—tatapan yang menggambarkan dengan jelas isi pikiran mereka: "Ini orang IQ-nya berapa, sih?" atau "Lo dikasih makan apaan, dah?" Dan semacamnya. Seolah-olah, aku bukan manusia yang menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.

Nah, tapi, aku tidak pernah menemukan pandangan itu di wajah Arka. Aku pernah menduga, apa jangan-jangan, Arka curiga tentang aku yang sama sekali tidak seharusnya ada di kelas tambahan, tapi sejauh ini, Arka tidak mengatakan apa-apa. Dan karena itu, aku juga tidak melihat alasan untuk mengatakan apa pun. Sejauh ini, Arka sepertinya justru senang mengobrol denganku. Dia terlihat selalu bersemangat dan tertarik dengan apa yang kuucapkan. Rasanya menyenangkan.

Sekarang, Arka sedang memandangku sambil tersenyum kecil. Kemudian, dia berkata, "Setuju," jawabnya. "Mau tahu kenapa?"

Aku mengangguk. "Kenapa?"

"Karena—" Arka menghentikan ucapannya. Dia memandangku kemudian menggelengkan kepalanya sekilas.

"Apa?" tanyaku sambil mengerutkan kening. Semoga Arka tadi tidak ingin bilang, "Karena buktinya, kamu sekarang lagi bohong sama saya," atau sesesuatu yang mengerikan semacam itu.

Arka mengangkat bahunya. "Enggak jadi. Intinya, menurut saya, kalau semua orang di dunia jujur, enggak ada jaminan kalau dunia ini bakal damai. Malah, kejujuran itu yang biasanya menghancurkan.

"Menurut saya, bohong itu enggak pernah menghancurkan—selama tetap jadi kebohongan. Yang menghancurkan adalah, kalau kejujuran mulai menampakkan wajahnya di sela-sela kebohongan," jelas Arka.

Satu lagi hal yang kusuka dari Arka. Dia pintar. Maksudku, tentu saja dia guru dan dia pintar, tapi selain pintar materi pelajaran, dia juga pintar dalam hal-hal lain. Dia bisa diajak mengobrol soal hal-hal seperti ini—hal-hal yang selama ini hanya bisa kudiskusikan dengan Mama dan teman-teman di klub olimpiadeku dulu.

Aku mengangguk-angguk. Setelah beberapa saat, aku bertanya lagi, "Menurut kamu, misalnya saya enggak jadi diri saya sendiri, apa artinya saya bohong?"

Sesaat setelah itu, aku baru benar-benar sadar akan apa yang kukatakan. Buru-buru aku mengangkat wajah dan menatap Arka. Tapi, Arka cuma tersenyum.

"Bohong itu mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, kan?" tanya Arka.

Aku mengangguk. "Iya."

"Oke kalau gitu," kata Arka. "Emang di kasus yang kamu bilang tadi, 'keadaan sebenarnya' gimana? Emang kamu yakin, 'keadaan sebenarnya' menurut kamu, sama kayak 'keadaan sebenarnya' menurut orang lain?" tanya Arka.

Arka tidak perlu menjelaskan dua kali—aku sudah mengerti apa maksudnya. Kenapa aku tidak pernah berpikir sampai ke sana? Berarti dalam masalahku, aku bisa dibilang jujur kalau ternyata, keadaan yang sebenarnya begini—aku memiliki dua sisi yang berbeda. Siapa tahu, kan?

Selanjutnya, aku malah sibuk berpikir sendiri. Setelah beberapa saat, aku akhirnya angkat bicara. "Jadi, jujur atau bohong itu kadang-kadang relatif, ya? Tergantung orang melihat benar atau salah dari sisi yang mana.

"Kita menganggap pencuri yang mencuri sesuatu itu melakukan tindakan yang salah. Padahal, menurut si pencuri itu sendiri, apa yang dilakukannya bisa aja benar—karena ya, anggap saja mencuri itu pekerjaan turun-temurun dari orangtuanya, dan dia sudah mencuri dari kecil. Jadi bagi dia, ya, biasa-biasa aja."

Saat aku mengangkat wajah, aku agak terkejut mendapati Arka sedang menatapku. Kukira, dia sudah tidur atau apa karena aku kelamaan berpikir, dan dia terlalu baik untuk pamit pulang.

"Kamu tahu apa yang pernah Socrates bilang?" tanya Arka sambil tersenyum. "Dia bilang, 'I cannot teach anybody anything. I can only make them think.' Saya setuju."

Aku tersenyum. Aku lega sekali Arka tidak berkomentar aneh-aneh. "Makasih, Arka," kataku. Dan aku sungguh-sungguh.

[.]

Keesokan harinya, waktu aku baru sampai di sekolah, aku bertemu Rio yang sedang duduk sendirian di kantin dengan segelas es teh di hadapannya. Karena aku yakin Kalila belum datang, aku menghampiri Rio dan duduk di hadapannya.

"Hai," sapaku.

Rio mendongak. "Halo," balasnya sambil nyengir.

"Temen-temen lo ke mana?" tanyaku sambil menoleh ke sekeliling. Sebenarnya, lumayan aneh melihat Rio duduk sendirian di kantin seperti ini. Kalau Rio ini inti atom, teman-temannya itu seperti elektron yang selalu mengelilinginya.

"Ngaret kali," jawab Rio sambil mengangkat bahu.

Aku mengangkat alis. "Apa lagi itu? Ngaret?"

Rio tertawa. "Karet. Melar. Longgar dari waktu. Telat," jelasnya.

Aku mengangguk-angguk mengerti. "Oke."

Tiba-tiba, Rio berseru. "Ah!" Dia mengangkat tangannya dengan bersemangat, hampir saja menyenggol gelasnya.

"Apa?" tanyaku dengan bingung.

Rio menoleh kepaku. "Gue baru inget. Ada materi penting yang belum gue kasih ke lo. Dan mumpung kita lagi ada di sini, gue mau ngajarin lo."

"Apa?" tanyaku, tertarik. Rio selalu bisa membuatku tertawa, dan tertawa bagus untuk otot-ototku.

"Judul materi ini adalah Perlunya Berbohong Untuk Deket Sama Gebetan," kata Rio. "Gebetan itu orang yang kita suka atau deketin—kalau lo enggak tahu."

Apa katanya? Perlunya berbohong? Aku merasa agak tersindir. Tapi, Rio tidak tahu, kan? Bagaimana juga dia bisa tahu?

Kemudian, aku teringat Rio kan satu SMP denganku. Aku pernah berpikir sebelumnya sih, kenapa dia tidak bertanya-tanya soal aku waktu SMP. Tapi alasan yang sama kenapa aku tidak bertanya kepada Arka adalah, Rio tidak bertanya lebih dulu. Untuk apa mengangkat topik yang tidak mau kubicarakan?

Tapi, bagaimana kalau Rio sudah tahu kenapa dia tidak kenal aku waktu SMP, dan sekarang dia ingin membalasku?

Otakku sudah sibuk menyiapkan berbagai kata-kata, ketika Rio berkata, "Jadi, Ra, bohong itu kadang-kadang penting—apalagi kalau lagi PDKT. Misalnya ada cewek bilang, dia suka banget makan siput. Terus, cowoknya itu benci banget sama siput gara-gara dia mau melihara Gary-nya Spongebob dari kecil tapi enggak kesampean. Tapi karena si cowok lagi gebet cewek itu, dia bilang dia suka banget sama siput."

Aku terdiam sebentar setelah mendengar penjelasan Rio. "Jadi, cowoknya enggak jadi diri sendiri, dong?" tanyaku setelah beberapa saat. "Kenapa dia enggak bilang aja dia enggak suka siput?"

Rio mengangkat bahu. "Ya, jangan langsung lihat sisi buruknya. Bisa aja karena dia bilang gitu dan akhirnya sering makan siput sama si cewek, akhirnya dia jadi suka siput dan enggak punya dendam lagi karena enggak bisa melihara Gary."

"Jadi, bohong itu enggak selalu buruk akhirnya?" tanyaku, meminta pendapatnya.

Rio mengaduk-aduk es teh di hadapannya sambil menatapku. "Yah, tergantung orang yang bohong sih, menurut gue. Setiap apa yang kita lakuin kan, pasti punya sisi positif dan negatif. Kalau orangnya sadar dan bisa mengurangi sisi negatifnya, bagus, kan?"

Aku mengangguk-angguk. Benar juga. "Jadi yang dia lakuin, kebanyakan positifnya," kataku, tidak kepada siapa-siapa.

Tapi, Rio menimpali, "Iya. Dan kalau udah positif, siap-siap aja, sembilan bulan lagi."

Aku tertawa. "Ngaco."[]



a.n
Haii! Kuis yang di chapter 13 masih berlangsung lho! Ayo ikutan! Komen lagi enggak apa-apa—siapa tau dapet tambahan inspirasi buat ngegombal (?) dan btw aku ngakak banget bacain komen-komen kalian HAHAHAHA.

Hadiahnya ntar kukasih ini biar kalian enggak dendam sama siput:

HAHAH. gadeng.

23 Juni 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top