Chapter 13: the number you are trying to reach eats a half-boiled egg
chapter 13: the number you are trying to reach eats a half-boiled egg
"Selain bahasa gaul, lo juga harus belajar cara hidup remaja-remaja sekarang. Percuma lo bisa bahasa gaul kalau lo enggak bisa bertahan hidup," kata Rio dengan serius.
Hari ini sebelum kelas tambahan dimulai, Rio menghampiriku dan berkata dia ingin mengajariku sebentar sebelum pelajaran dengan Arka dimulai.
Aku menahan tawaku lalu berkata dengan serius, "Gimana caranya bertahan hidup?"
"Banyak. Tapi, ini yang mau gue ajarin ke lo sekarang—cara PDKT," jawab Rio.
Aku mengangguk-angguk. Untungnya, aku sudah tahu apa itu PDKT. Itu bukan kata yang aneh (yang aneh itu modus).
"Cara PDKT paling dasar adalah, kenalan dulu," kata Rio memulai.
Lagi-lagi, aku menahan tawa. "Terus?"
"Terus, ya, intinya ngobrol-ngobrol aja," kata Rio. "Tapi, sebisa mungkin, bikin orang yang lo suka tertarik dan mau terus ngobrol sama lo. Biasanya, yang diomongin selama PDKT itu enggak jelas dan enggak berbobot. Mau contoh?"
Aku mengangguk. "Gimana contohnya?"
Rio pura-pura berdeham. "Oke, kita coba, ya. Ceritanya, gue yang PDKT, terus lo korbannya."
"Oke."
"Halo," kata Rio.
"Hai," balasku, menahan tawa.
"Boleh nanya enggak?" tanya Rio.
"Barusan itu nanya."
Rio tertawa. "Ya udah, langsung nanya aja, deh. Kalau makan telur, lo sukanya yang mateng atau setengah mateng?"
"Setengah mateng," jawabku.
Rio mengangguk-angguk. "Mau tahu enggak, gue sukanya telur yang kayak gimana?"
"Gimana?"
"Gue sukanya makan telur setengah potong," jawab Rio.
"Hah? Kenapa?" tanyaku.
"Iya, kan setengahnya lagi yang makan lo. Jadi makannya berdua gitu."
Aku tidak bisa tidak tertawa. "Creepy banget," komentarku.
"Ada lagi, ada lagi!" seru Rio.
"Apa?" tanyaku, masih dengan sisa-sisa tawa.
"Lo suka daki monyet enggak?" tanya Rio.
Aku tertawa. "Enggak, lah. Emang ada yang suka?"
"Gue suka, kalau yang jadi monyetnya lo," balas Rio sambil nyengir.
Aku benar-benar tertawa sekarang. Ya ampun, aku tidak pernah menyangka, bercandaan tidak jelas seperti ini bisa membuatku tertawa.
Saat itulah, aku melihat Arka berjalan memasuki ruangan. Pandangan kami sempat bertemu selama beberapa saat. Kemudian, Arka tersenyum dan berjalan ke mejanya. Sebenarnya, sudah beberapa hari ini, aku ingin memastikan soal Aisya yang datang beberapa hari yang lalu. Ah, tapi nanti saja.
Lagi pula, tiba-tiba, Angga, Putra, dan Bagas masuk dan dengan heboh berdiri di samping Rio.
"Lagi modus?" tanya Angga.
Rio mengerutkan kening dengan bingung. "Lagi mengajarkan sesuatu yang penting," jawabnya dengan serius.
"Apaan, tuh?" tanya Putra.
"PDKT," jawab Rio. Aku bisa melihat dia menahan cengiran.
"Mana coba gue mau denger," kata Bagas.
Rio berpikir sebentar sebelum bertanya, "Aira, lo mau naik unta enggak?"
"Emang kenapa?" balasku sambil nyengir.
"Soalnya, gue mau naik unta," jawab Rio.
"Terus kenapa? Lo mau gue nemenin lo?" tanyaku.
Rio menggeleng. "Bukan, gue takut, kalau gue cuma berdua sama untanya, nanti lo cemburu."
Aku tertawa. Sementara Bagas, Angga, dan Putra sibuk menyoraki Rio.
[.]
Malam ini, Mama pulang agak telat. Tadi Mama bilang, dia ada sedikit urusan di kantor yang belum selesai. Jadi, aku memutuskan untuk memasak makanan sendiri. Aku tidak pernah kesulitan memasak—bahkan, aku pernah memenangi lomba memasak untuk umum sewaktu kelas tujuh.
Aku memandang isi kulkasku, dan memutuskan untuk memasak pasta saja. Lagi pula, aku tiba-tiba teringat Mama pernah memberiku buku tentang sejarah pasta. Pasti enak kalau aku bisa makan pasta sambil membaca buku itu.
Aku sedang memikirkan pasta apa yang sebaiknya kubuat, ketika pandanganku jatuh ke deretan telur di pinggir kulkas. Seketika, pikiranku kembali ke percakapan konyolku dengan Rio tadi sore. Aku tidak bisa tidak tertawa. Absurd sekali.
Akhirnya, aku malah memutuskan untuk melupakan pasta, dan mengambil satu buah telur. Kemudian, aku memasaknya sampai setengah matang dan menangkupnya dengan roti. Walaupun tidak jelas, melakukan ini rasanya menyenangkan.
Sambil makan di kamarku, aku membuka-buka buku pelajaran. Aku sedang mengerjakan latihan soal ketika ponselku berbunyi.
Aku meraih ponsel tersebut dan menatap layarnya dengan bingung.
Incoming Call
Arka
"Halo?" tanyaku setelah menerima panggilan tersebut.
"Maaf, salah sambung!" seru Arka dari seberang sana. Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, Arka berkata sambil tertawa, "Saya bercanda."
Aku tertawa. "Kenapa telepon?"
"Saya rasa, kamu yang mau nanya sesuatu," balas Arka. "Saya lihat di kelas tadi, kamu kayak sempat pengin nyamperin dan menyerbu saya dengan pertanyaan."
Aku agak terkejut. Dari mana Arka tahu aku ingin menanyakan sesuatu?
"Tahu dari mana?" tanyaku akhirnya.
Arka tertawa kecil. "Berarti benar, kan?"
"Eh, iya," jawabku sambil menggigit roti isi telur setengah matangku.
"Jadi, tanya aja."
"Aisya itu, orang yang mau kamu telepon waktu kamu malah salah sambung ke saya?" tanyaku, cuma sekadar memastikan.
"Iya," jawab Arka.
"Terus, waktu kamu nanya soal Pride and Prejudice itu—" Aku menghentikan ucapanku—takut apa yang kutanyakan ini hal pribadi. Tapi, biar saja, lah. Aku kan cuma bertanya, dia tidak harus menjawab. Lagi pula, kalau dia merasa risi dengan pertanyaanku, siapa suruh bertanya padaku waktu itu? Dan kalaupun dia tidak mau menjawab, aku sudah tahu jawabannya. "—itu karena Aisya, ya? Saya tebak, Aisya kayak enggak membalas perasaan kamu, dan kamu mikir, apa jangan-jangan Aisya ini kayak Jane Bennet di Pride and Prejudice?"
Hening beberapa saat, kemudian Arka tertawa. "Ya, ya, kamu benar semua. Kalau tadi itu ulangan, nilai kamu udah seratus."
Karena bingung harus membalas apa, aku berkata, "Kalau masalahnya kayak gini, saya yakin, Aisya bukannya mau jadi perawan seumur hidup, kok." (Waktu itu kan, kami sempat membahas tentang Hestia, Artemis, dan Athena.)
Arka tertawa lagi. "Iya, saya juga tahu."
"Jadi, gimana sekarang sama Aisya itu?" tanyaku sambil menggigit rotiku. Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli. Tapi, setelah beberapa lama, aku lumayan terbiasa berbasa-basi.
"Ya, masih sama aja," jawab Arka. "Saya udah bilang berkali-kali sama dia—dan dia juga udah nyadar. Tapi dia pura-pura nganggep saya bercanda doang, jadi, ya udah."
"Ya udah?" ulangku tidak percaya. "Kamu nyerah?"
"Saya kira, kamu tahu kalau perasaan itu tidak selalu harus dibalas," kata Arka.
"Ah, Sydney Carton," balasku, mengerti apa maksudnya.
"Iya."
"Tapi, kamu kan, bukan Sydney Carton," protesku. "Dan saya rasa, kamu enggak ada mirip-miripnya sama dia."
Arka tertawa. "Ya udah, lupain aja."
"Oke...?"
"Kamu sendiri, ada yang mau diceritain?" tanya Arka.
"Soal?"
"Soal pacar? Mantan? Gebetan? Selingkuhan?" tanya Arka sambil tertawa kecil.
Aku ikut-ikutan tertawa. "Saya enggak punya semuanya."
"Hah? Saya kira, Rio itu pacar kamu," kata Arka. "Atau seenggaknya, gebetan."
Aku tertawa. "Bukan. Dia guru saya."
"Saya guru kamu," balas Arka dengan tegas. Seolah-olah, kami sedang membahas sesuatu yang penting.
"Eh, oke," kataku, bingung harus berkata apa.
"Ya sudah. Selamat malam, Aira."
"Malam."
Kemudian, panggilan terputus.
Aku mengambil sisa rotiku dan memakannya. Perasaanku masih agak tidak enak soal kata-kata Arka tadi. Oke, ralat. Bukan kata-katanya, tapi cara dia mengucapkannya—hampir seperti membentak.
Ah, terserah dia saja. Memangnya, apa urusanku? Lagi pula, kenapa aku harus heran kalau ada seorang guru membentak muridnya?
Aku keluar dan meletakkan piring di dapur. Tepat sebelum aku naik untuk kembali ke kamar, pintu rumah terbuka dan Mama masuk ke dalam rumah.
"Aira!" serunya ketika melihatku.
"Kenapa, Ma?" tanyaku, heran melihat wajahnya yang berbinar-binar.
"Olimpiade yang Mama bilang waktu itu dimajuin, lho!" kata Mama dengan bersemangat. "Dan Mama udah daftarin kamu ke sekolah—iya, maaf ya, olimpiadenya harus dari sekolah. Tapi tenang aja, kamu enggak perlu ikut seleksi atau daftar mandiri. Mama tadi udah telepon pihak sekolah kamu dan Mama cuma harus ngirim bukti kalau kamu berprestasi dan sudah berpengalaman di olimpiade. Nanti, dipertimbangkan dulu sih, sama sekolah. Tapi Mama yakin, kamu pasti masuk. Oh iya, Mama lupa bilang, olimpiadenya itu, olimpiade Matematika."
Saking terkejutnya, aku tidak bisa berkata apa-apa.
"Itu udah pasti, Ma?" tanyaku akhirnya.
Mama mengangguk kegirangan. "Iya! Aduh, menurut kamu, Mama kirimin semua hasil olimpiade kamu atau setengahnya aja, ya? Setengahnya aja masih kebanyakan. Seperempat kali, ya? Ah, semua yang Matematika aja, deh."
Aku sebetulnya ngeri membayangkan Mama mengirimkan semua hasil olimpiade Matematikaku. Itu kelewat banyak. Tapi, ada hal lain yang membuatku lebih ngeri.
Aku tiba-tiba teringat wajah Kalila, Rio, dan Arka. Teman-temanku selama ini. Tidak banyak, tapi mereka baik. Kurasa, mereka pasti kesal kalau tahu selama ini aku membohongi mereka. Kemudian, mereka akan menjauh dan aku kembali seperti Aira yang dulu.
Ah, Kalila dengan gambar Viara dan kera; Rio dengan telur setengah matang dan untanya; Arka dengan novel Dickens dan percakapan salah sambung. Aku belum mau kehilangan semua itu. Aku tidak mau.
[.]
"Aira, gue udah bikin perjanjian sama orangtua gue," kata Kalila bersemangat.
Pagi ini, sebelum bel masuk berbunyi, Kalila mengajakku duduk-duduk di pinggir lapangan basket. Awalnya aku menolak, karena lapangan dan kelasku jaraknya agak jauh, dan pelajaran pertama adalah Matematika, dan aku tidak mau terlambat.
Tapi Kalila berkata, kami tidak akan lama. Jadi aku setuju.
"Perjanjian apa?" balasku, menanggapi ucapan Kalila.
"Kalau gue ikut olimpiade, mereka bakal ngedaftarin gue buat ikut kursus gambar!" seru Kalila.
Rasanya, perutku seperti sedang jatuh. "Hah? Olimpiade? Olimpiade—"
"Olimpiade Matematika—jadi perwakilan sekolah," sela Kalila. "Daftarnya mulai hari ini. Nanti waktu istirahat gue mau daftar. Ya, gue harus tes dulu, sih—jadi enggak semua yang daftar kepilih. Dan perjanjian sama orangtua gue adalah, mereka mau daftarin kalau gue lolos seleksi sekolah—enggak apa-apa kalau enggak menang olimpiade, yang penting ikut," jelasnya.
"Oh, bagus," kataku sambil memaksakan senyum. Aku tahu, mau Kalila ikut olimpiade atau tidak, dia akan tetap tahu aku ikut olimpiade—mengingat aku dikirim sekolah. Tapi, kalau Kalila juga ikut olimpiade yang sama, rasanya pasti akan tambah aneh.
Dan bagaimana kalau dia tahu aku sudah lolos seleksi sekolah tanpa harus tes?
Sebelum aku sempat berpikir apa-apa lagi, Kalila menepuk bahuku. "Doain gue ya, Ra."
Aku mengangguk lalu tersenyum kecil. "Iya."
"Lo mau daftar juga?" tanya Kalila.
Aku terdiam sebentar, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan itu? Tapi, sebelum aku sempat menjawab, Kalila berkata, "Tapi kasihan juga sih lo-nya. Lo kan harus ngejar pelajaran di kelas tambahan. Iya, kan? Eh, hasil kuis kelas lo belum dibagiin? Gue penasaran sama nilai lo."
"Kayaknya minggu depan dibagiin nilainya," jawabku. Ah, kalau nilai kuisku sudah dibagikan dan mereka tahu nilaiku lumayan, segalanya akan lebih mudah. Dari situ, aku bisa menaikkan nilaiku pelan-pelan, dan orang-orang akan melihatnya sebagai kenaikan yang normal.
Kalila menepuk bahuku lagi. "Yuk, balik, Ra. Lo kan tadi takut ketinggalan Matematika." Kemudian, dia berbalik dan berjalan menuju kelasnya sendiri.[]
a.n
kaliaan, coba komen di sini gombalan bikinan kalian. Bentuknya terserah--boleh dibikin percakapan tanya-jawab kayak Rio tadi, atau kayak gimana terserah deh.
Ini semacam kuis gitu sih HEHE. Nanti yang menang, di depan rumahnya bakal ada mas-mas bawain hadiah (ini beneran ok).
Ayo komen! (kasihan ini enggak ada yang gombalin HHHE /gak/) batasnya sampai aku post chapter 15. Jadi sebelum itu, komen ajaa. Boleh komen lebih dari satu kok, yang penting semua gombalannya asli bikinan kalian EHE
p.s maaf belom sempet balesin komen di chapter-chapter sebelumnya yaa. wattpad ngabisin baterai hape banget;-; baru ngestalk-ngestalk orang bentar, baterainya udah abis. HAHA /gadeng/ tapi udah pada kubacain kok komennya. Makasih yaa. Aku selalu ngakak baca komentar kalian (yha ketauan jiwa recehnya)
19 Juni 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top