chapter 10: the number you are trying to reach has a tutor, not a husband
"Jadi, kemarin Viara narik gue dan ngajak gue pergi. Gue kira, dia mau ngajak gue ke mal buat dibabuin kayak biasanya. Tapi tahunya, enggak. Ke mana coba tebak?" Kalila berhenti berbicara kemudian menyeruput jus jeruknya.
Sekarang jam istirahat. Kalila bersemangat sekali menceritakan kepadaku apa yang terjadi kemarin. Sebenarnya, dia ingin bercerita tadi pagi. Tapi katanya, "Semalem gue mimpi indah, Ra. Susah bangun."
Sebelum aku bisa membuka mulut untuk menebak ke mana mereka pergi, Kalila membuka mulutnya dan melanjutkan.
"Gue diajak ke kebun binatang," jawab Kalila lalu tertawa. Aku tidak bisa tidak tertawa juga. Absurd sekali.
"Ngapain?" tanyaku dengan heran.
Kalila tertawa lalu menjawab, "Dia mau gue gambarin dia sama monyet."
Aku melongo. "Hah?"
"Ya, Reza kan tertarik--sok tertarik, maksud gue--sama evolusi manusia bla bla bla. Nah, si Reza bentar lagi ulang tahun. Viara ini, mau ngasih kado berkesan yang mana adalah gambar dia sama kera--yang dipercaya sebagai wujud manusia sebelum berevolusi bla bla bla," jelas Kalila.
Aku mengerutkan kening. "Kenapa harus lo gambar? Kenapa enggak difoto aja?"
"Viara bilang, gambar tangan itu lebih berkesan atau apalah," kata Kalila. "Menurut gue, dia sih cuma pengin ngerjain gue aja. Ya udah, gue kerjain balik."
Aku menyeruput es teh manisku sambil menatap Kalila, menunggu lanjutan ceritanya.
"Gini, gue kan kemarin nanya sama Viara, kenapa dia mau ada dia sama si monyet, kenapa enggak monyetnya aja gitu. Terus Viara bilang, biar setiap Reza belajar, inget sama Viara," jawab Kalila lalu tertawa. "Ya ampun, gue enggak ngerti lagi sama otaknya dia."
Aku tertawa.
"Ya udah, gue gambarin di sana. Lo harus lihat posisinya Viara kemarin. Mungkin dia merasa udah kayak Mona Lisa atau siapa," kata Kalila sambil masih tertawa. "Intinya, sambil nahan ketawa dan mikir keras--soalnya kan, susah bedain yang mana muka Viara, mana muka monyet--gue gambar. Viara maksa gue buat nunjukkin gambarnya, tapi gue bilang, gue mau ngasih sedikit detail-detail yang belum selesai. Untungnya, dia mau-mau aja. Dengan syarat, gue bakal ngurus semuanya--ngasih gambar itu figura, bungkus pakai kertas kado, dan ngasih ke Reza besok--waktu dia ulang tahun.
"Sebenarnya, gue udah tahu Viara bakal minta gue ngelakuin semua itu--walaupun gue udah nunjukkin gambarnya. Gue udah terbiasa. Jadi, gue sengaja nahan gambarnya dari Viara, karena...." Kalila berhenti berbicara, seolah-olah ingin memberi efek menegangkan.
"Karena?" tanyaku.
Kalila merogoh ke dalam tasnya (yang dia bawa ke kantin. Tadi aku bingung kenapa dia membawa tasnya ke kantin, tapi sekarang aku mengerti), dan mengeluarkan sebuah figura. "Lihat, deh."
Aku meraih figura itu kemudian melongo begitu melihat gambarnya.
Hal pertama yang melintas di pikiranku adalah, gambar ini sangat bagus.
Hal kedua adalah, oh, oke, aku bahkan sudah tidak memikirkan hal kedua, karena beberapa detik setelah hal pertama melintas di kepalaku, aku langsung tertawa.
Di gambar itu, ada orang dengan posisi mirip Mona Lisa--yang mana adalah Viara. Dia mengenakan seragam SMA, dengan gelang, tas, dan sepatu persis seperti yang kulihat dikenakan Viara kemarin. Tapi mukanya, adalah muka kera.
Sedangkan kera di belakangnya, bergelantungan di pohon, memiliki wajah Viara.
Di bawah gambar itu ada tulisan yang berbunyi, 'SELAMAT BELAJAR, REZA. JANGAN BOSEN-BOSEN KALAU MUKAKU MUNCUL TERUS DI BUKU TEORI EVOLUSI DARWIN :) -Viara'
Oh ya ampun, ini gambar terkonyol sekaligus terbagus yang pernah kulihat.
"Gimana?" tanya Kalila sambil nyengir. "Pulang sekolah ini, mau gue bungkus kado."
"Bagus banget," kataku setelah beberapa saat. "Gambar lo bagus, serius." Kemudian, aku teringat percakapan Kalila dan kedua orangtuanya beberapa waktu yang lalu. Aku ingat apa yang orangtua Kalila katakan soal bakat menggambar Kalila. Aku bertanya-tanya, apa orang tua Kalila pernah melihat gambar Kalila?
Aku, yang pernah mengalahkan ribuan orang dan memenangi lomba melukis internasional untuk umum sewaktu kelas satu SMP saja, mengaku tidak bisa menggambar sebagus Kalila.
"Makasih," kata Kalila. Aku tahu dia senang, walaupun dia berusaha tampak biasa-biasa saja.
Aku mengembalikan figura tadi kepada Kalila. "Semoga Viara ada di sebelah Reza waktu dia buka kadonya itu."
Kalila mengangguk-angguk dengan senang. "Pasti. Viara kan, SKSD banget sama keluarga gue. Palingan dia udah muncul jam dua belas malem. Kayaknya, dia punya kekuatan super buat muncul tiba-tiba. Gue enggak bakal kaget kalau tiba-tiba, dia muncul dari dalam kloset waktu gue lagi mandi."
Aku tertawa lalu bertanya, "SKSD?"
"Sok kenal sok deket," jawab Kalila. Tampaknya, mood-nya benar-benar bagus dan dia sedang teralihkan oleh semangat tentang kado Viara untuk Reza, sehingga dia tidak repot-repot menggodaku karena aku tidak tahu bahasa-bahasa aneh yang diucapkannya.
"Enggak cuma Viara aja, kok. Udah jadi tradisi di keluarga gue, kalau setiap ada yang ulang tahun, buka kadonya ramai-ramai. Jadi, orang tua gue bakal ngelihat juga gambar gue," jawab Kalila.
"Lo enggak takut dimarahin?" tanyaku, membayangkan reaksi Om Taufik dan Tante Anisa.
Kalila menggeleng. "Enggak. Biar mereka lihat gambar gue juga."
Kemudian aku sadar. "Orang tua lo pasti sadar kok, kalau gambar lo bagus banget."
"Semoga," kata Kalila sambil mendengus. "Waktu kecil, gue suka gambar-gambar enggak jelas di tembok. Ya, jelas orang tua gue marah dan nyita semua krayon gue. Sejak saat itu, gue keseringan diem-diem kalau gambar. Ya, walaupun sampai sekarang, gue kadang-kadang nyoret-nyoret tembok cuma biar bikin mereka kesel."
Aku mengerutkan kening. "Sayang banget, padahal mereka pasti seneng kalau anaknya punya bakat dan berprestasi," kataku, teringat reaksi mereka ketika Reza menceritakan kegiatan-kegiatannya.
"Iya, emang. Tapi selain gambar. Mereka lebih suka gue pinter di akademik, atau olahraga," jawab Kalila. "Menurut gue sendiri, selain karena gue suka gambar-gambar di tembok, itu juga karena orang tua gue enggak ada yang bisa dan minat di gambar. Mereka dominan di akademik dan olahraga. Maksudnya ya, bukannya mereka terang-terangan ngelarang gue, tapi kita biasanya lebih nyambung sama orang yang hobinya sama, kan? Nah, begitu juga orangtua gue--mereka jadi lebih nyambung ke Reza."
Aneh sekali. Mama senang aku berprestasi, makanya dia selalu mendorongku di berbagai macam aktivitas. Berbeda dengan orang tua Kalila, Mama mau aku berprestasi di segala bidang. Mulai dari akademik sampai seni. Semuanya. Dan aku juga tidak keberatan, soalnya itu semua menyenangkan.
Tapi Kalila tampaknya tidak akan sependapat denganku. Dia tampak sama sekali tidak tertarik pada akademik atau olahraga.
"Bahkan, mereka udah mau daftarin gue ikut olimpiade beberapa kali," kata Kalila. "Yang selalu gue tolak. Tapi tadi pagi, mereka minta gue ikut olimpiade lagi."
Aku berpikir sebentar kemudian berkata, "Kenapa enggak lo bikin perjanjian aja, Kal? Misalnya lo ikut olimpiade, orang tua lo harus mendukung hobi gambar lo. Kayak bolehin lo ikut kursus atau lomba gambar gitu."
Kalila memikirkan ucapanku, lalu mengangguk-angguk. "Boleh, sih. Tapi masalahnya, gue enggak bisa ikut olimpiade. Otak gue kan terlalu biasa, dan orang tua gue kayak enggak nerima fakta kalau otak gue biasa aja. Makanya mereka enggak mau gue masuk kelas tambahan kayak lo gitu," jelas Kalila.
"Ya, lo kan bisa belajar selain dari kelas tambahan," kataku. "Les biasa gitu?"
Kalila mengangkat bahunya. "Boleh, sih. Nanti deh, gue pikirin lagi. Tapi sekarang--" Kalila nyengir. "--gue mau ngurus kado ini dulu."
Bel masuk tiba-tiba berbunyi. Anak-anak mulai beranjak dari duduknya. Sebelum Kalila pergi dan menuju kelasnya (aku dan Kalila masuk ke kelas yang berbeda), aku buru-buru berkata, "Kal, mena-satu, rupa-satu, sama gakuna apaan, sih?"
Semoga pikiran Kalila masih tertuju ke kado Viara, sehingga dia mau menajawab pertanyaanku dengan sukarela seperti tadi.
Kalila tertawa. "Satunya diganti bahasa Inggris. Terus 'ku' itu 'kuat', dan 'na' itu 'nahan'."
Oke, setidaknya dia masih mau memberiku petunjuk.
"Oke, makasih."
[.]
"Lo menawan dan rupawan, gue enggak kuat nahan," kataku. Sejurus kemudian, Rio tertawa.
Kami sekarang berada di dalam kelas tambahan. Angga, Putra, dan Bagas belum terlihat (kata Rio, mereka mungkin ada di kantin). Beberapa anak sudah mulai berkumpul di kelas. Bahkan, Arka sudah duduk di depan kelas. Aku sebenarnya ingin menghampirinya dan menyerahkan A Tale of Two Cities. Tapi, aku sudah tidak sabar menunjukkan pada Rio kalau aku bisa mengerjakannya PR-nya dengan baik.
"Makasih, lho," kata Rio sambil sedikit membungkuk.
Sepersekian detik kemudian, aku paham apa maksudnya. Kemudian, aku tertawa. "Harusnya gue yang bilang makasih. Kan lo yang ngomong itu duluan ke gue."
Rio mengangkat bahunya. "Tetep aja gue terharu." Rio mengangkat tangan lalu mengelap ujung matanya.
Aku tertawa lagi. "Oke, jadi Bapak Guru Rio, apa selanjutnya?"
"Bapak mau kasih PR lagi," kata Rio dengan suara diberat-beratkan.
Sambil menahan tawa, aku berkata, "Kapan ngajarnya? Kok dikasih PR mulu?"
"Ini metode ajar terbaru--kasih PR terus sampai mampus," jawab Rio, masih dengan suara diberat-beratkan.
"Oke, jadi apa PR-nya?" tanyaku.
"Bapak belum pikirkan--"
"Bapak, palalu! Belum nikah woy!" seru seseorang, mengagetkanku dan Rio.
Aku menoleh dan mendapati Angga, Bagas, dan Putra berdiri di dekat kami. Sebelum aku atau Rio bisa bereaksi, Angga dan Bagas maju. Kemudian mereka mulai menggelar mini drama.
"Bapak belum pikirkan gimana kita mau bayar uang sekolah anak," kata Angga dengan suara diberat-beratkan dan ekspresi serius.
"Tenang aja, Ibu bakal bantuin kok. Kita harus tenang, Mas," balas Bagas dengan suara yang dilembutkan. Kelewat lembut menurutku.
Aku tidak bisa tidak tertawa. Rio dan Putra juga ikut tertawa.
"Gimana kalau Bapak kerja jadi pembantu rumah tangga?" usul Angga, masih mempertahankan ekspresi dan suaranya.
"Ide bagus, Mas. Nanti Ibu jadi kenek angkot," balas Bagas sambil melambai-lambaikan tangan di sekitar wajah, seolah-olah sedang memegang kipas.
"Gue sebenarnya tertarik sama drama kalian. Serius." Sebuah suara menghentikan tingkah laku Angga dan Bagas. Kami menoleh ke depan kelas dan mendapati Arka sudah siap mengajar. Yah, sesiap-siapnya Arka mengajar. "Tapi sayang, durasinya udah habis."
Anak-anak yang lain, menoleh ke arah Angga dan Bagas, kemudian ke arah Arka. Mereka tampak kebingungan.
"Yuk belajar!" kata Arka sambil menepukkan kedua tangannya.
Aku segera berjalan ke tempat dudukku. Arka tidak menegur kami. Tidak secara langsung. Tapi ini pertama kalinya, aku melakukan kesalahan di kelas.
Tapi, aku tidak merasa begitu buruk. Malah, aku masih bisa tertawa ketika Angga berkata, "Bu, Bapak mau belajar dulu, ya."
[.]
Dua jam akhirnya berlalu. Aku merapikan barang-barangku kemudian berjalan menuju meja Arka. Meja itu dikelilingi oleh beberapa gadis. Tapi, aku harus menunggu.
Setelah beberapa saat, satu per satu, gadis itu mulai pergi. Begitu tinggal aku dan Arka, aku melagkah maju dan menyerahkan A Tale of Two Cities.
"Makasih," kata Arka sambil tersenyum. Kemudian, dia merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan novel Great Expectations. Ia pun menyerahkannya kepadaku.
"Makasih," kataku.
"Sama-sama," balas Arka. "Kamu mau pulang?"
"Iya," jawabku.
"Oke, sebentar." Arka meraih tasnya kemudian berkata, "Ayo."
Kami pun berjalan meninggalkan kelas bersama-sama. Walaupun sudah sore, beberapa murid masih betah berada di sekolah--entah apa yang mereka lakukan.
"Omong-omong, kenapa tadi saya dengar Rio nyebut dirinya sendiri 'Bapak'?" tanya Arka selagi kami berjalan.
"Itu cuma main-main," jawabku.
"Dia pura-pura jadi suami kamu?" tanya Arka.
Aku tertawa. "Enggak. Dia pura-pura jadi guru saya."
"Guru kamu?" tanya Arka.
Aku merasa, tidak ada gunanya menjelaskan kepada Arka kalau Rio menjadi guruku untuk pelajaran Bahasa Gaul. Tiba-tiba, aku merasa, aku begitu kekanak-kanakan di depan Arka.
"Lupain aja," jawabku akhirnya.
"Kenapa? Kamu kira saya terlalu tua untuk mengerti candaan kalian?" tanya Arka lalu terkekeh.
"Emang, umur kamu berapa?" tanyaku.
"Coba tebak."
Aku memandang Arka, lalu berpikir. "Dua puluh satu?"
Arka tampak terkejut. "Wah, saya enggak bakal nyangka kamu bisa langsung bener."
Aku tertawa. "Coba tebak umur saya."
"Lima belas," jawab Arka, nyaris tanpa jeda. "Gampang nebak umur anak SMA kelas sepuluh. Rata-rata kan, lima belas."
"Iya, tapi saya bakal enam belas akhir November ini," jawabku, merasa perlu menambahkan kalau aku tidak sekecil itu.
"Tapi sekarang, umur kamu kan, lima belas. Jadi saya benar," kata Arka sambil nyengir.
"Tidak ada yang bilang kamu salah."
Arka menatapku selama beberapa detik, kemudian tertawa kecil.
Kami sebentar lagi sampai di gerbang sekolah. Sebelum berpisah, aku buru-buru berkata, "Arka, saya mau nanya."
"Apa?"
"Menurut kamu, kalau seseorang mengubah sesuatu di hidupnya, apa semua hal di hidupnya akan ikut berubah?"
Aku tidak tahu kenapa aku menanyakan hal itu kepada Arka. Tapi entahlah, menurutku, Arka bisa tampak dewasa dan santai dalam waktu yang bersamaan. Dan aku merasa, aku bisa menanykan apa saja kepadanya.
Arka tampak berpikir. "Menurut saya iya. Misalnya kamu mengubah gayamu berpakaian, itu tentu akan merembet ke mana-mana. Ke gaya hidup kamu--cara kamu berbelanja, cara kamu berbicara, cara kamu berjalan, cara kamu berpikir, dan sebagainya. Tapi, tidak semua perubahan itu positif, dan tidak semuanya negatif juga. Misalnya, sisi negatifnya, kamu jadi berbelanja terus. Sisi positifnya, kamu lebih percaya diri."
"Tapi, apa jati diri orang itu masih sama?" tanyaku. "Maksudnya, siapa dia sebenarnya. Tidak semudah itu kan, mengubah jati diri seseorang?"
Arka mengangguk. "Kamu benar. Tapi bukan berarti jati diri tidak bisa berubah. Untuk beberapa kasus, mungkin agak lama. Tapi beberapa kasus lainnya, bisa saja dalam waktu singkat--semuanya tergantung kondisi."
Sekarang kami sudah sampai di gerbang sekolah. Arka menoleh kepadaku lalu bertanya, "Kamu pulang naik apa?"
"Angkot, mungkin."
"Mau bareng saya?"
Aku tersenyum canggung. "Enggak usah. Makasih."
"Oke." Kemudian, Arka berlalu pergi. Biarpun begitu, kata-katanya masih tertinggal bersamaku.[]
a.n
Haii! buat kuis yang kemaren, aku umumin pemenangnya di chapter 11 yaa ehhe
8 Juni 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top