Chapter 1: the number you are trying to reach is a freak

chapter 1: the number you are trying to reach is a freak


"Aira, nanti siang jangan lupa ke rumah Papa, ya," kata Mama begitu aku duduk di meja makan. "Mama udah telepon Papa kemarin. Papa seneng banget kamu mau dateng."

Aku mengambil piring sarapanku, lalu berkata, "Seneng karena ada yang bisa dia banding-bandingin sama Hera."

Mama mengerutkan keningnya. "Kamu merasa kalah dari Hera?"

"Aku enggak ngerasa gitu," kataku. "Tapi menurut Papa gitu."

"Kamu punya otak, Aira," kata Mama. "Hera punya baju, celana, tas, sepatu, bedak, dan lipstik."

Aku menahan diri untuk tidak mengatakan, "Mungkin Papa emang lebih tertarik sama baju, celana, tas, sepatu, bedak, dan lipstik--makanya Papa ninggalin Mama." Tapi seperti kata Mama, aku punya otak. Jadi, aku tahu, kalimat tadi bukan sesuatu yang mau didengar Mama.

Mama dan Papa pisah satu tahun yang lalu. Mereka pisah baik-baik. Katanya, mereka sadar, mereka memang tidak cocok untuk satu sama lain. Dan menurutku sendiri, memang begitu. Mama perfeksionis. Sedangkan Papa kelewat santai. Mungkin sebagian besar orang berpikir kalau mereka cocok, karena saling melengkapi atau apalah. Tapi, bla bla bla. Hidup itu lama, dan orang perfeksionis tidak mungkin selamanya tahan dengan kesantaian orang santai. Begitu juga sebaliknya.

Tidak lama setelah pisah, Papa menikah dengan Fiona, seseorang dari kantornya. Fiona punya anak yang umurnya lebih tua satu tahun dari aku. Namanya Hera. Dan dia... yah, seperti kata Mama tadi. Punya baju, celana, tas, sepatu, bedak, dan lipstik. Oke, mungkin bukan punya, tapi kelebihan.

Soal hubunganku dengan Papa, sebenarnya, baik-baik aja. Tapi dari dulu, aku memang tidak terlalu dekat dengan Papa. Aku lebih banyak mewarisi sikap perfeksionis Mama.

"Pokoknya, nanti kamu dateng aja," kata Mama, menyela pikiranku.

"Hmm," gumamku sambil memakan sarapanku.

"Oh ya, kamu kan, minggu depan udah masuk sekolah, apa ada sesuatu yang mau kamu beli? Kayak buku latihan soal dan semacamnya?" tanya Mama.

Aku menggeleng. "Udah punya--udah selesai, malah. Nanti aku bisa beli sendiri."

Minggu depan, aku resmi jadi murid SMA. Sejak sebulan yang lalu, Aku sudah mulai belajar pelajaran-pelajaran kelas sepuluh, dan aku sudah selesai sekarang. Bukannya aku kurang kerjaan, tapi memang begitu pekerjaaanku.

Lihat kan, kenapa aku tidak bisa cocok dengan Papa?

"Aira, Mama harus berangkat sekarang," kata Mama tiba-tiba sambil membaca sesuatu di ponselnya. "Asisten Mama enggak bisa masuk hari ini. Dan Mama harus nyelesaiin semua pekerjaannya sebelum numpuk."

Aku mengangguk. "Oke."

Mama berdiri, lalu meraih tas tangannya. "Jangan lupa, nanti siang, kamu makan siang di rumah Papa, ya."

"Hmm."

[.]

Seperti yang sudah kujanjikan kepada Mama, siang ini aku pergi ke rumah Papa. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Hanya sekitar dua puluh menit naik angkot.

Sekarang, aku sudah berdiri di depan pintu yang sepertinya, dulu bercat putih--warnanya sudah tidak jelas sekarang. Kalau Mama tinggal di sini, pintu rumah ini mungkin bakal jadi pintu rumah paling mengilap di jalanan, mengalahkan kilapan gigi orang di iklan pasta gigi.

Aku menekan bel di hadapanku. Beberapa saat kemudian, pintu dibuka, dan muncullah sosok Fiona. "Eh, Aira!" katanya bersemangat. "Ayo, ayo masuk. Kita semua udah nungguin kamu!" Fiona mengamit lenganku dan menyeretku masuk ke dalam rumah.

Aku bisa mengerti kenapa Papa memilih untuk menikahi Fiona. Selain cantik, Fiona juga santai dan riang.

Itu baru yang namanya cocok.

"Aira!" seru Papa begitu aku tiba di ruang makan. Papa bangkit dari duduknya dan memelukku. "Papa kira, kamu enggak bakal dateng."

"Kenapa aku enggak bakal dateng?" balasku sambil tersenyum. Kalau aku tidak punya sopan santun, aku mungkin bakal muterin bola mata dan bilang "Tuh tahu."

"Hai, Aira!" sapa Hera sambil melambai-lambaikan tangannya--menyebabkan gelang-gelang di tangannya berbunyi seperti bel rumah.

"Halo, Hera," balasku sambil tersenyum kecil.

"Ayo duduk," kata Fiona. Ia menunjuk ke salah satu dari dua kursi kosong di meja. Aku berjalan dan duduk di kursi yang selalu kutempati setiap berkunjung ke mari. Kursi satunya lagi, biasanya diduduki Mama kalau dia ikut datang ke sini.

"Semoga kamu suka sama makanannya," kata Papa sambil tersenyum lebar.

Aku balas tersenyum.

"Aira, lo minggu depan masuk sekolah, kan?" tanya Hera, membuka pembicaraan.

Ini dia yang paling tidak kusuka kalau disuruh berkunjung ke sini--basa-basi. Maksudnya, oke, lah, setiap orang pasti pernah berbasa-basi. Tapi di sini, basa-basinya biasanya kelamaan. Kalau makan sama Mama, paling basa-basinya cuma lima sampai sepuluh menit--sebagian besar waktu pasti habis membicarakan hal-hal penting yang berbobot--bukannya membahas soal baju kesempitan yang dipakai tetangga sebelah (bukannya kami pernah membicarakan hal semacam itu di sini).

Aku mengangguk. "Iya."

"Wah, udah SMA aja, ya," kata Fiona, seolah-olah dia sudah mengenalku sejak aku masih berwujud zigot.

"Gimana persiapan kamu?" tanya Papa sambil memasukkan makanan ke mulutnya.

"Lumayan," jawabku. "Aku udah nyelesaiin semua materi kelas sepuluh."

Papa, Fiona, dan Hera terdiam. Setelah beberapa saat, Papa tertawa kecil kemudian berkata, "Papa selalu lupa kamu kayak gimana," katanya. "Maksud Papa, apa kamu butuh tas baru? Sepatu baru? Hal-hal yang biasanya dibutuhin sebelum masuk sekolah?"

"Aku bukan anak SD, Pa," kataku.

Papa tersenyum lebar. "Tapi kan, enggak ada salahnya buat beli hal-hal kayak gitu. Hera bisa bantuin kamu."

Tuh, kan. Mulai lagi, nih.

Aku berusaha memasang senyum setulus mungkin. "Enggak usah, deh. Nanti malah ngerepotin."

"Enggak ngerepotin, kok," sela Fiona. "Iya, kan, Hera?"

Hera menganggukkan kepalanya dengan semangat. "Kalau lo emang enggak mau beli, lo bisa ambil punya gue. Habis ini, kita ke kamar gue aja."

Satu-satunya yang kubutuhkan sehabis ini adalah, kembali ke rumah dan menyelesaikan novelku.

"Kamu mau, kan?" tanya Papa.

Aku menghela napas, kemudian berkata, "Oke."

[.]

Setelah makan siang, Hera mengajakku pergi ke kamarnya. Aku sudah pernah masuk ke sini sebelumnya--waktu itu, Hera memaksaku melihat koleksi tas barunya dia. Sekarang, dia memaksaku mengambil salah satu dari koleksi tasnya dia.

Aku menghempaskan diri di atas kasur Hera. Hera duduk di sebelahku. "Nah, lo tinggal pilih mau tas yang mana!" katanya sambil tersenyum lebar. Dia menunjuk ke lemari di depannya, yang dipenuhi oleh berbagai macam tas.

"Her, lo tahu kan, bukannya gue enggak sopan atau gimana. Tapi ini bukan... gue," kataku sambil menghela napas. Sepertinya, kalau aku memaksa diriku menatap lemari penuh tas itu lebih lama lagi, sistem sarafku akan mulai bermasalah.

Hera tertawa kecil. "Gue tahu, kok. Gue enggak buta. Gue juga tahu lo lebih milih ada di perpustakaan daripada ada di kamar gue sekarang."

Aku ikut tertawa. "Ya, gitu, deh."

"Tapi," kata Hera. "Gue mau lo berubah. Yah, seenggaknya sedikit. Jangan terlalu serius, Ra. Hidup enggak selalu tentang nilai."

Aku menoleh kepadanya dengan bingung. "Hah?"

Hera tersenyum. "Bukannya mau sok-sok ngajarin lo atau gimana, soalnya, walaupun gue lebih tua dari lo, gue yakin, IQ lo lebih tinggi dari gue," kata Hera. "Tapi, gue cuma mau bilang kalau lo sebaiknya mulai bersenang-senang. Maksudnya, bukan bersenang-senang ala lo. Bersenang-senang kayak anak-anak kebanyakan. Apalagi lo udah mau masuk SMA. SMA enggak bakal terulang dua kali di hidup lo--kecuali lo enggak lulus, yang enggak mungkin banget. Jadi yah, gue rasa, enggak ada salahnya buat sedikit keluar dari zona lo. Dan gue rasa, sekarang waktu yang tepat. Lo bisa memulai hidup lo yang baru di sekolah yang baru!"

Hera barusan bicara pakai bahasa apa, ya?

"Oke, kapan terakhir kali lo jalan bareng temen-temen lo?" tanya Hera tiba-tiba.

"Emang kenapa?" tanyaku balik.

"Jawab aja pertanyaan gue," kata Hera.

Aku berusaha mengingat-ingat. Setelah beberapa saat, aku mengangkat bahu.

"Nah itu," kata Hera. "Gue bahkan ragu, lo punya temen."

"Gue punya temen, kok," kataku tidak terima.

"Oh?"

"Dari klub pelajaran."

Hera tertawa. Ia kemudian menepuk-nepuk punggunggku lalu berkata, "Apa lo enggak bosen?"

Aku mengangkat bahu. Pertanyaan itu memang sebenarnya, pernah kutanyakan kepada diriku sendiri beberapa kali. Tapi, aku selalu berhasil menjawabnya dengan jawabanku sendiri: "Hidup cuma sekali. Enggak ada waktu buat ngelakuin hal-hal enggak jelas."

Tapi aku tahu, aku tidak bisa mengatakan itu kepada Hera--definisi 'hal-hal enggak jelas' versiku, berbeda dengan versi Hera.

"Gue cuma merasa, sosialisasi bukan hal gue," kataku akhirnya. "Gue enggak tahan ngomongin hal-hal enggak penting sama orang lain buat waktu yang lama."

Hera menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue kira, orang pinter kayak lo tahu kalau sosialisasi itu hal yang penting di hidup," katanya. "Lagian, pelajaran enggak cuma didapetin dari buku. Lo juga bisa belajar dari orang-orang di sekitar lo. Bahkan, ada beberapa pelajaran yang cuma bisa lo dapetin dari orang-orang di sekitar lo--bukan dari buku-buku besar lo itu."

Dan kata-kata Hera itu berhasil membuatku berpikir seharian. Iya, aku tahu, sosialisasi hal yang penting. Tapi, aku sudah terlalu terbiasa dengan lingkunganku yang ini--cuma sendiri dan ditemani buku-buku.

Dan kata Hera, ada pelajaran yang bisa kudapat dari orang-orang di sekitarku--pelajaran yang tidak tercantum dalam buku-buku teks.

Dia ngibul kali, ya.[]

a.n
haaaii! akhirnya aku selesai US! bisa bakar-bakar buk--eh iya, masih ada UN.
btww, yey akhirnya aku post chapter 1! semoga suka, ya : )

((ini a.n penting banget ya))

28 April 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top