8 - Balas Dendam Pak Gino


 "Stand By You" - Rachel Platten 


"Hebat, Jen!"

"Sumpah, lo itu keren banget!"

"Akhirnya lo mengalahkan si monster, Jenny!"

Pujian semacam ini terus berdatangan kepadaku secara bertubi-tubi. Saking banyaknya yang memuji, aku sampai nggak tega buat mengoreksi Wynona Salim yang mengganti namaku jadi Yeni. Agak kedengaran gimanaaaa gitu, tapi sudahlah. Abaikan, hehe... Aku terlalu lega untuk melakukan apa-apa saat ini selain cengar-cengir lebar.

Pak Gino nggak muncul lagi. Padahal masih ada sisa waktu satu jam sebelum kelas Kimia betulan habis. Kata Billy si ketua kelas, kemungkinan besar Pak Gino terlalu malu (atau marah) buat nongol lagi di kelas. Entahlah, semoga si Billy benar.

"Jadi..." kata Tara. "Sebenarnya flash disk lo isinya apaan?"

Aku menarik keluar benda kecil itu dari saku. "Isinya virus yang bisa bikin komputer rusak. Teman hacker gue sewaktu di New York nggak sengaja menemukan virus ini. Tadinya mau dibuang, tapi dia nggak rela. Jadinya malah dikasih ke gue..."

"Dan lo akhirnya menemukan kegunaan virus itu."

"Kurang lebih."

"Jadi komputer si monster betulan rusak?"

"Iya."

Kelas bersorak lagi. Aku ikut bersorak. Tapi, tunggu sebentar. Kalau dipikir-pikir lagi, apa perbuatan ini memang layak disoraki? Aku merusak komputer seorang guru, lho. Mungkin sepuluh tahun dari sekarang kejadian ini akan tampak sepele, tetapi sekarang rasanya aku telah memotong tangan Pak Gino. Semacam perbuatan kriminal, begitu.

Atau... kalau dilihat dari sudut pandang yang lain, menyelamatkan teman-teman sekelasku dari penindasan monster keji berlidah pedang.

Hmm... Kurasa aku lebih menyukai sudut pandang yang kedua itu.

"Eh, tapi jangan bilang-bilang  siapa-siapa, ya..." Aku jadi tersipu. "Kalau flash disk gue memang ada virusnya."

Mereka mengangguk-angguk, menyetujui kongkalikong ini. Sebuah perasaan yang hangat memenuhi dadaku. Ternyata jadi murid bandel oke juga. Umm, bukan bandel. Maksudku, murid yang membela... kebenaran. Atau sejenis itulah.

"AAAAAARRRGH!"

Ada yang berteriak. Teman-temanku tertegun dan menoleh ke arah sumber suara. Di baris depan, Meredih menjerit sambil meremas iPad-nya. Sebutir anggur muncul di mejanya dan pecah dengan bunyi plop keras seperti bisul.

"Lo kenapa?" tanya Tara. "Nonton trailer film horor lagi di YouTube?"

"Bukan!" Meredith mengangkat iPad-nya dengan histeris. "Pak Gino kirim email!"

"Apa isinya?"

"PR," kata Meredith lemah. "Buat ringkasan bab satu sampai empat dalam bentuk esai, minimal tiga ribu kata. Buat juga esai tambahan tiga ribu kata tentang reaksi asam basa, sifat gas, penerapan hukum-hukum dasar Kimia beserta aplikasi dan contoh-contohnya. Esai dikerjakan dalam Bahasa Inggris. Kerjakan seratus nomor latihan soal tentang rantai karbon dan amina di halaman tiga puluh sembilan. Kumpul hari Sabtu pagi jam delapan lewat email..."

"Sabtu pagi?" Reo tersentak. "Tapi kan sekarang udah Jumat!"

"Ada lagi," kata Meredith sambil meringis. "Terlambat mengumpulkan dianggap bolos kelas hari ini dan akan dipotong empat puluh persen dari ujian mid-semester..."

Anak-anak mengecek email itu di iPad dan ponsel masing-masing. Setelah satu menit, semuanya terdiam. Carl mengangkat kepala dari iPad-nya dan tatapan kami berserobok. Matanya melebar, dia kelihatan ketakutan. Namun Carl cepat-cepat membuang muka tanpa mengatakan apa-apa.

Setumpuk PR ini ternyata betulan nyata. 

"Dia mau balas dendam!" tukas salah satu dari si kembar yang masih nggak bisa kubedakan sebagai Aldo atau Bastian. "Dia pasti mengamuk gara-gara kejadian hari ini!"

"Ini sih bukan cuma sekedar ngamuk," kata Tara, matanya terpaku di layar. "Tapi baper."

Rasa bersalah mendadak menerpaku seperti badai. Pasti Pak Gino sedang menghukum kami gara-gara aku telah merusak komputernya. Wah, kok jadi runyam begini? Padahal kami sekelas sedang merayakan kemenangan kecil kami ini. "Pasti dia ngamuk gara-gara flash disk gue..."

"Santai, Jen," kata Billy si ketua kelas, menenangkanku. "Bukan salah lo, kok. Si Pak Gino memang benci sama kita semua."

"Tapi kita nggak punya pilihan," kata Meredith. "Kalau kita nggak mengerjakan semua PR ini, bisa-bisa kita nggak lulus kelas Kimia."

"Ra..." Sebuah ide konyol mampir di kepalaku. Terdengar mustahil, tapi layak dicoba. "Lo kan bisa mengendalikan waktu..."

"Gue paham maksud lo, Jen. Tapi sorry, gue belum semahir itu," jawab Tara sambil menghembuskan napas putus asa. "Kalau gue mau mengubah kejadian di lab barusan, artinya gue harus memutar balik waktu buat kita semua. Kita sekelas ada dua puluh empat orang. Gue masih belum sanggup membawa manusia sebanyak itu buat mengarungi waktu. Lagipula ada si Pak Gino. Kalau dia nggak mengizinkan masa lalunya dimodifikasi, sama aja bohong."

Mood kelas yang semula gembira langsung terjun bebas.

"Kalau kita gagal mengerjakan semua PR ini, berarti kita membiarkan si monster menindas kita," kata si Iswara Hamid, teman kami yang berhijab. Kerudungnya berkibar seperti bendera perang. "Kalian mau terus-terusan di-zolimi sama si monster?"

"Tapi Is, dia minta kita bikin esai enam ribu kata pakai Bahasa Inggris!" protes Azka Aldric, cowok berkacamata yang sebenarnya lumayan cakep kalau kacamatanya dilepas. "Kita belum belajar apa-apa soal rantai karbon dan amina!"

"Gue bisa merevisi esai Bahasa Inggris kalian," kataku memutuskan. Aku sudah mengalahkan si monster, dan dia tak boleh kubiarkan menang lagi. "Maksud gue, kalau kalian merasa kurang pede, gue bisa bantu..."

Semua orang menatapku kecuali Carl.

"Gue mungkin nggak bakal tidur semalaman," lanjutku, mendadak merasa bersemangat. "Tapi gue janji bakal memastikan semua esai kita ditulis pakai grammar yang benar!"

"Kayaknya gue bisa bantu menjawab soal-soal rantai karbon sama amina," kata Meredith agak takut-takut. "Gue udah baca sampai Bab Tujuh (si kembar Nugroho ber-oooh takjub). Gue akan coba kerjakan, terus jawabannya gue share malam ini."

"Aku bakal membantu Meredith," kata Reo sambil tersenyum manis.

"Dan kita bakal bikin ringkasannya," kata Karina sambil menggandeng Wynona, Emma dan Billy. "Lo nggak bakal begadang sendirian malam ini, Jen!"


...

Merevisi esai teman-temanku ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Meski SMA Cahaya Bangsa adalah sekolah internasional di mana sebagian besar mata pelajarannya diajarkan dalam Bahasa Inggris, tapi kami jelas kesulitan membuat esai ini. Alasannya karena ini bukanlah esai sembarangan, tapi menyangkut Kimia - pelajaran paling dibenci anak-anak karena gurunya yang menyebalkan. Dan jujur saja, meski Bahasa Inggrisku lumayan, Kimia juga sudah masuk dalam daftar topik yang tak kusukai.

Aku sedang mengoreksi esai milik Karina – ada typo di kata acid, ketambahan huruf -e di belakangnya sehingga menjadi acide – ketika ponselku berbunyi. Ada LINE call dari Tara.

"Halo?"

"JENNIFER! GAWAT!"

Teriakan Tara begitu keras dan melengking, sampai aku terpaksa menjauhkan gagang telepon dari telinga.

"Ra, lo kenapa? Gila, kuping gue sampai sakit, nih!"

"GUE NELPON LO BERKALI-KALI NGGAK DIANGKAT!"

"Tadi di-charge. Lo kenapa?"

"LO NGAPAIN AJA?"

"Lagi merevisi esai lo. Ngomongnya kalem dikit, bisa?"

"GUE MAU KASIH TAU SOAL SI ORANG INGGRIS!"

Esai langsung tergusur keluar dari otakku. "Carl? Kenapa dia?"

"Gue barusan pulang bareng nyokap gue dari daerah Jakarta Selatan. Terus gue melihat si Carl di sana!"

"Oke. Terus apanya yang gawat?"

"Gue lihat si Carl masuk ke Bellagio."

"Bellagio?"

"Itu..." Tara kedengaran takut-takut. "Itu nama salah satu kelab malam di Jakarta."

Telepon nyaris jatuh dari genggamanku saking syoknya. "Lo yakin itu si Carl?"

"Ini dia berdiri di trotoar pas di seberang gue. Gue tadi salah belokan dan nggak sengaja berpapasan sama dia. Karena gelap, kayaknya dia nggak mengenali gue. Tapi gue yakin banget itu dia, dari rambutnya yang pirang dan kulitnya yang putih."

Aku menarik napas, mencoba menenangkan diri. "Mungkin dia cuma kebetulan lewat di situ. Lagipula lo tahu dari mana soal Bellagio?"

"Lo nggak tahu sih, itu tempat sering banget didemo," kata Tara seolah aku bayi bodoh berumur tiga tahun. "Dan gue nggak percaya dia cuma sekedar lewat di situ. Banyak banget orang dewasa di daerah itu, Jen."

"Terus lo mau ngapain, Ra?" Aku menelan ludah. "Mana mungkin kita-"

"Ooooooh!" Tara berseru tegang. "Dia bareng The Queens!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top