30. Liburan
Entah siapa yang memulai lagi gosip itu, tapi belakangan ada beberapa anak Cahaya Bangsa yang ngirim DM ke Instagram-ku dan mulai kepo bertanya-tanya lagi. Maksudku, berani juga ya mereka? Kata Meredith itu lumrah untuk ukuran Indonesia, di mana orang nggak perlu malu-malu menutupi kekepoan mereka. Minggu lalu, anak kelas sebelas bernama Tony Dewanto yang mengaku dari majalah sekolah bahkan bertanya apa aku bersedia di wawancara.
Nggak, ini bukan soal kejadian di Casa Poca waktu itu. Tapi soal gosip bahwa aku punya uang unlimited yang nggak bakal habis sampai tujuh turunan.
"Pasti si Wynona," kata Tara sambil melempar tatapan menuduh pada Wynona. "Dia yang paling heboh pas tahu kalau lo punya pesawat pribadi."
"Gue kan cuma menawarkan," kilahku membela diri. "Karena lucunya hadiah kita nggak termasuk tiket pesawat. Nah, kebetulan gue punya pesawat. Jadi ya sekalian aja."
"Masalahnya bukan kepemilikan pesawat itu," kata Meredith agak menggurui. "Tapi cara ngomong lo. Gue punya pesawat. Seenteng lo ngomong; Gue punya iPhone."
"Meredith, lo nyetir Mini Cooper. Please, nggak usah nuduh gue sok kaya."
"Si Jennifer mah bukan sok kaya," seloroh Tara. "Tapi emang kaya beneran."
Ada seseorang yang mengetuk pintu kamar dan obrolan kami buyar. Tara membukakan pintu, dan ternyata itu Carl dan Reo.
"Kalian udah siap?" tanya Reo. "Kenji udah nunggu di lobi."
"Siap," kata Meredith. "Yuk, cabut!"
Kami berbondong-bondong keluar kamar hotel. Cuaca Tokyo belakangan ini sudah mulai dingin, jadi kami tak lupa membawa jaket tebal. Di lift kami bertemu Hanna Hutabarat dan Iswara Hamid yang sepertinya juga telat. Anting-anting Hanna hanya sebelah, entah dia lupa memakai yang sebelahnya lagi atau memang sengaja.
Hari ini kami akan jalan-jalan ke Tokyo Disneyland. Sebetulnya ini kedua kalinya aku ke sana– Dad menyewa satu Disneyland untuk merayakan ulang tahunku yang ketujuh. Beberapa teman kami juga sudah pernah kemari kecuali Tara yang sepertinya menjadikan Disneyland sebagai salah satu tempat yang wajib dikunjunginya sebelum dia mati. Reo yang baik hati telah mengontak keluarganya yang ada di Jepang dan sepupunya yang bernama Kenji bersedia menjadi pemandu wisata selama liburan kami di sini.
Kalau mau dihitung-hitung, seumur hidup aku sudah sekitar dua puluh kali ke Jepang. Namun jalan-jalan kali ini berbeda, karena aku ditemani teman-teman sekelas. Bu Olena juga menemani, jadi liburan kali ini jadi makin seru.
Di lobi kami bertemu dengan Kenji, sepupu Reo, dan anak-anak kelas sepuluh Nobel yang lain. Bu Olena juga sudah siap, dia memakai mantel warna peach yang manis sekali.
"Jen, jemputannya udah datang," kata Billy. "Kita berangkat sekarang?"
Sebuah bus pariwisata merek Mercedes-Benz sudah terparkir di lobi.
"Oke," sahutku. "Yuk naik!"
Kami antri masuk ke dalam bus itu. Begitu sampai di dalam, beberapa teman langsung memuji interiornya. Karena transportasi selama di Jepang juga nggak ditanggung sekolah, jadi aku menawarkan diri untuk menyiapkannya.
"Jen, busnya oke banget," puji Karina. "Makasih, lho!"
"Mulai sekarang, bagaimana kalau Jennifer kita jadikan seksi akomodasi kelas aja?" Billy menawarkan. Teman-teman bersorak setuju dan aku hanya bisa tersenyum. Bu Olena melempar tatapan memperingati pada Billy dan dia langsung mengunci mulut meski tetap senyum-senyum sendiri.
"Terima kasih ya, Jennifer," kata Bu Olena lembut. "Kamu baik sekali mau menyiapkan semua ini. Mulai dari van yang dipakai pas Casa Poca, pesawat, dan bus ini..."
"Nggak apa-apa, bu." Aku jadi nggak enak. Serius, aku nggak merasa direpotkan sama sekali! "Kebetulan saya pu–maksud saya, ibu saya bersedia menyiapkan semuanya."
"Sampaikan terima kasih saya dan teman-teman ke Bu Darmawan, ya."
"Baik, bu. Terima kasih kembali."
Aku duduk di samping Carl yang sudah menyiapkan tempat untukku. Meredith duduk dengan Tara di depan kami, sementara Reo ada di seberang kami, mengobrol riang dalam Bahasa Jepang dengan Kenji.
"Luka kamu bagaimana?" tanya Carl peduli. Bus mulai melaju.
"Udah baikkan," jawabku. Dua minggu berlalu sejak aku keluar dari rumah sakit. "Masih sakit sedikit tapi sudah mengering. Luka kamu bagaimana, Carl?"
Carl mengangkat tangannya, memamerkan bekas luka jahitan. Luka itu sudah sembuh total, begitu juga dengan lebam-lebam di wajahnya, semuanya hilang tak berbekas. Oh, betapa melegakan punya akhir bahagia begini!
"Aku mau tanya sesuatu ke kamu..." Aku teringat kata-kata Meredith di kamar hotel barusan. "Apa benar aku kelihatan sok kaya?"
"Kamu? Sok kaya?" Carl memandangiku dengan geli. "Kamu kan memang kaya beneran."
Aku tersenyum terpaksa. Ternyata bukan Tara satu-satunya yang berpikir seperti itu. "Maksud aku, apa aku kelihatan pamer dengan segala limusin, pesawat dan bus ini?"
"Itu cuma perasaan kamu aja."
"Cuma perasaan aku? Kamu nggak lagi dikendaliin sama Anne-Marie, kan?"
"Nggak," Carl terkikik. "Serius, Jen. Coba lihat tampang anak-anak. Semuanya senang banget karena kamu mau jadi sponsor acara liburan kita."
"Tapi ada yang ngirim DM ke aku di Instagram..."
"Nggak usah dipikirin, oke?" Carl mendekatkan wajahku sehingga aku bisa menikmati mata biru lautnya. "Kamu memang Jennifer Darmawan, cewek terkaya se-Asia."
"Dan pengendali langka," timpal Tara, yang sepertinya menguping pembicaraan kami.
"Dan pengendali langka," ulang Carl sambil tersenyum semakin lebar. "You are that special, Jennifer. (Kamu memang se-spesial itu, Jennifer). Appreciate your specialty."
Appreciate your specialty... Hargai ke-spesialan-mu. Aku tersenyum. Carl selalu bisa bikin aku merasa lebih baik.
"Aku belum pernah ke Disneyland," kata Carl lagi. Dia mengalihkan pandangan ke luar jendela, ke arah lalu lintas Tokyo yang padat. Langit berwarna jingga terang. Ada sejumput awan seperti kapas yang berarak-arak di langit. Cuaca yang pas sekali untuk jalan-jalan di luar.
"Waktu kecil juga nggak pernah?"
Carl menggeleng. "Disneyland terdekat ada di Paris dan Dad selalu dapat tugas di luar Eropa. Kami berpindah-pindah di beberapa negara Asia dan hanya sesekali pulang kampung."
Aku lupa bahwa Carl anak Dubes Inggris. "Disneyland keren, lho. Kamu pasti suka."
"Apa betul seperti negeri dongeng?"
"Iya. Apalagi kalau kamu penggemar film Disney."
"Oooh!" seru Carl. Matanya membulat antusias. "Aku suka banget film-film Disney!"
Aku terbahak. "Aku juga. Film favorit kamu apa? Frozen?"
"Bukan. Hercules."
"Hercules?" Film itu sudah lumayan lama, waktu Disney masih sudi membuat film animasi dua dimensi.
"Aku suka jalan ceritanya," kata Carl, kedengaran larut dalam nostalgia. "Tentang cowok biasa-biasa saja yang menemukan jati dirinya. Ternyata dia spesial dan punya kekuatan besar."
Cowok biasa-biasa saja yang menemukan jati dirinya? "Sama kayak kamu dong."
"Kayak kamu juga." Carl menyenggol bahuku sedikit, menggodaku. "Kalau kamu?"
"Frozen," jawabku agak malu. Tawa Meredith dan Tara meledak di depan kami, tapi Carl nggak tertawa. Dia masih mendengarkanku dengan serius. "Aku suka Anna. Menurut aku, dia cewek yang tegar dan berkemauan keras."
"Pengendali es, tuh," timpal Billy dari kursi di belakang kami. "Si Elsa."
Sepanjang sisa perjalanan, kami mulai membahas film-film Disney favorit kami. Ternyata Nobel adalah markas penggemar film-film Disney. Azka berseru tanpa malu-malu bahwa dia kagum sama Moana, sementara Iswara mengaku dia pengen banget ketemu Belle di Disneyland. Bu Olena memuji-muji Mulan dan aku sependapat dengannya – Mulan memang keren. Dari cerita mereka, aku mendapat indikasi bahwa si kembar Nugroho sepertinya naksir sama Ariel dari Little Mermaid.
Dalam beberapa menit mimpi Iswara dan Tara menjadi kenyataan.
Di gerbang Disneyland, kami disambut oleh Mickey dan Minnie dan ditawari gulali. Oh, rasanya seru sekali. Anak-anak tertawa-tawa dan kami langsung bergerak ke tujuan pertama, kastil Cinderella. Meredith mengeluarkan kamera polaroid dan mulai menjepret foto. Wynona dan Karina sudah sibuk Live di Instagram masing-masing.
"Kamu tahu kan kalau di akhir cerita Frozen," kata Carl tiba-tiba. "Akhirnya selalu bahagia?"
"Tahu dong. Aku suka akhir yang bahagia."
"Sama, aku juga," kata Carl. "Nah, sekarang kita udah di bagian itu."
Matahari bersinar dari balik awan, menyinari kastil Cinderella yang menjulang megah di hadapan kami. Aku menatap Carl dan dia balas menatapku. Aku paham apa maksudnya bahwa kita sekarang ada di akhir yang bahagia. Tentu saja kita ada di bagian happy ending itu – Anne-Marie dan The Queens sudah ditaklukan, kami bebas dari penindasan PR selama sebulan dan sedang menikmati jalan-jalan.
"Kamu Aquarius, kan," lanjut Carl lagi. Angin semilir berhembus, menyapu rambut pirangnya yang halus dan berantakan. "Aku Libra."
Aku betul-betul lupa soal zodiak yang waktu itu ditanyakan Carl. Tapi aku sudah menceritakan soal ini pada Meredith dan Tara. "Kata Meredith, zodiak Aquarius dan Libra itu cocok banget, lho."
"Menurut kamu, aku sama kamu cocok nggak?"
Aku jadi geli sendiri. "Aku rasa cocok-cocok aja."
"Kalau gitu, kamu mau nggak jadi pacar aku?"
Suara-suara tawa bahagia dari para pengunjung Disneyland mengungkungiku tapi aku bisa mendengar apa yang dikatakan Carl barusan dengan jelas, seolah dia membisikannya langsung ke dalam hatiku bukannya mengucapkannya. Aku mendekati Carl dan dia tersenyum lebar. Senyumnya ramah dan menentramkan.
Aku mengulurkan tanganku padanya dan dia menyambutnya. Tangannya hangat dan kuat. Lalu bersama-sama sambil tersenyum bahagia, kami melangkah menuju kastil Cinderella, kedua tangan bergandengan erat, seolah itu adalah rumah baru kami berdua.
SELESAI
Jumat, 15 Februari 2019 – 21.45 WITA
- Terima kasih sudah membaca dan memberi dukungan sampai di bagian ini. Lanjutan petualangan Jen, dkk sudah tersedia di THE NEW GIRL 2 (cek aja di profil aku ya!) -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top