3 - Para Pengendali

♫ "Hold My Hand" - Jess Glyne 


Pelajaran "Pengendalian Kekuatan" mengambil tempat di lantai tujuh. 

Teman-teman yang lain juga kelihatannya sangat bersemangat untuk ikut kelas ini, bikin aku tambah bingung. Pelajaran "Pengendalian Kekuatan" terdengar sangat asing bagiku. Teman-teman yang kutanyai hanya tersenyum dan berkata "Lihat aja nanti!" Tara juga nggak mau memberitahu sama sekali. Katanya aku harus merasakan efek kejutan dari apa yang selama ini kusimpan.

Jadiiii, apa aku bakal diajarin cara menghancurkan batu pakai tusuk sate?

Aku memutuskan untuk menyimpan semua pertanyaan itu. 

Kami beriringan masuk ke kelas. Ruang kelas ini lebih mirip lapangan karena meja tulis untuk siswa diatur merapat mengelilingi dinding, menyisakan tempat yang cukup luas di bagian tengah ruangan. Ada meja guru dan sebuah papan tulis di depan.

Guru kelas "Pengendalian Kekuatan" adalah seorang pria berkepala botak berkumis tebal dan bertubuh gempal yang kelihatan agak mirip singa laut. Dari wajahnya, sepertinya ia orang yang banyak pengalaman.

"Siapa namanya?" Aku menanyai salah satu dari si kembar Nugroho yang nggak bisa aku bedakan sebagai Aldo atau Bastian.

"Park Yu-Tsin, orang Korea. Dia keren banget."

Meredith bertanya dengan sopan apakah ia boleh duduk di dekatku dan Tara. Kami menerimanya dengan senang hati. Lesung pipi Meredith yang dalam muncul kalau dia tersenyum.

Pak Yu-Tsin menyapa kelas dan kami balas memberi salam. Selesai mengabsen kami, dia mengatupkan tangan dengan puas.

"Oke, class. Hari ini kita akan belajar bagaimana menggerakkan kekuatan pada waktu sakit. Untuk itu saya sudah mengundang Bu Olena untuk membantu pelajaran kita hari ini." Pak Yu-Tsin mengangguk kepada wali kelas kami yang duduk di sudut ruangan, agak tersembunyi. "Hal ini jelas sulit dilakukan, karena kemampuan seorang pengendali sangat dipengaruhi oleh kondisi tubuh. Untuk memberi contoh, saya mengundang siswi baru, Jennifer Darmawan untuk maju ke depan dan melakukan demonstrasi. Saya rasa kita semua penasaran, pengendali apa dia..."

Semua mata tertuju padaku. Aku bangkit dengan gemetar. Oke, ini nggak lucu. Pengendali apa yang dimaksud Pak Yu-Tsin? Selama ini aku nggak pernah mengontrol yang aneh-aneh! 

"Jadi?" Pak Yu-Tsin menatapku di balik kacamatanya. "Apa yang bisa kamu kendalikan?"

Kelas apa sih ini? Apa aku salah masuk sekolah? "Umm... maaf, pak. Saya tidak paham..."

"Kekuatan pengendalian yang dimiliki oleh semua siswa di ruangan ini. Misalnya saya punya kemampuan mengendalikan benda-benda yang sudah rusak dan memperbaikinya. Bu Olena dapat mengendalikan aliran darah di tubuh seseorang," kata Pak Yu-Tsin tenang. "Nah, paham kan? Jadi kamu pengendali jenis apa?"

Kemampuan memperbaiki barang? Mengendalikan aliran darah? "Ini bukan bercanda kan pak?"

"Bercanda?" Alis Pak Yu-Tsin mengernyit. "Apa maksud kamu, Jennifer?"

"Umm, saya..." Aku tak tahu harus menjawab apa. Pak Yu-Tsin kelihatan serius. Ini gila! "Saya rasa saya bukan pengendali. Maksud saya, selama ini saya belum pernah – tidak mengendalikan apapun. Saya normal."

"Apakah kamu tahu soal SMA Cahaya Bangsa ini, Jennifer?"

"Saya pikir..." Ya Tuhan! "Saya pikir ini adalah SMA biasa..."

Bu Olena menghampiriku. "Cahaya Bangsa adalah sekolah untuk pengendali kekuatan, Jennifer," kata wali kelasku itu. "Itulah alasan kenapa kami menjadi sekolah internasional, karena kami menerima para siswa pengendali dari seluruh Asia. Sejatinya, setiap orang punya bakat pengendali, hanya saja banyak yang tidak dilatih karena mereka menganggap pengendalian adalah sesuatu yang tidak normal. Karena dipendam, kemampuannya justru lenyap. Tapi tidak di sekolah ini. Prinsipnya, bakat pengendalian adalah chi, energi yang mengalir di setiap makhluk hidup..."

"Tapi di Amerika..." Mendadak aku merasa seperti Harry Potter. "Nggak ada sekolah semacam ini."

"Ada, tapi mereka tidak terang-terangan mengiklankannya. Negara-negara Barat punya pendekatan yang berbeda soal... kekuatan," Bu Olena menepuk pundakku. "Kamu nggak perlu risih. Nanti juga kamu bisa menentukan kekuatan pengendalianmu. Kami tidak memaksa!"

Aku kembali ke tempat duduk dengan malu. Entah semua orang sedang sengaja mengerjaiku hari ini, aku tidak tahu. Ini sudah betul-betul kelewatan. Aku harus menelepon Mom.

Pak Yu-Tsin menunjuk Reo. "Sekarang, coba Reo maju ke depan!"

Reo maju dengan takut-takut.

"Bu Olena akan mengendalikan aliran darah di dalam tubuh kamu. Saya meminta kamu untuk berkonsentrasi mengendalikan kekuatanmu. Kuncinya adalah fokus," kata Pak Yu-Tsin. "Jelas?"

Reo tersenyum gugup. Beberapa cewek merona.

Bu Olena menjentikkan jarinya.

Sekonyong-konyong Reo mengerang kesakitan. Wajahnya berubah pucat, dan napasnya sesak – ia mengap-mengap berusaha menarik napas sampai terbungkuk-bungkuk. Dengan susah payah ia menegakkan diri dan berusaha mengatur pernapasannya. Tampangnya betul-betul tersiksa.

Aku terperangah. "Apa... yang terjadi?"

"Saat ini, aliran darah di tubuh Reo sedang dikontrol Bu Olena," kata Meredith. "Dan Bu Olena pengendali penuh. Artinya, segala sesuatu yang cair mulai dari air hingga darah berada di bawah kendalinya."

Ya ampun. Jadi kekuatan pengendalian itu betul-betul ada? "Terus, si Reo harus bagaimana?"

"Dia harus bertahan," kata Tara. "Dan itu nggak gampang. Bu Olena pengendali yang hebat banget. Menurut gosip, sebelum jadi guru, dia bekerja buat Interpol."

Reo menjerit kesakitan. Napasnya semakin nggak keruan.

"Konsentrasi, Reo!" Pak Yu-Tsin berteriak. "Fokus sama kekuatan, bukan tubuh kamu! Jangan biarkan sakit fisik mempengaruhi kekuatan kamu!"

Reo mengerang dan jatuh berlutut. Wajahnya putih seperti kertas.

Seluruh kelas menahan napas.

"Apa kita cuma akan menonton?" Aku tak tahan melihatnya. "Reo bisa mati!"

"Nggak. Biarin aja," kata Tara enteng. "Ini bagian dari pelajaran."

"Lo buta, Ra? Si Reo lagi disiksa!"

"Nggak ada siswa yang mati di kelas ini, Jennifer," balas Meredith. "Bu Olena nggak bakal kelewatan. Reo harus menemukan kekuatannya sendiri."

Aku berharap Meredith benar. Seisi kelas bersorak ketika Reo berhasil menegakkan diri lagi. Wajahnya yang semula kesakitan mulai tenang. Ia mengangkat tangan dengan susah payah lalu menepuknya keras-keras.

WHUUUUSSSZZZZ...

Angin topan yang kencang sekali menghantam ruang kelas. Aku menjerit, rasanya ada tangan kasatmata yang meremas jantungku. Teman-teman terangkat dari kursi kemudian terhempas menumbuk lantai dengan keras. Meja-meja kayu terlempar membentur dinding seolah hanya terbuat dari kardus. Lantai marmer retak dan berterbangan ke mana-mana. Langit-langit rontok dengan bunyi gemuruh.

Meredith menghentakkan tangannya seperti sedang menyihir dan tiba-tiba daun-daun teratai raksasa tumbuh entah dari mana, mengapung-apung ringan di lantai. Kami terjatuh di atas daun-daun itu.

Bu Olena dan Pak Yu-Tsin yang ikutan terlempar karena terjangan angin itu segera bangkit. Reo berdiri tegak di tengah kelas, sama sekali tak terpengaruh oleh si angin. Wajahnya kemerahan dan berkeringat, tapi ia tampak sehat.

"Bagus! Bagus sekali!" puji Pak Yu-Tsin. Ia menepuk tangan dua kali. Layaknya film yang diputar mundur, semua barang-barang yang hancur lebur kembali menyatu dan kembali ke tempat semula. Reruntuhan langit-langit terangkat dan menempel kembali. Bangku-bangku yang terbalik kembali tegak. Meja guru yang penyok segera membetulkan diri dalam sekejap.

"Menurut pengamatan saya, kekuatan shockwave – gelombang kejut – kamu Reo malah meningkat saat kau berkonsentrasi, meskipun fisikmu yang sangat lemah. Ini membuktikan satu hal..." Pak Yu-Tsin menatap para siswanya. "Kelemahan fisik tak dapat menghambat seorang pengendali menggunakan kemampuannya! Kuncinya adalah fokus pada energi yang mengalir dalam tubuh kalian, bukan kesakitan itu sendiri!"

Bu Olena tersenyum pada Reo. "Kamu nggak apa-apa kan, Reo?"

Reo mengangguk. Ia masih mengap-mengap mengambil napas.

Dengan satu sentuhan jari, Bu Olena menghentikan pendarahan di hidungnya akibat menabrak meja guru tadi.

"Nah, sekarang lo paham kan kenapa si Reo nggak bisa tepuk tangan?" kata Tara.

Pak Yu-Tsin menatap daun teratai raksasa di lantai dan berseru. "Meredith! Maju!"

Kelas kembali dipenuhi jeritan dan lolongan Meredith ketika Bu Olena menyerangnya. Meredith jatuh sambil mencengkeram dadanya, nyaris berguling-guling karena kesakitan. Pak Yu-Tsin berteriak-teriak memberi instruksi.

Tapi Meredith segera menguasai diri. Dia menarik lengannya ke atas dan dengan bunyi deru keras, batang-batang pohon beringin raksasa mendobrak ubin lantai, mengubah kelas menjadi hutan. Meja guru ditunggangbalikkan oleh kubis raksasa yang mencuat entah dari mana sementara papan tulis ditutupi lumut tebal sekali. Sulur-sulur tanaman buncis melesat keluar dari balik dinding, membelit tubuh Meredith untuk melindunginya, lalu menyambar dan membelit Bu Olena sehingga beliau tak mampu bergerak.

"Cukup!" gelegar Pak Yu-Tsin. "Bagus sekali, Meredith! Respon kamu cukup cepat. Kamu berhasil menyerang lawan sekaligus melindungi dirimu. Ini hal yang penting sekali. Dalam kondisi seperti itu kita harus bisa menjatuhkan penyerang kita sekaligus melindungi diri sendiri."

"Kekuatan Meredith berhubungan dengan alam," bisik Tara selagi Pak Yu-Tsin memperbaiki kelas. "Dia bisa mengendalikan tumbuhan. Sejauh ini Meredith yang paling jago menggunakan kekuatan pengendaliannya!"

Selanjutnya, Karina membuat seisi kelas ingin muntah ketika ia mengendalikan gravitasi. Kami semua melayang-layang, memantul-mantul di dinding seperti balon dan saling tabrak kepala yang lain. Si kembar Nugroho memanfaatkan kesempatan ini untuk menggoda cewek-cewek yang roknya terangkat. Bu Olena agak kesulitan mengendalikan Karina, karena setiap kali ia baru mengangkat tangannya, Karina langsung menjerit ketakutan dan menerbangkan wali kelas kami itu ke langit-langit.

Setelah dua jam pelajaran yang sangat seru, akhirnya bel berbunyi menandakan kelas ini berakhir. Salah satu dari si kembar muntah-muntah akibat melayang-layang tadi dan langsung dibawa ke klinik. Kami semua keluar kelas dengan perasaan bergairah. Aku sendiri betul-betul kehilangan kata-kata untuk menggambarkan apa yang baru saja kusaksikan. Tara benar. Ini sih jelas bakal jadi mata pelajaran paling seru!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top