27. Pengendali pengendali
"Anne-Marie."
Terdengar bunyi gesekan dan seleret garis api menyala di dinding batu, menyinari ruangan itu sekaligus sosok yang baru saja muncul. Rambutnya yang panjang dan lurus. Senyumnya yang licik. Tatapan matanya yang bengis dan keji. Dia berkacak pinggang menatap kami dan seketika itu juga aku tahu bahwa aku dan Carl bisa jadi mati hari ini.
"Jangan berani-berani..." Carl mengambil sebongkah batu dan mengubahnya menjadi pisau. "Sentuh Jennifer."
Anne-Marie tertawa geli. Tawanya bergema di ruang bawah tanah itu.
"Mau apa lo di sini, Anne-Marie?" teriakku. Aku nggak boleh kedengaran lemah.
"Gue kangen sama kalian berdua," decak Anne-Marie, pura-pura cemberut. "Lo berdua nggak kangen sama gue?"
"Gedung ini dijaga ketat oleh petugas keamanan dari Dewan Pengendali," kata Carl. "Kamu nggak bakal lolos. Lepaskan kami!"
"Kenapa buru-buru banget, sih?" jawab Anne-Marie ringan. "Gue masih kangen, tahu. Termasuk teman-teman gue yang lain..."
Anne-Marie menjentikkan jari. Pusaran portal muncul lagi dan dari dalamnya melompat keluar Chelsea, Yudhi dan Ruly. Mereka bertiga mengambil tempat di sisi Anne-Marie dan menatap kami dengan pandangan kosong. Sekonyong-konyong aku langsung tahu bahwa Anne-Marie sedang mengendalikan mereka.
"Karena hari ini gue lagi baik..." Anne-Marie mendekati kami dengan langkah-langkah santai. "Gue kasih lo pilihan. Lo bisa mati dibekukan..." Dia menjentikan jari pada Yudhi si pengendali es. "Atau langsung dikubur hidup-hidup di dalam tanah." Dia menunjuk Chelsea, yang jari-jarinya sudah siaga.
Kutahan diriku untuk tidak menangis. Apa yang harus kulakukan? Mana mungkin aku dan Carl melawan Anne-Marie bersama Prima sekaligus! Aku teringat nasihat Bu Olena. Satu-satunya yang bisa kami lakukan saat ini adalah berkonsentrasi agar Anne-Marie tak mengendalikan pikiran kami.
"Kok bingung begitu, Jen?" tanya Anne-Marie manis. "Pilihannya cuma dua kok. Nggak usah mumet begitu. Ujung-ujungnya lo tetap harus mati, karena gue nggak suka sama lo!"
"Mana Rita sama Carly?" Kuputuskan untuk mengajak Anne-Marie ngobrol. Semoga ini bisa memberi cukup waktu bagi para satgas Dewan untuk menemukan kami. "Tumben dua antek-antek lo nggak ikut."
"Mereka di atas, berjaga-jaga," jawab Anne-Marie acuh. "Nah, balik lagi soal penawaran gue, Jennifer Darmawan yang termahsyur. Setelah gue pikir-pikir, kayaknya cewek sok kayak lo pantasnya dibekukan terus dikirim langsung ke pusat Bumi. Bagaimana? Setuju, kan?"
"Lo aja yang mati duluan!" bentakku.
Anne-Marie berteriak marah dan mengangkat tangannya. Yudhi maju dan menyerang kami dengan pasak-pasak es yang tajam. Carl menarikku ke tepi di saat yang tepat untuk menghindar.
"Carl, kita harus melumpuhkan Anne-Marie," usulku. Kami berguling cepat menghindari terjangan pasak-pasak itu, sementara Anne-Marie terbahak-bahak menikmati penyiksaan kami. "Apa kamu bisa melempar pisau itu biar kena tangan Anne-Marie? Sebelum dia mengendalikan pikiran kita!"
Carl menepis sebuah pasak yang mengarah ke bahunya. "Bisa, Jen. Tapi aku harus konsentrasi!"
"Oke. Aku bakal jagain kamu." Aku berbalik dan mengambil tempat di depan Carl. Kami berguling semakin dekat ke Anne-Marie yang masih tertawa-tawa, puas menikmati kami tersiksa namun tak menyadari bahwa kami sedang mendekatinya. Sambil terus berkelit menghindar, kami merangsek maju di ruangan yang sempit itu hingga jarak Carl hanya tinggal dua meter dari Anne-Marie.
Aku berteriak. "Sekarang!"
Carl melompat bangkit dan menghujamkan pisau di tangannya ke punggung Anne-Marie.
"AH!"
Dunia berjungkir-balik. Sesaat rasanya seolah-olah hidup berhenti. Aku ingin berteriak tapi tak bisa, leherku tercekat, mulutku terbuka tapi tak ada yang suara yang keluar dari dalamnya.
"Carl?"
Sekonyong-konyong rasa nyeri yang hebat menghantam perutku. Aku mengerjap-ngerjap dan kehilangan keseimbangan, kakiku seolah berubah menjadi pasir. Aku jatuh tersungkur di lantai yang dingin, tanganku bergerak mencari sumber rasa sakit luar biasa itu dan menemukannya; luka di perutku dan pisau tajam yang terhunus di dalamnya.
"Carl..." Suara itu tak terdengar seperti suaraku. Saraf-sarafku memberontak kesakitan dan otakku mendadak macet, tak bisa memproses kejadian ini. "Kenapa?"
Carl mencabut pisau itu dari perutku. Dia baru saja menusukkannya ke perutku, alih-alih punggung Anne-Marie. Aku bisa merasakan darahku yang mengalir keluar dari luka itu.
Tawa Anne-Marie semakin menjadi-jadi.
"Oh, Carl!" Pemimpin The Queens itu merengek dibuat-buat. "Carl-ku tersayang! Kenapa kamu tega menusuk aku?"
Dadaku pengap, aku kesulitan bernapas. Cahaya portal Chelsea terasa seperti matahari yang panas dan memusingkan. "Kenapa? Kenapa Carl?"
Anne-Marie mendekatiku dan terkekeh bengis. "Pikiran Carl lo yang tersayang itu udah gue kendalikan..."
Carl? Dikendalikan Anne-Marie? Kupelajari ekspresi Carl sambil menahan rasa sakit yang menyiksa setiap kali aku membuat gerakan sekeci apapun. Nggak, ini nggak mungkin. Carl kelihatan normal! Carl balas memandangiku dan berkedip, tatapannya nggak kosong seperti Chelsea, Yudhi atau Ruly...
"Lo nggak percaya, ya?" Senyum Anne-Marie melebar. "Ternyata si Carl ini masih sama lemahnya! Bergaul dengan lo nggak bikin dia lebih kuat! Coba lihat ini..." Anne-Marie berhenti di belakang punggung Carl dan berbisik.
"Aku tahu di mana letak trofi itu!"
"Aku tahu di mana letak trofi itu," ulang Carl, mulutnya bergerak persis seperti gerakan mulut Anne-Marie.
"Tapi aku nggak bisa pergi ke sana karena Tara dan Reo terluka."
"Tapi aku nggak bisa pergi ke sana karena Tara dan Reo terluka..."
Ah. Rasa sakit di perutku kini tak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit yang mendadak muncul di dadaku. "Lo... menjebak kita semua."
"Hebat, kan?" sambar Anne-Marie pongah. "Carl ini penurut sekali. Dia mencoba melawan ketika gue suruh menyerang kedua anggota tim kalian yang bego itu, tapi dia tetap lemah dan nggak bisa berbuat apa-apa. Ternyata kekuatan pengendaliannya berguna sekali, bisa mengubah apapun jadi senjata mematikan!"
Jadi Carl-lah yang menyerang Tara dan Reo, bukan Prima! Dan dia melakukannya atas perintah Anne-Marie! Seketika itu juga aku paham. Ruly memunculkan kabut itu untuk memperlambat gerakan Triumph, bukan menyerangnya!
"Bagaimana caranya lo bisa masuk ke dalam arena, Anne-Marie? Semuanya dijaga ketat para petugas keamanan dari Dewan Pengendali."
Anne-Marie terkekeh merendahkan. "Jennifer Darmawan.... Sebagai cewek terkaya di Asia gue pikir lo harusnya paham apa artinya jadi yang nomor satu. Gue pengendali pikiran nomor satu di Jakarta ini! Para satpam tolol itu bukan tandingan gue!"
"Jadi lo... mengendalikan semua orang?"
"Termasuk Shelomita, Windy dan Checkmate," kata Anne-Marie enteng. "Bukan masalah buat gue! Tapi Checkmate mulai lelah setelah Tantangan Kedua dan gue harus mengganti mereka dengan Prima."
Aku bergidik memikirkan betapa hebatnya kekuatan pengendalian Anne-Marie. Ini artinya, gadis ini mengendalikan hampir separo jalannya Casa Poca. "Kenapa lo ngelakuin semua ini, Anne-Marie? Apa urusan lo?"
"Jangan pura-pura bego!" hardik Anne-Marie. Dia menghentak kesal, dan tangan Carl terangkat. Dinding batu berubah menjadi rantai-rantai besi yang mengikat tanganku erat-erat dan menggantungku di langit-langit.
Ya Tuhan, tolong! Aku hampir kehabisan napas!
"Lo ngerebut semua milik gue, Jennifer!" Anne-Marie mengitariku, puas akan hasil karya para budaknya. "Sebelum lo datang, gue dan The Queens adalah cewek-cewek paling popular di Cahaya Bangsa! Tapi sejak ada lo, semua orang ngomongin lo! Dalam sekejap lo merampas mahkota gue!"
Aku teringat pertemuan pertama kami di lapangan parkir. Anne-Marie sedang menyetir Lamborghini merahnya dan dia berhenti begitu melihatku. Saat itu aku belum mengenalnya.
"Setelah merebut popularitas gue, lo juga mengambil paksa mainan gue, si Carl Johnson ini!" Anne-Marie menjentik dan tubuh Carl gemetar. Carl berbalik dan merengkuh Anne-Marie, memeluknya erat-erat. Aku jijik melihatnya. "Dan lo menghancurkan reputasi gue dengan mengacaukan rencana gue di klub malam itu. Seolah lo belum cukup bikin hidup gue merana, lo juga bikin gue, Rita dan Carly dikeluarin dari sekolah! Gue pengendali terhebat, mana mungkin gue masuk ke SMA biasa, bareng para non-pengendali nggak berguna itu? Cahaya Bangsa adalah satu-satunya sekolah untuk pengendali dan lo merusak masa depan gue!"
"Lo bukan pengendali terhebat," balasku. "Bu Olena dan Pak Yu-Tsin adalah pengendali terhebat!"
Anne-Marie menepuk tangan. Bongkahan-bongkahan es besar terbang ke arahku dan hancur menabrak dinding, pecahan-pecahannya yang tajam memercik keras di wajahku. Darah menetes semakin banyak dari lukaku dan pandanganku mulai berbayang sedikit.
Sebegitu mudahnya Anne-Marie mengalahkanku.
"See? Lo nggak akan bisa jadi pengendali terhebat selama lo nggak mengendalikan pikiran. Pengendali pikiran mah bebas! Gue bahkan bisa mengendalikan pengendali lain semau gue!"
Aku teringat akan tim Javelin. "Lo tetap nggak sehebat Jovan Alessandro!"
Sekejap ada ekspresi getir yang muncul di wajah Anne-Marie, tapi dengan lihai dia segera menyembunyikannya. Sebilah pisau es meluncur ke arah betisku dan mengirisnya, rasanya sakit sekali.
"Jangan-sebut-sebut-Jovan-di-depan-gue!"
"Lo bakal kalah..." Pandanganku semakin berbayang, wajah Anne-Marie terlihat ada dua. "Lo nggak bisa mengendalikan Javelin di Tantangan Terakhir karena ada Jovan. Lo nggak bisa mengendalikan dia karena Jovan jauh lebih hebat dari pada lo!"
Ada pisau lain yang menghunus lenganku. Dingin dan menusuk, tapi aku tak sanggup berteriak karena tak punya tenaga.
"Carl!" panggil Anne-Marie. "Siksa Jennifer!"
Tubuh Carl gemetar lagi dan dia berbalik, tangannya teracung kepadaku seperti zombie. Dia melangkah berat ke arahku dan pecahan-pecahan batu di lantai mulai berubah, menjadi panah, pisau, lalu biola.
"CARL!" Anne-Marie berteriak semakin keras. "SIKSA JENNIFER SEKARANG!"
Batu-batu itu berubah-ubah semakin cepat. Dari biola menjadi rantai, gada, lalu payung. Lalu berubah lagi menjadi tongkat pukul, roda gigi tajam, dan boneka...
Bibi Carl bergetar. Dia membungkuk memungut boneka itu yang telah berubah lagi menjadi pisau, dan mendekatiku. Mata birunya bergerak-gerak, iris matanya melebar.
"APA LAGI YANG LO TUNGGU?" desak Anne-Marie murka. "TUSUK SEKARANG!"
Carl mengangkat pisau itu dan mengarahkannya pada dadaku. Aku tahu apa yang akan terjadi, Carl akan menghujamkan pisau itu ke jantungku. Aku menatapnya, mencoba menemukan kembali dirinya dalam tubuh yang tersandera ini.
"Carl..." panggilku lemah. Wajah Carl juga berbayang. "Carl. Sadarlah. Tolong!"
Anne-Marie menggeram. "HABISI DIA!"
Tiba-tiba Carl berkedip. Napasnya menjadi berat dan bibirnya berhenti bergetar.
"Jen?"
Seolah ada tirai yang terangkat dari pandangan Carl, iris matanya berubah jadi hidup dan bercahaya. Dia mengerjap-ngerjap dan bergidik.
Carl sudah kembali.
Dia melirik ke belakang punggungnya, menunjuk Anne-Marie. Aku mengangguk lemah. Dalam satu gerakan cepat Carl berbalik dan melemparkan pisau itu ke arah Anne-Marie. Pisau itu terbang lurus tepat ke arah dada si pengendali pikiran dan siap menghunusnya...
PRANG!
Sebalok es menghantam pisau itu hingga jatuh ke lantai. Balok-balok es lainnya berdesing ke arah Carl, menghantam perut, dada dan kepalanya. Yudhi menghentak dan es merambat naik dari lantai, membungkus tubuh Carl seperti kepompong. Carl membuka mulut untuk memanggilku tapi dia sudah terselimuti es.
Dalam tiga detik, Carl terkurung hidup-hidup dalam balok es besar.
"Berani-beraninya," pekik Anne-Marie. Dia membuang ludah ke lantai. "Berani-beraninya lo menyerang gue!"
Dia menjentikkan jari dan lapisan es yang membungkus Carl semakin tebal – begitu tebal sampai wajahnya tak terlihat.
Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku yang terakhir untuk berteriak. "Lepasin Carl!"
"Nggak akan!" Anne-Marie membentakku. "Lo berdua akan tamat di sini, Jennifer! Si Carl akan mati beku sementara lo... Kematian hanya akan jadi hadiah buat lo! Nggak, gue nggak akan ngebunuh lo! Gue akan menyiksa lo! Gue bakal bikin lo jadi gila!"
Anne-Marie mengacungkan telunjuknya padaku.
"AAARRRGGHHHH!"
Rasanya seperti ada bor yang menghunus tengkorakku dan tembus sampai ke dalam otakku. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan sakitnya. Aku meronta, berteriak dan mengerang, berbagai pikiran berkelebat dalam kepalaku seperti roller-coaster, langit-langit meledak menjadi sekumpulan cahaya yang berputar dan berwarna-warni, udara terasa sangat ringan dan tubuhku begitu sakit sampai mati rasa.
"Lo akan merasakan..." Samar-samar kudengar suara Anne-Marie. "Bagaimana rasanya kehilangan semuanya!"
Memori-memori masa kecilku diputar ulang dalam kepalaku. Saat Mom mengajakku main seluncur salju di Rockefeller Center. Latihan naik sepeda bersama Dad. Kamarku di New York. Arini yang selalu membawakanku cokelat panas. Tara dan Meredith, teman-teman pertamaku di Cahaya Bangsa. Kikik Karina yang khas. Rambut Bu Olena yang sehitam tinta. Mata biru Carl yang sejernih lautan. Tubuh Carl yang terkurung balok es.
Sebuah suara kecil menggema di dalam kepalaku, lemah tetapi memaksa. Kamu nggak mau kehilangan semua ini, Jennifer. Suara itu seperti berusaha menjadi semakin kuat seiring bertambah banyaknya memori yang tumpah ruah dan bercampur aduk dalam kepalaku. Kamu lebih kuat dari Anne-Marie. Kamu harus berkonsentrasi.
Aku mencoba menarik napas tapi tak bisa – rasanya terlalu menyakitkan. Tatapanku sudah tak lagi berbayang, tapi terpecah-belah seperti kaleidoscope. Wajah-wajah berpilin dan beriak-riak seperti bayang-bayang samar dan sekonyong-konyong setitik cahaya muncul entah dari mana...
Anne-Marie harus dihentikan.
Titik cahaya itu meledak menjadi limpahan cahaya putih dan aku merasakan tubuhku menjadi ringan sekali. Oh, apakah ini rasanya mati? Seolah gravitasi tak lagi punya pengaruh padaku, aku bisa merasakan diriku melayang di ruangan ini, terbebas dari rantai-rantai yang melilitku. Aku bisa melihat Anne-Marie, wajahnya mengernyit penuh konsentrasi, jari telunjuknya yang teracung ke tengah dahiku gemetar. Aku bergerak ke arahnya, seperti terbang, entah dengan kaki atau betulan terbang, aku tak tahu lagi. Tujuanku adalah ujung jari telunjuk Anne-Marie.
Dan sekonyong-koyong aku melesat menabrak Anne-Marie. Kuat dan keras, rasanya seperti letusan.
Anne-Marie berteriak nyaring. Ada sesuatu yang terlepas dari dirinya.
Teriakan Anne-Marie menghebat. Lengkingannya yang nyaring menari-nari di telingaku, memenuhi kepalaku. Pecahan-pecahan bayangan yang berkeliaran di mataku mendadak menyatu, memadat dan utuh. Aku bisa melihat dengan jelas pusaran portal Chelsea dan sosok-sosok lain yang melompat keluar dari dalamnya. Yudhi menggelepar dan jatuh ke lantai. Anne-Marie memegang kepalanya dan terus menjerit, ada sosok jangkung yang keluar dari portal yang menarik lengannya, dia menjerit semakin keras, ada sosok lain yang mendekatiku dan menyentuhku...
"Jennifer?"
Dan semuanya gelap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top