25. Tantangan Terakhir
Iring-iringan kami jadi semakin sedikit.
Wajar saja, mengingat hanya tersisa tiga tim yang melaju ke Tantangan Terakhir. Tim-tim lain yang sudah tersisih diwajibkan kembali ke sekolah. Mereka dapat terus menonton kelanjutan Casa Poca melalui layar-layar raksasa yang sudah dipasang di lapangan sekolah.
Ketegangan di antara tim kelas sepuluh Nobel semakin memuncak seiring semakin dekatnya kami dengan arena di mana Tantangan Terakhir akan diadakan. Tak ada seorangpun yang tahu di mana tempatnya, hanya Pak Prasetyo, para juri dan beberapa anggota Dewan Pengendali yang tahu tempatnya. Mereka berada dalam sebuah Range Rover SUV yang memimpin iring-iringan kami.
Setelah berkendara selama kira-kira tiga puluh menit, kami berhenti di sebuah kawasan yang cukup sepi. Ini aneh, karena sekarang hari Senin. Tidak ada daerah di Jakarta yang sepi di hari Senin, kecuali perumahan. Tapi ini bukan di daerah perumahan.
"Aaaah!" Iswara mendesah keras. "Cerdas! Kota Tua!"
Kami berhenti di sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan putih dengan gaya arsitektur khas tempo doeloe. Aku tahu tentang daerah Kota Tua ini, meskipun baru sekarang melihatnya langsung.
"Kamu udah pernah ke sini?" tanya Carl.
"Belum," jawabku jujur. "Kalau nggak salah ini tempat wisata, kan? Kok sepi?"
"Gedung-gedung Kota Tua memang ditutup setiap Senin," Iswara memberitahu kami. "Pas banget buat Casa Poca. Tapi kira-kira di gedung yang mana, ya?"
Pak Prasetyo dan para juri turun dari mobil. Para peserta yang lain mengikuti mereka. Kami berkumpul di sekeliling Pak Prasetyo, membentuk gerombolan kecil yang tegang.
"Selamat datang di kawasan Kota Tua! Daerah ini punya nilai historis tak ternilai bagi kota Jakarta," kata Pak Prasetyo. Kepala Sekolah kami itu kelihatan bangga. "Dan selamat bagi kalian yang sudah sampai di Tantangan Terakhir ini! Dewan Pengendali sudah mengatur supaya Tantangan Terakhir untuk Casa Poca tahun ini diadakan di sini, di kawasan ini!"
Aku menatap sekeliling lapangan itu, mencari-cari keberadaan para petugas keamanan dari Dewan Pengendali. Dari pengamatanku, mereka nggak begitu pintar berbaur. Segera saja aku bisa menemukan beberapa pria dan wanita berkaos biru dan memakai topi yang berdiri agak ngumpet di sudut-sudut lapangan.
"Saat ini kita berada di depan Museum Fatahillah. Museum ini akan menjadi titik awal perjalanan kalian menaklukkan Tantangan Terakhir," lanjut Pak Prasetyo. "Baiklah, sekarang saya akan menjelaskan peraturannya. Ketiga tim yang lolos akan adu cepat untuk menemukan Trofi Casa Poca yang disembunyikan di dalam museum. Trofi itu telah dimodifikasi sedemikan rupa sehingga wujudnya tersamar menyerupai artefak-artefak lainnya yang dipajang di dalam museum, jadi letaknya bisa di mana saja. Trofi itu baru akan menampakkan wujud aslinya jika bersentuhan dengan bintang emas yang kalian pegang. Tim tercepat yang menemukan piala itu adalah pemenang Casa Poca tahun ini. Jelas?"
Kami semua saling pandang dan berseru berbarangan. "Jelas, pak."
"Tim support diizinkan untuk membantu perwakilan mereka dan memantau pergerakannya melalui kamera yang sudah dipasang di seluruh bagian museum. Tantangan Terakhir akan dimulai dalam sepuluh menit."
Kami membubarkan diri. Bu Olena mengajak kami menepi, menjauh dari Javelin dan Prima.
"Oke. Ini adalah perburuan harta karun," kata Bu Olena. Dia mengerling gugup pada Pak Gino dan Bu Nanda yang juga sementara mengatur strategi dengan tim masing-masing. "Intinya adalah kecepatan. Kalian ingat bagaimana bentuk trofi itu?"
Jelas tak ada yang lupa bagaimana bentuk trofi emas raksasa itu. Billy mengangguk-angguk mantap, aku berani taruhan dia sudah menyentuh kotak kaca si trofi sekitar seratus kali sejak benda itu dipajang di lobi sekolah.
"Yang mereka lakukan pada trofi itu adalah pengendalian wujud sederhana. Untungnya tim kita punya pengendali wujud. Carl, kamu ingat jelas bagaimana bentuk trofi itu?"
Carl mendorong naik kacamatanya. Dia menelan ludah dan mengangguk. "Saya hanya nggak tahu apa trofi itu terbuat dari emas murni atau bukan, bu."
"Trofi itu terbuat dari seratus persen emas murni. Ini artinya trofi itu akan berat sekali," kata Bu Olena cepat-cepat. "Nah, seharusnya ini akan membuat pencarian kalian lebih mudah; apa saja yang terasa ringan pastilah bukan si trofi. Reo, kamu bisa memakai kekuatanmu untuk mengeceknya."
Reo memijit-mijit dagunya, berpikir. "Logam yang berat nggak akan mudah jatuh atau terguling jika diterjang angin..."
"Persis," puji Bu Olena. "Carl, saya kurang begitu tahu soal pengendalian wujud. Tapi Pak Yu-Tsin pasti sudah mengajarkan kamu bahwa pengendali wujud dapat dengan mudah merasakan materi pembentuk sebuah benda..."
Carl bergumam-gumam kurang yakin. Tapi dia mengangguk pada Bu Olena, sepertinya enggan mengecewakan wali kelas kami itu.
Bu Olena beralih ke Tara. "Tara, kamu hanya bisa memundurkan waktu tiga kali dalam satu jam, betul?"
"Empat kali, bu," jawab Tara mantap. "Saya udah berlatih."
"Bagus. Hanya pakai kekuatan kamu di keadaan darurat," kata Bu Olena. "Oke, sekarang kalian siap-siap, ya..."
Aku bergabung bersama Karina, Azka, Iswara, dan Billy menuju van kami. Tara membantu Reo berlatih, si pengendali shockwave itu sedang mencoba membalikkan batu-batu di lapangan dengan hembusan angin.
"Jen! Tunggu!"
Carl menyetopku. Aku berbalik menghadapnya.
"Kamu kenapa?"
Dia melirik Bu Olena dan mengajakku bergeser sedikit. "Aku masih belum bisa membedakan benda berdasarkan materinya. Kata Pak Yu-Tsin, itu termasuk pengendalian wujud tingkat tinggi. Aku belum cukup berlatih."
Oh. Ini gawat. Aku bukan pengendali, jadi tahu apa aku soal pengendalian wujud? "Tapi kamu bisa merasakannya, kan?"
"Aku memang bisa merasakannya, Jen – bahkan tanpa menyentuh bendanya. Batu bikin tubuhku terasa kokoh dan kasar. Kayu terasa keras seperti dinding sekaligus alami, layaknya bernapas. Logam terasa berat dan dingin."
"Berarti kalau kamu berada di dekat trofi itu, pasti kamu akan merasa berat dan dingin, kan? Seperti logam?"
"Itu sebuah museum," kata Carl. Dia kedengaran sedikit panik. "Pasti ada ribuan benda di dalamnya, kan? Kalau aku nggak menemukan trofi itu tepat waktu..."
"Kamu pasti bisa menemukannya," potongku segera. Penyakit minder Carl mulai muncul lagi. "Kamu satu-satunya pengendali wujud di sini. Javelin dan Prima nggak punya pengendali wujud. Bisa dibilang tim kita udah tiga puluh persen pasti menang. Lagipula Reo bakal membantu kamu menyeleksi artefak-artefak itu. Dia bakal pakai kekuatan anginnya untuk mengecek benda yang berat dan ringan."
Carl hanya diam saja. Dia menatapku, lalu membuang muka ke tanah.
"Carl? Jangan ragu gitu, dong. Kita udah sampai Tantangan Terakhir, lho."
Carl masih diam. Lalu dia menarik napas dalam-dalam sampai dadanya menggelembung. Kusentuh lengannya. Aku tahu ini bukan hal yang mudah buat Carl – setelah menyaksikan langsung betapa brutalnya Casa Poca itu, fakta bahwa Carl masih bertahan bisa dibilang mukjizat.
"Javelin..." katanya lambat-lambat. "Aku nggak boleh membiarkan Pak Gino menang."
Aku teringat cerita Tara soal Carl yang suka jadi korban sentimen Pak Gino.
"Aku nggak benci sama Pak Gino," lanjut Carl, masih tak mau menatapku. "Aku cuma mau menunjukkan ke dia, bahwa aku sama sekali nggak seperti yang selama ini dia kira."
Nah, inilah Carl yang kukenal. Sebetulnya dia gigih sekali dan pantang menyerah. "Aku tahu. Aku cuma minta kamu hati-hati di dalam sana. Aku masih nggak yakin soal Anne-Marie..."
"Aku nggak khawatir kok," jawab Carl. Dia mengangkat muka, lurus-lurus menatapku. Aku kaget setiap dia melakukannya. Ditatap langsung oleh sepasang mata biru itu, rasanya seperti tersambar petir. "Kan ada kamu."
"Aku? Aku kan nggak ikut ke dalam."
"Tapi kamu bisa melihat semuanya lewat kamera."
"Iya sih. Kalau ada apa-apa, aku bakal langsung lapor ke Pak Prasetyo."
Terdengar tiupan peluit lalu teriakan Pak Prasetyo yang meminta para peserta bersiap di pintu museum. Carl bergabung dengan Reo dan Tara, lalu menyusul Javelin dan Prima yang sudah tiba lebih dulu. Pak Prasetyo memberi aba-aba, lalu pada hitungan ketiga, Javelin masuk ke dalam museum. Lima menit kemudian, Prima menyusul. Lalu...
"Good luck," teriakku pada Carl, Reo dan Tara. "Kita pasti menang!"
Tara dan Reo melambai padaku. Carl tersenyum samar sebelum menghilang ke dalam.
Aku bergegas bergabung dengan anggota tim support yang lain dan mengawasi lewat monitor.
Bagian dalam gedung museum agak gelap dan bernuansa coklat kayu. Triumph disambut sebuah ruangan horizontal yang panjang dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela raksasa sebesar pintu. Bagian dalam bangunan ini mengingatkanku pada kastil kuno. Ada dua pintu di setiap ujungnya, menuju ke sayap kanan dan kiri.
"Ini..." Suara Tara masuk melalui headset kami. Dia, Reo dan Carl sedang berhadapan dengan satu set kursi-kursi kayu yang tampak antik. Ada sebuah tangga kayu yang menuju lantai dua dan diorama wayang. "Benda besar-besar semua, rata-rata perabotan. Udah pasti berat-berat nih..."
Billy berdeham. "Reo, lo coba aja."
Reo berlari ke kiri, mengambil ancang-ancang dan menepukkan tangannya. Terdengar deruan angin lalu benda-benda yang ada di situ bergeser sedikit, rupanya tidak cukup berat untuk menahan angin itu. Kaca-kaca bergetar terkena hempasan angin.
"Bukan di sini," kata Carl. Suaranya agak parau. "Semua yang ada di ruangan ini terbuat dari kayu dan kulit. Sebaiknya kita terus."
Bangunan museum itu berbentuk persegi panjang, jadi kupikir tak jadi masalah mereka berbelok ke kanan atau kiri.
Ruangan berikutnya ada beberapa meja pajangan berkotak kaca. Ada artefak kecil-kecil di atasnya. Reo bersiap menggunakan kekuatannya tapi dicegah Tara.
"Jangan," kata Tara. "Angin lo bisa menghancurkan kotak-kotak kaca itu."
"Biar aku aja," kata Carl. Dia mendekati meja-meja itu dan menyentuh kacanya sambil memejamkan mata untuk berkonsetrasi.
Terdengar bunyi hembusan angin dan Tara refleks berbalik. Kaca-kaca yang disentuh Carl tiba-tiba berembun, seolah dingin mendadak.
Azka memekik, "Prima!"
Prima muncul entah dari mana, padahal di monitor mereka berada satu lantai di atas tim kami. Lewat pusaran besar seperti galaksi di tembok – pastilah itu pusaran portal dimensi – Chelsea, Ruly dan Yudhi melompat keluar. Tangan Yudhi terangkat lalu kaca-kaca di atas meja meledak menjadi butir-butir es yang tajam, memercik di wajah Carl yang tak siap. Reo langsung menjatuhkan diri ke lantai, dia membidik tapi kebingungan siapa yang harus diserang. Tara menghambur ke arah Carl yang berteriak karena kacamatanya pecah dan menyambar lengannya. Reo bangkit berdiri, tapi Yudhi menyentuh lantai dengan jari telunjuknya dan ubin lantai itu berubah menjadi lapisan es yang licin. Reo, Tara dan Carl terpeleset dan mulai tergelincir tak keruan, meluncur liar ke arah dinding. Sesaat tampaknya Reo akan menghantam dinding lebih dulu, tapi muncul pusaran portal lainnya di dinding itu. Chelsea muncul dari balik portal, tangannya terjulur siap menarik kaki Reo melewati portal, membawanya entah ke mana...
Tara menyambar kerah baju Reo tepat sedetik sebelum Chelsea menarik kakinya.
ZAP!
Triumph menghilang dari ruangan itu, dan aku bisa bernapas lagi.
"Tara memundurkan waktu," kata Bu Olena. "Untungnya dia bergerak cepat!"
Apa yang kelihatan di monitor kini seperti tayangan film yang diputar mundur. Portal dimensi milik Chelsea menghilang, lantai berubah kembali menjadi ubin, Carl, Reo dan Tara berdiri memandangi kotak kaca, kemunculan mendadak Prima, terus sampai ketika Reo baru selesai mengetes benda-benda di lobi depan.
Tara, Reo dan Carl kini berdiri di ruangan pertama. Tangan Reo masih terangkat.
"Jangan ke kiri!" kata Tara. Napasnya terengah-engah. "Kita ke kanan!"
Dari monitor kami menyaksikan kembali kemunculan mendadak Prima di ruangan sebelah kiri, tapi kini Triumph tak berada di sana. Mereka mengecek ruangan yang kosong itu, ketiganya tampak heran. Lalu Yudhi menekan headset-nya dan berteriak geram – tim support Prima pastilah baru saja memberitahu kalau Triumph sudah tak ada di ruangan itu.
Carl, Tara dan Reo kini berada di ruangan yang penuh terisi dengan lemari-lemari kaca yang memamerkan busana-busana era kolonial. Selain pakaian, ada juga beberapa miniatur kapal Pinisi dan papan-papan yang berisi informasi sejarah.
Carl bergerak lebih cepat. Dia mulai meraba-raba benda-benda itu seperti orang buta, mencoba merasakan materi penyusunnya. Reo mengambil tempat di dekat pintu, berjaga siapa tahu ada anggota Javelin atau Prima yang menerobos masuk. Tara membantu Carl, dia mengangkat benda-benda kecil, mengetes beratnya.
"Ini akan waktu lama sekali," gerutu Iswara nggak sabar. "Apa mereka memang nggak boleh menghancurkan kotak-kotak kaca itu, bu?"
Bu Olena balas menatap Iswara, sepertinya kurang yakin. "Carl, kamu bisa mengubah kaca? Pembentuk kaca adalah pasir, mirip seperti batuan."
"Akan saya coba bu," jawab Carl. Dia menyentuh salah satu kotak kaca dan berkonsentrasi. Kaca itu menggeletar lalu luluh menjadi butiran-butiran pasir putih.
"Ada orang di ruangan sebelah," bisik Reo. "Tim support?"
"Nggak ada siapapun," kataku. Dari monitor terlihat bahwa ruangan di sebelah kosong.
"Tapi aku dengar suara-suara," kata Reo. Dia mengangkat tangan, bersiap menyerang. "Keras sekali. Ada yang mondar-mandir di ruangan sebelah."
Aku, Billy dan Karina mendekatkan kepala kami ke monitor untuk mengecek lebih teliti. Ruangan itu kosong, tak ada seorangpun di sana.
"Di sini tidak tampak apa-apa," kata Bu Olena. "Tapi sebaiknya kamu bersiap-siap, Reo."
Carl dan Tara sedang mengecek salah satu miniatur kapal Pinisi itu. Carl mengangkatnya, mencoba menimbang beratnya.
"Carl?" panggilku. "Gimana?"
"Aku bisa merasakan sesuatu di dekat sini..." kata Carl dengan mata terpejam. "Sesuatu yang nggak alami. Sesuatu dari logam. Tapi..." Tiba-tiba dia membeliak dan berteriak. "REO, AWAS!"
Ada sesuatu yang besar menyeruak keluar dari pintu yang dijaga Reo dan menghantamnya. Tubuh Reo melayang lalu terhempas sejauh dua meter.
"Apa itu?" teriak Tara bingung. "Reo? Lo nggak apa-apa?"
"Itu..." Carl mengangkat si kapal Pinisi dan mengubahnya jadi pedang. "Javelin!"
Seperti hantu, tiba-tiba Raka, Ardhan dan Jovan muncul di ruangan itu, ditemani dua sosok beruang raksasa yang sepenuhnya terbuat dari tembaga. Rupanya salah satu makhluk itu yang menabrak Reo. Dia bangkit untuk melawan Javelin, tapi Jovan mengangkat tangannya. Tubuh Reo menjadi lemas seperti boneka, dan tiba-tiba dia berbalik, ekspresi wajahnya kosong.
"Reo sudah dikendalikan Jovan," teriak Karina. "Ra, tangkap si Reo!"
Reo menepuk tangan. Angin puting beliung dahsyat tercipta di tengah-tengah ruangan, berputar meliuk-liuk ke arah Tara dan Carl, bersiap melumat mereka. Carl menarik Tara untuk menghindar, dia telah mengubah salah satu manekin menjadi tombak dan melemparkannya ke arah Javelin. Salah satu dari beruang-beruang itu menangkap tombak itu dan mematahkannya dengan mudah.
Lalu beruang-beruang itu menyerang.
Tara tiarap dan merangkak ke arah Jovan yang sedang konsentrasi mengendalikan Reo. Dia memegang pedang yang diubah Carl. Salah satu beruang itu menyabetkan cakarnya yang tajam dan mematikan ke arah Tara, tapi Carl melemparkan sebuah frisbee super besar ke arah si beruang dan mengenai kepalanya. Beruang yang satunya lagi meraung marah. Carl menyentuh benda-benda di sekelilingnya, mengubahnya menjadi meriam otomatis dan mulai menembaki kedua beruang itu.
Ruangan itu berubah menjadi medan perang. Beruang-beruang tembaga itu menyerang semakin ganas, tembakan-tembakan meriam hanya memantul dari tubuh mereka yang terbuat dari logam. Tara masih mengendap-endap, memutari setengah ruangan mencoba meraih Reo tanpa ketahuan Javelin, tapi angin putting beliung Reo mengejarnya.
Kalau begini terus, bisa gawat. "Pakai pedangnya, Ra," teriakku.
Tara sekarang sudah berada cukup dekat dengan punggung Jovan. Dia melompat ke arah si pengendali pikiran dan mengayunkan pedangnya asal saja. Pedang itu menyabet punggung Jovan yang terlambat berbalik untuk menyadari kehadiran Tara. Jovan berteriak kesakitan dan mundur, tapi dia mengangkat tangannya dan mengarahkannya pada Tara yang berguling lincah di lantai dan menyambar kaki Reo.
Seluruh adegan itu terhenti sesaat sebelum diputar mundur kembali. Meriam menghilang, pasir berubah kembali menjadi kaca, dan Javelin melangkah mundur ke ruang sebelah, perlahan-lahan menghilang. Tara memundurkan waktu tepat sampai ketika mereka baru tiba di puncak tangga, menuju lantai dua.
"Kenapa?" tanya Reo kebingungan. Dia sudah terbebas dari pengaruh Jovan. "Tadi ada siapa?"
"Javelin," jawab Tara. "Lo dikendalikan sama si Jovan."
"Karena mereka nggak kelihatan," bantah Reo bersikeras. "Aku menjaga pintu itu terus selagi kalian mencari trofinya. Aku nggak melihat apa-apa, hanya mendengar suara-suara. Makanya aku minta tim support untuk mengecek."
"Kekuatan pengendalian pikiran Jovan memungkinkan dia mencipta ilusi seolah dia dan teman-temannya jadi tak terlihat," Billy memberitahu. "Dan para pengendali logam itu memakai beruang karena..."
"Beruang adalah salah satu hewan dengan penciuman paling tajam," lanjut Karina. Dia tampak kaget sendiri karena tahu tentang ini. "Karena terbuat dari logam, kedua beruang itu juga bisa membaui logam, mirip dengan Carl."
"Carl," panggil Bu Olena melalui headset. "Apa kamu merasakan keberadaan trofi itu?"
"Tadi kita sudah dekat bu," jawab Carl. "Kalau nggak ada di ruangan yang tadi, berarti trofi itu ada di ruangan di atasnya."
"Prima bergerak ke arah kalian," kata Azka mendadak. Tatapannya terpancang pada monitor. "Javelin sedang naik ke lantai tiga."
"Waktu sudah kembali normal," kata Tara. Dia mulai berkeringat. "Gue tinggal punya dua kesempatan lagi. Carl, apa lo yakin trofi itu ada di lantai tiga?"
Carl menatap Tara dan Reo berganti-gantian, lalu mengangguk dalam-dalam.
"Tapi bagaimana caranya kita naik ke lantai tiga tanpa ketahuan Javelin?" tanya Reo. "Mereka dan Prima terus-terusan memantau pergerakan kita."
Tiba-tiba tampilan monitor memburam. Kabut perak yang pekat terangkat dari lantai yang dingin lalu mulai memenuhi ruangan itu dengan cepat.
"Carl?" panggilku melalui headset. "Tara? Reo? Kalian bisa dengar?"
Tidak ada jawaban.
"Pasti ini ulah Ruly si pengendali kabut," gerutu Iswara panik. "Gimana nih?"
"Tapi Prima berpindah ruangan," kata Karina, sambil mengamati monitor lain yang memantau keberadaan setiap tim. "Hanya ada Triumph di lantai dua."
Billy dan Bu Olena bertukar pandang cemas. Aku mencoba memanggil lagi. "Carl? Tara? Reo? Halo?"
"Jen..." Tara menyahut, tapi suaranya bergemeresak dan bergema, seolah dia berada di dalam sumur. "Ada kabut. Ini pasti Prima."
"Ra, Prima ada di lantai tiga."
"Reo bakal coba untuk–"
"Halo? Ra? Kresek-kresek nih."
"AAAARRRRGHHHHH!"
Teriakan Tara begitu keras sehingga Aku, Karina, Billy dan Bu Olena langsung menarik lepas headset kami. Kekagetan kami belum selesai ketika Reo juga berteriak parau.
"Tara? Reo? Kalian kenapa?"
Muncul tulisan Disconnected di layar, menandakan Tara dan Reo melepas headset mereka.
"Carl? Carl? Kamu dengar, nggak?"
"Jen..." Suara Carl terdengar bergema dan jauh, mirip seperti suara Tara. "Jen. Kita... diserang."
Karina menunjuk monitor yang tertutup kabut putih pekat dan mengangkat bahu. Javelin dan Prima keduanya ada di lantai tiga.
"Sama siapa, Carl?"
"Ada..." Suara Carl mulai putus-putus. "Kabut."
Lalu suara Carl hilang. Tulisan Disconnected yang ketiga muncul di monitor, berwarna merah dan berkedip-kedip gawat.
Jantungku terasa meluncur turun hingga ke dasar perut.
Billy mencoba memanggil-manggil. Tetap tak ada respon. Prima sekarang bergerak turun ke lantai dua, disusul Javelin.
"Apa yang terjadi?" tanya Iswara ngeri. "Mereka kenapa?"
Billy menatap Bu Olena. Dia tampak kalut. "Gimana nih bu?"
"Mereka diserang. Tapi oleh siapa, kita belum tahu," kata Bu Olena. Dia menatapku, dan seketika itu juga aku langsung tahu apa yang ada di pikirannya. Peringatan Meredith soal Anne-Marie. "Saya akan lapor ke Pak Prasetyo. Kalian tunggu di sini."
Kami menonton dengan cemas Bu Olena yang berlari-lari menghampiri Pak Prasetyo. Kepala Sekolah kami itu juga beranjak keluar dari Range Rover-nya, sepertinya dia juga telah menyaksikan apa yang terjadi pada tim kami. Tak berapa lama, Pak Gino dan Bu Nanda juga keluar dari van masing-masing, ikutan nimbrung.
"Prima nggak mungkin menyerang Triumph dengan cara-cara licik seperti itu," protes Bu Nanda tidak terima.
"Javelin juga tidak," kata Pak Gino. Dia mengernyit, matanya yang hitam berkilat-kilat. "Kita semua melihat sendiri bahwa Javelin tidak berada selantai dengan Triumph."
Mereka mulai berdebat dengan panas. Kami terpaku menatap monitor. Aku berdoa supaya tulisan Disconnected itu hilang dan teman-temanku bisa kembali terhubung. Berbagai pertanyaan berputar di kepalaku. Apa betul ini ulah Anne-Marie? Jika Jovan bisa mencipta ilusi yang membuatnya tak tampak, apa Anne-Marie juga bisa melakukannya? Apa dia yang menyerang Triumph dalam kabut?
Bu Olena berbalik dan berlari ke arah kami. "Apa mereka sudah terhubung?"
"Belum, bu," sahut Billy.
"Oke," Dia menatap kami semua, berganti-gantian. "Kita masuk ke dalam. Teman-teman kalian membutuhkan kita."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top