24. Peringatan Meredith


Telingaku masih berdenging akibat sorakan yang begitu keras.

Karina, Azka, dan Iswara bersorak-sorai dan melompat-lompat. Geli juga melihat tingkah mereka, karena mereka terlihat seperti tiga orang murid taman kanak-kanak yang kegirangan. Bukannya aku nggak ikutan bahagia, justru aku sangat bahagia dan bangga sampai kebingungan harus bereaksi.

"Sekali lagi, nyaris banget," kata Tara. Dia duduk menggelesor di sudut, punggungnya terkulai. "Kita hampir kalah."

Momen ketika Reo menancapkan bintang emas kami di salah satu tiang di garis Finish tadi diputar ulang di kepalaku. Kami semua mengamati dengan cemas karena Prima berhasil mengalahkan Checkmate dan sedang bergerak juga menuju garis Finish mereka - garis terakhir yang tersisa. Tapi kami lebih cepat dan alhasil, kami berada di urutan ketiga dan lolos ke Tantangan Terakhir.

Pak Gino sedang berdebat dengan Pak Prasetyo, karena menurutnya kami curang. Si monster ngotot kalau garis Finish yang kami capai sudah diklaim oleh Javelin dan seharusnya kami mencari garis yang lain karena secara teknis disediakan tiga garis Finish yang berada di tiga sudut acak The Hive. Namun Pak Prasetyo dan juri dari Dewan memutuskan bahwa tidak ada kecurangan, setiap tim dapat mencapai garis Finish yang mana saja dan dinyatakan lolos jika mereka berada di garis itu bertiga sebagai satu tim. Aku mulai mendapat kesan bahwa dalam Casa Poca ini, tim manapun akan berusaha membuktikan tim lainnya curang demi memuluskan jalan mereka menuju Final. Masuk akal sih, mengingat betapa sulitnya kompetisi ini. Nggak kebayang bagiku seandainya Casa Poca diikuti oleh orang biasa sepertiku ini. Pasti nggak ada yang bakal sanggup bertahan.

"Itu Meredith!" Billy memberitahu kami. Dia menunjuk pintu lift dari bawah yang mengangkut Triumph, tim terakhir yang dinyatakan lolos menuju Final.

Teman-temanku langsung menghambur ke arah Carl dan Reo yang membimbing Meredith lalu menyoraki mereka bertiga. Aku menahan diri untuk tidak memeluk Carl. Rambut pirangnya basah dan lepek oleh darah dan wajahnya memar akibat tertabrak pintu.

"Oi!" Tiba-tiba Tara berteriak padaku. "Halo? Jennifer?"

"Sori, sori. Ra."

"Lo kok melamun? Bantuin Meredith, nih..."

Reo ambruk di atas sebuah kursi karena kelelahan. Billy dan Azka langsung memijitinya dan memberinya minum. Bu Olena mendatangi kami sambil membawa sekelompok petugas medis berseragam putih. Mereka mendudukkan Meredith di atas tempat tidur dan memeriksa lengannya yang kelihatannya menyakitkan sekali. Mereka juga memeriksa Carl, dia mencoba menolak dan mencuri-curi pandang kepadaku. Tapi aku mengangguk menentramkannya, dia harus diperiksa.

"Tangannya patah," kata salah satu dokter itu. "Ada retakan kecil dan beberapa serpihan tulang yang harus diatur kembali. Kamu akan dioperasi."

"Tapi, tapi..." Meredith membantah keras kepala. "Perlombaannya..."

"Maaf Meredith, tapi menurut saya kamu nggak bisa lanjut dengan kondisi seperti itu," kata Bu Olena lembut. "Tangan kamu diobati dulu, ya. Kamu akan digantikan. Kamu juga, Carl..."

"Saya baik-baik saja kok, Bu!" jawab Carl cepat-cepat. Padahal dia nggak kelihatan baik-baik saja menurutku. "Ini hanya memar!"

Bu Olena menggeleng. "Nggak bisa, Carl. Wajah kamu babak belur begitu."

"Yang ini hanya memar," sahut seorang dokter, mengamini ucapan Carl. "Hanya perlu dikompres dan diberi salep."

Bu Olena menatap Carl ragu-ragu. Carl langsung bangkit berdiri, mencoba menunjukan bahwa dia baik-baik saja. Akhirnya Bu Olena menarik napas panjang dan mengangguk kecil. "Ya sudah. Tapi kamu istirahat dulu sebelum Tantangan Ketiga."

"Jen!"

Ada yang memanggilku. Aku menoleh ke arah sumber panggilan itu. Ternyata Meredith. Dia sedang mencoba duduk, tetapi para dokter dan perawat memaksanya untuk berbaring.

"Jen!" panggil Meredith lagi. "Tunggu. Aku harus bilang sesuatu..."

Aku mendekati Meredith tapi lumayan kesulitan, karena dia dikerumuni beberapa petugas medis sekaligus. Mereka sedang membebat tangannya yang patah dalam posisi aman dan memasukkannya ke dalam ambulans.

"Kenapa, Dith?" Aku berteriak, mencoba mengatasi suasana stadion yang hiruk pikuk. "Lo mau ngomong apa?"

Bukan hanya Meredith saja yang terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Beberapa anggota tim kelas lain juga terluka cukup parah. Ada yang hidungnya patah, kepalanya bocor dan tak sadarkan diri. Mereka semua sedang diangkut ke dalam ambulans.

Meredith meronta mencoba membebaskan diri tapi dia tak cukup kuat. Para perawat memaksanya untuk tetap diam supaya patah tulangnya tidak bertambah parah. "Shelomita... dia..." Samar-sama kutangkap kata-katanya. "Kena. Si Windy juga!"

Shelomita? Windy? "Kenapa mereka?"

Meredith sudah dibawa masuk sepenuhnya ke dalam ambulans dan aku dilarang untuk mendekatinya lebih jauh. Sebelum pintu ambulans menutup, Meredith berteriak lebih keras, meski tak semua kata-katanya tertangkap jelas. "Ada dia... pengendali pikiran!"

Sebuah perasaan yang janggal menghinggapiku. Ada dia. Siapakah dia si pengendali pikiran yang dimaksud Meredith?

"Jen..." Carl menyentuh bahuku. "Kamu nggak apa-apa?"

"Iya, aku oke," jawabku. "Kamu dengar nggak tadi apa yang dibilang Meredith?"

Carl memandang ambulans yang membawa Meredith bergerak meninggalkan stadion. "Ada dia, pengendali pikiran?"

Aku menatap Carl dan mata birunya balas menatapku. Sekonyong-konyong aku tahu siapa yang dimaksud Meredith. Si pengendali pikiran. Hanya satu orang pengendali pikiran yang ditakuti Meredith, dan sudah sewajarnya dia memberitahuku. Ini gawat! Aku harus memberitahu Bu Olena! Siapa lagi kalau bukan dia orangnya?

"Anne-Marie!"

"Hei, hei, tunggu dulu..." Carl menarik lenganku. "Kamu mau ke mana?"

"Anne-Marie dan The Queens ada di antara orang-orang ini, Carl! Dia mungkin mau balas dendam sama kita..." Kalau Meredith benar, maka tak ada waktu untuk menjelaskan. Sekali lagi, segala kejadian di Tantangan Pertama dan Kedua tadi diputar ulang dalam kepalaku dan aku bisa melihat benang merah di antara kejadian-kejadian itu. "Shelomita dan Windy, mereka berdua terus berusaha menyerang kamu sepanjang dua Tantangan tadi. Pastilah mereka dikendalikan oleh Anne-Marie! Aku ingat kejadian di obsevatorium, sewaktu Anne-Marie mengendalikan pikiran Meredith dan Iswara. Dia jadi bisa mengendalikan kekuatan mereka juga!"

"Tapi, Jen..."

"Carl, aku harus kasih tahu Bu Olena!'

"Kamu dengar aku dulu!" Carl menarik tanganku lebih kuat dan memaksaku duduk. "Dengar, itu mustahil! Ada banyak sekali petugas keamanan dari Dewan yang menjaga kita dan mereka juga pengendali pikiran. Anne-Marie nggak mungkin menerobos semua pengamanan itu cuma buat balas dendam sama kita! Kamu berpikir terlalu jauh!"

"Tapi Carl..." Apa Carl benar, aku berpikir terlalu jauh? Nggak, ini nggak boleh dianggap remeh. "Kamu sendiri pernah bilang ke aku kalau kekuatan pengendalian Anne-Marie hebat sekali. Dia bisa mengendalikan pikiran anak-anak satu kantin!"

"Para petugas keamanan dari Dewan bukan tandingannya. Anne-Marie cuma anak SMA biasa, Jen," kata Carl. Dia membelai bahuku lagi, mencoba menenangkanku. "Lagipula, ada terlalu banyak orang di sini. Kalau dia ingin menerobos masuk ke dalam arena, berarti dia harus mengendalikan pikiran kita semua. Aku rasa itu nggak mungkin, Jen. Aku juga ada di arena, kamu lupa? Aku nggak melihat The Queens sama sekali, hanya Javelin dan tim lainnya."

"Kalau begitu, apa maksud Meredith?" desakku. "Meredith nggak mungkin repot-repot kasih tahu aku kalau menurutnya informasi itu nggak penting. Siapa pengendali pikiran yang dia maksud?"

"Pengendali pikiran?" celetuk Billy dari samping kami. "Siapa, Jen?"

Aku dan Carl beradu pandang. Apa aku harus kasih tahu Billy soal peringatan Meredith? "Itu... anu, Bill. Si Meredith tadi suruh kita hati-hati sama pengendali pikiran."

"Memangnya ada yang mau menurunkan pengendali pikiran?" tanya Billy polos. "Seriusan?"

"Ada!" Karina menatap iPad-nya dengan ngeri. Dia lalu mendongak dan mencari-cari, sampai akhirnya tatapannya jatuh pada Javelin. "Itu, si Windy digantikan sama Jovan Alessandro!"

Billy memaki keras-keras.

"Jovan Alessandro?" tanyaku dan Carl berbarengan.

Karina menunjuk ke arah Javelin. Jovan, cowok jangkung kelas dua belas yang menyerupai fotokopi berwarna artis Mandarin Song Weilong, baru saja melepaskan diri dari kelompok tim support kelas Supernova dan bergabung dengan Ardhan dan Dewa. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Jovan kelihatan seperti versi lebih cool dari Reo Sahara, dan sejujurnya, agak sok. Bagiku sekarang Javelin tampak lebih mirip boyband.

"Kalau ada satu pengendali paling hebat di Cahaya Bangsa, dia itu orangnya," bisik Karina. Sepertinya untuk sekedar melirik Jovan saja bikin teman kami itu ketakutan. "Dia hebat banget!"

"Lebih hebat dari Anne-Marie The Queens?" Aku harus memastikan hal ini. "Anne-Marie juga pengendali pikiran."

"Kurang lebih mereka setaraf, lah. Jovan dan Anne-Marie pernah pacaran."

"Pacaran?"

"Tapi pas putus mereka berantem hebat. Sampai heboh di lapangan," kata Karina. "Karena sama-sama pengendali pikiran, mereka bisa bohong dengan bebas tanpa ketahuan. Kalau nggak salah, ada yang selingkuh, tapi nggak tahu entah Jovan atau Anne-Marie. Sejak saat itu Jovan udah nggak ngomong lagi sama Anne-Marie."

Karina rupanya update sekali soal gosip percintaan terkini di sekolah. Mendengar ini, aku jadi cemas. Jangan-jangan Jovan memang bekerja sama dengan Anne-Marie! Kini setiap anggota Javelin terlihat mencurigakan bagiku.

"Mungkin yang dimaksud Meredith adalah Jovan," kata Carl.

"Nggak mungkin, Carl," bantahku. "Meredith nggak tahu kalau Jovan akan menggantikan Windy!"

"Duh, ini benar-benar gawat!" Billy memotong pembicaraanku dengan Carl. "Kita harus atur ulang strategi, nih!"

Si ketua kelas mengajak tim kami berkumpul. Kami berkerumun dekat Reo yang sudah sadarkan diri. Seorang perawat menarik Carl ke pinggir dan mengobati memar di wajahnya. Aku menghampiri Tara.

"Ra, gue harus cerita sesuatu. Tadi si Meredith nyuruh gue waspada."

"Waspada?" Tara memandangku dengan tatapan siaga, dan aku teringat akan ekspresinya ketika aku memanggilnya untuk pertama kali di kelas. "Waspada soal apa, Jen?"

Aku menceritakan asumsiku soal Anne-Marie dan ketidakpercayaan Carl. Aku ingin mendengar pendapat Tara. Sejujurnya aku ingini Tara setuju dengan pemikiranku; bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Bahwa aku nggak cuma parno sesaat.

Tara menimbang-nimbang. "Carl ada benarnya juga. Mustahil menerobos keamanan Casa Poca, Jen. Tapi kalau lo masih khawatir, kita bisa kasih tahu Bu Olena."

Tara sepertinya kurang yakin, dan ini nggak membuatku lega.

Bu Olena datang bergabung dengan kami. Dia mengecek keadaan Carl dan Reo, memastikan mereka berdua baik-baik saja. Lalu Karina memberitahunya soal Jovan yang baru bergabung di Javelin. Sesuai dugaanku, wali kelas kami itu juga langsung cemas.

"Bu," panggilku. "Saya perlu bahas sesuatu. Soal peringatan Meredith."

Bu Olena menatapku dari bawah poninya. "Maksud kamu soal pengendali pikiran?"

Responnya mengejutkan. Ternyata Bu Olena juga mendengar apa yang dikatakan Meredith tadi. "Iya, Bu. Saya rasa, yang dimaksud Meredith adalah Anne-Marie..."

"Anne-Marie?" Alis Bu Olena mengernyit. "Maksud kamu, Anne-Marie The Queens?"

Mereka semua menatapku dengan kebingungan. Aku berdeham dan mulai menceritakan benang merah antara Shelomita, Windy, dan Anne-Marie; tentang bagaimana Javelin sepertinya terus-menerus menargetkan Carl; tentang murka Anne-Marie dan keinginannya membalas dendam karena dikeluarkan dari sekolah gara-gara aku dan Carl.

"Tapi bagaimana cara kita melawan pengendali pikiran?" tanya Iswara. "Pengendalian pikiran termasuk kekuatan yang langka dan nggak banyak pengendali lain yang bisa bebas dari pengaruhnya."

"Kuncinya tetap konsentrasi," kata Bu Olena tegas. "Pengendali pikiran pada dasarnya sama-sama pengendali, seperti kalian. Mereka hanya memanfaatkan kekuatan mereka. Entah itu Jovan Alessandro atau Anne-Marie, hal pertama yang perlu kalian pahami jika berhadapan dengan pengendali jenis ini adalah, mereka pasti akan mencoba menguasai pikiran kalian. Jadi kalian harus siap. Kedua, yakinkan diri kalian bahwa pengendali utama dari pikiran kalian sesungguhnya adalah kalian sendiri, bukan orang lain."

"Kekuatan pengendali berlipat ganda jika mereka berkonsentrasi," kata Carl, mengutip kata-kata Pak Yu-Tsin di kelas Pengendalian Kekuatan waktu itu.

"Carl benar. Pikiran kalian adalah milik kalian. Jika kalian berkonsentrasi, pengendali sekuat apapun akan kesulitan menguasai kalian," kata Bu Olena setuju. "Nah, soal laporan Jennifer, saya akan meneruskannya ke Pak Prasetyo. The Queens pasti sudah nggak waras kalau mereka berani bikin huru-hara di bawah hidung Dewan dan para guru. Seluruh arena untuk ketiga tantangan sudah diperiksa dan dipastikan steril dari pengendali lain selain peserta lomba."

Kami mengangguk-angguk. Aku melirik Carl. Dia dan Reo sedang bertukar pandang menyemangati. Hatiku terasa sedikit lebih ringan, setidaknya Bu Olena percaya padaku.

"Sekarang soal pengganti Meredith," lanjut Bu Olena. "Saat ini kita berada di posisi tiga. Kita tahu bahwa lawan kita adalah Javelin dan Prima. Tadi Pak Gino memutuskan menggantikan Dewa dengan Raka Chaniago, karena luka-luka Dewa terlalu parah untuk terus lanjut."

Aku tahu siapa Raka. Dia adalah pengendali logam juga, yang waktu itu mengendalikan serigala perunggu yang menyerangku dan Carl di koridor.

"Jadi sekarang Javelin punya dua pengendali logam dan satu pengendali pikiran," lanjut Bu Olena. "Bukan hanya Javelin, Prima juga mengganti susunan tim mereka. Karina?"

Karina mengecek iPad-nya, mencari-cari daftar susunan tim untuk Tantangan Terakhir. "Oke, di sini disebutkan kalau komposisi Prima saat ini adalah Chelsea The, Yudhistira Lapian, dan Ruly Kamaruddin..."

"Kak Yudhi sekretaris klub pecinta alam, klub aku," kata Azka segera. "Dia pengendali es."

"Pengendali es?" tanyaku. "Bukannya itu sama dengan pengendali air?"

"Pengendali es bisa mengendalikan air, udara, dan temperatur sekaligus," kata Tara. "Bagaimana dengan Ruly dan Chelsea? Gue nggak begitu kenal mereka berdua."

"Kak Chelsea sepupu Wynona, dia pengendali dimensi," kata Iswara. "Dimensi tempat alias portal."

"Terus kalau si Ruly?" tanya Billy. "Dia pengendali apa?"

"Kalau nggak salah ingat, Ruly adalah pengendali kabut," kata Bu Olena. Dia melirik tim Prima tak jauh di sebelah kami yang sedang bersiap-siap. Chelsea adalah cewek ceking dengan potongan rambut model bob yang entah mengapa mengingatkanku pada Harley Quinn. Ruly kurus dan berkacamata, dia kelihatan lebih mirip kutu buku ketimbang pengendali. Yudhi kekar dan berkulit sawo matang, gerak-geriknya seperti cowok tangguh yang sulit dikalahkan.

"Oke," kata Billy. "Jadi siapa nih yang bakal menggantikan Meredith?"

"Javelin punya dua offender dan satu pengendali serba guna," kataTara. Dia mulai mondar-mandir, gerakan yang selalu dilakukannya kalau dia sedang berpikir. "Prima punya satu offender; si pengendali es, satu defender; si pengendali kabut dan satu anggota serba guna; si pengendali portal."

"Tara, bukannya pengendali portal mirip pengendali waktu?" tanya Bu Olena. "Kalian sama-sama pengendali dimensi, kan?"

"Benar, bu. Kelebihannya adalah, Chelsea bisa membawa Prima langsung ke garis Finish jika dia sudah tahu letak persis tempatnya. Kekurangannya adalah, sama seperti saya, pengendali portal hanya bisa menggunakan kekuatannya beberapa kali saja dalam satu jam."

"Kali ini hanya ada satu garis Finish," kata Bu Olena. "Oke, jadi Chelsea lah yang perlu diwaspadai. Saya pikir Javelin juga pasti akan menyerang dia terlebih dulu."

"Kalau begitu kita perlu Tara," usulku. "Untuk mengimbangi Prima. Jika kita sudah tahu apa yang akan dilakukan Prima dan Javelin, kita bisa mengatasi mereka."

"Gue nggak bisa memutar waktu ke depan kalau itu maksud lo, Jen," kata Tara.

"Bukan gitu, Ra. Lo ingat nggak kejadian di Bellagio waktu itu? Waktu Anne-Marie menyerang gue? Lo memundurkan waktu, sehingga gue bisa mengantisipasi tindakan Anne-Marie selanjutnya."

"Kamu cuma perlu memundurkan waktu saat kita menghadapi serangan berat aja, Ra," kata Reo. Dia memicing menatap Javelin penuh tekad, pusaran angin kecil terbentuk di ujung-ujung jarinya. "Selebihnya kamu nggak perlu khawatir. Aku bisa menangani Ardhan dan Raka sekaligus."

"Kamu bakal jadi defender yang oke buat tim kita," dukung Carl setuju.

Bu Olena menatap Tara lurus-lurus. "Bagaimana, Tara? Apa kamu bersedia?"

Tara menelan ludah dan meregangkan buku-buku jarinya. "Siap, bu."

Carl dan Reo bangkit dan berdiri di samping Tara. Mereka meraih tangan masing-masing dan meremasnya kuat-kuat. Kami menatap komposisi Triumph yang terbaru. Tara, Carl, dan Reo tampak bangga dan siap menang. Melihat mereka membuat darahku berdesir-desir.

"Baiklah kalau begitu. Reo, kamu menggantikan Meredith sebagai ketua tim," kata Bu Olena mantap. Dia menyerahkan kembali bintang emas tim kami ke tangan Reo. "Mari kita taklukkan Tantangan Terakhir ini!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top