23. Lantai Yang Lenyap


Kami mengamati Reo, Meredith dan Carl berpindah ruangan dengan gemas.

"Garis Finish terdekat ada di sebelah kiri mereka," kata Azka hati-hati. "Reo udah melihat pintu itu. Yang perlu mereka lakukan adalah bergerak ke pintu itu secepat mungkin."

Strategi Reo untuk membuka semua pintu di The Hive terbukti jitu. Tim kami kini dapat bergerak lebih leluasa setelah tahu jalan mana yang harus diambil. Namun itu bukan berarti mereka bisa mencapai garis Finish dengan mudah, karena sekarang semua tim yang lolos ke Tantangan Kedua sudah berada di The Hive.

Karina memekik, "Awas, dari pintu belakang!"

Seorang pengendali dari tim lawan memuntahkan lava panas bergelegak dari pintu ruangan tim kami. Carl mengelak dengan gesit dan memunculkan anak-anak tangga dari dinding, sehingga dia, Meredith dan Reo bisa melompat ke atasnya.

"Nyaris banget!" Tara mengelap keringat di wajahnya. "Kita tinggal sedikit lagi, nih!"

Javelin masih berkutat dengan strategi mereka yaitu mengetes setiap pintu, meski kini mereka melakukannya dengan lebih brutal. Windy si pengendali kayu tak lagi hanya sekedar mengedor pintu-pintu, tapi kini mencabutnya. Rupanya dia terinspirasi dari Reo. Akibatnya sepertiga pintu di The Hive kini sudah tak ada dan setiap tim memanfaatkan ini untuk saling serang.

"Ke kiri!" teriak Bu Olena, sepertinya lupa akan kehadiran kaca tebal yang memisahkan kami dan The Hive. "Hanya tinggal empat ruangan lagi!"

Carl menyentuh sebuah pintu yang sudah dicabut oleh Windy dan berkonsentrasi mengubahnya menjadi sesuatu yang mirip dengan pesawat kertas. Mereka bertiga naik ke atas pesawat itu. Lalu dengan hembusan angin dari Reo, mereka melayang melewati bingkai-bingkai pintu yang telah kosong, dua ruangan sekaligus.

"Carl berhasil mengubah kayu," bisik Tara. "Tuh, lihat!"

"Ya, gue lihat!" Aku memang tak pernah meragukan kekuatan Carl. Seperti kata Pak Yu-Tsin di sesi pertama kelas Pengendalian Kekuatan, aku tahu bahwa kunci pengendalian hanyalah konsentrasi.

"Lo tadi ngomong apa ke dia pas break sehabis Tantangan Pertama?" selidik Tara.

"Gue nggak ngomong apa-apa."

"Gue lihat kalian ngobrol, kok."

"Oh, gue cuma minta Carl konsentrasi," jawabku jujur. Berbeda dengan Meredith yang kelihatannya nggak ambil pusing soal hubunganku dengan Carl, Tara agak sensitif soal ini. "Waktu itu dia berhasil mengubah berlian hanya dengan berkonsentrasi."

Ekspresi Tara berubah jahil. "Pasti dia konsentrasi memikirkan lo."

Tebakan Tara benar. Carl sendiri mengakuinya. "Mungkin," jawabku, nggak mau terdengar ge-er. "Kalau gue bisa membantu dia tambah konsentrasi, kenapa nggak?"

"Lo naksir dia ya, Jen?"

Aku terperangah. Wah! Dari mana Tara dapat ide seperti itu? "Kita cuma teman."

"Gue perhatikan lo belakangan ini," kata Tara. "Lo sama Carl sering banget bareng-bareng."

"Karena waktu itu cuma kita berdua di kelas yang nggak punya kekuatan."

Tara kelihatan nggak puas mendengar jawabanku tapi dia hanya berkedip nakal dan mengalihkan pandangannya.

Yang terjadi di The Hive sekarang lebih mirip permainan kucing menangkap tikus. Tantangan yang disiapkan oleh panitia nyaris tak ada apa-apanya dibandingkan dengan para pengendali yang saling serang.

Triumph bersiap-siap bergerak menuju ruangan berikutnya. Kini mereka hanya terpisah satu ruangan dari garis Finish terdekat.

"Itu bintik-bintik apa sih?" Iswara mengetuk-ngetuk kaca di lantai. "Lihat deh!"

Ruangan yang dituju Triumph penuh dengan bintik-bintik kecil yang berterbangan ke sana-kemari, seperti pasir.

"Itu lebah!" kata Billy panik. "Pasti itu salah satu tantangan yang disiapkan panitia. Wah, gawat nih!"

Lebah... Ya, tentu saja. Aku mencelos. Struktur The Hive sendiri sudah mirip sekali sarang lebah.

Pesawat kayu Triumph melayang masuk menuju ruangan yang penuh lebah itu. Benar saja, Reo, Carl dan Meredith terkejut disambut kerumunan lebah itu.

Tara berseru. "Lari! Langsung pindah ke ruangan berikutnya!"

Tapi pintu-pintu di ruangan itu terayun menutup. Windy si pengendali kayu dari Javelin berada di ruang sebelah dan dia menahan kelima pintu di ruangan tim kami sehingga Triumph tak dapat berpindah. Wajahnya, Ardhan dan Dewa bengkak dan merah-merah. Mereka baru saja melewati ruangan itu dan menjadi korban serangan lebah-lebah.

"Si Carl nggak bisa mengubah makhluk hidup, kan?" tanya Karina.

"Nggak bisa," jawabku. "Itu di luar kemampuan pengendalian wujud."

Meredith berteriak kesakitan karena diserang lebah tapi dia bergerak cepat. Daun raksasa tumbuh dari telapak tangannya dan membungkus dirinya, Carl dan Reo sekaligus, membuat mereka tampak seperti tiga nasi bungkus raksasa.

"Cerdas," puji Bu Olena terharu. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Mereka cerdas sekali!"

Kami tak tahan untuk tidak tergelak melihat Meredith, Carl dan Reo yang terbungkus daun melompat-lompat menuju pintu di depan mereka, seperti pocong. Meski tampak menggelikan, nyatanya strategi membungkus diri ini berhasil. Ketika sudah dekat pintu, Carl menjulurkan tangan dan menyentuh pintu kayu itu. Si pintu berubah menjadi sehelai kain. Lalu dengan kekuatannya, Reo merobek kain itu sehingga mereka bertiga bisa tiba di ruang sebelah.

"Tim support," panggil Bu Olena. "Kita harus bersiap. Mereka bertiga tersengat lebah."

Aku, Iswara dan Azka bergegas mencari kotak P3K. Kami nggak tahu seberapa parah akibat sengatan lebah itu, tapi jika parah, bisa-bisa tim kami tak sanggup melanjutkan sampai Finish.

"Meredith melambaikan tangan," kata Billy memberitahu. "Mereka butuh bantuan!"

"Apa sih obat sengatan lebah?" tanya Azka panik. "Gue nggak tahu kalau ada lebah-lebah segala!"

"Tunggu." Tiba-tiba Tara menyetop kami. "Meredith bukan minta bantuan!"

"Maksud lo, Ra?" desak Billy. "Si Reo juga ikut-ikutan melambai, tuh!"

"Meredith nggak minta bantuan," kata Tara cepat. Dia membungkuk mendekati lantai kaca tembus pandang, meneliti Meredith. "Dia bilang, dia baik-baik aja."

Tak percaya akan penjelasan Tara, aku ikutan mengamati tim kami. Tangan Meredith, Reo dan Carl memang bengkak kemerahan, tapi mereka terus-terusan melambai.

"Katanya..." Tara menyipitkan mata. Sepertinya dia sedang membaca bibir Meredith. "Katanya, mereka akan langsung ke garis Finish."

Iswara menatap wali kelas kami. "Bagaimana nih, bu?"

Bu Olena berkedip-kedip. Lalu dia mengangguk kecil. "Meredith ketua timnya. Kalau dia yakin mereka bisa meneruskan sampai Finish, biar mereka memutuskan."

Tara mengacungkan jempol pada Meredith. "Oke, Dith! Lanjut!"

Meredith berbalik, bersiap membuka pintu yang langsung mengantar mereka menuju garis Finish ketika tiba-tiba dua daun pintu melesat terbang ke arah mereka. Carl mencoba mengelak tapi tak cukup cepat, tangan Meredith terjulur mendorong tubuhnya yang berada tepat di jalur penerbangan pintu itu...

BRAK!

Meski terhalang kaca tebal, kami bisa mendengar bunyi tabrakan itu saking kerasnya. Aku ngeri melihat tubuh Carl terlempar akibat terjangan dua pintu kayu berat dan lengan kanan Meredith yang terpuntir dalam sudut yang aneh akibat ditabrak pintu. Reo sempat menyelamatkan diri dengan tiarap di lantai.

Dari ambang pintu yang bolong, Windy dan dua rekannya melangkah masuk.

"Meredith dan Carl kena!" Karina memekik ketakutan. "Ya ampun. Lihat, tangan kanan Meredith patah, tuh!"

Karina tak perlu menjelaskan pada kami apa yang terjadi. Meredith memeluk lengan kanannya yang patah dan berteriak kesakitan. Carl teronggok di sudut ruangan, tak sadarkan diri. Pelipisnya berdarah. Kedua pintu itu menghantam wajahnya tepat di bagian samping.

Kami menyambar kotak P3K dan bersiap turun ke bawah, ke The Hive.

"Tunggu dulu," cegah Billy. "Mereka belum selesai!"

Tara menjerit. "Lantainya!"

Tiga perempat lantai ruangan itu tiba-tiba lenyap, digantikan sebuah lubang yang dalam dan gelap. Javelin yang berada tepat di atas bagian lantai yang hilang langsung terperosok jatuh bersama daun-daun pintu. Reo bergerak cepat dan menarik lengan kiri Meredith sebelum dia jatuh. Carl, yang untungnya tersungkur di bagian lantai yang tidak lenyap, masih tak sadarkan diri.

Keringat membanjir di wajah Reo sementara Meredith menjerit kesakitan. Dia mencoba mengangkat tangan kanannya yang patah, tapi tak bisa. Sulur-sulur tanaman tak mau bermunculan dari tangannya.

"Kenapa kekuatan Meredith hilang?" tanya Azka bingung.

"Karena Meredith bukan kidal," jawab Tara. Dia memandangi The Hive dengan serius sekali. "Meredith hanya bisa mengendalikan tanaman dengan tangan kanannya tapi sekarang tangan itu patah. Kalaupun dia mencoba memakai tangan kirinya, itu bakal susah banget karena dia sedang berpegangan pada Reo pakai tangan itu."

Aku menganalisis kejadian itu. Tim kami benar-benar berada dalam posisi sulit. "Jadi mereka harus bagaimana, Ra?"

"Semuanya ada di tangan Reo," kata Tara pasrah.

"Kecuali kalau Carl sadar," sambung Billy ragu-ragu. "Tapi kemungkinan itu kecil sekali. Kayaknya Carl yang terluka paling parah."

Triumph tinggal selangkah lagi menuju garis Finish. Yang perlu mereka lakukan hanyalah melewati ambang pintu terakhir.

Kami berpaling pada Bu Olena, berharap wali kelas kami bisa mengusulkan sesuatu. Namun wali kelas kami hanya mengernyit menatap The Hive, sepertinya beliau juga kebingungan.

"Gatotkaca sudah mencapai garis Finish!" Pak Prasetyo mengumumkan dengan suara menggelegar. "Tersisa dua tempat lagi menuju Tantangan Terakhir!"

Kami hanya bisa memandang putus asa tim Gatotkaca yang bersorak-sorak senang di salah satu dari ketiga garis Finish yang tersedia. Dengan keadaan seperti ini dan peluang yang kian menipis, apa tim kami masih bisa menang?

"Kalau keadaannya sudah begini..." Bu Olena menarik napas panjang sambil menatap nanar Meredith dan Reo yang masih bergumul dan Carl yang tak sadarkan diri. Mulut Reo terbuka, jelas dia sedang berteriak-teriak memanggil, mencoba menyadarkan Carl. "Mungkin kita hanya bisa sampai sini saja..."

"Jangan, Bu!" tolak Tara segera. "Lihat, itu Reo lagi berusaha!"

Meredith mencoba mengayunkan tangannya yang patah untuk menggapai Reo agar dia bisa ditarik ke atas tapi sia-sia. Lengannya itu hanya berayun lemas tak berdaya, seperti balok kayu yang kaku. Reo berteriak lagi, memanggil Carl.

"Eh, lihat!" Azka menunjuk sesuatu. "Apa tuh?"

Dari dalam lubang yang dalam dan gelap, muncul sesuatu. Bentuknya seperti kotak tapi benda itu seolah tumbuh, menjulang dari dalam kegelapan lubang dan terus naik ke atas.

Tara berkata keras-keras. "Ah, sialan!"

Seolah bangkit dari kubur, Javelin muncul kembali dari dalam lubang itu, naik daun pintu kayu raksasa yang sudah pasti ditumbuhkan Windy, si pengendali kayu. Pastilah daun pintu itu ikut terjatuh bersama Javelin ke dalam lubang saat separuh lantai lenyap. Mereka melewati Meredith dan Carl yang masih berkutat di bibir lubang lalu dengan satu entakan kecil, melewati ambang pintu menuju garis Finish.

Suara Pak Prasetyo terasa seperti dentuman bom. "Javelin ada di posisi kedua!"

"Uuuhh!" seru Karina gemas. "Kita bisa kalah, nih!"

"Ayo, Reo!" Billy berteriak. "Sadarkan Carl dulu!"

"Kalau mau berada di urutan ketiga, mereka harus sampai ke garis Finish bersama-sama," kata Iswara mengingatkan.

"Ayo, Reo!" Aku, Azka dan Karina menumbuk-numbuk lantai kaca sambil berseru berbarengan. "Kamu pasti bisa!"

Lalu Reo mulai menendang-nendang udara. Dia kelihatan seperti orang kejang.

"Reo kenapa, tuh?" Wajah Azka berubah pucat karena ketakutan. "Dia sakit juga?"

"Bukan," kata Tara yakin. "Dia mencoba mengendalikan kekuatannya melalui kaki! Kedua tangannya sibuk menahan Meredith. Dia nggak bisa pakai tangan..."

Pengendalian kekuatan pakai kaki? Aku menatap Tara ragu-ragu. Selama ini aku tak pernah melihat pengendali menggunakan kekuatan mereka tanpa menggunakan tangan.

"Checkmate menyusul!" Billy memberitahu, dan informasi ini malah bikin kami tambah stres. Checkmate nggak boleh men-checkmate kami jika ingin lanjut ke Tantangan Terakhir.

Aku bisa merasakan jantungku berdetak begitu cepat karena tegang. Ayo, Reo... batinku. Aku tahu Reo adalah pengendali yang sangat kuat dan aku tak kehilangan harapan padanya. Reo masih menendang-nendang. Perlahan-lahan, muncul pusaran angin akibat tendangannya. Pusaran angin itu membesar dan berdesing ke arah Carl yang pingsan. Rasanya seperti menonton adegan dalam film kungfu, ketika si jagoan sedang menggunakan tenaga dalamnya untuk menghajar musuh.

Angin itu mengenai Carl namun sayangnya tak cukup kuat. Tubuh Carl hanya bergetar, tapi dia masih terkulai pingsan. Reo mencoba, kali ini dia menendang lebih keras. Pusaran angin yang muncul lebih besar, tapi meleset tidak mengenai Carl dan hanya menghantam dinding.

"AYO, REO!" teriak Billy. Bu Olena sudah tiarap bersama dengan Karina dan Azka, menggedor-gedor lantai kaca di bawah kami sambil memberi semangat. "COBA SEKALI LAGI!"

Reo mengerutkan punggungnya dan menyentakkan diri keras-keras, seperti orang yang sedang stretching. Dari wajahnya, aku tahu Reo sangat kepayahan. Muncul pusaran angin lagi, kali ini lebih besar dan lebih kuat dari biasanya. Kami sampai bisa melihat bentuknya dengan sangat jelas, berputar meliuk-liuk ke arah Carl...

WHUUUZZZZZ!

Tubuh Carl terangkat naik beberapa senti dari lantai lalu jatuh lagi. Carl gemetar lalu terbatuk-batuk. Dia membuka mata dan mengerjap-ngerjap, sepertinya setengah sadar. Namun dia bangkit sambil terhuyung-huyung, dan memandang Reo yang masih memanggil-manggil.

"Checkmate tinggal satu ruangan lagi menuju Finish!" kata Pak Prasetyo bersemangat. "Sementara Triumph masih berjuang. Siapakah yang akan menempati posisi ketiga?"

Carl sudah sepenuhnya sadar sekarang. Dia menghambur ke arah Reo dan ikut menarik Meredith dan masih bergelantungan di bibir lubang. Reo berdiri dan mengibaskan tangannya yang sepertinya kebas. Dia membidik pintu kayu raksasa yang dibuat Windy dan menghancurkannya dengan kekuatan anginnya.

Pintu kayu itu pecah seperti kaca. Serpihan-serpihannya beterbangan ke mana-mana.

"Sepertinya Prima tak mengizinkan Checkmate mencapai Finish semudah itu!" kata Pak Prasetyo. Di samping sang Kepala Sekolah, Bu Nanda wali kelas Prima dan Pak Gusti wali kelas Checkmate sedang berteriak-teriak menyemangati tim masing-masing. Checkmate sedang berduel dengan Prima dengan seru – tiga perempat lantai ruangan yang mereka injak juga hilang, tapi Prima rupanya punya pengendali udara...

Tiba-tiba Tara bersorak. "YES!"

Carl menangkap salah satu sepotong kayu dan mengubahnya menjadi pesawat kayu, seperti yang tadi dilakukannya. Dia dan Reo membimbing Meredith yang masih mengaduh-aduh kesakitan untuk menaiki pesawat itu. Lalu dengan satu entakan kaki Reo, pesawat kayu itu melayang melewati ambang pintu di depan mereka dan lurus mencapai garis Finish.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top