22. Tantangan Kedua
Meredith menendang-nendang trotoar dengan kesal.
"Kita udah dapat bintangnya!" katanya bersungut-sungut. "Kita pemenang tantangan pertama, bukan Javelin!"
"Maaf," kata Carl sedih. "Sebetulnya nggak mau ngelepas bintang itu."
"Carl dicakar, Meredith," kataku. Lengan kiri Carl dibalut perban. Dibaliknya, ada luka cakaran dalam yang sudah dijahit. "Harimau emas itu hampir menggigit Carl juga!"
"Gue nggak menyalahkan siapa-siapa, oke?" kata Meredith. Dia beradu pandang dengan Carl dan membuang muka. "Gue cuma kesal! Javelin jelas-jelas curang!"
Ketika si patung selamat datang terjatuh, lima bintang lain di tangannya juga ikut jatuh dan pecah. Hanya tersisa satu bintang; itulah bintang yang diberikan pada Carl oleh si patung yang kini hanya berupa onggokan puing-puing. Semoga penduduk Jakarta nggak bertanya-tanya apa yang terjadi pada monumen ikonik mereka.
"Bu Olena udah komplen kok." Reo menunjuk para penyelenggara Casa Poca yang berdiri berkelompok. "Itu, lihat. Ada si monster juga."
Perhatian kami teralih pada panitia Casa Poca. Mereka sedang mengobrol dengan sangat seru sehingga kami bisa mendengar mereka. Lengan kaos Bu Olena tergulung. Dia berdiri sambil berkacak pinggang, gayanya ngajak ribut.
"Apa bapak dan ibu nggak lihat?" Suara wali kelas kami meninggi. "Ada puluhan non-pengendali di jembatan itu! Ardhan mematahkan jembatannya begitu saja seolah itu hanyalah tusuk gigi!"
"Saya percaya murid perwalian saya melakukan apa yang harus dia lakukan," balas Pak Gino sengit. "Ini Casa Poca, Bu Olena, bukan lomba cerdas cermat! Para peserta Casa Poca memang dituntut untuk mendemonstrasikan kekuatan pengendalian mereka!"
"Tapi bukan berarti mereka bisa seenaknya sampai melukai para non-pengendali!"
"Kita punya satgas dari Dewan Pengawas untuk melindungi non-pengendali."
"Mereka hanya ditempatkan di titik-titik tertentu..." Wajah merah Bu Olena menandakan bahwa dia siap mencekik Pak Gino saat itu juga. "Sementara murid perwalian Anda menyerang di tengah jalan! Kalau kita perlu anggota satgas di sepanjang jalan, maka tak akan cukup. Ada lebih banyak non-pengendali dibandingkan pengendali, bapak kan tahu soal itu!"
"Casa Poca adalah pertandingan yang menguras ketahanan fisik, Bu Olena," sahut Pak Gino sambil ikutan berkacak pinggang. "Jika Anda menganggap pertandingan ini terlalu beringas, silakan mengundurkan diri."
Aku, Reo, dan Meredith saling pandang. Tara menggeleng-geleng sedih.
"Aku udah berusaha, Jen," kata Carl. Tatapannya masih terpaku pada Bu Olena dan Pak Gino. "Aku pikir kita memang bisa menang Tantangan Pertama."
"Kita memang menang Tantangan Pertama," jawabku lembut. Carl kelihatan down, rupanya dia menyalahkan dirinya sendiri atas kekacauan ini. "Siapapun yang melihat kejadian tadi pasti tahu Triumph sudah memegang bintangnya sebelum direbut Javelin."
Carl hanya diam saja.
"Sakit nggak?"
"Apa?"
"Itu, tangan kamu."
"Sedikit."
Aku mendesah. Pertanyaan macam apa itu? Ada dua puluh jahitan di lengan Carl dan aku bertanya padanya apakah dia merasa sakit.
"Aku seharusnya bisa mengubah harimau emas itu jadi sesuatu," lanjut Carl lagi. "Sama seperti waktu kita diserang di koridor. Aku udah berhasil mengubah tiang batu itu jadi tangga, seharusnya emas bukan masalah. Apalagi aku udah pernah mengubah logam sebelumnya. Aku mencoba memikirkan kamu..."
"Mikirin aku?"
"Iya, seperti waktu itu. Kayak saran kamu..." Carl merona sedikit. "Aku lebih mudah mengubah benda kalau mengingat kamu. Tapi yang terakhir tadi sulit sekali karena aku harus bertahan di pohon itu sementara harimau lainnya mau menyerang Reo dan... dan..."
"Carl..." Dia mikirin aku! Wah! "Kamu udah berusaha. Nggak ada yang menyalahkan kamu."
"Aku tahu." Dia mengkertakan gigi. Aku baru pertama kali melihatnya seperti itu. "Aku cuma kecewa sama diriku. Seharusnya aku bisa berusaha lebih keras. Ini pertama kali kelas kita ikut Casa Poca..."
Terlepas dari fakta bahwa Carl memikirkanku, aku tak mengira bahwa beban menjadi perwakilan kelas untuk ikut Casa Poca ternyata berat sekali. "Kamu udah memberikan yang terbaik. Minggu lalu kamu masih non-pengendali, lho. Kamu lupa?"
"Iya juga sih."
"Dan sekarang kamu mewakili kelas kita," hiburku. "You know you're not that bad!"
Carl diam sambil berpikir. Kami memang sedang beristirahat selama tiga puluh menit.
Ribut-ribut itu kian memanas. Pak Prasetyo dan beberapa orang dari Dewan datang melerai Bu Olena dan Pak Gino tampaknya sudah akan berduel. Para anggota tim dan wali kelas mereka menonton kejadian itu dengan seru.
"Zodiak kamu apa, Jen?" tanya Carl tiba-tiba.
"Zodiak? Kok tiba-tiba nanya begitu?"
"Aku Libra. Kamu apa?"
"Kamu kenapa sih?" Aku tertawa dibuatnya. "Nggak lagi demam kan?"
"Jangan sok misterius gitu deh," kata Carl. Senyum jahilnya yang khas sudah bertengger lagi di wajahnya. "Aku cuma mau tahu."
"Kepo deh."
"Biarin. Cancer ya?"
"Bukan. Aquarius."
Carl menepuk pahanya dengan gaya penuh kemenangan dan berdecak.
"Kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba happy?"
"Ya nggak apa-apa, kan? Daripada memikirkan Javelin terus."
"Ya benar juga sih..." Apa dia sedang mencoba mengalihkan perhatianku? Tapi dari apa? Jangan-jangan Tara benar pernah menyebut Carl bipolar. "Terus kenapa kalau zodiak aku Aquarius terus kamu Libra?"
"Kalau kita menang Casa Poca, aku kasih tahu."
"Ngeselin."
"Biarin."
Tara menghampiri kami. "Sebentar lagi waktu istirahat habis dan kita akan ke Tantangan Kedua. Carl, kalau lo nggak fit, Billy atau Karina siap menggantikan elo."
"Aku siap kok Ra." Carl bangkit berdiri. "Ini cuma luka kecil."
Reo bergabung dengan kami. Dia sudah mengganti kaosnya yang basah akibat diterjang air tadi dan sudah mengeringkan rambutnya. "Menurut aku Carl oke banget kok tadi. Ya kan Meredith?"
Meredith hanya tersenyum, tapi aku tahu dia tulus.
"Terima kasih teman-teman," kata Carl. "Kita masih punya dua tantangan lagi."
Tak berapa lama, Iswara, Azka, Karina dan Billy datang membawakan botol air tambahan. Bu Olena mendatangi kami dan dengan gelengan putus asa. Dia memberitahu kami bahwa Dewan baru akan memutuskan apa yang dilakukan Javelin termasuk pelanggaran atau bukan setelah seluruh tantangan berakhir. Mendengar ini Meredith meledak marah – tanaman-tanaman kaktus muncul dari tanah di sekitar kakinya. Billy juga ikut memprotes tapi Bu Olena bilang tak ada gunanya. Tantangan Pertama sudah lewat dan kami harus bersiap-siap untuk Tantangan Kedua.
Pikiranku teralih dari misteri zodiak Carl dan kembali fokus ke Casa Poca. Saat ini kami sudah berada di kompleks Stadion Senayan, tempat Tantangan Kedua akan diadakan.
"Semuanya berkumpul kemari," panggil Pak Prasetyo. Karena posisi duduk kami paling dekat, kami tak perlu bergerak. Anggota tim-tim yang lain mendekati kami. Dari pengamatanku, ada tiga tim yang mengganti anggota mereka. Cewek cantik berwajah manis anggota tim kelas sepuluh Krypton sudah tak ada, digantikan seorang cowok kekar mirip gorila. Shelomita Akbar tak lagi terlihat di Javelin, posisinya diambil alih seorang cewek mungil bertampang bengis yang mengingatkanku pada Rita The Queens.
"Pengganti Shelomita adalah Windy Mulia," kata Azka pada Karina yang sibuk mencoret-coret iPad di sebelahku. "Dia tinggal satu kompleks sama gue. Kalau nggak salah dia pengendali kayu."
Pak Prasetyo berdeham meminta perhatian.
"Saya akan membacakan hasil Tantangan Pertama. Karena kejadian yang tak disengaja, hanya ada satu bintang yang tersisa, padahal bintang-bintang itu adalah kunci kalian menuju tantangan selanjutnya. Oleh karena itu penilaian diberikan berdasarkan tim yang pertama kali mencapai Monumen Selamat Datang."
Bu Olena mengerang. Kalau penilaian seperti ini, kami sudah tahu apa hasilnya.
"Ada enam tim yang lolos babak pertama ini," kata Pak Prasetyo sambil membaca secarik kertas. "Di posisi pertama ada Javelin dari dua belas Supernova!"
Javelin dan tim support mereka bersorak. Pak Gino tersenyum – baru kali itu kami melihatnya tersenyum. Karina diam-diam mengangkat ponselnya dan menjepret peristiwa langka itu.
"Di posisi kedua ada Triumph dari sepuluh Nobel. Di posisi ketiga ada Checkmate dari sebelas Karl Marx, disusul Prima dari dua belas Heisenberg dan Gatotkaca dari sepuluh Pattimura. Di posisi enam ada Guardian dari sebelas Darwin." Pak Prasetyo menyelipkan kembali kertas itu ke dalam saku jasnya. "Selamat karena telah melewati tantangan pertama! Bagi tim yang tidak lolos, saya yakin kalian sudah berusaha keras. Kalian dipersilakan untuk kembali ke sekolah. Sekarang saya akan menjelaskan tentang Tantangan Kedua..."
Kami semua menunggu dengan tegang. Bisa dipastikan Tantangan Kedua akan lebih menantang dari yang pertama.
"Di Tantangan Kedua ini tak ada adu kecepatan. Sekarang, setiap tim punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan bintangnya. Tantangan Kedua akan menguji kekompakan dan kerja sama tim. Kalian harus melewati ini..."
Lapangan rumput yang kami injak bergetar. Lalu rumput-rumputnya yang hijau bergeser membuka menampilkan sebuah struktur bangunan besar tepat di bawah kaki kami. Aku tak tahu ada bangunan semacam ini di bawah Stadion Senayan. Bangunan itu berbentuk segi lima dan terdiri dari kumpulan ruangan yang juga berbentuk segilima serta saling bersisian. Melihatnya, aku langsung teringat sarang lebah raksasa.
"Ini adalah The Hive," kata Pak Prasetyo. "Seperti yang kalian lihat, setiap ruangan di The Hive punya lima sisi. Ada lima pintu di masing-masing sisi dan kalian harus memutuskan mana pintu yang tepat untuk maju menuju garis Finish. Ada tiga garis Finish berbeda, posisinya masing-masing di salah satu sudut yang ada di The Hive. Tiga tim tercepat yang mencapai akhir akan melaju ke Tantangan Ketiga. Ketika sampai di finish, tancapkan bintang kalian di tempat yang sudah disediakan."
"Nggak masalah," kata Reo yakin. "Kita bisa melewati ini!"
"Ini tak semudah yang kalian pikirkan," lanjut Pak Prasetyo, seolah bisa membaca pikiran Reo. "Di balik pintu-pintu yang salah ada jebakan menanti. Dan kalian tidak akan memasuki The Hive bersama-sama anggota tim kalian. Ketiga anggota tim akan masuk ke dalam tiga ruangan yang berbeda. Anggota tim yang sampai garis finish sendiri atau berdua saja dianggap gagal menyelesaikan tantangan ini. Di tantangan kedua ini, tim support dilarang berkomunikasi dengan tim."
"Karena tim support bisa melihat keseluruhan The Hive dan tahu mana pintu yang tepat untuk menuju finish," kata Billy serius. "Ini nggak bakalan mudah, guys."
"Uh," keluh Meredith. "Gue nggak gitu bisa baca arah. Gue gampang banget disoriented."
"Aku dan Reo bakal bantu kamu," kata Carl.
Pak Prasetyo meminta setiap tim untuk bersiap-siap. Javelin akan masuk satu menit lebih awal karena mereka pemenang di Tantangan Pertama.
"Gue tahu apa yang harus kalian lakukan," kata Tara tiba-tiba. Dia sedari tadi diam sambil mempelajari struktur The Hive. "Kalian harus bertemu dulu. Reo, lo jangan bergerak. Biarkan Carl dan Meredith yang mencari lo, setelah itu barulah kalian maju bersama-sama. Paham?"
Meredith menyipit memandangi The Hive, jarinya menelusuri ruangan-ruangan di bangungan itu. Mereka bisa ditempatkan di ruangan mana saja, dan itu artinya nyaris mustahil mereka bisa bertemu jika ketiga-tiganya bergerak.
Javelin kini sudah masuk ke The Hive. Windy si pengendali kayu berada di tengah The Hive, sementara Ardhan dan Dewa masing-masing terpisah empat dan satu ruangan darinya. Windy bergerak sangat cepat. Awalnya dia kelihatan kebingungan lalu tiba-tiba kelima pintu di ruangannya mulai bergetar keras dan terbuka. Pintu yang benar ada di belakangnya dan Windy menggetarkan pintu itu keras-keras. Seolah mendengar lonceng, kedua rekannya menanggapi getaran itu dan ikut bergerak maju.
"Ini..." Mata Tara berpindah-pindah mengikuti Windy, Ardhy dan Dewa yang bergerak ke sana-kemari. "Apa sih strategi mereka? Kenapa mereka nggak bertemu dulu? Gerakan mereka kelihatan random."
"Bukan random," kata Bu Olena. "Windy adalah pengendali kayu dan pintu-pintu itu terbuat dari kayu. Dia membuka setiap pintu dan jika sudah menemukan pintu yang tepat, dia akan menggetarkannya sebagai petunjuk. Ardhan dan Dewa hanya tinggal mengikuti suara getaran pintu itu."
Aku memikirkan strategi yang kedengaran tak biasa ini. Mengecek setiap pintu? Pasti itu akan makan waktu lama sekali. Ada ratusan pintu di The Hive!
Pak Prasetyo mengumumkan. "Triumph bersiap di posisi Start!"
Meredith, Reo dan Carl menuju garis Start. Mereka ditempatkan di titik-titik yang berbeda, terpisah satu sama lain.
"Di hitungan ketiga. Satu..."
Javelin bergerak perlahan tapi pasti menuju garis Finish di sudut sebelah kiri.
"Dua..."
Aku memejamkan mata, mencoba berpikir cepat. Apa ada strategi yang lebih baik?
"Tiga!"
Lift menurunkan Meredith, Reo dan Carl di tiga ruangan yang berbeda di The Hive. Mereka terpisah cukup jauh. Dan sekonyong-konyong, aku mendapat ide. "Reo bisa membuka setiap pintu dengan terjangan anginnya!"
Teman-teman tim support dan Bu Olena menatapku. "Maksud lo apa, Jen?" tanya Tara.
"Itu cara tercepat. Yang perlu Reo lakukan hanyalah membuka semua pintu di The Hive dengan pengendalian anginnya." Aku teringat bagaimana kekuatan angin Reo menghempaskan pintu baja obsevatorium sampai copot dari engselnya. "Kalau semua pintu terbuka, artinya tak ada lagi hambatan. Mereka bisa saling melihat satu sama lain dengan mudah dan menemukan pintu yang tepat menuju garis Finish!"
Billy berdecak. "Duh, seharusnya kamu ngomong dari tadi, Jen," kata Karina.
Kami mengamati monitor. Tim kami masih berdiri di ruangan mereka masing-masing, kebingungan menentukan arah.
Buka semua pintunya, pikirku gemas. Hanya itu yang perlu lo lakukan, Reo. Tanpa pintu, maka tak ada lagi hambatan. Kita bisa melaju ke Finish dan mengalahkan Javelin!
Reo memandang ke kanan dan ke kiri. Carl berkonsentrasi menatap kelima pintu di ruangannya, sepertinya dia sedang mencoba mengubahnya menjadi sesuatu. Meredith menyelipkan sulur tanaman melewati bawah setiap pintu untuk mengecek apa yang ada di baliknya.
Hanya beberapa tepukan saja, Reo!
Pintu di depan Windy terbuka dengan mudah, menunjukan ruangan kosong yang aman.
Ayolah, Reo!
Reo menarik napas. Dia menatap ke langit-langit kaca, tepat ke arah kamera pengawas yang terpasang di setiap ruangan dan rasanya tatapan kami bertemu. Dia mengangkat tangannya, mengarahkan ke satu pintu di sudut kanan bawah, dan menepuknya keras-keras.
Aku tak tahan untuk nggak bersorak. "BAGUS SEKALI REO!"
Sederet pintu-pintu di baris itu menjeblak terbuka sekaligus akibat terjangan angin Reo, menunjukkan pasak-pasak besi yang runcing tertanam di lantai sebuah ruangan tak jauh dari ruangannya. Reo mencoba lagi di pintu lainnya, dan deretan pintu-pintu itu terbuka seperti susunan kartu yang jatuh. Tampak Carl yang berada hanya tiga ruangan dari Reo. Pintu-pintu terus menjeblak terbuka. Reo melakukannya dengan semakin cepat, kini sepertinya sadar bahwa The Hive tak sesulit yang dia kira.
"Kamu cerdas banget memikirkan strategi itu, Jen," puji Azka terharu. "Kalau begini kan jadi gampang!"
Reo menemukan Meredith dua ruangan di sebelah kanannya, terpisah sebuah ruangan dengan kolam penuh air. Meredith melihat Reo dan langsung bergerak ke arahnya. Dengan kekuatannya, dia menumbuhkan jembatan dari sulur-sulur tanaman dan menyeberang lewat. Carl berlari melewati tiga ruangan dan bergabung dengan kedua anggota timnya.
"INI KECURANGAN!"
Pak Gino memprotes keras-keras sambil menghampiri Pak Prasetyo dan para juri. "Kalau semua pintu itu terbuka, maka tantangan ini tak ada artinya! Tim kelas sepuluh Nobel bisa langsung menuju garis Finish terdekat!"
Sebelum Bu Olena membalas si monster, Pak Prasetyo menjawabnya, "Tim Anda punya seorang pengendali kayu, Pak Gino. Windy Mulia bisa membuka semua pintu di The Hive jika dia cukup kuat."
Pak Gino menggeram tidak terima. "Dia tak bisa melakukannya jika dia tak tahu berapa banyak persisnya pintu kayu yang harus dikendalikannya, Kepala Sekolah!"
"Begitu juga Reo Sahara," kata Pak Prasetyo. Kulirik Bu Olena di sebelahku, aku nyaris bisa merasakan kemarahan mulai menguar panas dari tubuhnya. "Tak ada peserta yang tahu berapa jumlah pintu di The Hive atau ruangan mana yang bebas jebakan. Tapi Reo Sahara adalah pengendali shockwave, dan sah-sah saja dia menggunakan kekuatannya untuk membuka pintu-pintu itu. Yang saya lihat bukanlah pelanggaran, melainkan strategi cerdik dan pengendalian kekuatan yang menakjubkan!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top