21 - Patung Yang Hidup
Kalau aku pengendali yang mahir, aku pasti akan mencalonkan diri ikut Casa Poca.
Serius, ini bukan cuma pertandingan biasa ala anak SMA. Ketika anak-anak SMA lain bertanding voli, ikut olimpiade sains atau debat Bahasa Inggris, kami malah saling serang pakai kekuatan bak superhero Marvel dan berlomba mencapai garis Finish demi bebas PR satu bulan.
Jadi tim support juga nggak kalah seru dibandingkan jadi tim yang ikut bertanding. Contohnya sekarang ini, kami semua menahan napas karena tegang. Tim kami, Triumph, berada di posisi dua.
Setelah melewati Checkmate, kami semua sadar bahwa tantangan yang sesungguhnya adalah mengalahkan Javelin, tim kelas dua belas Supernova yang punya reputasi top sebagai pemenang langganan Casa Poca.
"Mereka punya satu pengendali logam, satu pengendali air bernama I Dewa Agung Gde dan..." Karina menjentik-jentik layar iPad-nya dengan kecepatan cahaya. "Satu pengendali bunyi, si Shelomita Akbar."
Kami semua tahu siapa Shelomita Akbar. Dia adalah senior yang selalu jadi pemimpin paduan suara dalam upacara bendera setiap hari Senin. Rupanya Shelomita dipilih jadi dirigen tetap karena dia seorang pengendali bunyi.
"Ngapain masukin pengendali bunyi dalam tim?" Azka mengernyit keheranan. "Menurut gue nggak ada gunanya. Tim mereka semuanya offender, penyerang."
Seperti potongan-potongan puzzle yang secara ajaib saling klop dalam kepalaku, mendadak aku paham strategi Javelin. "Justru karena mereka semua offender makanya mereka pakai nama Javelin." Ini semua jadi masuk akal. "Ibarat tombak, mereka bakal selalu menyerang. Sepertinya ini yang jadi strategi tim mereka."
"Tapi itu artinya mereka nggak punya defender dan anggota serba guna," sambung Bu Olena, yang sepertinya paham dengan jalan pikiranku. "Ini bisa jadi kekurangan sekaligus kelebihan Javelin. Akan sangat sulit menjatuhkan mereka, karena mereka punya dua pengendali elemental. Namun kalau kita berhasil menemukan kelemahannya, mereka akan sangat mudah dikalahkan."
Kami bertiga bertukar pandang satu sama lain, kebingungan. Apa kelemahan dari seorang pengendali logam, pengendali air dan pengendali bunyi? Mendengar kekuatan pengendalian mereka saja aku jadi gentar. Apalagi setelah demo singa berlian waktu itu dan jembatan roboh. Aku sadar bahwa Ardhan bukanlah pengendali sembarangan. Begitu juga Shelomita dan si pengendali air. Pak Gino sepertinya ingin memastikan rekor pemenang Casa Poca kelas dua belas Supernova tidak diganggu tahun ini.
Tara membuyarkan lamunanku. Dia menunjuk ke luar van. "Siapa mereka itu?"
Ada sekolompok orang berkaos biru yang berdiri di sekitar bundaran Monumen Selamat Datang. Jika tidak diamati dengan teliti, mereka kelihatan seperti kelompok orang yang berdemo – mungkin Hari Lingkungan Hidup, dilihat dari warna biru kaos mereka.
"Mereka satgas dari Dewan Pengawas Pengendali," Bu Olena memberitahu. "Mereka akan memastikan para non-pengendali di daerah ini baik-baik saja."
Kami kembali ke pertandingan. Meredith, Reo, dan Carl kini sudah berjarak beberapa meter saja dari Javelin. Aku punya perasaan tak enak, sesuatu yang dahsyat akan terjadi sesaat lagi.
"Kita harus duel," kata Reo. "Javelin pasti nggak akan membiarkan kita lewat begitu saja."
Begitu kata "duel" disebut, aku langsung teringat akan ksatria-ksatria berbaju zirah dengan tombak panjang yang berkuda untuk saling bunuh. "Apa harus seserius itu? Duel?"
"Kamu lihat kan apa yang mereka lakukan sama Checkmate?" Carl menjawabku. "Kita nggak punya pilihan! Kita harus melawan mereka!"
"Carl, bisa saja Javelin bertindak beringas. Ingat jembatan yang roboh tadi?"
"Mereka nggak akan berani macam-macam di depan hidung para satgas itu," kata Bu Olena tenang. "Meredith, Reo, Carl, jangan menyerang. Biarkan mereka yang bergerak duluan."
Meredith berseru tak setuju tapi Bu Olena tetap bergeming.
Javelin memutari bundaran monumen itu dua kali. Shelomita menunjuk-nunjuk si Patung Selamat Datang – pria dan wanita yang mengangkat tangan tinggi-tinggi, menyambut siapa saja yang datang ke Jakarta. Lalu Javelin menghentikan motor dekat kolam dan turun.
Meredith juga menghentikan motornya tepat di seberang Javelin. Reo dan Carl mengikuti. Kemudian mereka menuruti instruksi Bu Olena untuk menunggu langkah selanjutnya.
Di dalam van, kami semua mengamati dengan tegang.
Tiba-tiba air dalam kolam bulat itu mulai beriak-riak. Dalam hitungan detik, air itu memecah naik seperti gelombang raksasa dan melayang di udara, meninggalkan kolam beton itu hingga kosong. Dari kejauhan, para satgas Dewan Pengawas Pengendali mulai bekerja. Mereka mengangkat tangan dan berseru-seru seperti sedang berdemo. Aku yakin mereka sedang mengacaukan pikiran para non-pengendali di tempat ini, supaya tidak melihat keajaiban yang sedang terjadi.
"Pasti kerjaan si pengendali air," kata Tara yakin. "Mereka mengecek apa petunjuknya ada di dasar kolam."
"Petunjuknya ada di si patung," kata Carl hati-hati. "Coba lihat di tangan kanan si patung pria! Ada sesuatu di sana!"
Kami memicingkan mata untuk melihat. Ada benda kecil berkilauan yang terselip di antara jari-jari tangan si patung pria yang terangkat. Kedua patung itu sendiri berdiri di sepasang kaki-kaki beton setinggi kira-kira sepuluh meter dari atas tanah.
"Itu bintang kaca," Reo memberitahu kami. "Carl, kita harus ambil satu bintang itu! Bintang itu yang akan mengantar kita ke babak selanjutnya!"
Carl mengangguk dan mendekati si patung.
"Uh, seandainya aku ada di sana!" Karina mengeluh keras-keras. "Aku bisa mengendalikan gravitasi di dekat si bintang dan membuatnya melayang turun!"
Terdengar bunyi gemuruh, seolah akan ada badai. Tapi kemudian kami menyadari dengan ngeri bahwa gemuruh itu berasal dari kumpulan air yang sedang mengambang di udara. Air itu bergerak naik makin lama semakin tinggi, riak-riaknya kian menghebat.
Lalu air itu menghempas turun seperti tsunami, ke arah Meredith, Reo dan Carl.
"Mereka menyerang!" teriak Tara. "Bersiap!"
Tak ada yang lebih mengerikan selain melihat langsung ketiga temanmu siap dihantam air bah bervolume besar begitu. Supir kami memundurkan van dengan cekatan untuk menghindari tumpahan air, tapi gelombang itu terlalu cepat. Kami tak akan sempat. Kami akan diterjang kapan saja...
WHUUUUUSSSZZZZZ!
Aku menutup mata saat air itu menghantam kami. Mobil bergoyang-goyang sedikit, tapi tak sampai berpindah dari posisinya. Kekuatan terjangan air itu tidak sekeras dugaanku. Aku membuka mata dan ternganga.
Dengan kekuatannya, Reo baru saja membelah gelombang air itu. Tembok air terbentuk diantara Meredith, Reo, dan Carl, membentengi sisi kiri dan kanan mereka, membentuk jalur sempit di tengahnya. Aku jadi teringat kisah Nabi Musa yang membelah lautan dengan tongkatnya.
"Meredith!" teriak Billy. "Awas!"
Ada sosok-sosok yang bergerak menembus tembok air itu. Segera saja, dua ekor harimau raksasa setinggi dua meter melompat keluar dari dalam air. Tubuh mereka yang terbuat dari emas murni basah dan berkilauan.
"Kerjaan Ardhan si pengendali logam," kata Meredith sambil tersengal. Dia melompat menghindar ketika seekor harimau emas mencoba menerkamnya. Meredith mengeluarkan sulur-sulur tanamannya dan mulai menghajar kedua harimau emas itu, seperti lengan-lengan gurita raksasa yang marah. Kedua hewan emas itu meloncat-loncat gesit, menghindar sambil berkutat untuk menerkam Meredith.
Dewa si pengendali air tak tinggal diam. Dia menggerakan air itu dan mengubahnya menjadi pedang-pedang, lalu menerbangkannya ke arah Reo. Tak mau kalah, Reo memecahkan setiap pedang air itu dengan hembusan anginnya.
"Aku harus mengambil bintang itu," kata Carl. "Meredith dan Reo sedang bertempur. Kalau hanya diam saja, tim kita bisa kalah!"
"Jangan Carl! Si Shelomita pengendali bunyi," cegahku. "Kamu nggak bisa melawan dia!"
"Nggak bisa, Jen! Aku harus! Aku bakal mengubah kaki-kaki penyangga kedua patung itu."
"Tiang itu terbuat dari batu. Itu termasuk pengendalian elemental alam!"
"Setidaknya aku harus mencoba, kan?"
Aku mengamati dengan cemas Carl yang menyelinap-nyelinap gesit di antara sulur-sulur tanaman Meredith dan pedang-pedang air Dewa. Cowok itu mengendap-endap ke arah Shelomita yang masih memandangi si patung. Bukannya mendekatinya, Carl malah memutar ke seberang.
"Kenapa si Shelomita bengong aja?" tanya Azka.
"Pasti dia bingung bagaimana cara mengambil bintang itu," kata Bu Olena. "Dia harus memanjat tiang penyangga patung."
Selagi Meredith dan Reo bertarung dengan seru, Carl sudah sampai di sisi seberang Shelomita. Aku nggak tahu apa yang akan dilakukan Carl. Bagaimana caranya dia mencapai si patung yang terletak sepuluh meter di atas dasar kolam?
Di antara deru dan dentingan logam, terdengar bunyi berderak keras, seperti ada gedung yang roboh. Perlahan-lahan dua tiang penyangga si patung mulai terpelintir sendiri dan meliuk-liuk. Dan dari tepian pelintirannya muncul undakan-undakan batu, membentuk gugus anak-anak tangga.
Carl sedang menggunakan kekuatannya untuk mengubah tiang penyangga itu.
"Konsentrasi, Carl!" teriakku menyemangati. "Kamu pasti bisa!"
Shelomita menyadari apa yang sedang dilakukan Carl, tapi dia kalah cepat. Dengan kekuatannya, Carl membuat jembatan batu dari bibir kolam langsung menuju anak tangga paling bawah. Lalu dia cepat-cepat menyusuri jembatan itu, dan sampai di tangga.
Shelomita membuka mulutnya.
Semula kupikir dia akan menyanyi seperti yang selalu dilakukannya di upacara bendera, tapi yang muncul dari mulutnya adalah suara lengkingan yang menyayat telinga, seperti bunyi papan tulis kapur yang dicakar kuku-kuku tajam. Shelomita mengarahkan bunyi itu pada Carl – aku sampai bisa melihat bentuk gelombangnya yang menyerupai garis-garis setengah lingkaran yang bergetar, saking lantangnya suara itu.
Gelombang bunyi itu memantul di anak tangga yang sedang dipijaki Carl dan langsung menghancurkannya, seakan anak tangga itu hanya terbuat dari kardus. Carl terpeleset, tapi dia masih sanggup menyambar anak tangga lain di atasnya sebelum terjerumus ke dasar kolam yang kosong.
"Apa Carl nggak bisa bikin tangganya bergerak naik otomatis?" usul Tara. "Biar kayak eskalator, gitu?"
"Untuk menggerakannya butuh telekinesis," kata Billy. "Duh, andai gue bisa bantu!"
Shelomita menyusul Carl. Dia melompat melewati jembatan batu bikinan Carl dan menaiki anak-anak tangga. Carl sekarang sudah sepertiga jalan menuju puncak.
Sementara itu, pertarungan antara Reo versus Dewa dan Meredith versus Ardhan masih berlangsung. Sebuah pohon beringin muncul di dekat kolam dan Meredith bertahta di atasnya seperti Ratu Pohon. Kedua harimau emas Ardhan menancapkan kuku-kuku mereka ke batang si pohon untuk memanjat naik, tetapi sulur-sulur Meredith menghajar mereka hingga jatuh.
Reo agak kewalahan. Dewa mencoba mengurungnya berkali-kali dalam bola air raksasa, tapi Reo terus menyerangnya hingga pecah. Baju Reo basah kuyup, dia berlari ke sisi seberang kolam, mencoba menghindari serangan Dewa. Selusin pedang air melesat ke arah Reo dan cowok itu meringkuk di saat yang tepat. Salah satu pedang itu nyaris menebas lehernya. Reo balas menyerang dengan anginnya. Beberapa serangannya mengenai Dewa tetapi si pengendali air menggunakan perisai air tebal untuk melindungi diri.
"Sedikit lagi Carl!" Bu Olena menyemangati. "Kamu hampir sampai!"
Carl sekarang sudah sangat dekat dengan si patung, meninggalkan Shelomita yang masih di bawah. Dia memanjat naik dengan gesit sambil menghindar dari satu lagi serangan Shelomita.
Tiba-tiba Carl menjerit. "Aaaaaarrggghhhh!"
Kami juga menjerit dan mencopot headset. Headset-headset itu berdenging keras sekali. Rasanya ada pisau tak terlihat yang baru saja mengiris-iris telingaku.
Shelomita baru saja menyerang dengan bunyi frekuensi tinggi yang menyakiti telinga. Kaca-kaca mobil bergetar, Meredith dan Reo berteriak kesakitan. Dewa menarik Ardhan dan mereka berdua berlindung di dalam bola air.
Dari monitor aku bisa melihat headset Carl melayang jatuh ke dasar kolam. Serangan Shelomita yang ditujukan langsung pada Carl berdampak mengerikan baginya. Kami tidak bisa mendengar apa-apa dari Carl. Cowok itu hanya bergelantungan setengah meter dari kaki kedua patung sambil memegangi kepalanya.
Karina memukul monitor dengan gemas. "Carl putus kontak!"
"Kita harus kasih tahu Meredith dan Reo! Telinga Carl pasti nyeri diserang bunyi seperti tadi, makanya dia mencabut headset-nya!" Aku menyambar kembali headset-ku dan memakainya. "Meredith! Reo! Headset Carl jatuh!"
"Gue-juga-lagi-kewalahan..." jawab Meredith sambil terengah-engah. Harimau-harimau emas itu sudah hampir tiba di puncak pohon, lecutan-lecutan sulur tanaman tak berpengaruh banyak pada tubuh logam mereka. "Reo? Lo gimana?"
"Lagi sibuk nih. Ouch!" Reo memekik. Sebatang panah dari air baru saja melesat melewati kepalanya. "Apa Carl udah berhasil mengambil bintangnya?"
"Sedikit lagi," Tara memberitahu mereka. "Dia hampir sampai!"
Dari monitor, Carl menjulurkan tangan untuk meraih kaki si patung. Shelomita kini berlari, dia masih berteriak-teriak, melontarkan serangan-serangan bunyi menyengat secara membabi buta.
Tiba-tiba ada sosok lain yang bergerak di puncak tiang penyangga. Billy menekan tombol zoom. Dengan luwes, mendadak kedua Patung Selamat Datang menjadi hidup. Layaknya manusia, si patung wanita menjulurkan tangannya pada Carl dan menariknya ke atas. Senyum si patung pria melebar, dia menurunkan tangan kanannya yang terangkat dan memberikan sebuah bintang kaca pada Carl.
Azka bersorak gembira. "KITA DAPAT BINTANGNYA!"
Si patung pria menyalami Carl. Tapi ketiga sosok di puncak tiang itu mendadak oleng. Si patung wanita kehilangan pijakan lalu melayang jatuh dari ketinggian. Dengan debam mengerikan, patung itu hancur berkeping-keping menabrak dasar kolam.
Shelomita sedang menghancurkan tiang penyangga menggunakan kekuatannya. Tiang-tiang itu berderak-derak, siap roboh kapan saja. Carl dan si patung pria ikut bergoyang-goyang. Kelihatannya mereka bisa menyusul si patung wanita, terjatuh dan hancur.
"Carl akan jatuh!" pekik Iswara ketakutan.
Dengan letusan keras, tiang penyangga Patung Selamat Datang putus seperti benang layang-layang. Si patung pria memeluk Carl dan mereka berdua terjun ke bawah, tanpa ada apapun yang menangkap mereka, selain dasar kolam yang dingin dan keras. Bintang-bintang kaca lainnya di tangan si patung berjatuhan dan pecah membentur dasar kolam.
"Meredith!" panggilku. "Reo! Si Carl jatuh!"
Reo mengacungkan tangannya dan menepuk dengan hati-hati. Hembusan angin lembut mengenai Carl dan dia terlepas dari pelukan si patung pria. Tubuh Carl melayang dan berputar-putar seperti sehelai bulu yang ditiup angin, bergerak limbung ke arah pohon beringin Meredith.
"Dia akan selamat," kata Bu Olena cemas. "Carl akan baik-baik saja."
Gelombang air menghantam punggung Carl tepat sebelum dia mendarat di pucuk pohon beringin. Carl berteriak kesakitan, dia tak sempat menghindar. Tahu-tahunya cowok itu mulai meluncur turun tak terkendali. Tangannya menggapai-gapai liar, mencoba mengontrol pergerakan tubuhnya, tapi sia-sia.
Aku hanya bisa menonton dan berdoa. Ya Tuhan, tolong selamatkan Carl!
Carl akhirnya terdampar tepat di tengah batang pohon. Bajunya basah, wajahnya merah dan bercucuran keringat. Melihatnya mendarat seperti itu barulah aku bisa bernapas lagi.
"Aaaarrrggghhh!"
Carl berteriak. Salah satu harimau emas itu menghujamkan cakarnya yang tajam ke tangan Carl yang memegang bintang kaca.
Meredith terlambat menyadari apa yang terjadi. Dia mencoba menumbuhkan sulur untuk menangkap si bintang yang terlepas dari pegangan Carl dan sedang terjatuh. Tetapi harimau emas Ardhan itu menyambar si bintang seolah itu adalah sebongkah daging dan mengantarkannya pada Ardhan. Lalu dengan senyum kemenangan merekah di wajah, ketiga anggota Javelin menyalakan mesin motor-motor mereka dan meluncur pergi sambil membawa bintang rampasan itu menuju Tantangan Kedua.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top