20 - Tantangan Pertama


Suasana halaman sekolah pagi itu mengingatkanku pada hari pertama kemunculanku di SMA Cahaya Bangsa. Bersemangat sekaligus menegangkan.

Tak hanya aku saja yang merasakan hal itu. Gelombang euforia menyelimuti seluruh anak-anak hingga guru-guru. Semua kelihatan siap bertanding dan ingin memenangkan Casa Poca tahun ini.

Sebuah trofi emas yang berkilau dipajang dalam sebuah kotak kaca tepat depan lobi. Trofi itu sangat besar, nyaris setinggi tubuhku dan kelihatan berat sekali. Trofi itulah yang akan diberikan bagi tim pemenang Casa Poca. Entah sudah jadi tradisi atau apa, setiap anak yang melewati si trofi pasti menyentuh kotak kacanya. Kata Reo, mereka melakukannya agar tim mereka menang. 

Di hari perlombaan ini sudah terpasang tiga layar raksasa dan sebuah tenda di samping si trofi, sehingga anak-anak yang tinggal di sekolah tetap bisa menonton jalannya perlombaan.

Awalnya aku mengira hanya tim kelas kami yang pakai seragam. Ide ini muncul begitu saja di benakku supaya tim kami kelihatan kompak dan Arini dengan senang hati menyiapkan dua lusin kaos yang sudah disablon. Kaos itu berwarna jingga – aku sengaja memilih jingga untuk melambangkan harapan dan bertuliskan nama tim kelas kami. Setelah diskusi panjang, kami sepakat menamakan tim kami Triumph – artinya menang. Beberapa usulan nama yang diterima nggak masuk akal dan setelah perdebatan alot, akhirnya Bu Olena memutuskan untuk memvoting usulan nama-nama yang sudah masuk. Seperti yang kalian duga, Triumphlah yang menang.

"Tahu nggak..." Tara muncul di belakangku. Kaos timnya terlihat agak longgar. "Masa tim kelas sepuluh Pattimura namanya Gatotkaca."

"Gatotkaca? Wah, unik ya."

"Kampungan menurut gue. Mendingan nama tim kita lah. Triumph."

Tanpa ada maksud merendahkan si Gatotkaca dan sok ke-bule-bule-an, tapi dalam hal ini aku setuju dengan Tara. Semoga kami bisa ber-Triumph di akhir perlombaan ini.

Bu Olena menghampiri kami. Dia juga memakai kaos tim. Tanpa busana formal yang selalu dipakainya saat mengajar, aku baru sadar ternyata Bu Olena masih sangat muda. Kutebak usianya mungkin sekitar dua puluh lima tahun.

"Kalian siap?"

"Siap, bu!" jawabku dan Tara berbarengan.

"Mobil tim kita sudah siap, Jen?"

"Sudah bu." Kutunjuk van yang bakal jadi "markas" tim kami. Atas permintaanku, van itu juga sudah dicat jingga seperti kaos tim kami. "Semua peralatannya juga sudah siap."

"Mantap. Sini, kita briefing dulu ya..."

Pak Prasetyo naik ke atas podium. Dia satu-satunya guru yang nggak pakai kaos tim. "Selamat pagi semuanya! Pagi yang cerah untuk Casa Poca tahun ini!"

Kami semua bertepuk tangan dengan semangat menggebu.

"Beberapa saat lagi perlombaan akan dimulai. Setiap tim dipersilakan untuk briefing terlebih dahulu dengan wali kelas masing-masing. Saya ingatkan bagi setiap tim yang akan bertanding, bahwa segala jenis kecurangan di Casa Poca tidak dapat ditoleransi..."

Mata Pak Prasetyo bergulir ke arah kelas Supernova. Pak Gino terkekeh sok.

"Perlombaan ini akan diawasi dengan ketat dan tim manapun yang bertindak curang akan didiskualifikasi. Casa Poca adalah perlombaan yang menjunjung sportivitas dan kebersamaan, jadi hanya gunakan kekuatan kalian untuk melumpuhkan tim lawan, bukan menyakitinya. Tujuannya adalah garis finish. Jelas?"

Terdengar gumaman setuju diantara anak-anak.

"Saya dan perwakilan dari Dewan Pengawas Pengendali Indonesia..." Pak Presetyo menunjuk seorang pria dan wanita bertampang kaku yang berdiri di dekatnya. "Akan mengawasi perlombaan dan memastikan tak ada pelanggaran. Bagi tim manapun yang menemukan kecurangan, diharapkan melapor ke PIC masing-masing untuk diusut tuntas. Tak perlu khawatir, Dewan Pengawas Pengendali telah menempatkan sejumlah pengendali pikiran di titik-titik yang akan dituju sehingga masyarakat awam tak akan menyadari apa yang akan terjadi. Ingat, tak boleh menyakiti non-pengendali sedikitpun! Nilai tim yang entah sengaja atau tidak menyakiti non-pengendali akan dikurangi. Kita berkumpul di garis Start dalam lima menit!"

Aku, yang awalnya bertanya-tanya apa reaksi orang-orang awam seandainya melihat para pengendali beraksi, kini paham. Ternyata Dewan Pengawas Pengendali juga turun tangan untuk mengamankan kompetisi ini.

Kami membubarkan diri. Bu Olena berteriak memanggil agar anak-anak kelas sepuluh Nobel berkumpul. Kami berkerumun dalam sebuah lingkaran di sudut halaman dekat "markas".

"Oke semua. Inilah saatnya," kata Bu Olena dengan suara bergetar. "Saya percaya kalian sudah berlatih keras selama seminggu terakhir dan saya sama sekali nggak meragukan bahwa tim kita akan menang! Hidup Tim Triumph!"

Kami balas bersorak. "HIDUP TIM TRIUMPH!"

"Meredith, Reo, Carl..." Bu Olena menatap ketiga perwakilan kelas kami yang berada di tengah dengan sungguh-sungguh. "Ini adalah Casa Poca pertama kalian. Yang perlu kalian lakukan hanyalah memberikan yang terbaik. Nggak usah memusingkan kecurangan dan sejenisnya. Teman-teman kalian yang lain dan tim support-lah yang akan mengurusnya. Saya yakin tahun ini kelas kita punya tim support yang terbaik."

Seisi kelas menyorakiku. Meski rasanya menyenangkan disoraki seperti itu, aku nggak tahan untuk memalingkan wajah karena malu. Tiba-tiba tatapanku dan Carl bertemu, rupanya dia juga curi-curi pandang ke arahku. Aku tersenyum menyemangatinya dan dia membalas dengan nyengir lebar. 

"Sekarang saatnya," kata Bu Olena. "Ayo, berkumpul di garis Start!"

Garis Start dimulai di gerbang sekolah. Kami semua berbondong-bondong ke sana. Ada selusin kotak di depan garis Start, dan setiap tim harus mengambil petunjuk yang disimpan di dalam kotak-kotak itu. Triumph mengambil tempat bersisian dengan tim-tim lainnya. Raut wajah Meredith menyiratkan dia siap menggondol pulang si trofi emas.

Tara bersorak, "Tim Triumph!"

Kami membalasnya. Anak-anak lain juga ikut meneriakan yel-yel, menyemangati tim mereka masing-masing.

Dua belas drone dinyalakan dan diarahkan tepat di atas setiap tim. Lewat drones itu, kami semua bisa mengikuti jalannya pertandingan.

"Tim support," panggil Bu Olena. "Ayo ke van! Yang lainnya, tetap kasih semangat!"

Bukan hanya kami yang bergerak, tim-tim support lainnya juga menuju kendaraan masing-masing. Ada tim lain yang bawa van, tapi aku yakin van milikku yang paling besar.

Pintu van sudah dibuka oleh sopir yang sudah kusewa. Aku, Iswara dan Azka duduk di baris tengah, bersama Bu Olena. Tara, Karina dan Billy yang jadi anggota cadangan duduk di baris belakang. Bu Olena menyalakan monitor yang sudah terhubung dengan drone tim kami secara wireless. Selain tayangan dari drone, monitor itu juga menunjukan apa yang dilihat Meredith, Carl, dan Reo lewat kamera-kamera yang terpasang di helm mereka.

Bu Olena mengambil headset dan menyodorkan headset lainnya pada kami. Lewat headset ini, kami bisa berkomunikasi dengan Meredith, Reo dan Carl.

"Meredith?" panggil Tara. "Lo bisa dengar? Halo?"

Ada bunyi berkeresak sedikit. Lalu suara Meredith terdengar.

"Masuk, Ra..."

Dari monitor tampak Pak Prasetyo sedang memberi aba-aba. "Casa Poca dimulai!" kata kepala sekolah kami itu dengan suara menggelegar. "Satu... dua... tiga!"

Di hitungan ketiga, seluruh melesat ke arah kotak-kotak di depan garis Start itu. Tak tanggung-tanggung, seorang pengendali tanah dari kelas sebelas langsung unjuk kekuatan dengan memindahkan ketiga anggota timnya ke dekat sebuah kotak.

"CURANG!" tuduh Azka berang. "Lombanya kan baru mulai!"

"Nggak curang mah itu," kata Billy kalem dari belakang punggung Azka. "Sah-sah aja kok. Cuma karena mereka sampai di kotak lebih dulu, bukan berarti mereka akan menang."

"Memangnya ada apa di kotak itu?" tanya Iswara.

"Petunjuk pertama," kata Bu Olena. Dia memandangi monitor dengan serius. "Setiap tim harus memecahkan petunjuk pertama untuk bergerak ke lokasi yang ditentukan."

Meredith juga tak tinggal diam. Dia menumbuhkan sulur tanaman dan menggapai sebuah amplop putih dari dalam kotak. Carl dan Reo mengerumuninya. Amplop itu dibuka. Ada secarik kertas di dalamnya dan sebaris puisi.


Hiruk-pikuk, gegap gempita. Dalam semangat menyala-nyala

Kami tak hanya mengamati, tapi juga setia dikunjungi

Dengan tawa merekah dan tangan yang terbuka

Mari kemari, datanglah ke sini.


"Ini teka-teki," kata Tara bergairah. "Tentang sebuah lokasi di Jakarta."

"Sepertinya ini sebuah tempat," kata Reo. "Tempat yang sering dikunjungi."

"Pastilah sejenis tempat wisata," timpal Carl. "Tapi di mana? Ada banyak sekali tempat wisata di Jakarta!"

Kubaca teka-teki itu sekali lagi. Hmm, Carl benar. Ini bisa jadi di mana saja! Kalau ini di New York mungkin aku bisa membantu, tapi aku kurang familiar dengan tempat-tempat wisata di Jakarta.

"Apa kita bisa membantu mereka?" tanyaku pada Bu Olena.

"Bisa," Bu Olena mengamini. "Itulah salah satu tugas tim support."

"Ooohhhhh!" Karina tiba-tiba berseru. "MONUMEN SELAMAT DATANG!"

Kubaca teka-teki itu sekali lagi, untuk memastikan tebakan Karina benar. Aku tahu soal Monumen Selamat Datang itu. Meski bukan tergolong tempat wisata, tapi patung itu sudah menjadi obyek ikonik yang melambangkan Jakarta.

"Lo yakin, Rin?" tanya Reo. "Di sini dibilang, 'Hiruk-pikuk, gegap-gempita'..."

"Yakin," kata Karina bersemangat. "Jelas banget kan, Re? Monumen itu letaknya pas di tengah Jalan M.H. Thamrin dan Sudirman. Itu dua jalan utama di Jakarta ini."

"Tapi apa itu pusat kotanya? Bukan Istana Merdeka?"

"Gue yakin. Di sini juga dibilang–"

"Nanti aja penjelasan lengkapnya," potong Meredith tajam. "Gue setuju sama Karina. Ini pasti Monumen Selamat Datang! Kita harus bergerak sekarang!"

Triumph menyambar dua sepeda motor yang disediakan oleh panitia di lapangan parkir. Reo membonceng Carl sementara Meredith memimpin. Dua tim lain yang sudah berhasil memecahkan teka-teki itu segera menyusul mereka.

"Jalan, pak!" Aku menepuk pundak si supir. "Ikuti mereka! Yang pake kaos orens!"

Lonjakan adrenalin mulai terasa dalam tim kami. Supir van kami menginjak pedal gas dan mobil kami berderum melesat mengikuti Meredith, Reo, dan Carl. Rasanya seperti berada di arena balap.

"Kira-kira ada apa ya di Monumen Selamat Datang?" tanya Iswara. "Teka-teki lagi?"

"Mereka akan berhadapan dengan Tantangan Pertama," kata Bu Olena, menjawab pertanyaan Iswara. "Pak Prasetyo dan Dewan Pengawas Pengendali yang menyusun tantangan itu. Tapi untuk melewatinya, mereka harus menggunakan kekuatan masing-masing. Jika mereka berhasil, mereka akan jadi satu dari sepuluh tim yang bisa mendapatkan petunjuk untuk melaju ke tantangan berikutnya."

Billy memberitahu, "Tim dua belas Supernova menyusul!"

Aku nggak tahu dari mana Meredith belajar menyetir motor seperti itu, tapi harus kuakui dia keren. Layaknya kerasukan roh pembalap, motornya dan Reo meliak-liuk lincah melewati lalu-lintas yang padat. Kami hampir-hampir kesulitan mengejar mereka.

"Ada tim kelas sebelas Karl Marx di depan," teriak Reo. "Infonya, please!"

"Sebelas Karl Marx..." Karina menyambar iPad dan meneliti daftar yang ada di situ. "Nama tim mereka Checkmate."

Reo berteriak lagi, berusaha mengatasi deru angin. "Mereka punya pengendali apa aja?"

"Di daftar ini nggak dikasih tahu. Hanya ada nama-nama pesertanya aja..." Karina memencet-mencet iPad-nya dengan rusuh. Iswara dan Billy ikut membantunya. "Zahra Sungkar, Gusti Silalahi, sama George Matthews..."

"Zahra pengendali listrik," kata Tara, berteriak pada Reo melalui headset-nya sampai berdenging. "Dia satu eskul basket sama gue."

"Oke," Reo tersengal. "Gue akan serang mereka sekarang. Mereka paling depan nih..."

"Jangan Reo!" Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. "Tahan dulu serangan kalian sampai kita udah dekat tujuan. Kalau Zahra menyerang balik, aki motor kalian bisa rusak. Kalian nggak akan punya kendaraan buat sampai ke Monumen Selamat Datang!"

Teman-teman memandangiku dengan takjub. Bu Olena tersenyum. "Bagus, Jennifer!"

"Meredith mungkin bisa menarik motor mereka pakai sulur tanaman..." Ide itu masuk begitu saja di kepalaku. "Itu lebih aman."

"Terlalu beresiko, Jen," Carl membalasku. "Bukan hanya mereka yang bisa celaka, kita juga. Ada banyak non-pengendali di sini. Aku akan coba-"

Karina menjerit. "AWAS!"

BLAAAAAR!

Aku tidak pernah melihat api sebesar itu. Semula kukira ada yang meledakkan kilang minyak. Api merah dan biru menyembur tumpah ke arah Meredith, Reo dan Carl seperti mutahan air bah. Para pengendara lain di jalanan menjerit kaget melihat nyala api itu dan kocar-kacir menyelamatkan diri.

Meredith bergerak cepat. Dia menjentikkan jari. Sulur-sulur tanaman muncul dari tanah dan menyeret motornya, Reo dan para pengendara lain ke samping seperti tangan-tangan raksasa.

"Mereka menyerang!" kata Carl panik. "Mereka punya pengendali api!"

"Carl belum bisa mengubah api..." Aku teringat penjelasan Carl di kelas waktu itu. "Pengendalian api termasuk pengendalian elemental."

"Pasti ini kerjaan si Gusti," kata Billy. Dia bertukar pandangan cemas dengan kami semua. "Rupanya mereka nggak mau disusul kita!"

"Reo," panggil Bu Olena melalui headset. "Kamu bisa menerobosnya, kan?"

"Saya coba, bu..." jawab Reo sambil tersengal. Dia mengatupkan kedua telapak tangannya, mengarahkannya pada api yang semakin liar dan membesar itu, seolah mencoba membelahnya.

"JANGAN!" Aku berteriak pada Reo. "Angin dari shockwave lo bakal bikin apinya makin besar, Reo! Bukannya padam, api itu malah bisa membakar kalian!"

Reo mengerang kesal. Tara meremas bahuku dengan tegang. "Benar, Jen!"

"Kita perlu air..." Kecepatan kerja otakku saat ini membuatku heran sendiri. Dari mana aku dapat ide-ide ini? "Air yang banyak untuk memadamkan api itu."

"Tapi kita nggak punya pengendali air," balas Tara. "Ataupun sumber air yang banyak!"

"Air tanah," Meredith tiba-tiba berseru. "Ada air di dalam tanah! Gue punya ide!"

Meredith melompat turun dari motornya dan menjejak ke trotoar keras-keras. Dia berteriak pada Reo dan Carl yang langsung mengangguk paham. Dengan kekuatannya, Reo membentuk bor angin raksasa yang mengancurkan aspal jalanan dan menerobos masuk ke tanah.

"Dith, lo mau ngapain?" tegur Iswara. "Tim yang lain udah mau nyusul!"

Meredith tidak menjawab. Dia mengangkat tangan dan meninju tanah kuat-kuat. Batang-batang pohon beringin melompat keluar dari tangan-tangannya dan meliuk-liuk masuk ke dalam tanah, seperti ular-ular hijau raksasa. Lalu dari dalam tanah terdengar deru yang keras, seperti sedotan. Dan tiba-tiba saja, tanah mulai bergerak.

Karina gemetar ketakutan. "Gempa bumi?"

"Bukan..." Seketika aku tahu apa yang akan dilakukan Meredith. Suasana di luar sangat gaduh, orang-orang menjerit-jerit ketakutan. "Liatin aja. Lo brilian, Dith!"

Yang terjadi berikutnya persis seperti yang kubayangkan. Batang-batang pohon itu menyeruak kembali ke permukaan, dan dengan satu tarikan tangan Meredith, menyemburkan air dengan kencang ke arah api yang masih berkobar liar, seperti sepasang selang air raksasa.

Asap kehitaman membumbung dari sisa-sisa api yang padam. Di dalam van, kami bersorak gembira seperti orang kesetanan. Aku merasa begitu bangga pada kecerdikan teman-temanku. Jelas kami sudah memilih anggota yang tepat untuk tim kelas kami.

"Orang-orang itu," Azka menunjuk gerombolan orang yang terbengong-bengong di sisi trotoar. "Mereka ketakutan! Apa nggak ada yang bisa kita lakukan untuk menghapus memori mereka?"

"Akan ada satgas pengendali pikiran dari Dewan Pengawas yang akan mengurusnya," kata Bu Olena tenang. "Meredith, Reo, Carl! Kembali ke pertandingan!"

Meredith, Reo dan Carl melompat kembali ke sepeda motor mereka dan memacunya untuk mengejar. Van kami juga itu melesat maju. Dari monitor, kami bisa melihat bahwa tim kami ini berada di posisi enam. Ada lima tim yang harus kami kalahkan jika ingin jadi yang pertama mencapai Monumen Selamat Datang.

Tapi kemunculan jalur-jalur merah pertanda kemacetan lalu-lintas di layar GPS membuat kami semua saling pandang.

"Mereka nggak akan bisa jadi yang pertama kalau macet begini," pekik Tara gemas. "Mereka harus cari alternatif jalan lain!"

Kami sontak berjibaku mempelajari peta Jakarta. Karena kurang paham soal aturan menyetir di Jakarta, aku hanya membantu dengan memberitahu jalan-jalan mana saja yang nggak terjebak macet. Bu Olena, Billy, dan Tara (yang sepertinya hafal di luar kepala setiap jalan di ibukota ini) menyerukan petunjuk-petunjuk pada Meredith, Reo, dan Carl. Motor-motor mereka mulai meliuk-liuk, berbelok melewati gang-gang sempit, menukik, mengitari bundaran-bundaran, melintasi jembatan, deretan gedung-gedung bertingkat, pasar tradisional, hingga...

"Eeeh... nggak boleh lewat situ!" Tara baru saja menyuruh Reo untuk berbelok di sebuah jalan. "Itu, ada tanda dilarang melintas!"

"Duh, ini bukan di New York, Jen. Di sini, nggak ada yang patuh peraturan!"

"Tapi, Bu Olena... Gimana nih bu?"

Bu Olena menatap kami semua beberapa saat. Dia kelihatan risau. Lalu dia menutup telinga rapat-rapat dan berkata, "Saya nggak dengar kalian ngobrolin apa."

Senyum Tara terbit seperti matahari pagi. "Oke! Belok aja, guys!"

Dari GPS, bisa terlihat kalau kami hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari Monumen Selamat Datang. Kami kini berada di posisi ketiga. Rupanya dua tim yang lain terlambat menyadari bahwa jalanan di depan mereka terhambat kemacetan parah.

"Itu Ardhan, pengendali logam," Carl berseru parau. "Mereka di depan kita!"

"Ardhan, pengendali logam," ulang Karina, lalu mulai mengecek lagi daftarnya. Tapi aku tak perlu mengecek daftar, karena aku tahu siapa si Ardhan ini.

"Dia anak kelas dua belas," jawabku. "Yang waktu itu kehilangan kendali singa berlian ciptaan dia sendiri di koridor!"

"Mereka kelas Supernova," kata Karina, nyaris sesak napas. "Kelas Pak Gino. Nama tim mereka Javelin!"

Javelin. Sepertinya nama yang mengintimidasi semacam itu cocok sekali untuk tim dua belas Supernova. Javelin berarti lembing, semacam tombak panjang tajam yang dilemparkan dalam olahraga lempar lembing. Supernova sendiri berarti ledakan bintang.

Bu Olena menelan ludah dan aku langsung tahu apa yang ada di pikirannya. Wali kelas kami itu mencengkeram monitor seolah ingin mencabutnya dan berkata dengan suara gemetar melalui headset.

"Carl, Reo, Meredith, dengar... Kalian nggak harus menyerang mereka. Kalian hanya perlu melewati mereka untuk sampai di posisi kedua. Kita bakal bantu carikan jalan lain."

Jalan lain? Aku menatap GPS dan langsung kehilangan harapan. Jalan-jalan lain di kiri dan kanan jalur yang sedang dilewati tim kami semuanya berwarna merah. Tim kami nggak mungkin melewati jalan lain jika ingin maju ke posisi kedua.

"Siapa yang ada di posisi satu?" tanya Meredith.

"Sebelas Newton, Checkmate," jawab Tara. "Mereka masih memimpin."

"Gue bisa lihat mereka," kata Reo samar-samar. "Paling depan."

Dari titik-titik pantauan di monitor, kami juga bisa melihat bahwa jarak antara tim kami, Javelin dan Checkmate hanya terpisah kira-kira lima puluh meter.

Iswara mulai sesak napas karena gemas.

"Kita harus belok ke mana nih?" tanya Reo. "Tim support? Halo?"

"Sebentar, Re, lagi kita cariin," dustaku.

BRAAAKKKKK

Ada bunyi bedebam keras seperti mobil yang terbanting. Tanah bergetar. Lalu Bu Olena mulai berteriak-teriak panik. "Pelanggaran! Itu pelanggaran! Ada non-pengendali di sana!"

Kami terngaga melihat pelanggaran apa yang sedang terjadi. Ardhan menggunakan kekuatannya untuk meremukkan jembatan penyeberangan menuju halte bus Transjakarta. Jembatan itu patah terbelah dua dengan mudah seolah terbuat dari biskuit alih-alih logam dan jatuh menimpa tim Checkmate yang berada di paling depan. Orang-orang yang berada di jembatan itu menjerit-jerit dan berlarian. Beberapa yang terlambat menyelamatkan diri jatuh dari ketinggian seperti daun di musim gugur.

Tim Javelin memacu motor-motor mereka dengan gesit melintasi kekacauan itu. Seperti roket, motor-motor mereka melenting ke atas seolah dilemparkan oleh ketapel kasat mata dan melayang enam meter di udara.

"Kok bisa?" protes Azka keras. "Apa mereka punya pengendali udara?"

"Bukan pengendalian udara," kata Billy bijak. "Ini Fisika sederhana; gaya magnet. Ardhan menggunakan gaya magnet dari logam di motor-motor mereka dan jembatan itu. Dia mengubahnya jadi kutub yang sama sehingga keduanya tolak-menolak."

Checkmate tak mengizinkan Javelin melambung mereka semudah itu. Zahra si pengendali listrik mengangkat tangan dan kilat-kilat listrik yang berwarna biru dan putih membuncah ganas dari kabel-kabel yang dipasang di sepanjang trotoar, mencoba menyambar motor-motor Javelin seperti tangan-tangan setan. Efek sengatan listrik ini juga mempengaruhi kami. Monitor kami berkedip-kedip dan bergemeresak. Mobil-mobil di jalanan banyak yang berhenti mendadak.

Lalu tiba-tiba serangan listrik Zahra terhenti. Tara bersorak. "Hebat, Reo!"

Motor-motor Checkmate terguling seperti ditabrak sesuatu. Mereka kehilangan keseimbangan dan jatuh. Tapi kami tahu bahwa shockwave Reo-lah yang baru saja menyerang mereka.

"Checkmate sudah jatuh. Kita di posisi dua!" pekik Iswara senang.

"Tapi bagaimana mereka bisa lewat jembatan itu?" kata Karina. "Kita nggak punya pengendali logam atau... OOOHHHH!"

Tak salah kami memilih Meredith sebagai ketua tim karena dia pengendali yang amat handal. Meredtih menumbuhkan batang-batang pohon raksasa dari dalam tanah yang mengangkat dan menyangga potongan-potongan jembatan yang roboh itu, membuka akses jalan kembali. Kami semua berseru terpukau. Rasanya seperti menonton film action, tapi bukan di bioskop, melainkan secara live di kehidupan nyata.

Motor-motor Triumph berderu mulus melewati kolong pohon-pohon itu, mengejar Javelin.

"Good job, team!" puji Bu Olena bangga. Ada setitik air mata di sudut matanya dan dia menyekanya diam-diam. "Selangkah lagi, kita bisa memenangkan tantangan pertama ini!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top