2 - Mendadak Seleb
♫ "Fancy" - Iggy Azalea ft. Charli XCX ♫
"Tara?"
Tara mendongak dari buku catatannya, memandangku. "Uy?"
"Temenin gue istirahat, ya?"
"Ogah!" Tara mencebik. "Lo masih memikirkan si Carl!"
"Astaga!" Ternyata Tara betul-betul anti pada Carl. "Lo kenapa, sih?"
"Lo tahu jelas apa masalahnya. Gue nggak suka semua yang berhubungan dengan dia."
"Lah, gue kan nggak menyebut-nyebut soal Carl?"
"Iya. Tapi gue tahu lo lagi memikirkan dia!"
Aku mencelus dalam hati. Segitunya, ya? "Ra, ini isitrahat pertama gue di sekolah. Gue anak baru. Gue enggak memikirkan Carl. Gue butuh lo Tara, bukan Carl. Please?"
Tara mengerang sebelum akhirnya mengangguk. Bujukanku berhasil.
Begitu bel pertanda waktu istirahat telah tiba, kami berlari-lari keluar kelas. Beberapa murid lainnya juga ikut keluar, tapi ada juga yang tetap tinggal di kelas. Reo Sahara berpapasan denganku di dekat pintu dan tersenyum manis.
Dadaku berdesir-desir disenyumi seperti itu. "Si Reo itu ramah, ya?"
"Dan orangnya sopan banget," kata Tara. "Khas orang Jepang. Hati-hati kalau ngomongin dia. Banyak yang ngefans sama dia lho."
"Siapa? Si Reo?"
"Jelas, lah! Coba lo perhatikan si Reo baik-baik," kata Tara serius. "Dengan tampang kayak gitu ditambah kepribadian super manis, menurut lo cewek waras mana yang nggak bakal naksir dia?"
Ah. Akhirnya aku baru paham apa maksud Tara. Reo memang sangat menawan. "Seingat gue, Reo nggak tepuk tangan pas perkenalan diri gue kemarin."
"Kenapa juga lo mau semua orang tepuk tangan buat lo? Karena lo bawa limusin ke sekolah?" balas Tara tajam. "Berasa artis banget lo, Jen."
Wah, Tara! "Ih, bukan gitu maksud gue!"
"Bercanda, Jen!" Tara terbahak-bahak. "Percaya deh, lo nggak mau Reo tepuk tangan. Dia wavist."
"Wavist?" Seumur hidup aku belum pernah mendengar istilah itu. "Apaan itu?"
Tara mendorong bahuku dan tergelak semakin keras. "Ah, becanda lo."
"Serius. Kayak nama virus."
Tara tidak menjawabku dan mengajakku pergi ke kantin. Perhatianku langsung teralih pada koridor yang dipenuhi anak-anak. Perasaanku langsung berubah buruk seketika.
"Itu lho, yang bareng si Tara!"
Oh, tidak! Jangan bisik-bisik lagi!
Celotehan pertama itu muncul dari seorang cewek gemuk berkacamata yang baru saja kulewati. Cewek itu bahkan tak perlu repot-repot untuk menutupi kekagetannya, dia benar-benar menunjukku saat aku dan Tara lewat di depannya. Tak perlu waktu lama hingga bisik-bisik lainnya menyusul.
"Yang rambutnya lurus itu?"
"Jadi dia yang bawa limusin ke sekolah?"
"Keluarga Darmawan? Gila, duitnya pasti nggak ada habisnya, tuh!"
YA AMPUN!
Kalian yang baca cerita ini dari awal pasti sudah tahu, kan? Aku terpaksa naik limusin itu. Arini juga bersikeras menemaniku karena disuruh Mom. Orangtuaku agak parno kalo soal keamanan. Selain itu, aku bukan satu-satunya siswa yang bawa mobil! Maksudku, ini SMA Cahaya Bangsa, sekolah di mana sebagian besar muridnya nyetir mobil pribadi.
Setengah mati kutahan diri untuk nggak melabrak mereka. Sampai kapan aku bakal terus digosipi seperti ini? Aku harus sabar. Tara sibuk berbicara, sepertinya belum terpengaruh dengan dengung bisik-bisik yang mengusik ini. Seolah menjadi murid baru saja belum cukup buruk!
Apa aku harus bikin konferensi pers di sini sekarang juga?
Tak perlu waktu lama sampai Tara juga ikutan terganggu dengan bisik-bisik itu. Awalnya memang Tara kelihatan adem-adem saja, tapi ketika kami mampir ke toilet dan bisik-bisik itu masih mengikuti, teman baruku itu betul-betul naik pitam.
"Lo pada ngomongin apa, sih?" hardiknya pada segerombolan cewek-cewek kelas sepuluh Galileo yang hobi cekikikan. "Dia memang Jennifer Darmawan, cewek paling kaya se-Asia. Terus kalian mau apa?"
"Tara!" Buru-buru kutarik sahabatku itu untuk pergi. "Jangan dibentak begitu! Nggak enak!"
"Masak lo nggak gerah diomongin terus sepanjang hari?"
"Lumayan, sih..."
"Terus lo nggak akan menegur mereka atau apa kek gitu?" Tara kelihatan muak. "Mereka tuh kayak lebah. Gue annoyed mendengarnya! Kalau gue jadi elo Jen, gue bakal operasi plastik aja biar nggak ada yang mengenali gue lagi!"
Percayalah, Tara... aku sudah sering memikirkan untuk operasi plastik! "Paling heboh kayak gini di awal aja, Ra. Pasti besok nggak akan seperti ini lagi, kok..."
"Oke lah," sahut Tara lelah.
"Gimana kalau kita istirahat di luar aja?"
"Kita nggak boleh keluar kompleks sekolah, Jen."
"Gimana kalau kita pergi ke tempat yang sepi? Pasti ada dong? Sekolah ini kan gede banget."
Tara berpikir sejenak. "Ke loteng aja yuk? Di sana lumayan sepi."
"Sip!"
Gairah hidup Tara mendadak terbit kembali. Dia menarik tanganku dan kami berderap melewati kantin dan masuk ke dalam sebuah lift.
Aku menatap deretan angka di samping pintu lift. "Gedung ini punya berapa lantai?"
"Dua puluh dua."
"Banyak banget. Di lantai yang lain ada apa aja?"
Tara menekan tombol dua puluh dua. "Lantai satu adalah lobi utama, ruang tamu dan ruang trofi. Lantai dua sampai sembilan digunakan untuk kelas. Lantai sepuluh adalah aula pertemuan, dan ruangan audiovisual. Lantai sebelas ruang guru dan kantor kepala sekolah. Lantai dua belas ruang data arsip yang sangat rahasia dan tertutup untuk umum. Lantai tiga belas sampai lima belas digunakan untuk laboratorium, ruang musik, dan ruangan pengurus klub. Lantai enam belas digunakan untuk perpustakaan multi bahasa dan Museum IPTEK dan Kebudayaan. Lantai tujuh belas sampai lantai sembilan belas digunakan untuk klub. Mall ada di lantai dua puluh sampai dua puluh satu. Kolam renang indoor di lantai dua puluh dua, terus obsevatorium, planetarium, dan gudang terletak di loteng..."
Aku tercengang. Obsevatorium? Museum IPTEK dan Kebudayaan? Sekolah macam apa ini? Ada mall juga! Aku tahu kalau SMA Cahaya Bangsa memang SMA khusus untuk murid-murid super tajir, tapi informasi yang baru disebutkan Tara nggak kutemukan di brosur sekolah. Sekolah ini ternyata lebih keren dari dugaanku!
Perlu waktu kurang dari dua menit bagi lift itu untuk sampai di lantai dua puluh dua. Terdengar bunyi berdenting ketika pintu lift bergeser terbuka, disusul suara operator yang sudah terprogram. "Lantai dua puluh dua: kolam renang. Loteng: Obsevatorium, Planetarium dan gudang."
Kami keluar dari lift menuju koridor. Lantai atas itu terkesan lebih menyenangkan dan lega. Cahaya matahari bisa menerobos masuk dengan leluasa karena separo atapnya terbuat dari kaca bening. Di seberang koridor, ada tiga buah kolam renang yang luasnya memenuhi separo lantai dan dibatasi kaca-kaca. Beberapa anak kelas dua belas sedang berenang lalu-lalang.
Kami berbelok di ujung koridor dan menjumpai sebuah tangga yang melingkar menembus puncak gedung. Dua buah bangunan berbentuk kubah raksasa dari bata putih saling berhadapan berdiri disana. Sudah bisa kutebak salah satunya pastilah obsevatorium, sementara yang lainnya adalah planetarium. Sebuah ruangan lain terletak di ujung loteng, jelas sebuah gudang.
"Gimana?" Tara membentangkan tangannya. "Bagus, kan?"
Pemandangan dari puncak sekolah sungguh menakjubkan.
Sejauh mata memandang, tampak panorama kota Jakarta yang sibuk dan hidup. Angin bertiup lembut menerbangkan rambutku. Aku bisa membayangkan betapa cantiknya pemandangan dari sini pada malam hari.
"Gue suka ke sini kalo lagi mumet," kata Tara.
"Keren," jawabku. Jakarta memang nggak seperti New York, tapi punya keunikannya tersendiri. Selama dua bulan pindah ke sini, aku sudah mulai membiasakan diri.
Kami terdiam cukup lama, menikmati pemandangan kota yang menakjubkan.
"Habis ini pelajaran apa?" tanyaku tersadar.
Tara memekik pelan. "Pengendalian kekuatan!"
"Hah? Apaan itu?"
"Itu pelajaran paling menarik di sekolah ini!" kata Tara bersemangat. "Lo harus lihat! Lagipula gue juga penasaran lo ini pengendali apa!"
Aku? Pengendali?
Tapi aku tak sempat bertanya lagi karena Tara menaik tanganku dan buru-buru menuruni tangga, takut terlambat masuk kelas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top