19 - Dream Team


"Mobil itu bakal dikirim hari ini juga dari Singapura."

Aku mengembalikan ponsel Arini padanya. "Kenapa sih Mom nggak mau mengangkat telepon?"

"Mungkin beliau sibuk," jawab Arini, kedengaran agak pasrah. "Tapi kamu tenang aja, Jen. Mobil itu pasti sampai, kok."

Sibuk memang jawaban standar yang selalu diberikan Arini kalau kedua orangtuaku nggak menjawab panggilan telepon dariku. Bukannya Arini berbohong atau aku nggak percaya kedua orangtuaku betulan sibuk, hanya saja di momen-momen tertentu aku berharap mereka mau menjawab panggilanku. Salah satunya adalah seperti yang sekarang ini. Selain dukungan dana, aku berharap Mom juga mau memberiku dukungan moral.

"Oke, deh..." Mau bagaimana lagi... Setidaknya Arini memang selalu memegang janjinya. "Terima kasih banyak, Arini."

"Sama-sama, Jen."

Meredith, Tara dan Karina datang menghampiriku.

"Gimana, Jen?" tanya Tara bersemangat. "Bisa, nggak?"

Aku mengangguk. "Bisa."

Tara menjotos udara dengan senang. Karina melompat-lompat.

"Tapi kita nggak merepotkan lo kan, Jen?" Billy yang ikutan nimbrung, kelihatan agak malu. "Maksud gue, lo nggak harus menyiapkan semuanya untuk tim kelas kok, Jen. Kita masih bisa rembukan dan patungan buat dananya."

Mengumpulkan dana sama sekali nggak sulit kalau teman-teman sekelasmu semuanya anak-anak konglomerat, tapi aku betul-betul nggak keberatan menjadi sponsor tunggal.

"Nggak apa-apa, Bil," jawabku manis. "Gue senang bisa menyiapkan akomodasi buat tim kelas kita. Soal mobil, itu adalah van yang dimodifikasi sehingga bisa jadi base camp kita dan muat untuk lima anggota tim support."

"Terus makanan bagaimana?" tanya Tara tanpa tedeng aling-aling. Billy tertunduk malu.

"Nggak perlu khawatir. Gue udah pesan katering."

"Mantaaaap!"

Rasanya senang sekali bisa melakukan sesuatu untuk teman-temanku! Dari rapat kemarin, kami setuju bahwa tim support perlu mobil untuk mengikuti perwakilan kelas selama Casa Poca dan konsumsi untuk teman-teman lain yang menonton di sekolah. Masalah mobil dan katering itu bukan hal yang merepotkan dan sebagai satu-satunya non-pengendali di kelas, aku ingin berkontribusi sebanyak mungkin untuk Casa Poca ini. Semoga saja dengan menjadi sponsor tunggal tim support kelas seperti ini, mereka paham bahwa aku bukanlah cewek arogan sok ngartis. 

Ada bunyi gedebuk keras. Aku, yang mengira si kembar Nugroho main-main lagi dengan meja guru, langsung menoleh ke sumber bunyi.

Sebuah boneka beruang raksasa setinggi dua meter duduk di depan Meredith. Temanku itu tertawa geli menatap si boneka sampai terbungkuk-bungkuk. Sebelumnya, si beruang adalah tumpukan kursi.

"Aku cuma kepikiran itu," kata Carl sambil ikut tertawa dan menunjuk si boneka beruang.

"Kekuatannya oke juga," celetuk Tara dari sebelahku. "Siapa yang menyangka bahwa Carl yang kita kira bukan pengendali ternyata punya kekuatan yang unik?"

"Hanya ada sepuluh pengubah wujud di seluruh Indonesia dan hanya tiga yang pernah bersekolah di Cahaya Bangsa," kataku, mengutip kata-kata Pak Yu-Tsin. "Jadi Carl termasuk pengendali langka."

"Enak banget, ya," kata Tara lagi, kedengaran agak iri. "Dia bisa mengubah benda apapun jadi benda lain sesuka dia."

"Nggak semuanya, Ra. Kekuatan Carl juga ada batasnya..." Aku teringat kejadian kemarin. Setelah berhadapan dengan si singa berlian yang diubah jadi boneka, Pak Yu-Tsin mengetes kekuatan pengendalian wujud milik Carl. "Kekuatannya nggak bisa dipakai untuk mengubah makhluk hidup, makanan, dan uang."

"Tetap aja berguna," kata Tara. "Kalau misalnya punggungnya gatal, dia tinggal mengubah penggaris jadi penggaruk. Kalau lagi macet, mobil bisa diubah jadi helikopter..."

"Kayaknya Carl belum sampai ke tahap itu deh, Ra." Dari pengamatanku, Carl sendiri masih kelihatan membiasakan diri dengan kekuatannya. "Sejauh ini Carl baru mampu mengubah benda-benda sederhana."

Tara manggut-manggut.

"Lo kenapa, Ra?" Aku memandangi Tara lekat-lekat. "Lo nggak kecewa kan karena nggak mewakili kelas kita?"

"Nggak kok," jawab Tara. Mukanya memerah. "Gue setuju soal susunan tim kita. Kata Bu Olena, Casa Poca itu soal strategi. Idealnya, komposisi setiap tim yang ikut bertanding harus terdiri dari offender – penyerang, defender – pertahanan, dan tenaga serba guna. Di tim kita, Reo adalah offender. Meredith bisa juga jadi offender, tapi kali ini posisinya adalah defender. Tugas utama Meredith adalah melindungi anggota tim yang lain. Sedangkan Carl akan jadi tenaga serba guna, karena kekuatannya paling fleksibel. Dia bisa jadi offender dan defender sekaligus."

Sekarang aku paham mengapa teman-teman memutuskan Meredith, Reo dan Carl yang jadi perwakilan kelas kami. Kemarin, mereka sempat berdebat seru soal siapa anggota tim ketiga, sampai Carl muncul kembali di kelas dengan kekuatan barunya.

Reo, Meredith, dan Carl berlatih lagi. Kali ini giliran Reo. Begitu melihatnya maju, anak-anak yang lain bergegas merapat ke dinding, menyisakan ruang kosong di tengah kelas. Wynona, Emma dan Hanna - para cewek-cewek cheerleaders pribadi Reo, masih berusaha berdiri sedekat mungkin dengan pujaan hati mereka. Billy dan si kembar Nugroho sampai harus memaksa mereka untuk mundur.

"Reo harus bisa lebih memfokuskan kekuatannya," kata Tara sambil serius mengamati Reo. "Meski kekuatan shockwave­-nya amat dahsyat, menurut gue radius serangannya masih terlalu luas. Ini bisa berbahaya, karena shockwave Reo bisa ikut menghancurkan benda-benda lain di sekeliling dan pantulan benda-benda itu bisa menyakiti anggota tim."

Ini bukan pertama kalinya Tara melontarkan tips-tips seperti ini. Semua masukannya bermanfaat, Billy yang jadi ketua kelas bahkan sampai mengangkat Tara menjadi semacam ahli strategi tim kami. Setiap kali Tara bicara macam-macam soal Casa Poca, aku selalu takjub. Sahabatku itu agak tomboy, sebelumnya aku nggak menyangka dia ahli sekali soal strategi.

Di tengah ruang kelas, Reo sedang mengangkat tangan. Bukannya menepuk seperti yang biasa dia lakukan, kali ini dia hanya menjentikkan jari. 

Efeknya langsung terasa. Aku bisa melihat angin terbentuk di ujung-ujung jari Reo seperti gumpalan benang transparan. Reo menghentakkan jarinya, dan angin itu melesat cepat ke arah Carl dan Meredith, seperti tembakan meriam.

Meredith langsung bertindak. Dia menumbuhkan tanaman merambat dari lantai untuk meredam si angin sekaligus menarik dirinya sendiri dan Carl ke tepi untuk menyelamatkan diri. Carl nyaris terkena serangan, tapi dia berhasil berkelit dengan gesit dan selamat.

"Oke. Sudah cukup!" Bu Olena yang sedari tadi menonton di sudut kelas berdiri. "Kita istirahat lima belas menit."

Aku mengajak Tara menghampiri Meredith, Reo, dan Carl. Tanpa segan-segan, Tara langsung memberikan tips-tips berguna soal strategi pada Meredith dan Reo. Meredith mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sementara alis Reo berkerut, pertanda kebingungan.

Carl berdiri di depanku. Rambutnya sudah tak lagi berantakan. "Bagaimana penampilan aku tadi?"

"Oke juga."

"Masa?"

"Untuk pemula."

Tangan Carl terjulur untuk menyentuhku dan aku membiarkannya. Dia meninju bahuku dengan lembut. Kami tertawa. "Bagaimana rasanya punya kekuatan?"

"Luar biasa. Gimana rasanya nggak punya kekuatan?"

Hahaha. Sial. "Biasa saja."

Kali ini aku yang balas meninjunya. Kutinju dia dengan sedikit keras. Carl pura-pura meringis dan berhasil berkelit. Setelah tahu bahwa ternyata cowok ini cukup jahil, aku merasa berhak menjahilinya kapan saja.

"Aku masih belum tahu caranya mengubah angin Reo," kata Carl. Dia mengajakku menepi dan duduk di atas meja-meja kelas. "Kata Pak Yu-Tsin, kekuatan milik Reo termasuk pengendalian elemental alam. Itu susah banget. Reo saja belum menguasainya secara penuh."

"Elemental alam?" Aku teringat pada serial kartun Avatar yang dulu kutonton waktu kecil. "Air, tanah, api, angin?"

"Dan logam." Ada sedikit rasa takut di suara Carl. "Kalau kami harus berhadapan dengan tim yang punya pengendali elemental, aku nggak akan bisa melawan mereka..."

"Kamu nggak perlu cemas, Carl." Kucoba menghibur dia. "Kamu kan nggak sendiri. Ada Meredith dan Reo. Kalian bekerja sebagai tim."

"Aku cuma nggak mau tim kita gagal," kata Carl, kedengaran sedikit terpuruk. "Aku tahu teman-teman punya harapan besar supaya kelas kita bisa menang Casa Poca tahun ini."

"Nggak perlu memikirkan menang atau kalah dulu," hiburku lagi. "Lagipula kalau kalah, kita masih bisa bertanding dua kali lagi."

"Tapi kita belum tentu sekelas tahun depan."

"Aku tahu. Yang penting kalian berusaha maksimal dulu."

Carl berdecak geram. "Bukan itu maksud aku, Jen..." Dia mengalihkan tatapannya ke Reo, Meredith dan Tara yang sedang berdiskusi dengan Bu Olena. "Kekuatan pengendalianku baru muncul dua hari lalu. Dan sekarang aku sudah harus bertanding di Casa Poca. Aku hanya merasa ini... terlalu cepat."

"Tapi kamu siap, Carl. Kamu menolong aku dari serangan singa berlian itu. Kamu lupa?"

Carl terdiam. Perlahan-lahan dia menunduk, menatap telapak tangannya yang terbuka. "Itu karena kamu, Jen..."

"Aku?"

"Ya. Kamu..."

Carl menarik napas dalam-dalam, lalu memandangku. Matanya yang biru itu kembali membuatku merasa seperti dicemplungkan ke dalam air laut. Tapi kali ini bukan air laut yang dingin seperti pertama kali aku menatapnya, tetapi hangat dan nyaman.

"Kamu selalu ada buat menolong aku dari The Queens," kata Carl. "Dan selama itu aku nggak bisa berbuat apa-apa. Aku merasa nggak berguna. Waktu singa itu nyerang kamu, aku betul-betul mau menolong kamu. Aku nggak mau hanya tinggal diam lagi. Aku mau ngelindungin kamu. Aku rasa karena itulah kekuatan pengendalianku muncul..."

Rasa hangat di dadaku menguat, seolah baru menelan matahari mini milik Iswara.

"Aku nggak tahu gimana caranya waktu itu. Aku hanya mengangkat tangan. Aku mau menarik kamu. Tapi tiba-tiba tanganku terasa panas dan tahu-tahunya singa itu berubah bentuk."

Aku – yang nggak pernah penasaran bagaimana pertama kali teman-temanku menemukan kekuatan mereka – kini mulai memahami lebih jauh soal kekuatan. Tapi... tunggu dulu. Rasanya nggak semudah itu.

"Waktu di obsevatorium..." Memikirkan hal ini sebetulnya membuatku merasa nelangsa. "Aku juga ingin menolong kamu dari The Queens. Kepingin banget. Ketika pintu obsevatorium dijebol, aku mengira itu akibat kekuatanku. Tapi ternyata itu Reo."

"Aku juga nggak paham kenapa bisa aku menemukan kekuatanku di koridor waktu itu," kata Carl. Dia membuang muka, kini tak mau menatapku.

Kami terdiam beberapa saat. Apakah ini adil? Carl sudah menemukan kekuatannya sementara aku belum. Selama ini aku merasa cukup tenang meski tak punya kekuatan. Aku merasa bahwa setidaknya aku tak sendiri – ada Carl yang juga belum menemukan kekuatannya. Aku tak merasa terasing di sekolah ini. Tapi sekarang keadaanya telah berubah, akulah satu-satunya anak di seantero sekolah yang bukan pengendali.

Apa memang betul bahwa aku ini tak punya kekuatan apa-apa selain marga Darmawan dan uang yang keluarga kami miliki?

"Jen?" tegur Carl lembut. "Kamu nggak apa-apa?"

"Aku nggak apa-apa," dustaku. "Kamu nggak boleh cemas, oke? Meredith dan Reo juga teman-teman kita. Kamu juga harus melindungi mereka dengan kekuatan kamu."

"Pasti, Jen. Pasti."

"Dan aku terus dukung kamu, kok," lanjutku. "Aku ada di tim support, bersama teman-teman yang lain. Kita akan selalu ngawasin kalian selama Casa Poca berlangsung. I'll always be there."

Carl menghembuskan napas panjang. Dia melompat dari meja dan meraih tanganku."Terima kasih, Jen," katanya tulus. "Thank you very much."    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top