18 - Kekuatan Carl
Minggu itu berjalan menegangkan sekaligus bergairah karena topik yang dibicarakan anak-anak satu sekolah adalah Casa Poca. Dari obrolan dengan teman-teman, aku dapat gambaran kalau Casa Poca ini ternyata nggak mirip dengan Hunger Games. Setiap tim yang ikut Casa Poca akan berlomba mengitari Jakarta. Mereka harus memecahkan petunjuk, menggunakan kekuatan mereka untuk menghadapi tantangan dan berpindah dari satu titik ke titik lainnya. Tim pertama yang mencapai garis finish akan jadi pemenang.
Belakangan, anak-anak juga sibuk mengatur strategi. Sebagai ketua kelas, Billy rajin berkonsolidasi dengan Bu Olena di akhir kelas Matematika – kelas yang diajar Bu Olena – soal siapa yang akan diutus kelas sepuluh Nobel di Casa Poca.
Hari ini hari Kamis dan jam pelajaran pertama hari itu adalah Biologi. Cuaca pagi itu cerah dan kondisi rumah kaca cukup panas. Sejak hiruk pikuk Casa Poca digaungkan, kelas Biologi jadi agak membosankan, karena Bu Nanda termasuk guru panitia perlombaan itu. Jam pelajaran kami lebih banyak dihabiskan dengan mendengarkan penjelasan si guru Biologi tentang Casa Poca. Sisanya, yang kami lakukan adalah meneliti perkembangan benih kami yang sekarang sudah berkecambah. Kalaupun ada kegiatan yang berbeda, paling-paling kami hanya mengamati stomata tanaman yang berbentuk seperti sepasang bibir gendut di bawah mikroskop.
"Tapi kenapa dia harus menghukum kita sekelas juga?" kata Meredith bingung. Pak Gino dan kelakukannya di lab hari Senin lalu sekarang jadi topik hangat di antara kami bertiga. "Kalau dia memang sentimen pada Jen, harusnya PR Jen aja kan yang dapat nol?"
Aku menatap Meredith tak percaya.
"Lho, benar, kan?" protes Meredith begitu melihat tatapanku. "Kalau dia sentimen sama lo aja, logikanya cuma PR lo yang dapat nol."
Hmm... Ada benarnya juga, sih. "Tetap aja, perbuatan Pak Gino itu nggak adil."
Tara kembali ke meja kami sambil menenteng ember kecil berisi air. "Bu Nanda lagi bete," katanya, lalu duduk di antara kami. "Katanya Pak Gino protes The Queens dikeluarkan. Semua guru yang setuju mereka dikeluarkan dimusuhi sama dia. Bu Nanda termasuk yang setuju."
"Wah terbukti, tuh!" Rupanya itu dia jawabannya. "Kelakuan Pak Gino di lab waktu itu memang gara-gara The Queens dikeluarkan."
"Bagi gue, yang jadi pertanyaannya justru..." Meredith mengambil air dan menetesi kecambah-kecambah kami berbarengan. "Kenapa Pak Gino harus keberatan? Satu sekolah tahu kalau The Queens itu memang anak-anak kurang ajar. Apalagi ditambah kejadian di obsevatorium itu, memang udah sepantasnya mereka dikeluarkan."
"Pak Gino bangga banget sama Anne-Marie," jawab Tara sungguh-sungguh. "Dia salah satu pengendali paling kuat di sekolah ini. Kalian lupa kalau kelas dua belas Supernova, kelas perwalian Pak Gino dan The Queens menang Casa Poca berturut-turut selama lima tahun terakhir?"
"Rekor terlama pemenang Casa Poca," timpal Meredith.
"Gue nggak tahu soal itu," jawabku jujur. "Jadi... Pak Gino merasa gue udah menghilangkan kesempatan kelasnya buat memenangkan Casa Poca tahun ini?"
"Ditambah kemunculan lo di sekolah ini dan flash disk lo yang udah merusak komputer di labnya, Pak Gino jadi punya tiga alasan untuk nggak suka sama lo."
"Belum lagi insiden di Bellagio waktu itu," kata Tara hati-hati. "Pasti dia gedhek banget karena nggak bisa menghukum kita."
"Harusnya The Queens lah yang dihukum, bukan kita," kataku. Meski sekarang aku paham penyebab sikap jahat Pak Gino, tetap saja aku menganggap apa yang dilakukannya pada kami sekelas itu tidak adil. "Omong-omong, Dith... Tadi lo bilang, kemunculan gue di sekolah ini juga jadi alasan Pak Gino benci sama gue."
"Nah, soal itu..." Meredith tampak ragu-ragu. "Gue cuma berasumsi. Bisa jadi dia benci sama lo karena lo bukan pengendali."
"Tapi awalnya gue nggak tahu kalau Cahaya Bangsa adalah sekolah untuk pengendali!" Memang betul, kan? Mom nggak bilang apa-apa padaku. "Sebelum masuk sekolah ini gue bahkan nggak tahu kalau para pengendali itu eksis."
"Tebakan gue, Pak Gino merasa lo nggak pantas masuk ke sekolah ini," lanjut Meredith yakin.
"Dia udah menganggap lo kurang sopan sejak pertemuan pertama di lab waktu itu," kata Tara setuju. "Gara-gara lo nggak panggil dia 'pak'."
Aku terhenyak. Masa iya Pak Gino jadi se-baper itu gara-gara aku?
"Nggak usah terlalu dipikirkan," tegur Tara lembut. "Lo bukan satu-satunya murid yang dibenci sama Pak Gino. Si Carl juga."
"Dan Supernova bakal tetap ikut Casa Poca tanpa The Queens," kata Meredith. "Taruhan, mereka pasti bakal kirim Ardhan Rinaldi si pengendali logam."
Aku mencoba untuk tetap tenang sambil memikirkan kata-kata Tara dan Meredith. Rupanya setelah The Queens dikeluarkan, masalahku belum selesai juga. Masih ada lagi yang nggak suka padaku, dan kali ini rasanya mustahil mengeluarkan Pak Gino dari sekolah meski tindakannya pada kami sudah semena-mena. Aduh, aku nggak menyangka ternyata jadi murid baru itu sesulit ini!
Perhatian kami teralih karena Karina lagi-lagi memecahkan sesuatu. Kali ini Tara tidak membantu. Bu Nanda hanya menarik napas dengan berat dan menyuruh si kembar mengambil sapu dan pengki. Karina minta maaf sambil tertunduk, sepertinya dia nyaris menangis karena malu. Iswara dan Billy mengusap-usap punggungnya. Aku melirik Carl yang duduk semeja dengan Reo dan Azka. Cowok itu tersenyum dan tiba-tiba wajahku terasa panas.
"Omong-omong..." Aku berbalik untuk menghadap Tara dan Meredith. "Bu Olena menawarkan gue ikut Casa Poca, lho."
"Wow, serius?" sergah Tara kaget. "Tapi Bu Olena kan tahu lo nggak punya–"
"Belum menemukan kekuatan," potong Meredith segera.
"Iya, Bu Olena menawari gue hari Senin yang lalu," lanjutku lagi. "Mungkin dia lupa kalau gue belum menemukan kekuatan pengendalian gue."
"Oooh..." Tara berseru mendadak, dari wajahnya dia kelihatan seperti baru memahami sesuatu yang penting. "Pasti maksud Bu Olena supaya lo ikut sebagai tim support."
Meredith mengangguk-angguk. "Wah, betul! Bisa banget, tuh!"
"Tim support?"
"Iya, jadi setiap tim perwakilan kelas itu bakal punya tim pembantu yang beranggota lima orang," kata Tara. Dia menggeser petridis-petridis kami di meja dan mulai menunjuk-nunjuk seru. "Sebagai wali kelas kita, Bu Olena bakal jadi PIC (Person in Charge - atau penanggungjawab) tim support. Tugasnya adalah mendukung dan memantau performa tim selama perlombaan berlangsung. Tim support bakal memonitor pergerakan tim lewat drone yang akan disetel untuk mengikuti setiap tim yang ikut Casa Poca."
"Dan menyediakan pengendali pengganti seandainya ada anggota tim yang terluka," kata Meredith. "Intinya, tim support membantu anggota tim yang ikut lomba."
Aku teringat akan orang-orang yang bersembunyi dalam truk kebersihan sambil memantau monitor di film-film detektif. "Kedengarannya oke juga. Gue bersedia."
"Masalahnya," kata Tara agak jengkel. "Belum ada yang tahu siapa yang bakal kita kirim ke Casa Poca nanti!"
...
Kelas Bahasa Prancis setelah istirahat ternyata kosong.
Guru kami, Madmoiselle Geraldine, nggak masuk karena pilek. Kami hanya diberi tugas mengerjakan soal latihan sebanyak dua puluh lima nomor dan dikumpulkan lewat email.
Aku bisa menyelesaikan soal-soal itu hanya dalam lima menit saja. Bahasa Prancisku lumayan fasih, karena itu adalah salah satu bahasa yang wajib dikuasai seorang anggota keluarga Darmawan. Tara mencontek jawaban-jawaban latihan soalku yang kuizinkan dengan senang hati. Tak sampai berapa lama, seluruh kelas sudah mencontek jawabanku tak terkecuali Meredith yang entah mengapa hari ini mendadak nggak anti-nyontek.
Aku nggak heran mengapa anak-anak ingin cepat-cepat menyelesaikan soal-soal itu. Ternyata mereka ingin membahas soal Casa Poca. Jadi di sisa satu setengah jam kelas Bahasa Prancis, Billy si ketua kelas memimpin rapat dadakan membahas siapa yang akan kelas sepuluh Nobel kirim ke Casa Poca tahun ini.
Obrolannya sebagian besar tentang kekuatan pengendalian. Sebuah kertas lusuh diedarkan oleh si kembar Nugroho untuk mendaftar apa-apa saja kekuatan pengendalian yang ada di kelas kami. Untuk alasan yang sudah kalian semua tahu, aku memutuskan nggak mengisi daftar itu.
Tapi ternyata bukan hanya aku yang merasa risih dengan daftar itu.
Di depanku, Carl memutar kursinya. Matanya bergulir mengikuti si daftar dengan tatapan kecewa. Lalu tatapannya jatuh padaku.
Kami berpandangan dan nyengir lebar.
"Aku nggak menuliskan namaku," katanya, berusaha terdengar santai. "Kamu?"
Aku menggeleng.
"Dengar-dengar, katanya kamu mau jadi tim support?"
"Aku lagi mempertimbangkannya. Karena, apa lagi yang bisa aku bantu untuk kelas kita?" Sama seperti Carl, aku berusaha kedengaran tegar. "Dan jadi tim support kayaknya cukup oke."
"Kalau gitu aku juga jadi tim support, ah!" kata Carl mantap. "Boleh, kan?"
"Pasti si Billy nggak keberatan."
Pasti kelihatannya ironis sekali. Dua anak di Cahaya Bangsa yang nggak punya kekuatan pengendalian ikut Casa Poca, bukan sebagai tim inti, tapi tim support.
Biarlah... Kucoba menghibur diri. Lagipula, apa salahnya jadi tim support?
Carl dan aku terdiam sejenak. Kami mengamati anak-anak yang sudah berkerumun dan mengobrol antusias di sekitar meja Billy. Dengan kekuatan telekinesisnya, Billy memindahkan papan tulis ke dekat mejanya. Dibantu pengendalian gravitasi Karina, papan tulis besar itu melayang satu meter di atas lantai. Wynona memegang spidol merah besar dan mulai menulis-nulis di papan itu.
"Kira-kira siapa yang bakal kita kirim, ya?" tanya Carl.
"Pasti Meredith," jawabku. "Meredith salah satu pengendali paling jago di kelas kita."
"Reo juga," timpal Carl. "Menurutku dia keren."
Aku teringat kekuatan shockwave Reo dan mengangguk setuju. Ternyata nggak cuma cewek-cewek saja yang menganggap Reo keren. "Kira-kira, siapa saja ya lawan-lawan kita?"
"Tahun lalu pemenangnya kelas dua belas Supernova," kata Carl. "Mereka mengirim The Queens."
Aku teringat cerita Tara sewaktu di rumah kaca. "Jelas aja mereka menang. Harusnya ada peraturan yang melarang The Queens ikut."
"Nah, untungnya tahun ini The Queens nggak bakal ikutan lagi."
Kami tertawa bersama. Carl menggeleng-geleng, rambut pirangnya berjatuhan di dahinya dan dia mengusapnya dengan gaya cool yang alami.
"Dari cerita-cerita yang kudengar, seharusnya yang menang kelas sebelas Adam Smith. Mereka menamakan tim mereka Valor," kata Carl. Tatapannya masih terpaku pada Billy yang sibuk menjelaskan. "Mereka sampai duluan di garis finish, tapi Carly memakai kekuatan pengendaliannya buat menerbangkan mereka ke belakang."
"Wah, itu kan curang namanya!"
"Nggak bisa disebut curang," kata Carl. "Tim Valor punya pengendali tanah. Harusnya mereka bisa membalas The Queens dan mencegah mereka sampai ke finish dengan menggerakan tanahnya."
"Tapi pasti nggak jadi karena pikiran si pengendali tanah diambil alih Anne-Marie," tebakku. Aku teringat bagaimana Anne-Marie mengambil alih pikiran Meredith dan Iswara di obsevatorium waktu itu.
Carl berdecak setuju. "Benar."
Kami diam lagi. Beberapa nama sudah muncul di papan tulis, lengkap dengan diagram rumit yang bagiku kelihatan seperti strategi menyerang dan bertahan. Sesuai dugaanku dan Carl, nama Meredtih dan Reo ada di papan.
Tiba-tiba aku merasa seperti tersengat listrik. Jari-jari Carl baru saja menyentuh tanganku.
"Kita keluar, yuk," ajaknya lembut.
"Keluar?" Kok aku merasa seperti tersengat listrik? "Ke mana?"
"Kamu mau ke mana?"
"Pulang," jawabku agak asal. Aku memang sedikit mengantuk.
Carl tertawa. "Sama, aku juga mau pulang. Bagaimana kalau kita pura-pura sakit perut dan tidur siang di klinik?"
Aku menatap Carl tak percaya. Ternyata cowok ini konyol juga. "Kamu serius? Nanti ketahuan, kita bisa dihukum."
"Jangan, deh. Bagaimana kalau perpustakaan?"
Seluruh murid di sekolah manapun pasti tahu kalau perpustakaan memang tempat terbaik untuk tidur. Ketenangan hakiki yang tiada duanya.
"Ide bagus. Yuk..."
Carl berdiri, meluruskan kemejanya dan mengendap-endap seperti pencuri menuju pintu kelas. Aku tertawa melihat tingkahnya. Siapa sangka dibalik sikapnya yang pendiam ternyata cowok ini begitu jauh dari kesan jaim?
"Jalannya biasa aja..."
"Harus gini..." Carl mulai merayap di lantai. "Kayak di film-film detektif."
Kututup mulutku dengan tangan karena tertawa lebih keras. Kami merangkak d iantara kaki-kaki seperti bayi dan akhirnya sampai di pintu.
Begitu keluar kelas, tawaku meledak.
"Seru, kan?" Carl juga ikutan tergelak. "Nggak ada yang melihat kita."
"Seru, seru!" Perutku agak tegang karena tertawa. "Kamu ternyata gokil juga, ya."
Carl mengulurkan tangannya, mengajakku. Kutatap tangannya itu dengan ragu-ragu. Apa aku akan menerima ajakannya?
Kuulurkan tanganku dan kugapai tangannya. Sensasi seperti tersengat listrik itu kembali menerpaku, tapi hanya berlangsung sesaat. Selanjutnya yang kurasakan hanyalah kehangatan yang dalam dan menenangkan.
Carl menggoyangkan tanganku. Kami melewati koridor sekolah yang panjang dan kosong sambil bergandengan tangan, seperti dua orang anak kecil.
"Jen," panggil Carl. "Kamu kangen New York?"
"New York..." ulangku, tiba-tiba merasa galau. "Aku nggak tahu, Carl. Sekarang rasanya New York jauh banget. Aku bahkan sulit percaya kalau aku tinggal enam belas tahun di sana. Waktu selama itu terasa kayak mimpi."
Mata Carl melebar. Cahaya matahari sore yang kekuningan jatuh menerpa matanya hingga berwarna biru keemasan, seperti laut saat matahari terbenam.
"Apa kamu kangen London juga?"
"Aku bukan dari London. Aku aslinya dari Southwold, di Suffolk," jawab Carl. "Itu kota pantai kecil di bagian selatan. Semua penduduk Southwold saling kenal. Beda banget dengan London. Aku nggak pernah suka kota besar."
"Pasti kamu kangen kampung halaman kamu, ya?"
Carl menatap koridor yang panjang, wajahnya kelihatan agak sendu. "Dulu waktu kecil aku sering berenang di pantai. Bahkan di musim dingin. Padahal Dad udah melarang aku. Jadinya aku kena pilek..."
Aku mencoba membayangkan seperti apa Southwold di Suffolk itu. Kedengarannya seperti kota kecil yang menyenangkan.
"Kapan-kapan aku mau ngajak kamu main ke kampung halamanku," kata Carl. "Kamu pasti suka. Nggak mirip dengan New York atau Jakarta."
"Mudah-mudahan di Southwold nggak ada yang kenal aku."
"Aku jamin. Di Southwold nggak ada yang bakal bisik-bisik terus tiap kamu lewat."
Oh, andai saja Southwold itu sedekat Bandung, pasti saat ini aku sudah hijrah kesana. Bayangan tinggal di kota kecil yang damai, tanpa bisik-bisik menganggu, tanpa The Queens dan Pak Gino, jauh dari segala ke-Jeniffer-Darmawan-an ku, kedengarannya seperti mimpi.
"Aku mau ikut kamu ke Inggris."
"Serius?"
"Iya."
"Janji?"
Aku tersenyum. Kota di mana tak ada yang mengenalku dan keluargaku... Mana mungkin aku menolak?
Carl membalas senyumku. Di balik sikapnya yang pendiam dan tertutup, ternyata dia punya kepribadian yang unik. Kadang dia serius, tapi di sisi lain bisa jadi periang dan kekanakkan. Aku bertanya-tanya berapa anak di sekolah ini yang tahu Carl cukup dekat untuk mengenal sifatnya ini.
"Ya. Aku janji," kataku. "Asal kamu ikut."
"Pasti."
TRAAANG!
Ada bunyi berkeriut keras, seperti suara logam yang dibengkokkan. Sekonyong-konyong pintu ruang kelas di sebelahku terhempas copot.
"Apa itu?" tanya Carl.
Bunyi berkeriut itu semakin keras. Lalu dari dalam ruang kelas terdengar derap langkah logam, seperti ada robot yang sedang berlari ke arah kami. Sesuatu yang berwarna merah keemasan dan besar melompat keluar.
Awalnya aku mengira itu patung, tapi ketika benda itu bergerak, aku baru sadar apa itu. Ternyata itu seekor serigala, tapi bukan serigala sungguhan yang terbuat dari daging dan tulang. Serigala itu terbuat dari perunggu.
"Jen, jangan bergerak!" teriak Carl. "Tetap di tempat kamu!"
Serigala perunggu itu menatapku. Matanya yang bulat berkilat-kilat. Dia menggeram. Geramannya aneh, seperti bunyi logam yang dipukul-pukul.
"Jen!" Carl mengulurkan tangannya. "Ke sini! Ayo!"
Serigala itu menekan lantai, mengambil ancang-ancang dan bersiap melompat.
Ke arahku.
TRAAANG!
Kejadiannya cepat sekali. Ada sesuatu yang lain lagi melompat keluar dari dalam ruang kelas yang sudah tak berpintu, sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih berkilau.
Seekor singa raksasa yang terbuat dari berlian menyerang si serigala dan langsung menerkamnya. Ya, aku tak salah lihat. Singa itu besar sekali, nyaris tiga kali ukuran si serigala, dan seluruh tubuhnya terbuat dari berlian putih yang berkilauan. Kedua hewan dari logam itu bergulat dengan seru, menghancurkan lantai koridor dan kaca-kaca jendela.
"Jen!" Teriakan Carl menyadarkanku. "Cepat ke sini!"
Aku telah beringsut menghindari perkelahian serigala dan singa itu hingga tanpa sadar sudah terpisah sejauh tiga meter dari Carl.
Si singa menggeram – geraman aneh yang bergema – dan mencabik-cabik si serigala yang tak mampu melawan. Gerakan surai si singa berlian memantulkan cahaya matari, sehingga seolah-olah dinding koridor diterangi ratusan bintang. Kemudian dengan taring-taringnya yang tajam, si singa melumat si serigala hingga hancur berkeping-keping.
Si singa melewati potongan-potongan perunggu sisa tubuh si serigala dan menatapku.
Oh, tidak.
Sinar di mata si singa berlian memberitahuku bahwa aku akan bernasib sama seperti si serigala perunggu jika tidak beranjak dari tempatku sekarang. Tapi berapa lama waktu yang kupunya?
Singa itu memindahkan berat tubuhnya ke kedua kali belakangnya dan meraung.
Dia melompat. Ke arahku. Mulutnya terbuka lebar, memamerkan gigi-gigi berlian runcing yang siap membunuh.
"JEN!"
Aku mengangkat tangan, mencoba melindungi diri.
Terdengar bunyi seperti kaca pecah lalu diam.
Aku mengintip sedikit.
Carl berdiri dua meter di depanku. Tangannya terjulur seolah mencoba menarik si singa yang anehnya sudah lenyap.
Sebagai gantinya, sebuah boneka putih tergeletak dekat kakiku. Kuraih boneka itu dengan takut-takut. Ternyata itu boneka singa.
"Carl? Ke mana singanya?"
Ada bunyi derap langkah kaki lagi, tapi dari ujung koridor yang berlawanan. Aku langsung melompat berdiri dan berlari ke arah Carl, bersiap menghadapi yang terburuk. Setelah serigala dan singa, bisa jadi yang satu ini dinosaurus...
Tapi yang muncul ternyata Pak Yu-Tsin. Guru kelas Pengendalian Kekuatan itu ditemani dua senior cowok kelas dua belas. Mereka bertiga tampak letih dan syok.
"Jennifer! Carl!" Pak Yu-Tsin menghampiri kami. "Maaf sekali! Kalian nggak apa-apa, kan?"
"Kami baik-baik saja, pak," jawabku.
"Singa dan serigala itu lepas kendali dan lari dari kelas Pengendalian Kekuatan. Ini Ardhan Rinaldi dan Raka Chaniago, dua-duanya pengendali logam." Pak Yu-Tsin berhenti, memandang potongan-potongan perunggu bekas tubuh si serigala di lantai dan boneka singa putih itu. "Apa yang terjadi?"
"Singa itu menghabisi si serigala," jawab Carl dengan suara bergetar.
Ardhan meninju udara dengan bangga sementara Raka tersenyum kecut. Pasti si singa dibuat dari kekuatan pengendalian Ardhan.
"Lalu singanya?" tanya Pak Yu-Tsin ragu-ragu. "Ke mana singanya?"
Carl menunjuk si boneka singa putih. "Saya hanya mengangkat tangan saya untuk mencegah singa itu menggigit Jennifer..." Tatapan kami semua jatuh pada boneka itu. "Dan tiba-tiba singa itu berubah. Jadi boneka."
"Berubah?" Pak Yu-Tsin mengernyit bingung. "Begitu saja?"
"Ya."
Kebingungan di wajah Pak Yu-Tsin perlahan-lahan hilang. Dia malah tersenyum samar-samar. "Ini..." katanya, sambil mengangkat si boneka singa putih. "Coba kamu ubah jadi sesuatu."
"Tapi pak..." kata Carl takut-takut. "Saya bukan pengendali."
"Coba saja dulu," kata Pak Yu-Tsin menyemangati. "Ayo. Caranya seperti mengubah si singa berlian tadi."
Carl menelan ludah. Dia menatap boneka singa itu dan mengernyit untuk berkonsentrasi. Aku, mulai memahami apa yang terjadi. Kuremas lengan Carl, memberinya dukungan. Ini saat-saat yang penting. Kalau Carl berhasil mengubah boneka itu jadi sesuatu...
PLOP!
Boneka singa putih itu lenyap. Kini di tangan Carl ada sebuah mainan pesawat terbang dari kertas, yang sama putihnya dengan si boneka singa.
Pak Yu-Tsin mengambil pesawat kertas itu, mengamatinya dan melemparkannya. Pesawat kertas itu meluncur terbang keluar melewati kaca jendela yang pecah.
"Selamat Carl!" Pak Yu-Tsin menepuk pundak Carl. "Kamu punya kekuatan pengendalian wujud."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top